Danau Zurich terbentang dengan begitu luasnya. Airnya yang jernih memantulkan warna langit biru, menambah kesan menakjubkan di tempat tersebut."Apa yang kita lakukan di sini?" tanya Esmee pada Romain yang mengajaknya ke tempat itu barusan."Kita akan berlayar," pungkas Romain. Pria itu mengedikkan dagu ke arah yacht yang berdiri dengan tangguh di sisi danau Zurich. Terlihat begitu gagah dan menakjubkan. "Itu adalah kapal pesiar milikku. Namanya Fleur, yang artinya adalah bunga. Kamu tahu mengapa aku menamainya demikian?" Romain menoleh pada Esmee saat bertanya.Esmee menggeleng pelan. "Apa itu?"Seulas senyum Romain terbit. "Karena ibuku dulu sangat menyukai bunga. Itulah makanya aku memberi nama kapal pesiar ini Fleur, bunga."Esme menatap kekasihnya dengan intens. Melihat betapa besar kasih sayang yang lelaki itu miliki untuk ibunya. "Kamu pasti sangat menyayangi ibumu," komentar Esmee. Masih menatap Romain lurus-lurus.Romain mengangguk pelan. Tersenyum pada Esmee. "Ya. Tentu aku
Esmee bisa melihat sebuah ruangan berukuran tidak terlalu besar seperti ruang bersantai. Tapi yang membuat wanita itu terpaku adalah dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan di dalam danau yang sangat indah. "Ruangan ini indah sekali, Romain," puji Esmee melangkah masuk. Wanita itu berhenti melangkah di depan dinding kaca itu. Dia bisa melihat ikan-ikan dalam berbagai jenis dan ukuran berenang di hadapannya. Romain ikut melangkah masuk dan memeluk sang kekasih dari belakang. Esmee menyandarkan kepalanya dengan manja ke dada pria itu. “Ini adalah tempat favoritku. Melihat ikan yang berenang kesana kemari menciptakan sensasi menyenangkan.” Romain menyandarkan dagunya di bahu sang kekasih.“Dan aku bisa tahu alasannya saat melihatnya sendiri. Jadi kita akan benar-benar berlayar? Aku bahkan belum mengemasi barang-barangku.” Esmee melepaskan tangan sang kekasih dan berbalik menatap pria itu.Romain mengulurkan tangannya untuk menyentuh pipi wanita itu. “Kamu tidak perlu mencemaskan
Max duduk bersandar di punggung kursi mobil. Dia merasa seakan tali yang mengikat dirinya terlepas saat perceraiannya dengan Esmee berakhir. "Max, aku harus memberitahumu jika besok aku akan tidak akan bekerja." Altherr yang sedang mengendarai mobil melirik sekilas ke arah Max melalui kaca dalam mobil. Max menegakkan tubuhnya dan menatap ke arah sang sekretarisnya. "Apakah kamu akan pergi berkencan dengan Aloody?" tanya Max. Altherr mendengus mendengar pertanyaan sahabatnya. "Ayolah, Max! Apakah aku pernah melalaikan pekerjaanku demi Loody?"Max menganggukkan kepalanya. "Pernah, minggu lalu. Aku masih ingat benar kamu izin demi kekasihmu."Altherr menghela nafas berat. "Itu pengecualian, Max. Itu karena Aloody sakit di rumah sakit."Max terkekeh melihat sahabatnya kesal. "Baiklah, kamu bisa izin besok. Memang apa yang akan kamu lakukan besok? Kamu tidak bermaksud untuk meninggalkanku bukan?""Jika aku mau meninggalkanmu, aku sudah melakukannya sejak dulu, Max. Alasanku tidak pergi
Orlena menepuk dahinya karena firasatnya tepat sasaran. Max tidak kunjung turun untuk makan malam karena kepribadiannya sudah berubah. Dan sekarang yang menguasai tubuh pria itu adalah Kurt.Wanita itu melangkah menghampiri pria itu. Kemudian dia duduk di tepi ranjang mengamati buku yang dipegang oleh Kurt. Buku itu adalah novel fiksi criminal karya Blake Morgan. “Apakah kamu tidak merasa lapar, Kurt?” tanya Orlena.Pria itu menggelengkan kepalanya. “Tidak, aku sama sekali tidak lapar.”Kamu memang tidak lapar. Tapi tubuh Max yang lapar. Orlena mendengus kesal dalam hati.“Aku tidak tahu kamu membaca fiksi criminal.” Orlena menunjuk ke arah buku yang dipegang oleh Kurt.Pria itu sedikit menutup bukunya untuk melihat cover buku yang dipegang olehnya. Terlihat buku dengan judul ‘Thirst’ dan nama pengarang tertera di cover buku itu.“Kamu tahu buku ini?” tatapan Kurt beralih pada Orlena.Wanita itu menganggukkan kepalanya. “Ya, aku pernah membacanya sedikit. Itu juga karena seorang tema
Altherr duduk di restoran kecil yang ada di Jenewa. Beberapa menit yang lalu dia baru saja sampai di kota itu. Dia mengangkat tangan kirinya dan melihat ke arah jam tangan yang menunjukkan nyari tengah hari. Seharusnya seseorang yang akan ditemuinya sudah datang. Altherr mengambil cangkir kopi hitam yang dipesannya. Menyesapnya sedikit sebelum akhirnya meletakkan kembali cangkir itu ke atas piring kecil. Saat itulah Altherr bisa mendengar suara pintu restoran yang terbuka. Altherr menoleh dan bisa melihat seorang pria tua berjalan masuk. Meskipun rambutnya sudah beruban dan wajahnya mulai menunjukkan keriput, tapi pria itu masih tampak bugar. Pria itu menyusuri isi restoran itu dengan tatapannya. Kemudian perhatiannya tertumbuk pada Altherr. Lalu pria itu berjalan menghampirinya.Altherr berdiri menyambut pria itu. “Apakah Anda adalah Mr. Charles Ulrich?” Pria berusia tujuh puluhan itu mengulurkan tangannya ke arah Altherr. “Benar, Mr. Caspari. Senang bertemu dengan Anda.”Altherr
13 tahun yang laluSeorang pemuda berusia tujuh belas tahun baru saja pulang dari sekolah. Dia berjalan menyusuri jalanan kecil menuju rumahnya. laki-laki itu memainkan batu kecil dengan menendangnya terus menerus seperti bola. Bibirnya menyunggingkan senyuman ketika bisa menggiring kerikil itu tanpa jatuh ke jurang kecil di sisi jalan. Namun senyumannya seketika lenyap saat mendengar suara seseorang.“JANGAN AMBIL PUTRIKU! AKU MOHON!”Langkah Max muda itu terhenti saat mendengar suara sang ibu yang terdengar begitu putus asa. Saat itulah Max menyadari ada sesuatu yang tidak beres dengan keluarganya. Segera dia berlari menuju rumahnya yang sudah tidak jauh lagi. Setelah berlari dan sampai di rumahnya, langkah Max terhenti saat melihat ada seorang pria menarik tangan adik laki-lakinya. Sedangkan sang ibu menarik tangan Mathew yang lain. Max bisa melihat adiknya yang masih berusia empat belas tahun itu tampak begitu ketakutan. Segera Max menghampiri ibunya dan membantu wanita paruh bay
Max muda berbaring di atas ranjang dalam kondisi telanjang. Air mata mengalir melalui sudut matanya. Max bisa merasakan tubuhnya terasa begitu remuk. Dia tidak menyangka jika pekerjaan yang dimaksud oleh Fabio adalah menjadi budak seks bagi pria brengsek itu. Satu minggu berlalu sejak Max dibawa dari rumahnya. Dia bahkan tidak bersekolah dan hanya berada dalam rumah Fabio. Bahkan dia hanya bisa berbaring setelah pria brengsek itu menggunakan tubuhnya untuk melampiaskan nafsunya.“Apa kamu tidak membersihkan tubuhmu, Anak muda?” Fabio yang sudah mengenakan setelan abu-abu duduk di tepi ranjang. Saat tangan Fabio terulur untuk menyentuh puncak kepala Max, pemuda itu langsung menepisnya. Dengan menahan rasa sakit di tubuhnya Max menegakkan tubuhnya lalu menutupi bagian bawah perutnya dengan selimut. "Kamu tidak perlu peduli padaku. Aku hanyalah pemuas nafsumu saja, jadi kamu tidak perlu mempedulikan aku." Max berkata dengan sangat dingin. Fabio mendengus mendengar ucapan pemuda itu.
Fabio duduk di bangku mobil belakang dengan tatapan tertuju keluar jendela. Bibirnya menyunggingkan senyuman karena berada dalam suasana hati yang bagus. Semua ini berkat pemuda yang dipeliharanya. Dia masih teringat dengan bagaimana nikmatnya saat Fabio menyetubuhi pemuda itu. Fabio berpikir dia akan memberikan hadiah untuk anak muda itu. “George,” panggil Fabio pada sopirnya.Pria paruh baya yang sedang memegang setir itu menatap atasannya dari kaca mobil yang mengarah ke bangku belakang. “Ya, Mr. Müller?”“Apakah kamu memiliki anak berusia sekitar tujuh belas tahunan?” tanya Fabio.Sang sopir itu menganggukkan kepalanya. “Benar, Mr. Müller. Putra saya sebentar lagi menginjak usia tujuh belas tahun. Apakah ada masalah, Mr. Müller?”Fabio menggelengkan kepalanya. “Tidak ada masalah. Aku hanya ingin tahu hadiah seperti apa yang disukai oleh anak seusia putramu?”Meskipun Fabio tidak menyebutkan, tapi sang sopir itu tahu hadiah yang ditanyakan oleh Fabio itu untuk siapa. Karena sopir
Mia menatap pantulan dirinya di depan cermin besar. Wanita itu mengenakan gaun putih gading yang terlihat indah. Gaun lengan panjang itu melebar di bagian bawah pinggang. Di belakangnya ekor gaun menjuntai beberapa meter. Gaun itu terlihat begitu mewah karena brokat emas yang menghiasi seluruh gaun."Apakah ini tidak terlalu berlebihan, Mrs. Vardalos?" tanya Mia kepada calon ibu mertuanya.Zeta berdiri di samping Mia. Wanita itu menatap penampilan calon menantunya dengan tatapan kepuasan. Bibirnya tersenyum lebar tampak sangat bahagia."Tidak ada yang berlebihan, Sayangku. Kamu sangat cantik." Zeta memeluk bahu Mia meyakinkan wanita itu."Tapi aku tidak yakin tampil dengan gaun ini, Mrs. Vardalos. Aku merasa tidak pantas mengenakannya." Mia menunduk sedih.Zeta memutar tubuh Mia sehingga wanita itu menghadap ke arahnya. Wanita itu menepuk bahu Mia sehingga menatap ke arahnya."Reynard sudah memberitahuku jika kamu kesulitan untuk percaya diri, Mia. Tak seorang pun di dunia ini yang bi
Reynard sudah mencarinya di seluruh resort. Namun dia belum kunjung menemukan tunangannya. Dia begitu ketakutan terjadi hal buruk pada Mia. Lalu tatapannya tertuju ke arah lautan. Dia berpikir mungkin saja Mia tidak sengaja jatuh ke lautan. Tapi segera Reynard menggelengkan kepalanya. Dia tahu hal aneh seperti itu hanya ada dalam drama-drama, tidaklah nyata.Tiba-tiba seorang pria mengenakan setelan hitam berjalan menghampirinya. Langkahnya terhenti tepat di hadapan Reynard. Mata Reynard mengamati pria itu dengan tatapan penuh tanda tanya."Apakah anda adalah Reynard Metraxis?" tanya pria itu.Reynard menganggukkan kepalanya. "Benar. Saya adalah Reynard Metraxis. Anda siapa?""Saya adalah Daniel Wade. Saya diperintahkan seseorang untuk mengantarkan anda ke suatu tempat." Pria itu memberitahu Reynard.Reynard memicingkan matanya menatap pria itu. "Siapa yang memerintahkan kamu kemari?"Pria itu tersenyum. "Saya tidak bisa memberitahu anda, Mr. Metraxis. Tapi ini berhubungan dengan tunan
"Jadi kamu memang merencanakan lamaran ini saat merencanakan liburan kita?" tanya Mia saat mereka sudah kembali ke kabin mereka. Reynard menarik Mia yang baru saja selesai mandi untuk duduk di pangkuannya. "Aku memang merencanakan liburan ini untuk melamarmu. Aku sudah sangat yakin tidak ingin melepaskanmu lagi. Karena kamu adalah wanita yang dikirim Tuhan untuk menemaniku di sisa hidupku." "Bisakah kamu berhenti untuk mengatakan hal-hal yang manis? Kamu membuat pipiku memerah." Mia menyentuh pipinya yang memanas. Reynard terkekeh melihat reaksi sang kekasih. "Aku hanya mengungkapkan isi hatiku, Agape mou. Kenapa wajahmu jadi seperti kepiting rebus?" "Kamu menyebalkan, Reynard." Mia mendengus kesal. Reynard mencium bibir Mia sekilas. "Bagaimana bisa pria tampan ini menyebalkan?" "Kenarsisan-mu mengingatkanku pada tingkat kepercayaan dirimu yang tinggi saat berpikir aku memujimu." Mia terkekeh geli. "Jangan ingatkan aku tentang hal itu." Kali ini Reynard yang tampak kesal. Mia t
Blue Magic merupakan salah satu spot menyelam terbaik. Lokasi ini berada di antara pulau Kri dan pulau Waisai. Dengan perpaduan laut berwarna biru muda yang cantik ditambah dengan keindahan kehidupan bawah lautnya sehingga tidak heran orang-orang menyebut tempat itu sebagai Blue Magic.Reynard dan Miayang sudah mengenakan pakaian dan perlengkapan menyelam sedang menikmati pemandangan kehidupan bawah laut di Blue Magic. Bersama dengan pemandu tour, mereka bersama mengelilingi tempat itu. Reynard menggandeng tangan sang kekasih untuk menjaga wanita itu berada di dekatnya. Seperti yang dikatakan pemandu mereka tadi karena arus yang kuat mampu menyeret penyelam ke laut terbuka.Namun perjuangan mereka tidaklah sia-sia. Karena mereka bisa melihat warna warni batu karang yang cantik serta hewan-hewan laut yang menakjubkan. Seperti ikan pari manta, barakuda, tuna dan makhluk laut yang paling populer di tempat itu adalah kumpulan jackfish.Setelah puas menikmati pemandangan bawah laut itu, Re
"Dan aku akan membuatmu juga sangat liar, Agape mou." Setelah mengucapkan kalimat itu, Reynard langsung menunduk. Bukan untuk mencium bibir Mia melainkan menggigit lembut telinga wanita itu.Hembusan nafas Reynard yang menerpa kulit Mia membuat wanita itu merinding geli. Namun dia merasakan sensasi aneh di perutnya. Seakan perutnya baru saja diguncangkan dengan keras."Reynard." Desah Mia."Kamu menyukainya, Agape mou?" bisik Reynard.Menyukainya? Mia bahkan tidak mengerti bagaimana tubuhnya berubah panas karena tindakan Reynard. Padahal pria itu bahkan belum menyentuh titik sensitif Mia tapi Reynard mampu membangkitkan hasrat liar dalam dirinya.Reynard beralih ke leher Mia. Menciptakan panas yang menjalar dalam setiap kecupannya. Tangan Reynard menyusup dalam kaos wanita itu menangkup salah satu bukit kembar Mia. Mia tak mampu berpikir dengan jernih ketika Reynard memberikan cumbuan serta remasan lembut di payudaranya. Ketika tangan Reynard menurunkan branya dan menyentuh putingnya
Raja Ampat di Indonesia adalah tempat yang dipilih oleh Reynard menghabiskan liburannya bersama dengan Mia. Keindahan pemandangan laut dan pantai sangat memikat pasangan itu begitu mereka sampai di Misool Eco Resort.Misool merupakan satu dari empat pulau terbesar di kepulauan Raja Ampat yang terletak di provinsi Papua Barat. Misool berbatasan langsung dengan laut Seram dan perairan laut lepas yang menjadi jalur lintas hewan besar termasuk paus. Sehingga tidak heran jika Raja Ampat terkenal dengan keindahan kehidupan bawah lautnya.“Tempat ini seperti surga, Reynard.” Mia melihat lautan berwarna biru kehijaun yang sangat indah.“Tempat ini seperti surga jika aku bersamamu, Agape mou.”Mia menoleh dan memperlihatkan rona merah di pipinya. “Berhentilah merayuku terus, Mr. Metraxis. Kamu akan membuatku meleleh seperti mentega di bawah sinar matahari.”Reynard tertawa mendengar perumpamaan sang kekasih. Pria itu meraih tangan Mia dan berjalan menyusuri jembatan kayu di atas laut. “Sayangn
Reynard melepaskan ciumannya. Sepasang kekasih itu segera menoleh. Karyawan wanita yang beberapa hari yang lalu tidak sengaja mendorong Mia hingga terluka berdiri di depan pintu dengan terkejut. Tidak butuh orang pintar untuk mengetahui apa yang sedang dilakukan Reynard dan Mia dengan posisi Reynard yang menyergap tubuh Mia diantara dinding."Maafkan aku. Aku akan naik lift berikutnya." Wanita pirang itu segera mengalihkan perhatiannya.Tak lama kemudian pintu lift kembali tertutup. Reynard kembali mengalihkan perhatiannya pada wanita cantik yang terperangkap di hadapannya."Sepertinya kita akan membuat seisi kantor heboh." Mia meringis membayangkan berita baru tentang dirinya dan Reynard yang akan segera muncul."Aku pikir bukan berita buruk yang akan kita dengar." Reynard menyunggingkan senyuman."Bagaimana kamu bisa begitu yakin?" tanya Mia menatap sang kekasih."Apa kamu tidak sadar dengan posisi kita saat ini, Agape mou?" tanya Reynard.Mia melihat Reynard yang berdiri di hadapan
"Jadi kamu masih tidak akan memberitahuku ke mana kita akan pergi akhir pekan ini?" tanya Mia sembari menyantap burgernya.Setelah berpikir lama tentang makanan yang akan mereka pilih sebagai menu makan siang mereka, akhirnya Mia mendesak Reynard untuk pergi ke restoran cepat saji. Dia ingin menikmati burger. Sudah lama wanita itu tidak memakannya. Terakhir kali dia makan makanan bertumpuk itu adalah ketika Alicia mengajaknya untuk merayakan ulang tahun Alicia berdua dengannya."Sudah kukatakan itu adalah kejutan." Reynard menyantap burger bagiannya.Mia berpikir Reynard akan terlihat kaku memakan makanan cepat saji itu. Karena selama ini pria itu selalu menyantap makanan-makanan dari koki terbaik. Tapi ternyata dugaan Mia salah. Gerakan tangan Reynard saat memegang burger itu begitu luwes. Seolah pria itu sudah sering memakannya."Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku kenakan, Reynard? Bagaimana jika aku salah kostum? Maksudku bagaimana jika aku mengenakan kaos dan celana pendek tap
Reynard dan Mia sudah berada di dalam mobil pria itu. Namun Reynard tidak segera menghidupkan mesin mobilnya. Pria itu memilih memusatkan perhatiannya pada Mia. Wajah wanita itu tampak pucat. Dia tahu tidak mudah bagi Mia menghadapi situasi seperti tadi."Apakah kamu baik-baik saja, Agape mou?" Reynard mengulurkan tangan menggenggam tangan Mia.Akhirnya wanita yang sejak tadi diam mulai menoleh menatap sang kekasih. Bibirnya berusaha menyunggingkan senyuman. "Aku... Aku baik-baik saja, Reynard.""Kamu yakin? Wajahmu tampak pucat, Agape mou." Tangan Reynard berpindah menyentuh pipi Mia."Sebenarnya aku memang tidak baik-baik saja, Reynard. Aku sangat takut. Bahkan tanganku sampai gemetar seperti ini." Mia mengangkat kedua tangannya yang masih gemetar."Maafkan aku, Agape mou. Kamu harus menghadapi Mama seperti itu. Seharusnya aku tahu lebih awal jika Mama datang kemari. Salahku tidak memperingatkanmu lebih dulu." Sesal Reynard."Jadi benar ibumu selalu melakukannya? Maksudku bersikap