Pantaskah dia disebut manusia jika sudah begini kelakuannya? Bahkan wajah rupawannya itu tidak bisa menutupi kebusukan yang dia lakukan. Sampai aku sendiri tidak percaya jika cinta di dalam jiwa pernah begitu membara untuknya.
Aku merebahkan punggung ke kursi plastik. Percuma rasanya memukul dan mencaci Bang Fuad berulang kali. Semuanya sudah terjadi dan tidak bisa ditarik kembali. Mungkin, memang sampai di sini jalan jodoh kami berdua, usai tanpa pernah ada kesempatan kedua.
“Ah, jadi kamu menuruti semua perkataan perempuan itu begitu saja?” Bang Bayu melanjutkan di sebelahku. Panggilannya terhadap Ida berubah menjadi perempuan itu. Mengenal Bang Bayu dan Bang Fuad, aku mulai belajar jika pria juga berbeda pola pikir dan cara mereka menghadapi sesuatu.
Bang Bayu menatap Bang Fuad dengan sorot mata yang sangat tajam. Rahangnya menjadi tegang, urat-urat leher bermunculan dan telinganya memerah.
<Setelah keluar dari pekerjaan dan pindah ke kost, perekonomianku memburuk. Bulan berikutnya aku tidak akan bisa membayar andai tidak bekerja dan mendapat penghasilan. Alhasil, aku menawarkan diri untuk lowongan pekerjaan mulai dari yang mapan hingga paruh waktu di restoran.Sulit sekali sampai rasanya seperti tercekik. Aku berjalan dari satu tempat ke tempat lain, kirim email sana-sini tanpa henti, hingga akhirnya dipanggil di sebuah kantor swasta yang merupakan distributor produk makanan dari Jakarta.Aku diterima bekerja sebagai asisten kepala administrasi. Atasanku punya dua pekerjaan sampai tidak bisa stay di kantor terus-menerus, karena itulah dia butuh pembantu yang bisa menyelesaikan sebagian pekerjaannya. Syukurlah, setidaknya ada harapan untuk bulanan. Tapi, hal yang membuatku gelisah adalah lokasi kantor baru terlalu dekat dengan rumah mertuaku.Bahkan, beberapa karyawannya ada yang
Tidak ingin menyulut keributan lain di kantor, aku memilih untuk meredam amarah dan berbicara lembut lebih dulu pada Pak Dama. Dia adalah atasan yang harus aku hormati, sangat tidak pantas andai Pak Dama ikut melihat semua sisi gelap dalam hidupku hanya karena kehadiran Bang Fuad di sini.“Pak, apa Bapak bisa duluan ke restorannya? Aku akan menyusul sebentar lagi.”Wajah Pak Dama terlihat kesal. Dia melirik ke arahku yang tingginya hanya sedada pria itu. Setelahnya, Pak Dama melihat Bang Fuad sebelum kemudian dia pergi lebih dulu menuju restoran yang berada di ujung jalan.Tempat terdekat sekaligus tempat terbaik untuk makan siang hanya restoran itu. Tidak banyak warung apa lagi restoran di wilayah ini, itulah yang menyebabkan banyak karyawan mendapat antaran makan siang atau membeli secara online.Sepeninggal Pak Dama, aku menatap nyalang Bang Fuad. Pria yang tidak berhenti mengganggu hi
Semenjak kejadian itu, Bang Fuad seakan menelan pil pahit. Dia tidak lagi muncul di depan wajahku untuk bertanya kesediaan agar rujuk dengannya, tidak juga berusaha mencari apa lagi meninggalkan pesan serta panggilan beruntun.Bang Fuad seolah sudah menerima semua yang terjadi di dalam hidupnya. Akibat dari kesalahan yang dia lakukan telah membuatnya terdepak ke titik rendah dan tidak ada yang bisa menariknya keluar selain dirinya sendiri.Aku cukup puas dengan sedikit pembalasan itu. Setidaknya, cukup untuk membuat Ida menerorku siang dan malam melalui pesan-pesan karena dirinya kehilangan calon korban yang lebih kaya dari Bang Bayu.[Sialan, kamu iri, huh? Apa maksudmu ngehancurin hubunganku? Salahmu sendiri tidak bisa jaga suami.]Pesan pertama Ida muncul di malam kedua. Aku sedang berbaring di kasur tipis sembari melihat-lihat sosmed untuk melepas penat seharian bekerja ketika dirinya mengirimkan pesan beruntun.[Perempuan lancang, apa maumu, hah? Sudah kubilang, ambil saja Bang B
Gelisah, harap-harap cemas aku berdiri di dalam kamar inap bayi Bang Bayu. Gadis kecil yang masih sesegukan itu hanya menatap kosong ke arahku.Lenganku terulur, menyodorkan susu formula mahal yang kata Bang Bayu adalah favoritnya. Minggu lalu saat ke supermarket, aku melihat sekaleng ukuran tiga kg saja mencapai satu juta rupiah.Bayi itu menolak, menggelengkan kepala ke kiri dan kanan. Lalu, tanda-tanda dirinya akan menangis lagi membuatku mundur dan enggan memaksa.“Cup, cup ... sabar, Sayang. Mau biskuit atau bubur?” tawarku.Bayi nan cantik itu mengerjapkan mata. Aku paham benar dirinya kelaparan, tapi seluruh tubuhnya sakit hingga selera makannya hilang.“Berat badannya turun banyak dalam dua hari, Kak.” Salah satu perawat tadi berbisik.Dia mengikutiku ke dalam ruang inap demi memastikan kondisi si kecil sebelum kembali ke ruang jaga. Wajahnya menggambarkan betapa cemas
“Kak, ini rumah sakit, tolong jangan ribut!” Perawat yang sedari tadi memantau Aisya berseru saat aku dan Ida terlibat cek cok.Tengah malam buta, saat seluruh manusia seharusnya beristirahat dalam tenang, aku dan Ida malah adu mulut dan tangan. Hampir saja aku menamparnya, menarik selendang mahal atau mungkin menendang lututnya.Di antara semua kata yang bisa diucapka, dia memilih kata sehina itu? Memangnya aku apa?“Tolong kerja samanya atau saya panggil sekuriti!” ancamnya lagi sembari membelalakkan mata pada kami berdua.Jelas-jelas di dalam ruang inap tersebut ada Aisya yang sedang sakit. Sungguh sulit membuatnya tidur dan makan, lalu setelah semua itu berhasil dilakukan aku dan Ida malah hampir membangunkannya.Seketika aku mundur. Mencoba mengalah lebih dulu sebelum semuanya terlambat. Ida juga melakukan hal yang sama dengan berpaling dariku dan lan
Akibat ucapan Bang Bayu tersebut, dia menerima tamparan dari Ayah Ida. Pria yang sedari tadi duduk mendengarkan pada akhirnya tidak tahan untuk tetap tenang.Pria itu menarik berat napas usai memberikan lima cap jari di pipi Bang Bayu. Tangannya gemetar, entah apa penyebabnya. Namun, manik matanya berkilau seperti menahan tangis.“Ja-jaga bicaramu, Bayu.”Bang Bayu mengusap pipi. Bibirnya sedikit meruncing, walau demikian tidak ada kata lanjutan yang diutarakannya pada orang tua Ida.“Mari kita pulang, Mak.” Ayah Ida berseru keras. Dia menyebut nama istrinya namun sorot matanya tidak bisa berpaling dari Bang Bayu. “Kita tidak usah kembali ke sini, tidak usah peduli lagi sama Bayu. Wajah kita sudah dicoreng, kita dihina.”“Baik, hati-hati di jalan.” Bang Bayu menyahut tenang.“Cepat!” pekiknya.
Aku mulai mengikuti proses perceraian resmi dari pengadilan dengan didampingi pengacara. Bang Fuad juga tidak lagi protes, patuh dan turut serta dalam setiap tahapan panjang yang akan memisahkan kami berdua.Hal sebaliknya terus terjadi pada Bang Bayu. Tuduhannya terhadap Ida kerap menerima bantahan, termasuk dari kedua mertuanya. Terkadang, dialah yang dituduh berkhianat, tidak memberi nafkah dengan baik hingga bersikap kasar pada Ida.Syukurnya, kami berdua sudah punya banyak bukti dan tidak ada yang direkayasa. Pemeriksaan di pengadilan juga sangat transparan hingga segalanya menjadi mudah.Tersisalah masa-masa akhir di mana kami akan bertemu di pengadilan untuk menerima putusan. Kondisi itu membuat segalanya menjadi canggung, untukku, Bang Fuad dan Bang Bayu. Sedang Ida, perempuan itu tidak pernah datang lagi, dia hanya diwakili orang tua dan pengacara yang disewa keluarganya.Siang itu, usai med
“Bisa bicara sebentar? Ke ruangan saya!” Pagi-pagi Pak Dama datang ke kantor dan langsung menghampiri meja kerjaku.Tidak sempat meletakkan tas atau melepas sweeter, pria itu sudah memanggil dengan mimik serius. Dia tidak menunggu sampai diriku berkata iya dan bergegas menuju ruang kerjanya yang masih tertutup rapat.Paham dengan apa yang dimaksud Pak Dama, aku beranjak meninggalkan kursi. Tatapan bingung dari beberapa karyawan lain juga tidak kuhiraukan, apa lagi bibir mereka yang mulai bergosip tentang alasan kenapa Pak Dama memanggilku ke ruangannya.Kuucap salam saat mendorong pintu ruangan Pak Dama. Pria itu sudah duduk di balik meja dengan sorot wajah serius dan sedikit gelisah.Dia berpura-pura tenang dengan membaca isi laporan yang kutinggalkan di mejanya kemarin, namun tangannya yang bermain-main dengan pulpen tidak bisa berbohong. Pak Dama khawatir, atau mungkin takut jika dirik