Malam harinya.
Waktu berlalu dengan cepat dan dengan berbagai alasan dari Yella, akhirnya Vivian pun pulang ke rumah Raven.‘kenapa aku harus kembali ke rumah ini lagi,’ gerutu Vivian di dalam hati sembari melangkahkan kaki melewati pintu utama rumah tersebut.“Vi, apa boleh aku menginap di rumah ini nanti malam?” tanya Yella sembari menoleh ke arah Vivian.Vivian kemudian berganti melirik ke arah Raven, tetapi ia sadar apa yang bisa ia harapkan dari laki-laki yang terlihat sangat ingin menjerat dirinya itu.‘Baiklah, pada akhirnya aku terpaksa mengatakan ini,’ batin Vivian mengambil keputusan.“Kamu tentu saja bisa menginap di sini, Ye. Tetapi maaf, aku tidak bisa menemani kamu di sini nanti malam,” ujar Vivian dengan tegas sembari menatap mata Yella dengan yakin.“Apa maksud kamu?” tanya Yella dengan ekspresi aneh di wajahnya.“Aku dan Raven sudah berpisah,” beber Vivian dengan tena“kamu akan apa?” tanya Vivian yang semakin penasaran dengan kelanjutan kalimat Jessi.Akhirnya sekali lagi Jessi menghela napas panjang sebelum akhirnya mengatakan semuanya. “Samuel melamarku,” jawab Jessi dengan singkat.Seketika mata Vivian membulat mendengar hal itu. “Samuel siapa?”Jessi pun langsung menoleh ke arah lain dengan wajah yang memerah. “Tentu saja Samuel yang biasanya,” jawabnya dengan wajah yang kembali bersemu.“Samuel pengantar paket?” tanya Vivian yang ingin memperjelas semuanya.“Tentu saja dia, siapa lagi kalau bukan dia. Aku kan hanya mengenal sedikit laki-laki, tidak seperti kamu,” jawab Jessi sembari mengerucutkan bibirnya, Namun dengan wajah merona, tentu saja Vivian tahu kalau sahabatnya tersebut sedang malu-malu.Seketika Vivian langsung terkekeh melihat tingkah sahabatnya tersebut. “Oke, jadi tolong katakan sejak kapan kalian punya hubungan? Dan kenapa kamu tidak pernah memberitahuku?” t
Keesokkan harinya. Sejak pagi Vivian sudah sampai di kantor. Ia terus memeriksa semua buku, serta berkas-berkas yang tersusun rapi di lemari yang ada di dekat meja kerja Raven. Ya, seperti yang Raven katakan sebelumnya, Vivian diizinkan berusaha mencari benda yang diinginkannya selama itu tidak dilakukan di depan Raven dan tidak diketahui oleh Raven.Bahkan, selama satu minggu Raven tidak ada di kantor, Vivian memeriksa seluruh isi ruangan Raven tersebut. Ia pun terus berusaha mencari informasi dengan samar-samar tentang ruangan yang mungkin saja bisa menjadi tempat yang dikatakan sebagai brangkas perhiasan oleh Yana waktu itu. “Kenapa tetap tidak ada,” geram Vivian yang merasa sangat kesal karena tak juga menemukan petunjuk apa pun padahal sepertinya ia sudah mencari di seluruh ruangan Raven tersebut.Hingga tanpa sengaja ia menyenggol sebuah vas kecil dan membuat benda tersebut menghantam lantai sebelum akhirnya
“Ada apa?” tanya Raven sembari melapaskan pelukannya dan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah wanita yang baru saja datang tersebut.Wanita berpakaian cukup terbuka tersebut pun berlenggak-lenggok ke arah Raven dengan tenang. “Itu Tuan, saya datang ke sini untuk melapor,” ujarnya dengan lembut.“Ya,” sahut Raven dengan tenang dan kemudian melangkah kembali ke tempat duduknya.‘Cih, dia ternyata sama saja seperti laki-laki lainnya,’ batin Vivian sembari membetulkan pakaiannya.“Cher, mulai besok kamu akan membantu setiap tugas Vivian, apa kamu paham?” Mendengar hal itu, wanita bernama Cheri yang saat ini tepat di samping Vivian pun langsung menggeser posisi tubuhnya agar bisa tepat menghadap Vivian. “Kenalkan namaku Cherry,” ucapnya sembari mengulurkan tangannya, meminta berjabat tangan.Vivian pun langsung membalas senyuman tersebut dengan canggung. “Aku Heta,” ujarnya sembari menjabat tangan wanita berparas mi
“Rav, kamu harus mendengar Mama. Mama berbicara seperti ini juga demi kebaikan kamu,” ujar Nyonya Reya sembari menatap ke arah Raven dengan tatapan penuh perhatian.Tentu saja Raven tahu dengan jelas kalau semua perhatian dari ibu tirinya itu hanyalah palsu. “Dengar Nyonya, aku sudah mengatakan berkali-kali pada kamu ‘jangan menyebutmu mama di depanku’ karena ibuku hanya satu dan dia sudah tenang di surga,” tandasnya.Sedangkan Yella yang saat ini sedang duduk di sebelah Nyonya Reya pun hanya bisa menghela napas dalam ketika mendengar ucapan Kakak angkatnya tersebut. Dia tahu dengan jelas jikalau Raven sangat membenci ibu tiri mereka itu karena dia dulu adalah wanita yang merusak rumah tangga orang tuanya. “Baiklah, kalau begitu terserah kamu saja,” sahut Nyonya Reya sembari bangun dari sofa yang didudukinya. “Dan ya, aku ke sini karena mendapat perintah dari kakekmu, dia mengatakan agar kamu segera membawa Vivian ke rumah utama,” imbuhnya.
“Ini memang sangat cantik, dia adalah edisi terbatas dari rumah mode El Round’s,” terang Cherry dengan tenang. “Dan gaun ini sudah dipesankan oleh Tuan Raven. Jadi saya hanya tinggal mengambilnya saja tadi,” imbuh Cherry dengan sopan. Langsung saja Yella mengusap benda yang ada di dalam bingkisan tersebut. “Pasti sangat sulit mendapatkan gaun ini,” komentarnya.“Ini ... gaun ini sangat mewah, sepertinya aku tidak bisa menerimanya,” ucap Vivian sembari menutup kembali wadah gaun berwarna gold mewah tersebut.Melihat pemberiannya akan ditolak, Raven pun menyahut, “Kenapa, apa kamu merasa tidak beruntung mendapat pakaian dariku?”Mendengar hal itu Vivian pun segera mengalihkan pandangannya kembali pada Raven dan menatapnya tajam.“Ehem!” Tiba-tiba Cherry berdehem saat melihat interaksi negatif di antara kedua orang tersebut. “Nona Heta, harusnya Anda sangat bersyukur dan merasa beruntung karena mendapat hadiah seperti
Beberapa jam berlalu dengan sangat santai bagi Vivian. Ia menyerahkan hampir seluruh tugasnya pada Cherry karena memang seluruh tugasnya berhubungan dengan Raven, kecuali beberapa hal seperti penyusunan jadwal dan penyusunan berkas penting.“Kenapa tidak dari kemarin wanita itu datang,” gumam Vivian sembari menatap ke arah langit-langit ruangannya dengan punggung yang menyender di kursi kerjanya.Hingga sesaat kemudian, terdengar suara notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya. Vivian pun segera melihat isi pesan tersebut, lalu menatap ke arah jam dinding yang ada di ruangannya.“Ternyata sudah waktunya makan siang, sungguh indahnya hidup ini,” gumamnya sembari terkekeh sendirian.Ia pun segera mengemasi clutch-nya, juga memasukkan beberapa benda penting ke dalam tas tersebut. Dan setelah itu ia pun berjalan dengan tenang ke arah ruangan Raven.Seperti yang seharusnya, ia mengetuk pintu ruangan Raven dengan pelan sebelum akhirny
Lagi-lagi belum sempat Vivian menyelesaikan kalimatnya, Yella sudah lebih dulu menarik tangannya dan membuat Vivian kembali duduk di tempatnya semula.“Tolong tenang Vi, jangan sampai kita ketahuan,” bisik Yella.Benar saja, sesaat kemudian laki-laki paruh baya yang sedang duduk bersama Nyonya Reya tersebut pun menoleh ke segala arah. Vivian pun mengawasi hal itu dari balik buku menu yang diberikan oleh Yella. ‘ini gila, tidak mungkin ini terjadi,’ pikir Vivian sembari mencengkeram erat buku menu yang ada di tangannya.“Vi, kemarin Mama menyodorkan foto laki-laki tua itu padaku. Dia mengatakan kalau itu adalah calon suamiku,” keluh Yella. “Tapi aku tidak menyangka kalau ternyata mereka berdua punya hubungan seperti ini,” ucap Yella dengan suara pelan seperti orang yang tengah bergumam.Vivian pun kembali menatap ke arah Nyonya Reya yang saat ini tengah saling menggenggam tangan dengan laki-laki paruh baya tersebut . Seketika gi
Di tempat Raven. Saat ini Raven tengah duduk di ruang tamu di rumahnya. Ia yang baru saja selesai menelepon seseorang pun segera memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celananya.Tak lama kemudian, terlihat seorang laki-laki berlari masuk ke dalam rumah tersebut dengan tergopoh-gopoh.“Tuan, Tuan Sean sudah datang, “ucap laki-laki yang berusia sekitar 50 tahunan itu dengan napas yang tersengal-sengal.“Bagus,” jawab Raven sembari bangun dari kursinyaIya pun bergegas keluar dari pintu rumah tersebut dan menuju ke arah halaman, di mana mobil Raven berhenti. “Di mana dia?” tanyanya pada Sean yang tak jauh di depannya.“Di dalam,” jawab Sean sembari melepas jasnya.Langsung saja Raven mempercepat langkahnya dan kemudian menggendong Vivian yang ada di dalam mobil tersebut, lalu membawanya masuk ke dalam rumah besarnya.Sean yang sudah selesai melepas jasnya pun segera mengikuti Raven di belak
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap