Aura Waran terasa begitu dahsyat, membumbung tinggi di udara. Di momen itu, dia bergerak.“Pedang, datanglah!” serunya sambil mengulurkan tangan.Dari kejauhan, sebuah pedang panjang yang bersinar terang melesat ke arahnya. Dengan pedang di tangannya, Waran turun dari puncak gunung, melayangkan serangan pedang yang kuat, menghancurkan ratusan tebasan energi pedang yang menghujaninya.Saat itu, para pendekar terkuat di bumi seperti Klan Darah, Jamal, tiga sesepuh Sekte Dantra, Titan, Robi, Raja Guntur, dan Tiga Senior Dantra telah tiba. Mereka mengepung Waran, membuat pertempuran semakin sengit.Energi sejati bergejolak, tebasan pedang dan serangan energi melesat ke segala arah. Meskipun Waran sangat kuat, lawan-lawannya adalah para ahli Alam Kesembilan, termasuk Victor, leluhur Klan Darah, dan Jamal yang telah menembus dua lapis belenggu. Serangan mereka bersatu, membuat Waran kesulitan menahan gempuran.Di satu sisi, Jamal dengan pedang di tangan melesat cepat ke arah Waran, muncul di
Chandra berhadapan dengan tiga pendekar Setengah Suci dari Suku Mistik. Walaupun sudah mencapai Alam Kesembilan, Chandra kesulitan mengalahkan mereka dalam waktu singkat. Chandra tahu bahwa kunci kekuatan Suku Mistik terletak pada Waran — jika Waran dikalahkan, murid-muridnya akan menyerah.Setelah memukul mundur ketiga lawannya, Chandra bergabung dalam pengepungan terhadap Waran. Pendekar lain yang sedikit lebih lemah, seperti Robi dan Raja Guntur, mundur untuk menghadapi Setengah Suci lainnya dari Suku Mistik.Kini, ada sebelas pendekar kuat yang mengepung Waran — lima ahli dari Klan Darah, tiga Sesepuh Dantra, Jamal, Titan, dan Chandra. Semuanya berada di tingkat Alam Kesembilan. Jamal dan Victor, leluhur Klan Darah, menjadi ujung tombak serangan, sementara yang lain mengganggu dan memecah konsentrasi Waran, membuatnya semakin terdesak.Pertempuran memanas, diwarnai kilatan pedang dan energi sejati yang meledak-ledak, menghancurkan batu dan pepohonan di sekitar mereka. Meski telah m
“Hmph.” Waran mendengus dingin, tak mau berkata lebih.“Mau bicara atau tidak?” Titan melangkah mendekat, mengacungkan pedang ke leher Waran, lalu mengancam, “Kalau masih keras kepala, aku bisa menghabisimu sekarang juga.”Ancaman itu tak membuat Waran gentar. Meskipun pedang berada di lehernya, dia tetap tenang tanpa perubahan ekspresi sedikit pun. Para murid Suku Mistik lainnya memandang dengan sinis, penuh keangkuhan.“Kalian pikir kalian hebat?” ejek salah seorang murid Suku Mistik. “Menang atas kami bukan berarti kalian tak terkalahkan,” lanjut yang lain. “Begitu segel ini terbuka, para ahli kuat akan membanjiri bumi, dan setiap dari mereka bisa menghancurkan kalian dalam sekejap,” tambahnya, penuh rasa percaya diri.Para murid Suku Mistik tetap bangga meski telah kalah, menunjukkan keteguhan hati mereka.Chandra mulai bingung. Dia menatap Jamal dan bertanya, “Paman, apa yang harus kita lakukan sekarang?”Jamal terdiam sejenak, berpikir, lalu berkata, “Kita tahan mereka dulu.
Waran terluka parah, tubuhnya penuh dengan luka menganga, kepalanya berdarah, dan wajahnya basah oleh darah, rambutnya kusut dan acak-acakan. Namun, sedikit pun dia tak menunjukkan rasa takut. Sebagai anggota Suku Mistik yang berasal dari wilayah tersegel, Waran sama sekali tak gentar pada manusia bumi. Mati? Baginya, kematian bukanlah sesuatu yang menakutkan. Toh, bahkan para tokoh besar pun tak bisa menghindari kematian. Kehidupan abadi? Siapa yang benar-benar bisa hidup selamanya?“Sudah di ujung tanduk, masih berani keras kepala,” Titan berkata dingin, lalu mengayunkan pedangnya.Pedangnya menembus tubuh salah satu murid Suku Mistik, darah langsung menyembur. Murid itu tersenyum sinis meski kesakitan, “Haha, kalian semua juga akan segera mati .…”Tanpa ragu, Titan melayangkan pukulan keras ke kepala murid itu, membuatnya jatuh tak bernyawa di lantai. Titan bertindak cepat dan tanpa belas kasihan.Di sekitar mereka, banyak pendekar kuno bumi yang menyaksikan, tetapi tak ada yang me
Mendengar penjelasan Jamal, semua pendekar di sekitar mereka kembali menoleh ke arah Chandra, berharap ada petunjuk. Namun, Chandra hanya mengangkat bahu, menunjukkan bahwa ia juga tak sepenuhnya mengerti situasinya.Jamal kemudian maju dan berkata, “Sejauh yang aku tahu, titik segel berada di Gunung Bushu. Suku Mistik muncul dari lokasi ini, jadi yang perlu kita lakukan sekarang adalah menemukan segel itu, dan menjaganya. Jika ada pendatang lain dari wilayah tersegel, kita musnahkan tanpa ampun.”“Baik,” ujar Chandra, lalu memerintahkan, “Semua, coba telusuri setiap sudut Gunung Bushu dan temukan lokasi segel.”Para pendekar pun segera menyebar untuk mencari titik segel di sekitar gunung. Meskipun Gunung Bushu sangat luas dengan pegunungan asing yang tersebar di sekitarnya, banyak area yang tertutup oleh batasan magis sehingga mereka tidak bisa menjelajahi semuanya. Hanya beberapa area terbuka yang bisa mereka masuki, sehingga mencari lokasi segel menjadi lebih mudah.Tak lama, mereka
Apa sebenarnya Empat Bencana, Jamal sendiri pun tidak tahu. Semua ini adalah peninggalan Kaisar Pertama di makamnya. Yang Jamal tahu hanyalah bahwa Empat Hewan Keberuntungan adalah warisan dari leluhur bumi, yang tampaknya berhubungan dengan konflik antar ras kuno di masa lampau. Kemunculan Empat Hewan Keberuntungan di bumi juga adalah bagian dari rencana leluhur bumi, tetapi kemudian dirusak oleh tangan-tangan dari bangsa lain. Jamal pun menceritakan semuanya.Chandra mendengarkan dengan penuh keheranan. Ternyata memang benar apa yang dikatakan Basita, dunia yang dia pahami hanyalah sebagian kecil dari dunia yang sebenarnya. Setelah berbincang sebentar, mereka melanjutkan meneliti altar di puncak Gunung Bushu serta pola empat penjuru di sekitarnya. Gambarnya sangat aneh; dari kejauhan, terlihat mirip seperti bentuk Empat Hewan Keberuntungan, hanya saja ada bagian yang hilang.Ketika semua orang sedang serius memperhatikan altar, tiba-tiba terdengar suara mendesis dari dalamnya, disus
Gaun Tara berayun lembut, rambut panjangnya berkibar, memberikan kesan yang begitu hidup dan bersemangat.“Kalian membunuh murid-murid Suku Mistikku?” Tara menyapu pandangannya ke arah semua orang. Nada bicaranya tenang, tetapi menyiratkan tekanan yang besar.“Ya, memangnya kenapa?” ujar Titan, sambil menggenggam pedangnya erat-erat. Wajahnya mengeras, “Ini bumi, bukan tanah terlarangmu. Kalau mau cari masalah di sini, lihat dulu apa kalian punya kemampuan atau tidak.”Begitu selesai berbicara, tubuhnya melesat ke arah Tara dengan kecepatan tinggi. Tara tetap tenang. Ketika Titan hampir menyentuhnya, Tara hanya mengangkat sedikit tangannya. Dengan gerakan halus, lengan bajunya berkibar, memancarkan energi yang kuat, menghantam Titan tepat di tubuhnya dan membuatnya terlempar jauh.Tubuh Titan terhempas keras ke tanah, membuat debu bertebaran. Pemandangan itu mengejutkan para pesilat bumi. Bahkan Chandra terlihat sangat tegang. Ia tahu betul kekuatan Titan, seorang pesilat tingkat Alam
Para murid Suku Mistik segera berbicara, meminta Dewi untuk membunuh Chandra dan yang lainnya. Para pesilat dari bumi tidak ada yang berani bicara, karena bahkan Jamal pun terlempar dengan satu serangan saja. Siapa pun yang berbicara sekarang akan menjadi target berikutnya.Dewi Tara, dengan pedang panjang di tangannya, menatap para pesilat bumi di hadapannya.“Karena kalian telah membunuh murid-murid Suku Mistik, kalian semua harus menemani mereka di liang kubur,” ucap Dewi Tara perlahan.Kata-katanya terdengar lembut, tetapi penuh ketegasan yang tak bisa ditawar. Tara bertekad untuk membunuh mereka untuk memberikan keadilan bagi para muridnya yang telah gugur.Tiba-tiba, sebuah bayangan melintas dengan cepat. Seorang pria muncul di puncak Gunung Bushu. Pria ini terlihat muda, sekitar dua puluhan atau tiga puluhan, mengenakan jubah panjang berwarna putih, dengan rambut panjang hitam-putih yang terurai.“Basita ….”“Basita!” Para pesilat bumi langsung menunjukkan wajah lega begitu meli
Tugas seorang prajurit adalah melindungi rakyat. Itulah tanggung jawab dan kewajiban yang telah terasah selama lebih dari sepuluh tahun Chandra menjalani kehidupan sebagai seorang pejuang. Jika semua orang hanya memilih mundur dan tidak ada yang berani maju, dunia ini akan hancur. “Ya,” Sang Penjaga mengangguk pelan. Dia setuju dengan apa yang dikatakan Chandra. Sejak zaman purba, berkat keberadaan orang-orang seperti itu lah, Bumi bisa tetap terjaga hingga sekarang. “Penjaga, apakah aku masih punya harapan untuk hidup?” Chandra, yang kini hanya berupa tubuh astral, memandang sang Penjaga dengan penuh harap. Dia tidak ingin mati. Masih banyak hal yang harus dia lakukan, masih banyak hal yang belum selesai. “Masih ada harapan,” ujar Penjaga dengan suara pelan. “Namun, dengan hidupmu yang baru nanti, tanggung jawabmu akan menjadi lebih besar, dan tekanan yang kau rasakan akan jauh lebih berat.” Chandra, tanpa ragu, berkata, “Aku siap menanggung semuanya.” Sang Penjaga melamb
Orang itu adalah Penjaga Pustaka Agung. Dia menyaksikan kondisi Istana Bunga yang kini telah menjadi puing-puing. Pada wajahnya yang samar dan tak nyata, tersirat sebuah ekspresi penuh keikhlasan bercampur pilu. “Demi bangsa dan rakyat, dengan semangat leluhur bumi, dunia ini membutuhkan orang-orang seperti dirimu. Jika semua orang hanya memikirkan keselamatan dirinya, bumi ini tak akan disegel di masa lalu, tetapi benar-benar lenyap,” gumam sang Penjaga dengan suara pelan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. “Tiga jiwa, tujuh roh, berkumpullah.” Tangannya yang samar mulai bergerak, menciptakan formasi tanda yang misterius. Seketika, sebuah kekuatan tak kasat mata terpancar dari tangannya, menyebar ke seluruh penjuru bumi hingga mencapai area Istana Bunga. Di tengah puing-puing itu, titik-titik cahaya putih perlahan berkumpul di udara, membentuk sebuah bayangan yang tak nyata. Bayangan itu melesat cepat, meninggalkan area tersebut, bergerak menuju arah Gunung Langi
Gunung tempat Istana Bunga berdiri hancur dalam sekejap, lenyap menjadi abu. Puluhan kilometer di sekitarnya berubah menjadi puing-puing tanpa ada tanda-tanda kehidupan yang tersisa. “Apakah Chandra sudah mati?”“Apakah dia menggunakan teknik pamungkas untuk membasmi musuh?” Bisikan penuh kebingungan terdengar di antara orang-orang yang selamat. Setelah keadaan mulai tenang, para pesilat yang sebelumnya melarikan diri kembali ke lokasi, berharap menemukan Chandra di tengah reruntuhan. Di antara puing-puing, terdengar suara batu yang bergerak. Sosok seorang pria yang bersimbah darah perlahan bangkit. Dia duduk di atas batu besar, terengah-engah sambil memegangi luka-lukanya. “Sialan! Hampir saja aku mati karenanya,” gumam Jayhan dengan nada berat. Wajahnya muram. Jayhan tidak pernah menyangka Chandra akan menyerangnya tiba-tiba. Jarak yang terlalu dekat dan kurangnya kewaspadaan membuatnya terkena serangan langsung. Meski kekuatan Jayhan luar biasa, serangan itu hampir mere
"Bagaimana mungkin? Kenapa ada aura yang begitu kuat?" Semua orang merasakan kehadiran aura menakutkan dari puncak gunung. Mereka semua diliputi rasa ngeri yang membuat bulu kuduk merinding. Krak... Krak... Krak. Di bawah tekanan aura tersebut, pegunungan tempat Istana Bunga berdiri mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan. Orang- orang di kaki gunung berubah wajah seketika. "Celaka! Cepat lari!" Dengan panik dan wajah pucat pasi, mereka bergegas melarikan diri. Di puncak gunung. Chandra sedang menggabungkan dua aliran energi murni di dalam tubuhnya. Kedua energi tersebut menyatu menjadi kekuatan baru yang sangat luar biasa. Dia berusaha keras mengendalikan kekuatan itu, tetapi kekuatan tersebut terlalu besar, terlalu mengerikan. Begitu besar hingga hampir tidak mampu Chandra kendalikan. "Hahaha!" Jayhan tertawa terbahak-bahak, penuh kegilaan. Kekuatan ini luar biasa. Seseorang yang bahkan belum mencapai tingkat Alam Mahasakti mampu menunjukkan teknik sehebat ini. Ini bu
Jayhan sangat cemas. Dia sangat ingin tahu tentang ilmu yang dipelajari Chandra. Dia tahu, nenek moyang Bumi pernah melahirkan banyak pesilat hebat, dan para pesilat itu meninggalkan ilmu-ilmu luar biasa. Jayhan curiga Chandra telah mendapatkan salah satu ilmu tertinggi itu. Sementara itu, Chandra tampak berpikir serius. Dia belum mengambil keputusan. Melihat Chandra ragu-ragu, Jayhan segera berkata, “Tenang saja, aku selalu menepati janji. Setelah kau memberikan ilmu itu kepadaku, aku akan melindungimu. Bahkan setelah segel Bumi terbuka, aku pastikan kau akan hidup dengan baik.” Namun, kekhawatiran Chandra bukan tentang memberikan ilmu itu, melainkan apakah ia bisa menggunakan ilmu pamungkasnya untuk membunuh Jayhan. Jayhan sangat kuat, bahkan terlalu kuat. Jika Jayhan sedikit saja waspada, rencananya pasti gagal. Untuk membunuh Jayhan, Chandra butuh membuatnya benar-benar lengah. Dia sadar, menggunakan Sangkar Kosmik begitu saja tidak akan berhasil. Jayhan pasti akan bers
"Silakan, katakan."Jayhan benar-benar menginginkan ilmu yang dikuasai oleh Chandra. Bukan hanya satu atau dua pertanyaan—puluhan pun akan ia jawab tanpa ragu.Chandra menatap Jayhan dengan serius, lalu bertanya, “Apakah di Alam Niskala ada celah dalam segel yang memungkinkan makhluk-makhluk dari sana masuk ke Bumi?”Jayhan mengangguk sambil berkata, “Benar. Di Alam Niskala memang ada celah pada segelnya. Siapa pun yang berhasil melewati celah itu, bisa langsung muncul di Bumi.”“Jadi, tidak lama lagi akan ada lebih banyak makhluk dari Alam Niskala yang muncul di Bumi?” Chandra melanjutkan.Jayhan kembali mengangguk. “Ya, benar. Tapi melewati celah itu bukan perkara mudah. Dari seratus orang yang mencoba, mungkin hanya satu yang berhasil. Sisanya akan mati dalam prosesnya.”Mendengar jawaban itu, Chandra menarik napas lega. Namun, ia segera mengajukan pertanyaan lain, “Saat ini, level kekuatanmu ada di tahap apa?”“Mahasakti Sempurna, hanya satu langkah lagi menuju Transenden,” jawab J
Jayhan berdiri di depan Chandra dengan senyum penuh ancaman, matanya menatap tajam ke arah pria yang sedang berjuang untuk tetap hidup.“Chandra, aku sudah membiarkan semua orang pergi. Sekarang, serahkan teknik kultivasi yang kau gunakan,” katanya tegas. “Jangan coba mempermainkanku. Jika aku mau, aku bisa menangkap mereka kembali, dan kali ini, mereka pasti mati.”Chandra perlahan membuka matanya. Wajahnya datar, nyaris tanpa emosi. Dengan suara lemah, dia berkata, “Aku terluka parah dan bisa mati kapan saja. Setidaknya beri aku waktu untuk pulih. Setelah aku sembuh, aku akan memberikannya padamu.”Setelah itu, Chandra kembali terdiam. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, tak ingin berbicara lebih banyak. Jayhan hanya mendengus, tidak terlihat tergesa-gesa. Dalam pikirannya, Chandra hanyalah seekor semut—mudah dihancurkan kapan saja.Di Kaki Gunung Istana BungaSejumlah pesilat berkumpul di kaki gunung, wajah mereka penuh kecemasan. Suasana tegang menyelimuti mereka.“Apa yang harus kita
Jayhan berdiri dengan percaya diri, memandang Chandra yang terhuyung-huyung dengan tubuh penuh luka. Meski kekuatannya jauh melampaui Santara, ketahanan Chandra berhasil membuat Jayhan terkejut.“Anak muda, aku sungguh meremehkanmu,” ujar Jayhan, senyum tipis menghiasi wajahnya. “Kabarnya hari ini adalah hari bahagiamu. Kau akan menikahi tiga wanita sekaligus, bukan? Aku penasaran, seberapa lama kau bisa bertahan.”Jayhan melambaikan tangannya, memunculkan kekuatan besar yang menarik tubuh Sonia dari kejauhan. Tubuh Sonia terlempar dan jatuh di samping Chandra yang terkapar lemah. Dengan gerakan tenang, Jayhan mencabut pedang panjangnya, lalu menempatkan ujungnya di leher Sonia.“Chandra,” katanya dengan nada sinis, “apa kau akan merasa sakit hati jika aku membunuhnya sekarang?”Sonia, meski lemah, tidak gentar. Dengan suara serak tetapi penuh keberanian, dia menjawab, “Bunuh saja. Tidak perlu banyak bicara.”Mati di sisi Chandra? Itu sudah cukup bagi Sonia. Dia merangkak pelan mendeka
Jayhan tertegun. Di Bumi, energi spiritual sangatlah tipis. Namun, saat ini, energi itu berkumpul dengan luar biasa kuat di satu titik. Fenomena seperti ini hanya mungkin terjadi jika seseorang menggunakan teknik kultivasi tingkat tinggi. Dengan satu lambaian tangan, Jayhan menciptakan kekuatan besar yang menyapu puing-puing. Chandra, yang tengah menggunakan Sembilan Transformasi Tubuh Emas, tak mampu melawan kekuatan itu. Tubuhnya terangkat dan terlempar ke hadapan Jayhan sebelum jatuh dengan keras ke tanah. “Kau masih hidup?” Santara tampak terkejut. Dia tahu betapa mematikannya serangan yang dilancarkannya tadi. Tidak ada seorang pun di bawah Alam Mahasakti yang seharusnya bisa bertahan. Namun, Chandra ternyata masih bernapas.Chandra terbaring di tanah. Tubuhnya menggigil hebat, dan darah segar kembali keluar dari mulutnya, membasahi tanah di sekitarnya. “Chandra ....” Sonia yang melihat itu segera mencoba mendekatinya. Tetapi, sebelum sempat mencapai Chandra, kekuatan tak