Arga duduk di meja bar dengan sebotol minuman yang sudah hampir tandas isinya. Tidak perlu dijelaskan lagi apa yang membuatnya lari ke sini. Ia sudah malas membahas dan benar-benar sedang butuh minuman untuk menghibur diri.
Ia abaikan segala macam pesan dan telepon dari papanya. Ia sudah lelah dan ingin menenangkan diri dari semua kesialan yang hinggap kepadanya. Sebenarnya dia dosa apa? Kenapa kesialan demi kesialan selalu menghampiri dia? Apakah dia tidak pantas bahagia?Arga menuang isi botol terakhir dalam gelas, agaknya setelah ini dia harus buka kamar di hotel ini. Ia sudah tidak mampu lagi berdiri dengan dua kakinya sekarang!Indira ... Entah mengapa ia makin benci mendengar nama itu! Jadi dia biang keladi kenapa kemudian Morgan bisa tiba-tiba membawa mobil beserta surat perjanjian malam itu? Dia yang membuat Clara lepas dari Arga dan oleh karena itu Arga sudah bersumpah bahwa hidup Indira tidak akan pernah bahagia!Ingin sebenaUap panas itu mengepul menguarkan aroma mie rebus yang luar biasa menggoda. Membuat liur Callista seperti hendak menetes. Sungguh aroma ini begitu harum dan lezat, mendorong Callista langsung menyendok kuah berminyak itu dengan sendok.“Enak?” suara itu terdengar datar, membuat Callista buru-buru menelan kuah mie guna mengosongkan mulutnya.“Enak banget! Kok bisa sih?” wajah Callista nampak sumringah, ia mengangkat wajah, menatap Rudi yang duduk ada di depannya.Tanpa Callista duga, senyum manis itu tersungging di wajah Rudi, menampilkan raut wajah teduh yang begitu tampan.“Bisa dong, kamu juga bisa kalau mau belajar.” Rudi mulai menyantap mie miliknya dengan sumpit, uap panas terlihat membumbung dari mangkok, uap yang menutupi sebagian wajah Rudi secara samar-samar.Callista tersenyum, benarkah? Seumur hidup Callista tidak pernah memegang langsung bumbu dapur dan Rudi bilang dia akan bisa memasak seenak ini? Ca
“Ini seriusan nggak bisa libur lagi agak lama gitu?”Morgan nampak cemberut ketika pagi-pagi sekali istrinya sudah begitu rapi dengan setelan scrub andalannya. Baru kemarin nikah dan sekarang harus sudah masuk? Sebegitu mengenaskan kehidupan para dokter dan nakes? Terlebih mereka yang masih pendidikan macam istrinya ini?“Kan sejak awal sudah aku jelaskan, Sayang. Selama pendidikan belum bisa ambil libur lama.” Clara hanya tersenyum, ia paham kalau Morgan protes, tapi mau bagaimana lagi?Terdengar helaan napas panjang yang membuat senyum getir itu tersungging di wajah Clara. Kalau bisa sih Clara juga ingin libur lebih lama. Tapi itu sangat tidak mungkin dia lakukan kecuali bapaknya direktur utama rumah sakit atau dekan fakutlas kedokteran tempat dia pendidikan.“Tapi lain kali bisa, kan, kita liburan berdua?”Sebuah pertanyaan yang membuat Clara sontak menoleh dan menatap Morgan yang juga tengah bersiap-siap deng
“Pak Bos marah-marah, ya, Mbak?” Rudi membawa mobil menyusuri jalanan yang cukup padat, ia melirik Clara yang duduk di jok belakang.Clara tersenyum, “Nggak ah, santai aja. Dia Cuma heran, tumben kamu ini telat datang. Biasanya selalu on time.” Jelas Clara yang sontak membuat Rudi tersenyum getir.Obrolan dan momen sarapan pagi bersama Callista tadi entah mengapa membuat langkah Rudi begitu berat dan enggan meninggalkan meja makan dan terus duduk mengobrol bersama gadis itu. Ada apa? Kenapa sekarang perasaannya makin aneh dan tidak menentu?“Eh ... senyam-senyum? Roman-romannya lagi jatuh cinta nih?” suara Clara mengejutkan Rudi, membuat Rudi melonjak dan langsung melirik kaca mobil.“Ah ... Mbak Clara ini ada-ada aja! Nggak, Mbak! Jatuh cinta apa sih?” Morgan menyangkal, berusaha tetap tenang sambil mencoba menetralkan degup jantungnya yang mendadak tidak beraturan.“Jangan bohong, wajah kamu i
Morgan melangkahkan kaki masuk ke dalam gedung kantornya. Bisa dia lihat beberapa pegawai di front office sontak berdiri dna nampak menatapnya dengan tatapan terkejut. Namun Morgan tidak peduli, ia terus melangkah masuk setelah membalas anggukan dan sapaan yang ditujukan kepadanya.“Loh, Pak Morgan masuk hari ini?”Morgan menghentikan langkah, menoleh dan mendapati Salma, PR kantornya nampak tergopoh-gopoh melangkah mendekati Morgan.“Iya lah! Apa ada larangan yang melarang saya masuk ke kantor?” balas Morgan sambil tersenyum kecut.Nampak Salma nyengir, “Bukan begitu, Pak. Kan baru aja kemarin nikah, masa sudah masuk kerja sih?”Morgan menghela napas panjang, “Istri saya cuma dapat izin libur dua hari, jadi ya mau bagaimana lagi?” jawab Morgan apa adanya.Clara dapat izin libur 2 hari, dia ambil H-1 untuk segala macam fitting terakhir, gladi bersih dan lain-lain. Dan satu harinya lagi? Tentu u
Rudi sudah tiba di depan pintu kokoh dan besar berwarna cokelat gelap, warna yang Morgan pilih sendiri untuk pintu ruangan pribadinya. Jantung Rudi berdegub 2 kali lebih cepat. Ia menghirup udara banyak-banyak, berusaha menenangkan diri dan menghilangkan semua gugup yang menderanya saat ini. Bukan hanya gugup, tetapi juga perasaan takut dan sebuah perasaan yang Rudi sendiri tidak bisa menjelaskan dengan detail.Rudi mengangkat tangan, mengentuk pintu beberapa kali, lantas menekan knop dan membukanya perlahan-lahan. Bisa Rudi lihat, lelaki yang wajahnya masih nampak berbinar cerah itu tengah duduk di mejanya, dengan laptop terbuka dan beberapa dokumen berserakan di meja.“Bos panggil saya?”Sebenarnya Rudi tidak perlu bertanya, bukankan pesan tadi sudah begitu jelas menyuruh dia datang ke ruangan Morgan begitu selesai mengantarkan nyonya Morgan ke rumah sakit?“Sini duduk, Rud. Gue mau nanya beberapa hal sama elu!”Rudi menel
“Ga!”Arga yang tengah melangkah hendak kembali ke ruangannya, sontak menoleh, mendapati Tomi, sejawat anestesi nampak berlari-lari kecil ke arahnya. Alis Arga berkerut, tumben Tomi sampai lari-lari mengejar dirinya? Ada apakah?Arga membalikkan badan, menanti sejawatnya itu sampai ke dekatnya. Napas Tomi nampak tersengal-sengal, maklum untuk pria gempal macam Tomi, lari macam tadi cukup membuatnya ngos-ngosan.“Kenapa? Macam dikejar setan?” tanya Arga sambil menepuk pungguh Tomi yang masih mencoba menetralkan napas.Tomi mengangkat wajah, menatap Arga dengan begitu serius. Hal yang lantas membuat alis Arga berkerut menatap sejawatnya itu. Kenapa sih? Tomi ini kenapa?“Apakah yang menyebabkan kamu menalak istrimu dan mengajukan gugatan cerai adalah karena penyelewengan yang dia lakukan?” tanya Tomi to the point yang sontak membuat Arga terkejut.Bagaimana tidak terkejut kalau Tomi sampai menanyakan hal ter
Callista menyambar masker yang sudah dia siapkan. Suara bel itu berdenting dan Rudi berkali-kali memperingatkan agar ketika pengantar makanan tadid tiba mengantarkan makanan, tidak ada yang boleh melihat wajah Callista. Jadi kacamata dan masker ini tentu akan sangat membantu Callista untuk menyembunyikan wajah.Sebelum membuka pintu, Callista mengintip di pintu guna memastikan orang tersebut memang orang suruhan Rudi, bukan orang yang dia kenal atau mamanya! Jangan! Callista tidak mau kembali ke mamanya, apapun itu ia merasa begitu nyaman, damai dan terlindungi di sini, meskipun harus terisolasi di dalam apartemen milik Rudi.Callista membuka pintu, nampak lelaki dengan jersey bola itu tersenyum ke arahnya.“Dengan Mbak Tata, ya? Ini saya disuruh Pak Rudi antar makan siang!”Tata adalah nama samaran yang sudah mereka sepakati bersama. Callista meraih beberapa kantong plastik dari tangan lelaki itu, mengangguk lalu mengucapkan terima kasih. Ia
Rudi meletakkan ponsel di meja. Seketika kepalanya jadi begitu pusing. Calon? Kapan memangnya Rudi punya waktu luang untuk leha-leha, mejeng sana-sini mencari calon istri? Sebenarnya Morgan juga tidak terlalu menekan Rudi, toh Rudi juga punya anak buah sendiri. Pekerjaanya menyediakan waktu juga kalau Rudi berniat hendak santai dan memburu jodoh, tetapi Rudi yang tidak mau. Ah ... bukan tidak mau, tetapi belum mau.Sekarang ... ibunya tidak hanya meminta dia pulang untuk acara sang adik, tetapi juga pulang sambil membawakan calon mantu! Di mana Rudi bisa nemu calon mantu untuk dia bawa pulang menemui ibunya nanti?Rudi tengah berpikir keras ketika pintu ruangannya terbuka, nampak Morgan muncul dan melangkah masuk menghampiri mejanya.“Rud? Lu kenapa?” Morgan segera duduk di kursi, menatap wajah tangan kanannya yang tengah ditekuk itu.Rudi tersenyum getir, mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Nampak ia menghela napas sambil menengadahkan kep
Siang ini cuaca begitu terik. Langit bernuansa biru menyegarkan mata. Bersih tanpa ada satupun awan yang menggantung.Lelaki paruh baya itu nampak tengah menggendong bayi laki-laki di dalam sebuah ruangan inap VVIP di rumah sakit miliknya sendiri. Senyum lelaki itu sejak tadi terus mengembang dengan mata memerah. Wajahnya nampak begitu bahagia dengan bayi laki-laki dengan berat badan lahir 3700 gram dan panjang 53 cm itu. Satria Dwipangga Putra. Sebuah nama yang kedua orang tua bayi tampan itu berikan. Nama yang terdengar begitu gagah dan jantan sekali. "Papa udah satu jam-an gendong Angga, nggak capek, Pa?"Dicky menoleh, nampak Jimmy berdiri di sampingnya. Dia sendiri malah tidak sadar sudah selama itu menggendong cucu tampannya ini. Dicky tersenyum, menyerahkan bayi merah itu pada sang ayah. "Berikan ke Indira, sudah jamnya dia menyusu, Jim."Jimmy menerima Angga dengan hati-hati, tersenyum lalu membawa Angga mendekati sang mama yang menanti di atas ranjang. Dicky hanya menata
Dicky melangkah dengan tergesa dan sedikit panik begitu ia selesai menerima panggilan telepon itu. Keringat dingin mengucur membasahi dahi dan wajahnya. Dia panik, sangat panik! Tidak dia hiraukan siapa-siapa saja yang berpapasan dengannya, fokusnya hanya melangkah menuju VK, tempat di mana Indira, anak bungsu kesayangan Dicky dibawa setelah didera kontraksi. Dicky langsung masuk ke dalam, tertegun melihat pemandangan itu ada di depan matanya. Hati Dicky bergetar hebat. Matanya memanas. Dadanya mendadak sesak. Pemandangan itu seperti menampar dirinya dengan begitu keras, menyadarkan dia bahwa apa yang Indira katakan perihal Jimmy itu ada benarnya. Dicky tersenyum, menyeka air matanya perlahan-lahan. Agaknya memang dia harus menurunkan Arga dari tahta hatinya. Memberi kesempatan Jimmy yang statusnya sekarang sudah menjadi menantunya untuk menunjukkan kepada Dicky bahwa dia juga layak. Sama halnya dengan Arga untuk menjadi bagian dari keluarganya, menyandang gelar menantu keluarga Pr
Clara tiba-tiba terjaga, matanya yang masih separuh terbuka itu kontan melirik jam dinding. Ia segera bangkit, turun dari ranjang kemudian meraih sesuatu yang dia simpan di dalam laci nakas. Benda yang sudah dari dulu sekali dia beli dan persiapkan. Tanpa banyak bicara Clara segera masuk ke dalam kamar mandi, jantungnya berdegup kencang. Antara penasaran dan takut kecewa, Clara akhirnya memutuskan untuk segera memastikan apa yang akhir-akhir itu menganggu pikirannya. Dengan hati-hati dia menampung urin miliknya. Urin yang pertama kali dia keluarkan di pagi hari dan inilah yang akan dia pakai nantinya. Tangan Clara sedikit bergetar ketika mencelupkan benda itu ke dalam urin yang sudah dia tampung. Tidak perlu terlalu lama, Clara segera mengangkat benda itu sesuai dengan petunjuk pemakaian. Jantungnya berdegup kencang menantikan ada atau tidaknya pertambahan garis merah di sana. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Clara masih setia menunggu dengan perasaan tidak karu-karuan. Dan di d
"Key!" Arga tidak tahan lagi, dipeluknya tubuh itu dengan begitu erat. Aroma rambut yang masih basah menguatkan aroma floral yang khas, membuat hasrat Arga yang sudah cukup lama fisik tahan dan pendam, menyalah dan membara seketika. "Ya, Mas?" Balas suara itu lirih, nampak suara itu terdengar malu-malu. "Capek?" Arga menyandarkan kepalanya di bahu, menatap bayangan mereka di cermin besar yang menempel di salah satu sudut kamar mereka. "Lumayan, Mas."Arga tidak peduli kalau Kezia nampak sedikit risih dengan aksinya ini. Toh setelah ini Arga akan melakukan sesuatu yang mungkin akan membuat gadis belia ini tidak hanya risih, tetapi juga akan .... Arga membalikkan tubuh itu, mata mereka beradu, membuat Arga rasanya ingin melumat Kezia dalam sekali hap. Wajah itu memerah, dan bibir itu ... Arga sudah tidak sabar lagi, dia segera meraih bibir merona yang sudah sangat lama menggoda Arga dengan begitu luar biasa. Bibir itu ... Arga bisa rasakan bibir itu begitu manis. Gairah yang sudah
Kezia menatap bayangan dirinya di cermin. Itu benar dia? Yang dibalut dengan makeup dan busana pengantin itu benar dirinya? Dan yang lebih penting, benar dia sudah siap hendak menikah di usia yang semuda ini? Dengan perlahan-lahan Kezia menghela napas panjang, menghirup udara lalu kembali menghela napas perlahan dan itu dia ulangi sampai berulang kali. Lelaki yang hendak dia nikahi bukan lelaki biasa. Selain dia seorang dokter yang sudah spesialis dan jarak umur yang lumayan banyak, Arga punya masalalu yang bisa dikatakan tidak 'bersih'. Kezia menghela napas panjang, bahkan pengakuan demi pengakuan Arga tempo lalu masih terngiang dan terbayang-bayang dalam benaknya. 'Aku bukan laki-laki baik, Key. Selain mantan istriku yang berselingkuh, aku juga berselingkuh.''Aku pernah memperkosa mantab pacarku dan itu kulakukan saat aku sudah resmi menikah. Menjeratnya dalam hubungan gelap selama bertahun-tahun. Dia aku jadikan selingkuhan selama itu.''Aku kembali memperkosa dan menyiksanya,
Callista turun dari mobil, jujur semenjak kematian sang mama, entah mengapa hidupnya jauh lebih bebas. Dia tidak harus terkurung lagi di apartemen, keluar dengan masker dan kaca mata hitam macam buronan yang takut ketahuan. Kini jujur hidupnya jauh lebih baik, lebih tenang dan damai terlebih setelah ia resmi dinikahi Rudi. Mimpi apa Callista bisa dinikahi lelaki semanis Rudi? Ya walaupun awalnya dia begitu kaku dan sama sekali tidak romantis, namun lama kelamaan Rudi luluh juga di tangannya! Lelaki itu bahkan sangat manis sekarang. Membuat Callista rasanya sampai tidak bisa menghitung lagi berapa kali dia jatuh cinta pada Rudi sampai detik ini. Callista melangkah masuk ke Hypermart. Ada beberapa bahan makanan dan barang-barang lain yang hendak dia beli. Kini dia sudah bisa sedikit demi sedikit memasak. Suaminya yang dengan sabar mengajari dia mengolah bahan makanan di dapur. Meskipun Rudi sendiri sebenarnya tidak memaksa Callista harus bisa memasak, tapi Callista sendiri yang memaks
Dicky menatap nanar undangan yang tadi Arga dan gadis belia itu hantarkan ke mejanya. Ada semacam perasaan tidak rela di hati Dicky melepas Arga menikah dengan wanita lain. Bagaimanapun, sebelum Indira jatuh cinta pada Arga, Dicky sudah lebih dulu jatuh cinta. Jatuh cinta dalam artian lain, bukan cinta seperti pada lawan jenis. Dia sudah lebih dulu membidik Arga henda dia jadikan mantu, ketika kemudian secara kebetulan anak gadisnya sendiri yang meminta agar dijodohkan dengan residen jantung tahun ke tiga itu. Sebuah kebetulan, bukan? Dengan penuh semangat, dulu Dicky langsung melobi ke orang tua Arga. Tidak peduli dia ada di pihak perempuan, lelaki seperti Arga ini tidak bisa dia lepaskan begitu saja. Arga benar-benar sosok lelaki sempurna di mata Dicky, sosok menantu idaman semua bapak mertua. Satu kesalahan fatal Dicky saat itu adalah tutup mata dengan kondisi Arga yang sebenarnya. Dia tidak mencoba mencari tahu apakah lelaki muda, calon dokter spesialis seganteng Arga ini masih
Morgan meraih dan mencengkeram kuat tangan sang istri. Mereka duduk di barisan bangku paling depan, menyaksikan acara sakral itu di mulai. Clara menoleh dan tersenyum, bisa Morgan lihat istrinya begitu cantik dengan dress warna tosca yang memamerkan bahunya yang putih bersih. "Inget momen kita dulu, nggak?" Bisikan Morgan tanpa melepaskan genggaman tangan mereka. "Aku rasa, sampai nanti rambutku memutih semua pun aku tidak akan pernah melupakannya, Sayang!" Balas Clara sama lirihnya. Morgan tersenyum, mengangkat tangan itu lalu mengecup punggung tangan sang istri dengan begitu lembut dan manis. Sementara Clara, ia tersenyum membiarkan sang suami mengecup tangannya. Siapa yang mengira bahwa kepahitan hidup yang dulu Clara alami akan berubah semanis ini? Dari harus rela membiarkan Arga menikahi wanita lain, jatuh dalam jerat ambisi Arga yang masih begitu ingin memilikinya sampai melakukan segala cara, hingga kemudian, Tuhan mempertemukan Clara dengan Morgan dalam kecelakaan yang men
Rudi membeliak ketika akhirnya miliknya bisa terbenam sempurna di dalam inti tubuh Callista. Segala macam prinsip yang selama ini dia pegang teguh luruh sudah. Terlebih betapa hangat dan nikmat sensasi yang Callista suguhkan makin membuat Rudi lupa diri. Rudi menundukkan wajah, menyeka air mata yang menitik di wajah itu. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, lalu dengan begitu lirih dia berbisik. "Ini yang kamu minta, kan? Masih meragukan aku?"Mata itu terbuka, masih memerah dengan bayang-bayang air mata. Bukan hanya matanya yang memerah, wajah gadis yang begitu cantik dan menggemaskan di mata Rudi itu juga memerah. Kalau saja rasa nikmat itu tidak menguasai dan menghipnotis Rudi dengan begitu luar biasa, mungkin Rudi akan menyudahi aktivitas ini. "Mas, pelan!"Rudi tersenyum, ia masih belum bergerak sedikitpun, walaupun sebenarnya dia begitu ingin, tapi dia tahan barang sebentar. "Aku nggak bisa janji, Sayang." Rudi balas berbisik, menarik miliknya perlahan-lahan dari dalam sana la