Tidak ingin menyulut keributan lain di kantor, aku memilih untuk meredam amarah dan berbicara lembut lebih dulu pada Pak Dama. Dia adalah atasan yang harus aku hormati, sangat tidak pantas andai Pak Dama ikut melihat semua sisi gelap dalam hidupku hanya karena kehadiran Bang Fuad di sini.
“Pak, apa Bapak bisa duluan ke restorannya? Aku akan menyusul sebentar lagi.”
Wajah Pak Dama terlihat kesal. Dia melirik ke arahku yang tingginya hanya sedada pria itu. Setelahnya, Pak Dama melihat Bang Fuad sebelum kemudian dia pergi lebih dulu menuju restoran yang berada di ujung jalan.
Tempat terdekat sekaligus tempat terbaik untuk makan siang hanya restoran itu. Tidak banyak warung apa lagi restoran di wilayah ini, itulah yang menyebabkan banyak karyawan mendapat antaran makan siang atau membeli secara online.
Sepeninggal Pak Dama, aku menatap nyalang Bang Fuad. Pria yang tidak berhenti mengganggu hi
Semenjak kejadian itu, Bang Fuad seakan menelan pil pahit. Dia tidak lagi muncul di depan wajahku untuk bertanya kesediaan agar rujuk dengannya, tidak juga berusaha mencari apa lagi meninggalkan pesan serta panggilan beruntun.Bang Fuad seolah sudah menerima semua yang terjadi di dalam hidupnya. Akibat dari kesalahan yang dia lakukan telah membuatnya terdepak ke titik rendah dan tidak ada yang bisa menariknya keluar selain dirinya sendiri.Aku cukup puas dengan sedikit pembalasan itu. Setidaknya, cukup untuk membuat Ida menerorku siang dan malam melalui pesan-pesan karena dirinya kehilangan calon korban yang lebih kaya dari Bang Bayu.[Sialan, kamu iri, huh? Apa maksudmu ngehancurin hubunganku? Salahmu sendiri tidak bisa jaga suami.]Pesan pertama Ida muncul di malam kedua. Aku sedang berbaring di kasur tipis sembari melihat-lihat sosmed untuk melepas penat seharian bekerja ketika dirinya mengirimkan pesan beruntun.[Perempuan lancang, apa maumu, hah? Sudah kubilang, ambil saja Bang B
Gelisah, harap-harap cemas aku berdiri di dalam kamar inap bayi Bang Bayu. Gadis kecil yang masih sesegukan itu hanya menatap kosong ke arahku.Lenganku terulur, menyodorkan susu formula mahal yang kata Bang Bayu adalah favoritnya. Minggu lalu saat ke supermarket, aku melihat sekaleng ukuran tiga kg saja mencapai satu juta rupiah.Bayi itu menolak, menggelengkan kepala ke kiri dan kanan. Lalu, tanda-tanda dirinya akan menangis lagi membuatku mundur dan enggan memaksa.“Cup, cup ... sabar, Sayang. Mau biskuit atau bubur?” tawarku.Bayi nan cantik itu mengerjapkan mata. Aku paham benar dirinya kelaparan, tapi seluruh tubuhnya sakit hingga selera makannya hilang.“Berat badannya turun banyak dalam dua hari, Kak.” Salah satu perawat tadi berbisik.Dia mengikutiku ke dalam ruang inap demi memastikan kondisi si kecil sebelum kembali ke ruang jaga. Wajahnya menggambarkan betapa cemas
“Kak, ini rumah sakit, tolong jangan ribut!” Perawat yang sedari tadi memantau Aisya berseru saat aku dan Ida terlibat cek cok.Tengah malam buta, saat seluruh manusia seharusnya beristirahat dalam tenang, aku dan Ida malah adu mulut dan tangan. Hampir saja aku menamparnya, menarik selendang mahal atau mungkin menendang lututnya.Di antara semua kata yang bisa diucapka, dia memilih kata sehina itu? Memangnya aku apa?“Tolong kerja samanya atau saya panggil sekuriti!” ancamnya lagi sembari membelalakkan mata pada kami berdua.Jelas-jelas di dalam ruang inap tersebut ada Aisya yang sedang sakit. Sungguh sulit membuatnya tidur dan makan, lalu setelah semua itu berhasil dilakukan aku dan Ida malah hampir membangunkannya.Seketika aku mundur. Mencoba mengalah lebih dulu sebelum semuanya terlambat. Ida juga melakukan hal yang sama dengan berpaling dariku dan lan
Akibat ucapan Bang Bayu tersebut, dia menerima tamparan dari Ayah Ida. Pria yang sedari tadi duduk mendengarkan pada akhirnya tidak tahan untuk tetap tenang.Pria itu menarik berat napas usai memberikan lima cap jari di pipi Bang Bayu. Tangannya gemetar, entah apa penyebabnya. Namun, manik matanya berkilau seperti menahan tangis.“Ja-jaga bicaramu, Bayu.”Bang Bayu mengusap pipi. Bibirnya sedikit meruncing, walau demikian tidak ada kata lanjutan yang diutarakannya pada orang tua Ida.“Mari kita pulang, Mak.” Ayah Ida berseru keras. Dia menyebut nama istrinya namun sorot matanya tidak bisa berpaling dari Bang Bayu. “Kita tidak usah kembali ke sini, tidak usah peduli lagi sama Bayu. Wajah kita sudah dicoreng, kita dihina.”“Baik, hati-hati di jalan.” Bang Bayu menyahut tenang.“Cepat!” pekiknya.
Aku mulai mengikuti proses perceraian resmi dari pengadilan dengan didampingi pengacara. Bang Fuad juga tidak lagi protes, patuh dan turut serta dalam setiap tahapan panjang yang akan memisahkan kami berdua.Hal sebaliknya terus terjadi pada Bang Bayu. Tuduhannya terhadap Ida kerap menerima bantahan, termasuk dari kedua mertuanya. Terkadang, dialah yang dituduh berkhianat, tidak memberi nafkah dengan baik hingga bersikap kasar pada Ida.Syukurnya, kami berdua sudah punya banyak bukti dan tidak ada yang direkayasa. Pemeriksaan di pengadilan juga sangat transparan hingga segalanya menjadi mudah.Tersisalah masa-masa akhir di mana kami akan bertemu di pengadilan untuk menerima putusan. Kondisi itu membuat segalanya menjadi canggung, untukku, Bang Fuad dan Bang Bayu. Sedang Ida, perempuan itu tidak pernah datang lagi, dia hanya diwakili orang tua dan pengacara yang disewa keluarganya.Siang itu, usai med
“Bisa bicara sebentar? Ke ruangan saya!” Pagi-pagi Pak Dama datang ke kantor dan langsung menghampiri meja kerjaku.Tidak sempat meletakkan tas atau melepas sweeter, pria itu sudah memanggil dengan mimik serius. Dia tidak menunggu sampai diriku berkata iya dan bergegas menuju ruang kerjanya yang masih tertutup rapat.Paham dengan apa yang dimaksud Pak Dama, aku beranjak meninggalkan kursi. Tatapan bingung dari beberapa karyawan lain juga tidak kuhiraukan, apa lagi bibir mereka yang mulai bergosip tentang alasan kenapa Pak Dama memanggilku ke ruangannya.Kuucap salam saat mendorong pintu ruangan Pak Dama. Pria itu sudah duduk di balik meja dengan sorot wajah serius dan sedikit gelisah.Dia berpura-pura tenang dengan membaca isi laporan yang kutinggalkan di mejanya kemarin, namun tangannya yang bermain-main dengan pulpen tidak bisa berbohong. Pak Dama khawatir, atau mungkin takut jika dirik
“Bisakah? Aku mohon ....” Nada bicaraku mengendur.Panik, bingung sekaligus malu. Aku telah menjadi pusat tontonan anak kost dan seluruh tetangga yang ada di gang ini. Mereka yang biasanya hanya terlihat saat pergi dan pulang bekerja, kini bisa kutemukan di depan rumah, memerhatikan kejadian yang berlangsung saat ini di depan mereka.“Banyak omong, minta tolong siapa kamu? Perempuan biadap!” Istri Pak Dama menyerangku.Dia mengambil gawai, merebut dan melihat nama yang tertera di layar. Bibirnya seketika tersungging, wajahnya menunjukkan betapa bengisnya dia terhadapku saat ini.“Lihat ini, Pa ... lihat ini! Perempuan yang Papa suka minta tolong sama orang lain. Papa kira, di dunia ini Papa akan jadi satu-satunya?” Istri Pak Dama berteriak.Alhasil, permasalahan yang menimpa kami semua terumbar. Beberapa orang mulai menggosipkanku, mencela dan
“Oh iya!” Bang Bayu kembali berujar pada Pak Dama dan istrinya.Dua orang yang hendak pergi usai membuat kehebohan itu seketika terdiam. Seolah-olah ada mesin pengontrol dari lidah Bang Bayu terhadap mereka, bahkan gerak tubuh keduanya serentak berpaling ke arah pria itu.Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan kebetulan unik ini. Bagaimana bisa istri Pak Dama adalah adik sepupu Bang Bayu dan itu berarti adik ipar Bang Bayulah yang menggodaku.Sekujur tubuh merinding hebat, seolah ada ribuan ulat yang menggerayangi badan. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Padahal dunia tidak sesempit yang dibayangkan.“Lain kali, jangan asal main hakim sendiri, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua untuk apa yang kalian lakukan hari ini. Sekarang, pergi dulu, urusan di sini akan kubereskan. Tapi, bukan berarti kalian bebas dari tanggungjawan serta ganti rugi,” perintah Bang Bayu sembari
Bab 51: Jembatan Perselingkuhan Suami dan Sahabatku “Ini Sayang, dimakan dulu es krimnya,” pintaku pada Aisya yang duduk dengan tenang. Dia mengayun-ayunkan kaki kecilnya yang menggantung dari kursi. Wajahnya masih bengkak akibat menangis, namun binar bahagia melihat semangkuk es krim di depannya tidak dapat disembunyikan. Aku juga mendorong semangkuk es krim lain untuk Ida. Perempuan itu menyukai rasa Chocomint sejak dulu, saat kusodorkan rasa yang sama wajah Ida sedikit terkejut. “Wah, apa ini?” ucapnya. Usai mendudukkan tubuh di kursi yang berlawanan dengan Ida, aku mencebik. “Apa lagi, kamu kan suka es krim rasa itu.” “Wah, sudah lama enggak, tuh! Lagian, duit suami siapa yang kamu pakai buat beliin aku es krim?” “Yang jelas bukan duit suamimu,” sahutku lagi. Ida tersenyum mengejek, dia memerhatikan diriku dari ujung kepala hingga kaki. “Branded semua, ya? Keren sekali sugar daddymu.” “Terima kasih.” “Lalu, anak siapa ini? Tidak mungkin anakmu,” ucap Ida sembari memerhati
Empat Tahun Kemudian “Mama, kenapa Aisya harus sekolah? Kan bisa di rumah sama Mama dan Bunda Wardah,” keluh Aisya padaku. Aku menggenggam erat tangannya, mengecup wajah bening Aisya beberapa kali. Gadis kecil itu masih duduk di jok mobil dengan seatbelt melingkari badannya. “Mama, di sekolah ada anak yang badannya lebih besar dari aku. Apa dia sudah dewasa, Ma?” Aisya melanjutkan keluhannya seperti biasa. Padahal, baru berumur lima tahun tapi bicaranya sudah selancar ini. Dia juga pandai mengekspresikan diri,mengajak orang lain mengobrol sampai beradaptasi di lingkungan baru. “Mama, nanti siapa yang jemput Aisya?” keluhnya. “Nanti Mama yang jemput, Sayang. Pulangnya kita mampir ke toko roti kesukaan Ayah dan Bunda Wardah, lalu ke toko es krim kesukaan Aisya.” Aku menjelaskannya selembut mungkin. Netra Aisya b
“Ah, ti-tidak usah, Bang. Nanti aku coba cari kost saja, terus belajar buka usaha apa gitu di sana,” elakku pada Bang Bayu.Wajah ini sudah seperti kepiting rebus. Malu sekaligus menggelitik.Buru-buru aku beristigfar karena memiliki pemikiran berlebihan saat Bang Bayu dan Wardah baru saja terluka. Mereka sudah pasti tidak punya waktu untuk memikirkan hal lain.“Baiklah, nanti butuh bantuan, kabari aku dan Wardah.” Bang Bayu menyelesaikan pembicaraan tentang aku.Malam itu, kali terakhir kami duduk bertiga dan mengobrol. Setelahnya, bahkan aku tidak pernah melihat wajah Bang Bayu atau Wardah meski berdiri di pinggir jalan sembari menunggu bus Transkutaraja.Perjalanan kami kembali ke titik yang berbeda dalam permulaan yang berbeda pula. Aku hidup di sebuah kontrakan mungil yang dibayarkan oleh Bang Bayu selama satu tahun ke depan, sedang Wardah dan pria it
“Apa kabar mereka di sana?” lirihku pada Bang Bayu.Pagi berganti malam dan Bang Bayu belum pulang. Dia masih tinggal di rumah mamaknya tanpa alasan yang jelas.Tidak berani kuutarakan tanya tentang hal itu, sebab aku juga tamu di sini. Bukankah kurang pantas andai tamu bertanya kenapa pemilik rumah masih tinggal?Bang Bayu yang sedang mengunyah makan malamnya menoleh ke arahku. Di meja makan kecil ini tersisa kami berdua, sebab Wardah menolak makan malam demi menyukseskan dietnya. Sedang Mamak Bang Bayu makan di kamar dengan ditemani Wardah serta Aisya.Pria itu mengernyit, alisnya naik sedikit. Wajahnya terlihat segar dan sedikit lucu sebab rambutnya acak-acakkan bekas basuhan handuk. Pria itu mandi sore tadi setelah berlama-lama di pantai sendirian.“Kamu ingin tahu?”Kuanggukkan kepala pelan, lalu mengambil kembali sendok dan menyu
Seminggu sejak mengendarai motor bersama Wardah ke pasar, aku mulai menjalani kehidupan yang nyaman di desa ini. Tidak banyak kebisingan, tidak ada tetangga yang kepo kiri dan kanan karena memang rumahnya berjauhan.Segalanya tenteram, aman dan menyenangkan. Aku jadi bagian baru dalam hidup Wardah dan Mamak Bang Bayu.Kami sering ke pantai bertiga, duduk di sana sampai matahari tenggelam atau menunggu matahari terbit. Tapi, dibanding aku yang hanya duduk, Mamak Bang Bayu dan Wardah sering terlihat bersedih.Mereka kerap kali memanjatkan doa, melantunkan harap untuk keluarga yang sudah pergi dibawa Tsunami. Tidak ada jejaknya, tidak ada beritanya meski belasan tahun sudah berlalu.Seperti hari ini misalnya, Mamak Bang Bayu meneteskan air mata meski bibirnya membisu. Sedang Wardah mengusap dada, menahan tangisnya.Aku yakin benar, ada rindu yang teramat dalam untuk keluarga mereka.
Sejak lambaian tangan dan senyum Bang Bayu sore itu, aku resmi tinggal di rumah orang tuanya. Bang Bayu menitipkanku pada Wardah, meminta agar gadis muda itu menjadi teman sekaligus keluarga baru untukku.Bang Bayu pergi, kukira tinggal di sana akan jadi canggung. Nyatanya, Wardah mendobrak habis dinding yang kubangun.Kami jadi teman hanya dalam satu malam. Menonton tv berdua, makan camilan, dan merencanakan kegiatan untuk besok.“Kak, Kakak tinggal aja di sini buat selamanya. Jangan keluar dari sini, nanti aku enggak ada temennya lagi. Bang Bayu enggak pernah bawa siapa pun ke sini selain Kak Ida, si dokter itu sama Kakak.” Wardah nyerocos tanpa mengerling ke arahku.Dia sibuk ngemil dengan chips yang dibawakan oleh Bang Bayu tadi. Sedangkan mamak Bang Bayu disuguhi buah-buahan yang sudah dipotong olehnya. Perempuan itu tidak banyak bicara. Dia duduk di sofa dan memandang hampa ke arah tv.Dari sorot mata
“Mamak baik-baik saja, kemarin dokternya baru berkunjung, Bang.” Gadis muda itu bertutur sangat lembut.Dia mendorong pintu lebar hingga seisi ruangan rumah kayu terlihat. Dalamnya sangat luas, hanya diisi beberapa perabotan yang sebenarnya sangat bagus dan terbaru.Aku takjub, juga terkesima. Sebab, rumah yang kini tersaji di depan mata serupa dengan rumah yang menjadi impian kedua orang tuaku.Almarhumah mamak mendambakan sebuah hunian sederhana dari kayu yang kokoh, dipernis tanpa menghilangkan guratan asli dari kayu. Tapi, keduanya berpulang tanpa sempat mewujudkan impian yang sederhana itu.Aku menahan diri untuk tidak meluapkan perasaan. Rindu kepada kedua orang tua menyebabkan air mata mulai menggenang.“Bang Bayu ajak siapa?” tutur sang gadis muda seraya melirikku. Dia memilih memakai jilbab kurung usai menyadari ada hadirku di belakang Bang Bayu. “Bukan Kak Ida ternyata. Yah, suda
Pagi menjelang saat aku terbangun dari tidur. Seluruh tubuh terasa remuk, wajah sayu dan mata perih luar biasa.Semalaman suntuk aku menangis sendirian di kamar. Merenungi keadaan yang kian rumit meski dewasa telah lama datang.Dulu, mengira jika dewasa dan sudah bekerja, aku bisa melewati semua hal dengan mudah. Tidak perlu lagi khawatir soal uang, tempat tinggal atau perlakuan orang lain.Nyatanya ....“Astagfirullah, Ya Allah.” Aku meratap, memukuli dada yang terasa begitu sesak.Kupandangi langit melalui jendela, sudah terang. Aku tidak terbangun lebih cepat hingga waktu salat Subuh terlewat.“Hari ini akan baik-baik saja,” batinku sembari bangkit dari pembaringan.Seluruh sendiku ngilu dan kepala sakit luar biasa. Pandanganku juga buram karena tertidur dalam keadaan menangis tanpa henti.Hari ini aku harus menjalani awal baru lagi, memulai semuanya entah dar
“Oh iya!” Bang Bayu kembali berujar pada Pak Dama dan istrinya.Dua orang yang hendak pergi usai membuat kehebohan itu seketika terdiam. Seolah-olah ada mesin pengontrol dari lidah Bang Bayu terhadap mereka, bahkan gerak tubuh keduanya serentak berpaling ke arah pria itu.Sejujurnya, aku masih tidak percaya dengan kebetulan unik ini. Bagaimana bisa istri Pak Dama adalah adik sepupu Bang Bayu dan itu berarti adik ipar Bang Bayulah yang menggodaku.Sekujur tubuh merinding hebat, seolah ada ribuan ulat yang menggerayangi badan. Bagaimana mungkin hal ini terjadi? Padahal dunia tidak sesempit yang dibayangkan.“Lain kali, jangan asal main hakim sendiri, mungkin tidak akan ada kesempatan kedua untuk apa yang kalian lakukan hari ini. Sekarang, pergi dulu, urusan di sini akan kubereskan. Tapi, bukan berarti kalian bebas dari tanggungjawan serta ganti rugi,” perintah Bang Bayu sembari