Beberapa jam berlalu, Vivian yang sedari tadi terus tidur pun kini terbangun karena mobil yang dikendarainya berhenti mendadak. Ya, Setelah dia meninggalkan pantai menggunakan helikopter, kemudian beberapa jam dia menaiki mobil hingga sampai di sebuah tempat yang menjadi salah satu kenangan dirinya dan Raven.
“Sudah sampai?“ tanya Vivian sembari menatap Raven dengan ekspresi tak senangnya karena Raven tak mengatakan ke mana mereka akan pergi. Laki-laki di samping Vivian ini hanya terus mengatakan kalau mereka menuju ke tempat kenangan mereka.“Tentu saja sampai, coba kamu menoleh,” jawab Raven sembari menunjuk ke sebuah pintu berwarna merah yang tak jauh dari mobil mereka.Vivian yang menoleh ke arah apa yang ditunjuk oleh Raven pun langsung tersentak. Ia kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. “Untuk apa kamu bawa aku ke sini?“ tanyanya sambil kembali menatap ke arah Raven yang saat ini sedang membuka pintu mobilnya.DanSatu jam berlalu dengan Vivian yang berada di lapangan untuk melakukan pelatihan fisik bersama dengan beberapa calon tentara lainnya. Wanita bernama Tessa yang Vivian yakini ada di balik pemanggilan dirinya ini ternyata tak pernah datang ke lapangan, tak seperti yang dia perkirakan.“Aku pikir wanita itu akan mengerjaiku di sini,” batin Vivian sembari mengedarkan pandangannya ke sekitar lapangan tersebut. Karena tak menemukan apa pun akhirnya dia memilih untuk meneguk air mineral yang baru saja diambilnya dari sebuah lemari di sudut lapangan itu. Dan sama seperti yang lainnya, dia pun mengistirahatkan tubuhnya di pinggir lapangan itu.Namun, baru saja menurunkan botol air minumnya tiba-tiba saja terdengar peluit yang berbunyi nyaring sehingga ke-10 orang, termasuk Vivian langsung mengarahkan pandangan mereka pada pemimpin acara pelatihan fisik malam itu.“Karena kalian sudah menyelesaikan sit up 100 kali, push up 100 kali, juga mengelilingi lapangan 10 kali, maka kalian m
Satu jam berlalu kini Vivian yang baru saja selesai membersihkan diri kembali ke kamarnya. Seperti sebelumnya dia pun membuka kamar tersebut menggunakan kunci miliknya. Dan sebelum masuk ke dalam kamar ia pun mengarahkan pandangannya ke sekeliling lorong tersebut, mencoba memastikan kalau tak ada yang mencurigakan.“Apa aku mulai paranoid,” gumam Vivian sembari menarik handle pintu di hadapannya dan kemudian mendorongnya dengan santai.Dan seperti yang seharusnya, dia pun mengambil hanger untuk menjemur handuk bekas pakainya, juga meletakkan peralatan mandinya di tempatnya. “Don't cut me down, throw me out, leave me here to waste …,” senandungnya ketika dia menunduk untuk mengambil hair dryer yang ada di laci bawah meja rias di kamar itu.Namun, senandungnya terhenti ketika tiba-tiba saja dia melihat sebuah bayang-bayang orang di lantai kamar itu mendekat ke arah dirinya.“Aku terlalu gegabah,” batinnya sembari tangan kanannya menggenggam erat pegangan laci paling bawah. Se
Mendengar gedoran tersebut Vivian dan Raven menoleh bersamaan. Segera saja Vivian melompat ke atas ranjang dan kemudian menarik Raven masuk ke dalam selimut.“Masuk!“ sahut Vivian sambil mengacak-acak rambutnya.Sesaat kemudian pintu tersebut pun dibuka dengan kasar. “Cih, sialan! Dia pasti mendengar suara Raven dan mau bikin gara-gara,” tebak Vivian di dalam hati. “Apa lebih baik aku ekspos saja sekalian? Raven adalah orang penting di sini, pasti dia tidak akan berani menyinggung masalah ini,” batinnya lagi.Sesaat kemudian wanita yang baru saja masuk ke dalam kamar itu berkacak pinggang. “Apa yang kamu lakukan?“ sergahnya.“Baru saja istirahat, apakah ada yang salah?“ tanya Vivian dengan tak kalah ketus.“Sebaiknya aku melihat dulu apa yang terjadi,” batinnya sembari duduk dan kemudian merenggangkan tubuhnya dengan santai.“Berani sekali kamu …,” geram wanita yang saat ini terus menatap Vivian dengan ekspresi tak terima.“Hentikan itu Nona Tessa,” tukas Vivian dengan cepat.
Lima jam berlalu. Tubuh Vivian tersentak ketika mendengar suara alarm yang seolah memenuhi kamar itu. Dan ketika membuka mata, dia langsung menatap ke sisi kosong ranjang tersebut.“Kapan dia pergi,” gumam Vivian sembari bangun dari ranjang tersebut.Dan tanpa banyak berpikir lagi —karena tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu— dia pun langsung melipat selimutnya dan mengambil seragam tentaranya. “Satu hal menjengkelkan lainnya, apel pagi-pagi buta,” gerutu Vivian sembari keluar dari kamarnya dan kemudian menggunakan seragamnya sambil berjalan bersama puluhan tentara lainnya. Beberapa menit berlalu, akhirnya Vivian dan puluhan tentara telah sampai di lapangan. Mereka berbaris rapi membentuk peleton-peleton seperti yang seharusnya. Awalnya semua hal nampak biasa saja bagi Vivian, hingga akhirnya muncul seseorang yang membuat para tentara itu berubah heboh.“Selamat pagi semuanya!“ ucap laki-laki yang saat ini berdiri di tengah lapangan bersama para tentara berpangk
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol