Seketika Vivian langsung tersenyum aneh saat mendapat kejutan yang sebenarnya adalah hal romantis itu.
“Apa ini Tuan?” tanya Vivian sembari menatap ke arah bunga yang saat ini sedang disodorkan oleh laki-laki di depannya.“Ini mawar yang cantik, secantik wanita di depanku,” jawab laki-laki di depan Vivian dengan sebuah senyuman yang harusnya menawan bagi wanita yang melihatnya, kecuali Vivian.‘Cih, najis. Rayuan kuno ini kenapa masih bisa dia lakukan, astaga,’ komentar Vivian di dalam hati, tetapi di luar masih menampakkan ekspresi malu-malu untuk menanggapi rayuan Rain tersebut.Pada akhirnya Vivian pun menerima mawar tersebut dan berterima kasih dengan gaya khas seorang wanita polos.Tak lama kemudian, terdengar suara deheman dari arah lain yang membuat Vivian dan Rain langsung menoleh hampir bersamaan.“Tuan Rain, apa yang Anda lakukan di sana?” tanya Raven yang saat ini sedang melangkah ke arah mereka berdua deng“Aku hanya kenal beberapa laki-laki saja, tidak lebih,” bohong Vivian dengan cepat.‘Untung aku tidak salah bicara,’ batin Vivian yang benar-benar terkejut dengan sentakan Raven sebelumnya.Masih saja rasa tak puas muncul di wajah Raven saat ini. “Katakan, siapa saja laki-laki itu!”‘Kurang ajar, dia benar-benar mengenal laki-laki lain,’ batin Raven yang memang sering kehilangan kendali jika itu sudah menyangkut Vivian.‘Ah, benar, aku harus menjawabnya dengan lebih santai,’ pikir Vivian yang langsung mengingat trik yang ia gunakan pada Raven saat mereka masih bersama dulu.Ia kemudian mengarahkan pandangannya ke arah lain dan kemudian menggaruk pelipisnya perlahan. “Aku tak begitu mengingatnya,” jawabnya.‘Apa dia ingin menipuku seperti dulu,’ batin Raven.“Jangan main-main, aku ingin tahu data mereka dalam lima menit!”“Eh!” Vivian terkejut mendengar perintah Raven tersebut. “Tunggu, aku benar-benar
Beberapa saat berlalu, akhirnya Raven dan Vivian pun sampai di sebuah mansion. Pada akhirnya, walaupun dengan terpaksa Vivian pun setuju untuk masuk menemui orang yang sudah menunggu mereka itu.“Kenapa kamu harus menyulitkanku,” gerutu Vivian sembari melangkah beriringan dengan Raven.“Siapa yang ingin menyulitkanmu, jangan terlalu percaya diri,” jawab Raven dengan tenang.Mereka pun saling menyindir sembari melangkah masuk ke dalam mansion tersebut. Namun ketika baru saja masuk ke dalam ruang tamu, betapa terkejutnya Vivian ketika melihat para pelayan yang sedang tersenyum ramah dan menyapa seperti saat dulu ia ke mansion ini.‘Aku tidak peduli mereka tersenyum palsu atau asli, setidaknya mereka tidak menatapku tajam,’ batin Vivian sembari membalas keramahan para pelayan di tempat itu.“Bagus, terus tersenyum seperti itu,” bisik Raven yang berusaha menggoda Vivian.Mendengar hal itu Vivian pun langsung menoleh ke ar
‘Apa mereka berdua sengaja,’ pikir Vivian ketika mendapat pertanyaan yang terasa menjebak itu.Lalu, tiba-tiba ekspresi wajah Tuan Brayen berubah tampak menyedihkan lagi. “Atau jangan-jangan kamu memang sengaja ingin melihatku cepat mati?” tanyanya.“Tentu saja tidak, Kakek,” jawab Vivian dengan cepat karena ia benar-benar tidak ingin membuat laki-laki tua yang sangat dulu menyayanginya itu kecewa. Ya ... walaupun ia juga tahu kalau itu hanyalah sandiwara laki-laki tua tersebut.“Kalau begitu bagaimana, apa kamu ingin tinggal di pulau itu dengan Raven?” tanya Tuan Brayen dengan sikap yang berubah lebih tenang.Vivian pun menghela napas panjang sembari memejamkan matanya, mencari jawaban yang paling tepat di dalam otaknya. “Tidak Kakek, aku akan tetap tinggal di kota ini,” tolak Vivian. “Tapi maaf, untuk sementara waktu aku dan Raven memang memiliki sedikit masalah, jadi kami akan tinggal terpisah untuk menginstropeksi diri masi
Lima belas menit berlalu, saat ini Vivian dan Raven segara masuk ke dalam lapangan golf dan mencari keberadaan Cherry yang tadi menghubungi Vivian.“Dia harusnya di sini,” ujar Raven sembari memandangi lapangan yang sangat luas itu.Vivian pun langsung mengambil ponselnya lagi dan mencoba meneleponnya lagi, tapi tak diangkat. “Di mana dia?” gumamnya sembari terus mencoba.Mereka pun terus mencari keberadaan Cherry, hingga akhirnya mereka mendengar suara aneh dari salah satu ruangan di sisi lain lapangan golf tersebut. Vivian pun segera mendobrak pintu ruangan yang berada tak jauh darinya itu. Benar saja, saat ini terlihat Cherry dengan pakaian yang berantakan tengah terduduk di lantai yang ada di ruangan itu.“Ayo cepat bantu aku membawanya!” pinta Vivian sembari mulai membopong Cherry.“Letakkan dia!” perintah Raven tiba-tiba.Vivian yang terkejut dengan nada tinggi Raven itu pun refleks mundur selangka
“Mama itu …,” ucap Shine sembari mengedip-ngedipkan matanya.Jika Shine bersikap manja, pasti ada sesuatu yang diinginkannya. Vivian lalu berjalan mendekati Shine, merendahkan tubuhnya lalu memiringkan kepala seraya tersenyum pada anak laki-laki kesayangannya itu.“Jadi, apa yang kamu inginkan, Shine? Apa ada mainan baru yang ingin kamu beli dari Paman Sam?” tanya Vivian sembari mencubit lembut pipi Shine.Shine hanya menggeleng, tetapi wajahnya belum berubah. Vivian masih memikirkan apa yang diinginkan anaknya. Lalu, sebuah pertanyaan kembali diajukan.“Hm, apa kamu ingin makan sesuatu? Atau … sesuatu yang ada di café tempat yang biasanya?”Jawaban yang sama didapatkan Vivian. Kali ini Shine sungguh membuatnya berpikir keras. Dari belakang, Jessi hanya tersenyum kecil melihat tingkah lucu Shine. Jessi tahu betul apa yang ingin dikatakan Shine.Hanya saja anak itu lebih suka membuat ibunya berpikir hingga menyerah dan terkadang berakhir marah-marah.“Baiklah, Mama tidak tahu apa yang
Vivian berusaha untuk tidak lagi memikirkan siapa pengirim bunga dan hadiah pagi ini, Vivian yang siap bekerja akhirnya memutuskan untuk berangkat. Namun, sebelumnya dia menyembunyikan hadiah itu terlebih dahulu. Vivian tidak ingin Shine membuka hadiah itu tanpa izin darinya. Sementara buket bunga yang didapatkannya ia simpan di kamar.Setelah itu Vivian pun berpamitan pada Shine untuk berangkat kerja, tetapi yang ia dapatkan bukankah sahutan seperti biasanya, melainkan ekspresi tak senang yang tercetak jelas di wajah anak laki-lakinya itu.“Shine, apa kamu marah?” Langsung saja Shine melengos dan bersedekap.“Hacker handal Mama sedang marah ternyata,” gumam Vivian sembari terkekeh. “Apa kamu mau dibawakan hadiah saat Mama pulang nanti?” bujuknya.Seketika kedua mata Shine berbinar mendengar kata hadiah. Anak itu pun langsung menjawab, “Ya!”“Baiklah, cium aku! Dan nanti akan ada hadiah saat aku pulang.”Setelah mencium Vivian, kemudian Shine melambaikan tangan sembari tersenyum leb
“Apa kamu menerima hadiah dariku, Nona Heta?” tanya pria yang tak lain adalah Rain.Vivian tersenyum sembari mengangguk perlahan. Namun, matanya melirik ke arah Raven yang kini melihat keduanya. Wanita itu pun memanfaatkan situasi untuk membuat Raven semakin kesal.“Kamu tahu, saat memberikan hadiah itu, jantungku berdetak cepat. Aku takut kamu menolaknya. Tetapi, aku meyakinkan diri untuk terus maju. Aku berharap kamu menyukai isi dari hadiah itu.”Perkataan Rain yang begitu puitis menurut Vivian, membuat suasana menjadi aneh. Vivian masih tersenyum canggung, sambil mendengarkan kalimat-kalimat selanjutnya.“Terima kasih,” ucap Vivian dengan lembut.“Kamu membuatku semakin tak berdaya, senyumanmu sungguh candu untukku, Nona Heta. Apa ini yang dinamakan kasih tersampaikan?”“Entahlah, aku suka melihat buket bunga darimu. Sekali lagi terima kasih.”“Itu bukan apa-apa. Semua yang kuberikan tak sebanding denga
“Uhm, aku mendengar ada suara seorang pria sedang berteriak di sini. Apa kamu baik-baik saja?” tanya Vivian ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi di kamar itu.Cherry tampak biasa dan tidak menunjukkan sesuatu yang membuat Vivian curiga. Dan dengan santainya ia menjawab, “Apa yang kamu bicarakan? Aku hanya sendirian seharian ini.”Meski Cherri menjawab seperti itu, tetapi tetap saja Vivian tidak menyerah dengan mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan itu. Ia pun mencari di setiap sudut kamar, tempat yang kemungkinan dijadikan tempat persembunyian seseorang.“Tuan Raven, terima kasih sudah datang,” ujar Cherri sembari melirik ke arah Vivian. Memperhatikannya dari sudut matanya.“Ya,” sahut Raven dingin.Sementara itu saat ini Vivian masih merasa penasaran dengan beberapa hal yang ada di kamar itu.“Apa tidak ada yang datang untuk menjengukmu selain kami?” tanya Vivian yang memang sangat penasaran karena tidak mene
Salah seorang anak buah Aldrich berteriak cukup nyaring dan kemudian ambruk tengkurap di lantai. "Hah?" Vivian terkejut begitu juga yang lainnya.Sesaat semua orang mengarahkan pandangan mereka pada orang yang baru saja ambruk tersebut. "Kamu berani bermain-main denganku?" Aldrich menatap tajam Vivian yang saat ini masih mengarahkan pandangannya pada orang yang baru saja ambruk.Mendengar hal tersebut Vivian langsung mengarahkan pandangannya pada Aldrich. Namun tanpa menjawab, dia mengalihkan pandangannya pada Raven yang saat ini masih terduduk di lantai."Apa ini yang dia katakan agar aku menunggu sebentar lagi," batin Vivian.Dan sesaat kemudian Aldrich pun bangun dari ranjangnya, lalu melangkah ke arah Vivian. Namun, di tengah langkahnya, tiba-tiba salah satu anak buah Aldrich kembali terjungkal."Satu lagi, di mana mereka?" batin Vivian yang juga ikut penasaran dengan hal itu. Dia mengarahkan pandangannya ke sekitar untuk mencari petunjuk, sama dengan apa yang dilakuk
Beberapa jam berlalu. Saat ini Vivian dan Raven sedang berada di depan ruang ICU di salah satu rumah sakit di kota tersebut."Shine," gumam Vivian yang terus saja berdiri memandangi pintu ruangan tersebut."Tenanglah Vi, dia pasti baik-baik saja," ucap Jessi yang saat ini merangkul pundak Vivian."Iya," sahut Vivian lemah.Rasa gelisah memenuhi pikirannya saat ini. Kedua tangannya terus saling meremas untuk menekan perasaannya yang penuh dengan ketakutan yang seolah tak berujung.Sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki sedang berlari kecil ke tempat itu. Segera saja Vivian membalik badannya."Apa kamu mendapatkannya?" tanya Vivian pada laki-laki yang baru saja berlari kecil tersebut."Kami sedang berusaha," jawab Raven dengan ekspresi pahit di wajahnya.Seketika tubuh Vivian limbung. Namun, untung saja Jessi dengan sigap menahan tubuh sahabatnya itu. "Tenang dulu Vi, kamu harus kuat," ucapnya yang sebenarnya juga merasa khawatir bukan main.Vivian kemudian menoleh pada J
"Kenapa, tidak senang?" tanya wanita tersebut sambil bersedekap dan kemudian melengos dengan gaya yang dilebih-lebihkan.Langsung saja Vivian melepaskan pegangannya dan kemudian berjalan dengan cepat ke arah wanita tersebut. "Bagaimana bisa aku tidak senang," sahutnya sambil memeluk erat sahabatnya itu."Kamu tuh ya, bikin aku khawatir saja," ucap Jessy sembari melepaskan pelukan Vivian. "Kamu tidak apa-apa kan?" tanya sambil menatap Vivian dari ujung kepala hingga ujung kaki."Tentu saja tidak apa-apa," sahut Vivian sambil tertawa kecil. "Oh iya, lalu di mana Shine? Bukankah kamu bilang kamu bersamanya?""Dia masih di sekolahan bersama Yella. Aku dengar kamu pulang hari ini, mangkannya aku pulang lebih dulu," terang Jessi sambil mengambil ponselnya yang tiba-tiba berdering.Dan sementara Jessi mengangkat panggilan di ponselnya, kini Vivian berbalik badan dan menatap Raven yang sedang berbicara pada Gustavo. "Kapan dia mengatakan hal ini pada orang rumah?" batinnya.Di saat yang sama,
Sepuluh jam berlalu dengan Vivian yang terus berkutat dengan obat-obatan untuk menyembuhkan para tentara yang mengalami efek mengerikan dari racun yang diberikan oleh Aldrich dan sekutunya."Kamu harus istirahat," ucap Raven sembari merangkul pundak Vivian tiba-tiba.Vivian yang sedari tadi berkonsentrasi merawat para tentara pun menoleh. "Kurang sedikit lagi, tinggal beberapa orang yang belum minum penawarnya," jawabnya sambil memejamkan matanya rapat-rapat selama beberapa detik.Melihat Vivian yang menahan pusing, Raven pun menunjuk salah satu tenaga medis. "Kamu dan yang lainnya urus beberapa orang ini, dia membutuhkan istirahat," titah Raven.Vivian yang terkejut mendengar ucapan Raven langsung memaksa matanya untuk terbuka. "Apa maksud kamu, ini sudah menjadi tu—""Itu bukan hanya tugasmu, tapi juga tugas mereka. Kamu sudah cukup bekerja," potong Raven sembari menarik tubuh Vivian untuk masuk ke dalam pelukannya."Benar Nyonya, Anda sudah bekerja keras. Sisanya biar kami yang mela
Saat Vivian ingin menjawab pertanyaan Raven, tiba-tiba saja Verdick berdehem."Semuanya sudah siap, Pak," ucap Verdick dengan ekspresi serius di wajahnya."Baik," sahut Raven yang kemudian mengarahkan pandangannya pada seluruh anak buahnya yang ada di ruangan itu. "Mari kita mulai. Berhati-hatilah kalian."Semua orang pun menganggukkan kepalanya. Tatapan yakin dan siap berkorban apa pun kini mereka semua tampilkan."Kamu tunggu di sini!" titah Raven sambil menoleh pada Vivian."Tidak," tolak Vivian dengan cepat. "Aku akan ikut membantu.""Ck," decak Raven.Namun Vivian tak menghiraukan ekspresi keberatan di wajah Raven, dia dengan santai mengambil salah satu pistol yang ada di sana. "Jika kita menang kamu harus menjelaskan dari mana asal black swan," pintanya sambil memastikan peluru di dalam pistol tersebut.Raven terdiam sejenak. "Apa dia sudah tahu?" batinnya."Baik," sahut Raven pada akhirnya. Setelah itu semua orang pun keluar dari ruangan tersebut lewat beberapa
Kembali Vivian menatap ke arah Aldrich. "Kamu benar-benar ...." Dia berkata seolah tak bisa berkata-kata lagi."Jadi kamu benar-benar mengira kalau akan ada Raven bersamaku?" cibir Aldrich.Vivian menggingit bibirnya memperlihatkan pada semua orang yang ada di sana kalau dirinya sedang kesal tapi tak tahu harus berbuat apa. "Kamu harus tenang Vi," batinnya.Kembali Aldrich membuka mulutnya. "Jika dia benar-benar bersamaku, apa kamu pikir dia masih bisa hidup," imbuhnya."Kenapa? Kenapa kamu ingin menyerang dia? Apakah ada masalah di antara kalian?" tanya Vivian seperti seorang gadis biasa. "Dan Rolland, bukankah kalian bersahabat baik?" Vivian melirik Rolland yang saat ini terlihat kacau dengan wajah babak belur.Tawa dari mulut Aldrich pun menggema di ruangan tersebut. "Jadi kamu benar-benar berpikir kalau Rolland adalah orang baik, sedangkan aku orang jahat? Dasar wanita," ejeknya.Vivian mengepalkan tangannya mendengar perkataan Aldrich. Dia tahu kalau dia memang pernah tertipu ol
“Dia di sini,” batin Aldrich yang langsung mengganti ekspresi terkejut di wajahnya dengan sebuah senyum manis.“Kamu sedang mencari apa di sini?“ tanyanya sembari melangkah ke arah Vivian.“Apa dia berpura-pura atau memang tidak tahu kalau aku ada di sini?“ batin Vivian. “Tapi jika orang-orang mengenalnya sebagai dokter, seharusnya mereka sudah mengenal dia lebih dulu, jadi dia seharusnya sudah tahu aku ada di sini. Aku harus waspada.““Tidak ada. Aku hanya sedang menjalani hukuman," jawab Vivian dengan ketus sembari bersedekap. Dia tanpa ragu menunjukkan tatapan penuh permusuhan dengan laki-laki yang kini berdiri tak jauh di depannya itu.“Jadi kamu orang yang menyabotase tempat ini?“ tanya Vivian sekali lagi.“Aku? Jangan salah paham, aku tidak punya masalah dengan tentara di sini,” jawab Aldrich dengan santai.“Walaupun kelihatan tidak berbohong, tapi aku tidak bisa mempercayainya seratus persen. Setidaknya dia pasti punya andil dalam kekacauan ini, jika tidak, dia tidak mungkin se
“Dia sudah ada di sini, lalu di mana Raven? Apa semuanya sudah siap,” batin Vivian yang merasa gelisah ketika melihat salah satu orang yang tadi dia lihat di dalam dapur berbicara dengan kepala dapur.“Apa yang sedang kamu perhatikan, Vi?“ tanya Rozie sembari menepuk pundak Vivian.Vivian pun tersentak dan langsung menoleh. “Ah tidak ada apa-apa, aku hanya sepertinya pernah mengenal laki-laki itu,” jawab Vivian yang kemudian melirik laki-laki yang menjadi pusat perhatiannya selama beberapa saat yang lalu. “Atau mungkin hanya mirip saja,” imbuhnya.Rozie pun langsung menatap ke arah laki-laki yang dibicarakan Vivian, kemudian sebuah kernyitan muncul di keningnya. “Dia orang yang bertugas menjaga gerbang. Orangnya memang pendiam dan bagiku sedikit mencurigakan, tapi ….“ Dia tak melanjutkan kalimatnya.“Tapi apa?“ Vivian menyahut.“Tapi tentu saja aku tidak peduli. Asalkan aku sudah melewati setahun di sini, maka aku bisa bebas dari tempat ini, jadi aku tidak mau ikut campur dalam masal
“Ambilkan aku minum!“ titah Raven setelah Vivian sampai di depannya.Vivian langsung menyipitkan matanya. Rasa enggan dan ingin protes terlihat jelas di matanya. “Baik Pak.“ Tapi pada akhirnya itulah yang keluar dari mulutnya.Setelah itu Vivian pun melangkah meninggalkan area tersebut. Dengan cepat dia pergi ke bagian dapur agar bisa beristirahat sejenak di sana sebelum membuatkan kopi untuk Raven. Namun, sesuatu terjadi ketika dia berada di ambang pintu dapur.“Apa yang mereka lakukan,” batin Vivian sembari mundur selangkah karena melihat kepala dapur tengah berbicara dengan tiga orang tentara di sana. Dia terus memperhatikan interaksi antara keempat orang tersebut, hingga tiba-tiba saja salah seorang tentara itu mencengkeram kerah pakaian kepala dapur.“Apa yang sebenarnya terjadi,” batin Vivian sembari terus memperhatikan setiap gerakan keempat orang tersebut. Hingga sebuah poin cukup penting terlihat, salah satu tentara tersebut memasukkan sesuatu ke dalam saku pakaian kepala dap