Saat ini Vivian tengah menaiki taksi menuju salah satu tempat yang dianggap mereka cukup aman. Ya, dan Vivian meninggalkan mobilnya di tempat Samuel untuk menghilangkan jejak mereka.“Apa benar aku harus ke sana?” pikir Vivian yang merasa ragu dengan hal ini. Padahal dia tahu dengan jelas kalau orang yang mereka tuju adalah orang yang selalu baik pada mereka berdua sejak pertama kali kenal sampai saat ini, tapi entah kenapa ada perasaan mengganjal di dalam hati Vivian saat ini.“Kenapa Ma?“ tanya Shine saat melihat ekspresi wajah Vivian yang terasa aneh baginya.Vivian yang sempat melamun pun kembali menoleh ke arah anak laki-lakinya. “Tidak apa-apa Sayang, hanya saja dari tadi Paman Roland tidak mengangkat telepon Mama,” jawabnya.“Apa jangan-jangan Paman Roland sedang keluar,” sahut shine sembari mengangguk-ngangguk seolah tengah memahami sesuatu.Vivian pun tersenyum kecil melihat tanggapan anak laki-lakinya itu. Dia tidak mungkin mengatakan rasa gelisahnya tentang Rolland
Sehari berlalu dengan cepat, kini Vivian dan Shine sudah berada di tempat Samuel dan Jessi akan mengadakan pesta pernikahan mereka. Sementara Shine tengah bermain dengan teman sebayanya, kini Jessi tengah berbicara dengan Vivian di salah satu kamar yang sudah disiapkan untuk para tamu jauh.“Apa kamu yakin?“ Ekspresi terkejut tak ingin disembunyikan Jessi ketika mendengar apa yang Vivian dengan tentang Roland. “Kamu yakin, mereka tidak sedang menipumu … maksudku para anak buah Aldrich itu, apa kamu yakin mereka tidak melihat kamu dan tiba-tiba ingin memanfaatkan kesempatan itu dan sejenisnya?“Vivian mengusap-usap wajahnya dengan kasar. “Tidak. Aku yakin mereka tidak melihat kedatanganku,” jawabnya sembari menatap ke arah kaki meja. Dia terus merenung di dalam hatinya.“Lalu apa yang akan kamu lakukan sekarang? Apa kamu ingin kembali pada Raben?“ tanya Jessi yang merasa khawatir sekaligus iba pada sahabatnya itu.Vivian menghembus napas panjang. “Aku tidak tahu. Tapi yang j
Beberapa jam berlalu, Vivian yang sedari tadi terus tidur pun kini terbangun karena mobil yang dikendarainya berhenti mendadak. Ya, Setelah dia meninggalkan pantai menggunakan helikopter, kemudian beberapa jam dia menaiki mobil hingga sampai di sebuah tempat yang menjadi salah satu kenangan dirinya dan Raven.“Sudah sampai?“ tanya Vivian sembari menatap Raven dengan ekspresi tak senangnya karena Raven tak mengatakan ke mana mereka akan pergi. Laki-laki di samping Vivian ini hanya terus mengatakan kalau mereka menuju ke tempat kenangan mereka.“Tentu saja sampai, coba kamu menoleh,” jawab Raven sembari menunjuk ke sebuah pintu berwarna merah yang tak jauh dari mobil mereka. Vivian yang menoleh ke arah apa yang ditunjuk oleh Raven pun langsung tersentak. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. “Untuk apa kamu bawa aku ke sini?“ tanyanya sambil kembali menatap ke arah Raven yang saat ini sedang membuka pintu mobilnya.Dan
Satu jam berlalu dengan Vivian yang berada di lapangan untuk melakukan pelatihan fisik bersama dengan beberapa calon tentara lainnya. Wanita bernama Tessa yang Vivian yakini ada di balik pemanggilan dirinya ini ternyata tak pernah datang ke lapangan, tak seperti yang dia perkirakan.“Aku pikir wanita itu akan mengerjaiku di sini,” batin Vivian sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar lapangan tersebut. Karena tak menemukan apa pun akhirnya dia memilih untuk meneguk air mineral yang baru saja diambilnya dari sebuah lemari di sudut lapangan itu. Dan sama seperti yang lainnya, dia pun mengistirahatkan tubuhnya di pinggir lapangan itu.Namun, baru saja menurunkan botol air minumnya tiba-tiba saja terdengar peluit yang berbunyi nyaring sehingga ke-10 orang, termasuk Vivian langsung mengarahkan pandangan mereka pada pemimpin acara pelatihan fisik malam itu.“Karena kalian sudah menyelesaikan sit up 100 kali, push up 100 kali, juga mengelilingi lapangan 10 kali, maka kalian m
Satu jam berlalu kini Vivian yang baru saja selesai membersihkan diri kembali ke kamarnya. Seperti sebelumnya dia pun membuka kamar tersebut menggunakan kunci miliknya. Dan sebelum masuk ke dalam kamar ia pun mengarahkan pandangannya ke sekeliling lorong tersebut, mencoba memastikan kalau tak ada yang mencurigakan.“Apa aku mulai paranoid,” gumam Vivian sembari menarik handle pintu di hadapannya dan kemudian mendorongnya dengan santai.Dan seperti yang seharusnya, dia pun mengambil hanger untuk menjemur handuk bekas pakainya, juga meletakkan peralatan mandinya di tempatnya. “Don't cut me down, throw me out, leave me here to waste …,” senandungnya ketika dia menunduk untuk mengambil hair dryer yang ada di laci bawah meja rias di kamar itu.Namun, senandungnya terhenti ketika tiba-tiba saja dia melihat sebuah bayang-bayang orang di lantai kamar itu mendekat ke arah dirinya.“Aku terlalu gegabah,” batinnya sembari tangan kanannya menggenggam erat pegangan laci paling bawah. Se
Mendengar gedoran tersebut Vivian dan Raven menoleh bersamaan. Segera saja Vivian melompat ke atas ranjang dan kemudian menarik Raven masuk ke dalam selimut.“Masuk!“ sahut Vivian sambil mengacak-acak rambutnya.Sesaat kemudian pintu tersebut pun dibuka dengan kasar. “Cih, sialan! Dia pasti mendengar suara Raven dan mau bikin gara-gara,” tebak Vivian di dalam hati. “Apa lebih baik aku ekspos saja sekalian? Raven adalah orang penting di sini, pasti dia tidak akan berani menyinggung masalah ini,” batinnya lagi.Sesaat kemudian wanita yang baru saja masuk ke dalam kamar itu berkacak pinggang. “Apa yang kamu lakukan?“ sergahnya.“Baru saja istirahat, apakah ada yang salah?“ tanya Vivian dengan tak kalah ketus.“Sebaiknya aku melihat dulu apa yang terjadi,” batinnya sembari duduk dan kemudian merenggangkan tubuhnya dengan santai.“Berani sekali kamu …,” geram wanita yang saat ini terus menatap Vivian dengan ekspresi tak terima.“Hentikan itu Nona Tessa,” tukas Vivian dengan cepat.
Lima jam berlalu. Tubuh Vivian tersentak ketika mendengar suara alarm yang seolah memenuhi kamar itu. Dan ketika membuka mata, dia langsung menatap ke sisi kosong ranjang tersebut.“Kapan dia pergi,” gumam Vivian sembari bangun dari ranjang tersebut.Dan tanpa banyak berpikir lagi —karena tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu— dia pun langsung melipat selimutnya dan mengambil seragam tentaranya. “Satu hal menjengkelkan lainnya, apel pagi-pagi buta,” gerutu Vivian sembari keluar dari kamarnya dan kemudian menggunakan seragamnya sambil berjalan bersama puluhan tentara lainnya. Beberapa menit berlalu, akhirnya Vivian dan puluhan tentara telah sampai di lapangan. Mereka berbaris rapi membentuk peleton-peleton seperti yang seharusnya. Awalnya semua hal nampak biasa saja bagi Vivian, hingga akhirnya muncul seseorang yang membuat para tentara itu berubah heboh.“Selamat pagi semuanya!“ ucap laki-laki yang saat ini berdiri di tengah lapangan bersama para tentara berpangk
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap