~~~~~"Adrian ... jangan lari kau!" teriak seorang bocah bersurai hitam memanggil seorang bocah lainnya yang telah berlari lebih dahulu.Sosok bocah bernama Adrian itu jatuh terduduk usai kakinya tersandung sebuah batu. Ia terjerembab hingga membuat lututnya terluka."Apa kubilang jangan lari seperti itu!" tegur bocah berusia 6 tahun yang tadi tertinggal di belakang. Ia langsung menghampiri saudaranya yang menangis kesakitan.Netra biru laut itu saling menatap lama kemudian salah satu netra menakjubkan itu kembali berinang air mata. "Maafkan aku, George," mohonnya dengan terisak.Bocah bernama George itu lantas ikut berjongkok. Naluri saudara membuatnya ikut iba melihat saudara tirinya itu terluka. "Apa ini sakit?" tanya bocah kecil nan polos itu menepuk debu di sekitar luka yang tercetak pada lutut Adrian.Adrian tanpa ragu mengangguk cepat. George bergegeas membantu saudaranya itu bangkit. Ia memapah Adrian membawanya ke sebuah kursi kayu di bawah pohon yang rindang."Tunggu di sin
Adrian mengucek matanya berulang kali memastikan apa yang ia lihat tidaklah salah."Kau tidak salah, Kak, aku jiwa Pangeran Adrian."Mendengar hal itu Adrian terkejut bukan main. Ia mendadak mundur menjauh rasanya seperti masih berada di alam mimpi."Kau jiwa tubuh ini? Apa yang kau lakukan? Apa kau akan ... "Ucapan Adrian menggantung menatap sang pangeran waspada.Wajah ramah jiwa Pangeran Adrian tak berubah sedikitpun. Ia justru terlihat tersenyum tulus. "Malam nanti selamatkan Permaisuri Audreya jika kau ingin mengubah takdirku."Ekspresi wajah Adrian berubah cengo. Ia masih tak paham mengapa jiwa dari tubuh yang ia tempati justru hadir menyapanya. "Apa maksudmu? Kau ingin menempati tubuh ini kembali? Silahkan ambil alih, aku ingin kembali ke tubuh asalku," ujar Adrian mendekat kepada jiwa pangeran yang di sekeliling tubuhnya dilingkupi cahaya.Pangeran Adrian terlihat menggeleng. "Takdir kita telah ditukar. Tak ada pilihan lain, jika kau tak ingin berakhir tragis lakukanlah hal
Derap langkah kuda kian terdengar kencang ditengah keheningan malam. Tak lupa pula suara pacuan dan ringihan kuda menemani perjalanan Adrian menembus hawa dingin malam itu.Jarak yang ia tempuh sudah cukup jauh, namun jejak sang ayah belum juga terlihat. "Haiss ... kenapa kaisar itu cepat sekali menghilang sih," gerutunya mulai patah harapan.Saat Adrian menghentikan laju kudanya, ia mendengar suara kuda dari arah kanannya. Seketika itu juga ia menajamkan pengelihatannya."Iya itu kaisar!!" seru Adrian senang bukan kepalang.Ia bergegas mengubah arah laju kudanya ke kanan menyusul laju kuda sang kaisar."YANG MULIA KAISAR, TUNGGU!!" teriak Adrian sekuat tenaga agar suaranya mampu mengalahkan tapakan kuda yang terdengar kencang.Tanpa di sangka laju kuda ayahnya melambat. Ia juga sesekali menoleh ke belakang mencari sumber suara."Yang mulia ... " panggil Adrian sekali lagi begitu jarak mereka telah dekat."Adrian?" gumam Vernon merasa tak menyangka melihat salah anaknya di sini. "AP
Seseorang berpakaian serba hitam mengendap-endap menyelinap masuk ketika memastikan perhatian semua orang sedang teralihkan. Betapa hebatnya ia ketika berhasil menerobos pasukan istana yang berjaga hanya dalam hitungan detik."Emm ti ... tidak aku hanya terbangun dan mendengar keributan di luar."Seseorang yang hampir seluruhnya tertutupi kain hitam itu sempat melirik sejenak ke arah wanita yang tengah berbincang itu. Entah ia berkomplotan dengan wanita itu atau tidak, yang pasti berkat kehadirannya atensi seluruh penjaga sempat tertuju kepadanya sehingga membuatnya mudah melanjutkan aksinya.Ia melangkah dengan gampangnya tanpa suara memanjat sebuah jendela yang memiliki celah. Sepertinya ia telah memperhitungkan sedemikian rupa dan menghapal beberapa bagian bangunan yang berpotensi memudahkannya untuk masuk.Sayangnya tiba-tiba terdapat dua prajurit yang mendengar pergerakannya. Prajurit kerajaan itu bergegas menyergap sosok misterius itu. Namun kedua prajurit itu kalah gesit dengan
Adrian dan Vernon saling terdiam selama diperjalanan. Mereka terfokus memacu kuda untuk segera sampai di istana. Akhirnya gerbang istana terlihat, namun penjagaan tidak seperti biasa. Di luar gerbang hanya dijaga oleh dua prajurit, padahal seharusnya gerbang luar dijaga lebih dari empat prajurit. "Ada apa ini mengapa hanya kalian berdua yang berjaga di sini?!" ucap Vernon marah mempertanyakan keamanan istana yang tak seperti biasanya. "Hormat kami kepada Yang Mulia Kaisar. Panglima Terrson memanggil banyak prajurit untuk berjaga di kediaman Yang Mulia Permaisuri, Yang Mulia." Perasaan Vernon semakin berkecambuk. Tanpa bertanya lagi ia segera memacu kudanya memasuki istana. Adrian yang melihat itu pun bergerak menyusul. "Sepertinya Paman Parveen mempercayai ucapanku. Syukurlah." "TUTUP GERBANG ISTANA DAN JAGA PINTU KELUAR MASUK ISTANA!!" Teriakan keras memaksa kedua kuda tersebut berhenti. Tak berbeda dengan ekspresi Adrian, Vernon pun memasang wajah penuh keterkejutan. Namun
Adrian memandang Zilan dengan serius. Raut wajahnya kentara ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. "Apakah kau yakin?" tanyanya mempertanyakan Zilan yang menangkap terduga tersangka dari kasus semalam. "Ya, mengapa kau tidak mempercayaiku, Pangeran?" Adrian menggeleng kuat begitu Zilano berbalik menyerang sebuah pertanyaan. Ia terlihat ragu untuk mengutarakan isi pikirannya. "Emmm bukannya aku meragukanmu, tapi entah mengapa terasa janggal bagiku." Kedua kening ayah dan anak itu berkedut. "Apa yang janggal, Pangeran? Apa sebenarnya anda tahu orang yang anda dengar pembicaraannya itu bukan orang ini?" sahut Parveen merasa bingung. Di tengah perbincangan serius itu, terdengar keributan dari arah depan ruangan. Tak lama kemudian suara keras menggelegar memasuki ruangan. Dari ambang pintu muncullah sosok putera mahkota. "DI MANA BAJINGAN ITU? AKAN KUBUNUH IA SEKARANG!!" teriak George kesetanan memasuki ruangan tempat pelaku ditahan. George menoleh sejenak kepada ketiga orang yang t
"SIALAN!!" "Bagaimana mereka semua bisa memprediksi penyerangan ini?!" Wanita bergaun merah itu berjalan ke sana ke mari menggigiti kukunya cemas. Wajahnya mendadak merah dengan guratan kecemasan. "Tunggu ... jika ini adalah perintah perdana menteri, apakah ia sudah mengetahui sejak awal? Tapi bagaimana bisa?!" gumamnya terus bermonolog tak karuan. Tok ... tok ... "PERGILAH AKU SEDANG TAK INGIN DIGANGGU!" Mendengar penolakan dari sang pemilik kamar, sosok pelayan yang baru saja mengetuk pintu itu lantas berujar, "ini Selly, Yang Mulia, saya membawakan informasi yang Selir Agung butuhkan." Begitu mendengar bahwa itu adalah pelayannya, akhirnya pintu peraduan itu terbuka. Jirea dengan wajah angkuhnya menyambut kedatangan pelayan pribadinya itu. "Masuk." Kini Jirea terduduk di kursi rias sedangkan Selly berdiri tertunduk di belakangnya. "Katakan!" perintah Jirea tak ingin bertele-tele. Selly mendongakkan wajahnya menatap punggung tuannya. "Sosok penyerang semalam sudah terta
"Gagal?!" Gebrakan menggema ke seluruh istana. Para bawahan yang berada di ruangan itu pun bergegas berlutut bahkan bersujud di depan pria bermahkota. "Kami pantas mendapatkan hukuman, Baginda," sahut kepala pasukan yang sedari tadi mewakili berbicara. "Bodoh! Memilih pembunuh bayaran saja kau tidak becus, kau memang pantas untuk mati!!" teriak sang raja dengan murka. Di tengah amarah sang raja yang tengah menggebu, tiba-tiba sang putera mahkota bergerak memberi hormat. "Mohon maaf menyela, Ayahanda, izinkan saya bertanya lebih lanjut kepada Jenderal Lex." "Huh! Setelah kau puas menanyainya, terserah padamu akan kau apakan jenderal tak becus ini," ucapnya sembari memijat pelipis yang berdenyut. William bergegas menuju kediamannya menyerahkan masalah yang baru saja terjadi kepada anak kepercayaannya. Oliver bergerak memutar tubuhnya menghadap sosok Jenderal Lex yang masih bersujud di bawahnya. "Bangunlah, Jenderal, aku ingin mendengar jawaban dari beberapa pertanyaanku." Men
Di dalam ruangan yang begitu gelap, Adrian berdiam diri. Ia masih terhenyak dengan kejadian hari ini. Dimulai dengan sosok Kimberly yang tiba-tiba muncul di sini sampai kematian permaisuri yang begitu mendadak. Pangeran itu mengacak rambutnya frustasi. Ia telah buntu memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi. Kematian permaisuri menjadi alarm bahaya untuknya. "Aku harus menemui Jirea karena seharusnya dialah dalang dibalik kematian permaisuri," ucap Adrian dengan suara parau. Dengan sisa-sisa harapan, ia keluar dari peraduannya untuk menemui sosok tersangka yang ia yakini. Ketika ia sampai di istana utama, banyak prajurit yang korban dari penyerangan yang telah tiba di istana. Adrian menarik lengan seorang prajurit yang sedang berjalan cepat. "Katakan, apa permaisuri telah tiba?" tanya Adrian menodong keras. Prajurit itu nampak takut melihat sosok Adrian yang berbeda. Penampilan Adrian memang terbilang kacau, namun tatapan tajam itu membuat siapapun tak mampu berkutik.
"Nyonya, apakah nyonya sudah dengar mengenai kabar permaisuri?" Jirea yang tengah sibuk menyulam tiba-tiba menghentikan kegiatannya begitu mendengar satu nama yang menarik perhatiannya akhir-akhir ini. Alisnya terangkat satu memandang penuh tanya. Ia lantas meletakkan sulamanya kemudian mengode Roger untuk mendekat Roger dengan segera menghampiri Jirea lebih dekat lantas membisikan sesuatu. "Rombongan permaisuri telah diserang." Sebaris kalimat itu membuat wajah Jirea seketika sumringah. Senyuman miring segera terbit dari bibir ranumnya. "Muez menangkap umpannya?" responnya dengan sebuah pertanyaam ambigu. Menangkap apa yang Jirea maksud Roger lantas mengangguk. "Kudengar seluruh prajurit terbantai dan itu artinya permaisuri telah tewas," balas pria tersebut berbinar senang. Wajah puas dan angkuh seketika terbit. Jirea bangkit dari duduknya lantas berjalan menuju nakas di samping tempat tidurnya. "Kau memang bisa diandalkan," ucapnya lantas melemparkan sebuah kantung berwarn
Kegaduhan di dalam istana tidak terkendali. Banyak para pelayan dan prajurit yang berlarian. Sama halnya dengan sosok jenderal gagah yang melangkahkan kakinya lebar-lebar. Dari raut wajahnya yang tegas tulang rahangnya nampak begitu menonjol seolah tengah memendam amarah. "Panglima Agung!" teriaknya dengan keras begitu memasuki sebuah ruangan.Sang empu yang tadinya tengah memejamkan mata tersentak kaget."APA APAAN KAU INI!" teriak Roger berbalik marah.Terrson menggeram marah. "Disaat kegaduhan yang terjadi bagaimana bisa kau justru tidur?" tanyanya dengan sarkas.Raut lugu ditunjukkan oleh Roger. "Apa maksudmu?" "Rombongan permaisuri di serang—""APA?!" Belum usai Terrson menjelaskan, Roger sudah terlebih dahulu menyela. Nyatanya jabatan tak menjamin pengetahuan seseorang. Panglima tertinggi itu ternyata tak tahu menahu mengenai kejadian yang menimpa permaisuri. "Aku perintahkan kau menghadap kaisar. Aku akan mengurus sisanya," ucap Roger cepat. Ia bergegas menggunakan pakaian
Bughh Begitu melihat lawannya lengah, sosok bertudung hitam itu segera menendang perut mangsa di depannya. Adrian yang mendapat serangan kejutan itu terdorong mundur. Ia lantas terbatuk dan merasakan nyeri yang sangat pada perutnya. "Ahh sial aku lupa masih memiliki cidera," gumam Adrian lantas meludahkan air liur bercampur darah.Mata elang sang pangeran menyorot tajam."Hey, Kimberly! Berhentilah bercanda. Aku tak mengerti sejak kapan kau menguasai bela diri," ucap Adrian masih tidak bisa melihat situasi yang terjadi.Wanita dibalik tudung itu sempat menatap pangeran heran. Namun tak berlangsung lama begitu melihat Adrian mendekat, itu segera mengayunkan bilah pisaunya diarahkan ke tubuh lawan. Namun Adrian tidak lagi membiarkan lawannya menghajarnya, dengan sigap ia membaca gerakan tangan wanita itu kemudian menangkapnya. "Hey! Kim, ini kakak! Apa kau tidak mengenaliku?" seru Adrian bersuara keras tepat di depan telinga begitu berhasil mengunci pergerakan sosok perempuan yang i
"Hah?! Apa yang baru saja terjadi?"Pangeran segera bangkit dari tempat tidurnya. Ia berdiri di depan cermin lantas terpaku menyaksikan bayangannya sendiri. Ia terbelalak menyaksikan pantulan cermin yang memperlihatkan postur tubuhnya yang berusia 25 tahun. Masih dengan kemeja putih yang lusuh dan tatanan rambut berantakan. Sayangnya begitu ia mengerjapkan mata, pantulan cermin berganti menjadi sosok pemuda berpakaian kerajaan dan berusia 18 tahun."Apa aku tadi sedang bermimpi?"Tangannya seketika menyentuh dadanya yang beberapa saat lalu terasa sakit.Matanya menyorot lurus bola matanya yang terpantul dalam cermin."Tidak, itu bukan mimpi. Itu adalah ... prekognisi," bisik Adrian lantas secepat kilat berlari menuju pintu peraduannya. Prekognisi merupakan bagian dari ilmu parapsikologi yang membahas mengenai kemampuan seseorang untuk melihat atau memprediksi gambaran masa depan. Biasanya hal itu datang melalui media mimpi prekognitif.Knop pintu berusaha Adrian putar, namun pintu t
Semburat jingga terlihat di ufuk barat pertanda hari sebentar lagi berganti malam. Angin bertiup lembut menenangkan jiwa. Namun berbeda dengan sosok pria yang sedari tadi berjalan ke sana ke mari di depan sebuah pintu yang dijaga ketat oleh prajurit."Ayolah pangeran keinginanmu sudah ditolak, pasti keputusan permaisuri tak akan berubah.""Kita tidak akan tau sebelum mencobanya hingga detik terakhir," ucap sang pangeran dengan sok bijak padahal dalam hatinya terbesit rasa takut dan putus asa.Ceklek ...Pintu itu terbuka lebar lantas muncul sesosok wanita bergaun tertutup dengan dua dayang di belakangnya."Heira, kau pastikan jangan ada barang yang tertinggal," ucap sang permaisuri lantas kembali berjalan tanpa mengindahkan dua pemuda yang menantinya di depan pintu."Permaisuri ... " panggil Adrian terus mengikuti jalan sang wanita. Beberapa kali ia memanggil namun wanita itu tak menggubris. Adrian tak kehabisan akal, ia mencegat jalan sang permaisuri. Namun tetap sang permaisuri me
Setelah seharian penuh, akhirnya rombongan Putri Laveena tiba di kerajaan. Ketika kereta kuda terhenti, sang putri bergegas bersiap keluar. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan banyak massa yang ada di depan gerbang istana. "Ada apa ini?" tanya Laveena kepada prajurit yang membukakan pintu. "Izin menjawab, Tuan Putri, semenjak dekrit kaisar diumumkan, entah mengapa justru banyak pihak yang tidak puas. Beberap saat lalu para cendikiawan Deoreva mengirimkan banyak petisi," jawab prajurit itu sembari membantu Laveen menuruni kereta kuda. "KAKAK?!" Laveena kenal betul dengan suara itu, ya siapa lagi kalau bukan adik satu-satunya itu. "Akhirnya kakak pulang! Aku menunggumu sedari pagi tau, Kak. Kau membuatku khawatir kupikir kau pulang kemarin," ujar Rhiannon begitu sampai di depan kakaknya langsung memeluknya erat. Melihat raut lelah kakaknya, Rhiannon segera menggandeng kakaknya untuk masuk. "Aku tidak sabar mendengar apa yang kau lakukan di sana, Kak," kata Rhiannon kemudian t
Zilano berjalan menyusuri lorong dengan wajah dingin. Ia terlihat tergesa menuju kesuatu tempat. Meskipun matanya nampak terfokus pada jalanan lorong, nyatanya pikirannya melalang buana kepada ucapan ayahnya benerapa saat lalu. ^^^ "Apa yang terjadi? Katakan cepat!" Zilano yang masih dilanda kepanikan berusaha menghindar. Namun sayangnya tak bisa, ayahnya telah menutup ruang geraknya. Tadi ketika ia menggendong George menuju pavilium tabib, tanpa sengaja bertemu Parveen yang sedang berjalan dari arah berlawanan pada lorong jalan yang menuju pavilium tabib. Sehingga usai keluar dari pavilium tabib dengan buru-buru, Parveen menyeret anaknya untuk diinterogasi. "Mengapa kau hanya diam saja, Zilan!" bentak Parveen kehilangan kesabaran. Pada akhirnya Zilano menyerah. Ia membenturkan tubuhnya pada tembok. "Aku tak tahu ayah! Putra mahkota dan pangeran hampir saja saling membunuh dan aku harus segera mencari keberadaan pangeran. Jadi kumohon menyingkirlah!" Parveen terbelalak
Wewangian tumbuhan herbal seketika menyeruak di indera penciuman Adrian. Matanya yang terasa berat perlahan mulai dapat terbuka. Begitu kesadarannya kembali, tubuhnya terasa kaku dengan rasa nyeri yang berdenyut di mana-mana. "Aishhh," ringisnya mendadak perutnya terasa sakit bukan main. Tangannya sontak meraba dan ia menemukan sebuah kain yang membungkus keseluruhan perutnya. Karena kesulitan mengangkat tubuhnya, ia melirik perutnya yang ternyata terdapat kasa putih membalut lukanya. "Pavilium tabib? Bagaimana aku bisa sampai di sini?" tanyanya dengan suara parau. Tak berapa lama terdengar langkah kaki memasuki ruangannya. Netra birunya terpaku melihat seorang wanita yang tiba-tiba berhenti di ambang pintu. Teringat kejadian beberapa saat lalu, Adrian mengalihkan pandangannya ke arah lain seolah tak ingin berkontak mata lagi dengannya. "Pangeran .... " Adrian tak menggubris, ia berlagak memejamkan mata kembali. Namun ketika sebuah sentuhan hangat terasa pada punggung tangannya