"Ada apa?" tanya Clara dengan mata bengkak sisa menangis semalam.
Setelah mengantar sang ayah ke peristirahatan terakhir, ia terus mengurung diri di dalam kamar. Makanan yang datang ditolak, begitu juga tamu yang silih berganti ingin bertemu. Wartawan di depan rumah terus menanti kehadiran putri tunggal Bernardo De Quinn yang malam sebelumnya tertangkap basah tengah menjalin kasih dengan pengawal pribadi sang ayah, sebuah skandal yang menghebohkan jagad raya.
Sesak di dada Clara masih terasa. Marah, sedih dan sesal bercampur menjadi satu, tanpa ada yang membelanya. Biasanya selalu ada ceramah panjang yang menghantuinya setelah berulah. Tapi kini semua sepi, tak akan ada lagi cecar penuh nasihat yang terlontar untuk kebaikan gadis itu. Semua tergantikan dengan rasa bersalah yang membuatnya tak bisa tidur dan makan dengan tenang. Seandainya ia tak pergi saat itu, atau seandainya saja ia setuju bertemu dengan pria pilihan sang ayah, pasti semua akan baik-baik saja.
Masa sulit itu semakin pelik dengan kedatangan Leo dan Amy, adik-adik Bernardo, yang muncul bersama barang-barang pribadinya ke rumah mewah miliknya. Tatapannya tajam, siap menghajar Clara yang belum siap menerima semua kenyataan. Ditambah lagi dengan keberadaan David yang juga duduk di sebelah sofa kosong.
"Kita harus bicara!" kata Leo seraya menunjuk sofa kosong di hadapannya.
Langkah gontai Clara menunjukkan betapa lelahnya ia menghadapi semua ini. Hidup enggan, mati pun tak mau, begitulah kira-kira perasaan yang tengah melandanya. Karena hidup tak lagi seindah dulu.
"Akibat ulahmu kemarin, perusahaan harus menderita kerugian, kau tahu itu bukan?" tanya Leo langsung pada intinya. Clara pun mengangguk setuju, karena begitulah kenyataannya. "Maka dari itu, perusahaan meminta aku bertindak untuk menyelesaikan ini semua!" katanya yang langsung membuat keponakannya mengernyit.
"Bertindak? Memangnya apa yang akan Paman lakukan?" tanyanya bingung.
Amy menghela napas kesal. Wanita 45 tahun itu terlalu gemas melihat tingkah keponakannya yang sama sekali tak merasa bersalah dengan kejadian itu. Padahal ada pundi-pundi rupiah dan juga satu nyawa yang harus melayang karena ulahnya.
"Ya tentu saja menikah dengannya! Memangnya kau pikir apa lagi? Masalah ini tak akan selesai sampai kau menikah dan membersihkan nama baik De Quinn!" jawab Amy yang kini mulai meninggikan suaranya. "Jangan berlagak bodoh, kami tahu kalau kalian pasti melakukannya, kan!" katanya menunjuk wajah tampan yang hanya menunduk dalam penuh penyesalan.
Gadis itu terhenyak mengetahui bahwa cerita malam itu tak lagi menjadi rahasia keduanya. Ditambah lagi dengan permintaan kedua adik ayahnya yang tak pernah disangka. Bukannya tak ingin menikah, tapi Clara belum mau menikah dalam waktu dekat. Apalagi dengan pria yang tak pernah sekalipun mampir dalam bayangan akan menjadi pasangannya.
"Tapi a-aku... Aku tak mau menikah dengannya! Masih ada banyak cara untuk menyelesaikan masalah ini tanpa pernikahan!" tolaknya tegas.
Clara beranjak dari tempat duduknya, enggan membahas masalah yang ia sendiri tak tahu jalan keluarnya. Menghindar adalah satu-satunya cara yang mampu untuk dilakukannya saat ini. Karena otaknya belum bisa berpikir jernih. Namun, baru berdiri, David sudah menahan tangan gadis itu untuk tetap di tempat. Pria itu beranjak, matanya tajam, memaksa untuk bisa bicara.
"Saya akan menikah dengan Nona Clara!" katanya penuh penekanan. Maniknya menatap Clara sungguh-sungguh. "Kami akan mempertanggung jawabkan semuanya dan berjanji untuk menyelesaikannya segera!" tambahnya penuh percaya diri.
Gadis itu terhenyak untuk kesekian kalinya. David yang sejak tadi diam, mendadak buka suara dengan hasil yang tak pernah ia duga. Keputusan sepihak itu sama sekali tak didiskusikan terlebih dahulu dengannya selaku calon istri.
"Tuan David, kau..."
"Aku setuju! Akan ku atur waktu dan tempatnya, setelah itu kalian segera temui wartawan untuk membersihkan nama perusahaan!" kata Leo sumringah. "Dan satu lagi, kami berdua akan tinggal di sini untuk mengawasi kalian!" tambahnya sebelum benar-benar pergi.
Pria itu menepuk lengan keponakan dan calon keponakannya dengan senang hati. Kakinya melangkah pergi bersama Amy yang membuntuti penuh senyum kemenangan. Semua masalah selesai dalam satu kali duduk tanpa perdebatan seperti yang ia sangka.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Clara begitu melihat paman dan bibinya pergi.
"Sssst!" seru David menahan mulut Clara dengan tangannya. Pria itu memberi petunjuk agar gadis itu diam dan tenang. Sementara satu tangannya menunjukkan selembar kertas yang ia simpan di dalam saku.
"A-apa ini?" tanya Clara bingung.
Kertas yang ada di tangannya itu nampak baru, terlipat dengan rapi dengan kepala surat yang jelas menunjukkan sebuah rumah sakit swasta tempat sang ayah mengembuskan napas terakhir. Manik abu itu bergerak cepat membaca isi surat yang membuatnya penasaran.
"Ayah meninggal karena serangan jantung," katanya membaca kesimpulan di akhir tanpa tanda tanya, karena ia tahu betul penyakit itu sudah lama bersarang di tubuh Bernardo.
Namun David menggeleng pelan. Tangannya menunjuk satu kesimpulan lain. Ada satu jenis obat yang ditemukan dalam tubuh Bernardo yang menjadi pemicu serangan jantung terjadi. Sayangnya Clara menggeleng tanda tak paham.
"Ini adalah insulin, obat yang biasanya digunakan untuk penderita diabetes!" jawab David tanpa perlu mendengar pertanyaan dalam kepala nona mudanya.
Kening Clara mengernyit seketika. Ia tahu ayahnya penderita jantung, namun tak pernah ia tahu bahwa Bernardo juga penderita penyakit gula.
"Ayahku tak memiliki riwa..."
"Aku tahu!" potong David. Sebagai pengawal Bernardo yang lebih lama bersama sang tuan, ia kenal betul semua makanan, obat, kebiasaan, hingga penyakit yang sedang diderita pria tua itu. "Bukankah ini aneh? Tuan Bernardo tak memiliki penyakit diabetes tapi dia mengkonsumsi insulin," katanya memperjelas semua kecurigaan itu.
Clara berpikir keras, coba menghubungkan semua kejanggalan pada kematian sang ayah yang cepat tanpa aba-aba. Ia bahkan tak sempat bertemu dengan cinta pertamanya. Pertemuan terakhir hanya terjadi ketika sang ayah sudah terbujur kaku, tepat sebelum dilakukan penutupan peti untuk selamanya.
"Dari mana kau mendapatkannya? Kita harus tanyakan ini pada paman dan bibiku! Mereka yang...."
"Clara, stop!" David menarik tangan Clara dan menahannya sekuat tenaga. Kedua lengan kecil itu direngkuhnya erat, dengan wajah saling berhadapan. Matanya menangkap bayangan gadis kecil yang sendiri, ketakutan tanpa penguat di sisinya. "Tidakkah kau lihat bahwa mereka hanya memanfaatkanmu? Mereka hanya menggunakan kita sebagai alat penghilang masalah dan kembali mengeruk harta ayahmu!" katanya membuka mata anak semata wayang yang hilang arah.
"Paman dan Bibiku tak mungkin melakukan itu!" tegasnya tak terima atas tuduhan David.
Namun pria itu menggeleng dengan tegas. Ditunjukkannya hasil tes darah miliknya yang diambil tepat setelah keduanya pulang ke rumah.
"Kita berdua dijebak! Ada yang menaruh obat perangsang di minuman kita!" katanya membongkar semua rahasia yang disembunyikan rapat-rapat. "Membuatmu menikahiku adalah caranya menunrunkan kualitasmu sebagai pewaris, karena aku hanyalah seorang pengawal!" tambahnya yang menyusun semua alibi yang masuk akal.
Tubuh ramping itu terduduk lemas, tak sanggup lagi berpikir. Otaknya mau pecah menghadapi dua orang keluarga yang nyatanya hanya ingin mengeruk harta peninggalan sang ayah. Belum lagi dirinya yang kini akan menikah dengan seorang pria yang tak pernah ia cinta.
"Lalu aku harus apa? Aku tak punya siapa-siapa di sini! Ayahku sudah tak ada!" katanya seraya menunduk dalam tangis.
David merendah, ia berjongkok di depan Clara menarik tubuh itu ke dalam pelukan sambil berbisik, "Aku akan membantumu membongkar semua kebusukan mereka!"
***
"Minggu depan kalian akan menikah!" kata Leo menegaskan keputusannya sebagai kepala keluarga De Quinn untuk saat ini.Amy mengangguk setuju, sembari menyantap sarapannya pagi itu. Wanita dengan dandanan terang bak lampu neon itu nampak menikmati layanan yang ada di rumah besar sang kakak dengan angkuh. Gayanya bak pemilik rumah, bahkan melebihi Clara yang biasanya begitu manja dan pilih-pilih.Sementara David terus berdiri di sisi calon istrinya, masih bertugas sebagai pengawal pribadi. Sebelum sah menjadi suami-istri, keduanya sepakat untuk tetap bertindak sebagai atasan dan bawahan seperti biasa. "Selain itu, aku ingin mengatakan padamu tentang wasiat terakhir kakakku," katanya yang mampu membuat wajah Clara mendongak.Gadis yang telah kehilangan harap itu hanya mengacak makanannya tanpa selera. Ia sudah tahu bahwa pagi itu akan membicarakan terkait pernikahannya yang sudah di depan mata. Namun tak disangka bahwa sang paman akan mengatakan sebuah permintaan terakhir yang tak sempat
"Pengantin wanita dipersilakan untuk masuk!"Clara menarik napas dalam sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam gereja kecil yang berada di pinggir kota. Manik abunya mengambang penuh air mata begitu pintu terbuka dan menunjukkan isi di dalam ruangan yang tak diisi banyak orang. Hanya ada Leo dan Amy yang duduk di sisi kiri, sebagai perwakilan keluarganya. Sementara Tuang Charles, pengacara pribadi keluarga, mewakili keluarga dari David yang diketahui adalah seorang yatim piatu.Gadis itu hampir saja tersandung saat berjalan sendiri, tanpa sosok ayah yang mengantarkannya sampai ke altar. Hatinya remuk, tak pernah membayangkan pernikahan kecil yang diselenggarakan sembunyi-sembunyi agar tak ada wartawan yang meliput. Sementara di altar, telah berdiri pengantin pria tampan dengan jas berwana putih, persis seperti gaun yang kini dikenakan Clara. Setangkai mawar menghiasi kantong kirinya, membuat tubuh tegap itu semakin sedap dipandang. Senyumnya lebar, menyambut pengantin cantik dengan
"Saham milik ayahku dibekukan?"Clara mendengus kesal mendengar berita yang tak hanya mengejutkan, tapi mampu membuat tensinya naik drastis. Charles, pengacara pribadi keluarganya ternyata sudah hadir di kantor lebih dulu dari pada ia dan David. Nampaknya pria tua itu sengaja, untuk mengumpulkan data-data dan juga informasi penting agar nantinya bisa disampaikan pada sang ahli waris seharusnya."Tapi kau adalah pengacara ayahku, Tuan Charles! Harusnya kau bisa membantuku untuk mendapatkan hakku sebagai anaknya!" kata Clara berusaha menekan.Pria tambun berkacamata itu menggeleng pelan. Ia baru saja mendapatkan informasi bahwa Leo dan Amy telah menunjuk pengacara baru yang tentu saja membantu mereka untuk melawan Charles. Ditambah lagi munculnya petisi dari para pemegang saham lain yang tak mau gadis 25 tahun itu menggantikan posisi sang ayah."Aku akan coba melobi beberapa pemegang saham lain agar mau memberikmu kesempatan. Tapi aku butuh waktu, karena...""Aku tak butuh alasan apapun
"Urgh!" seru Clara kesal.Sudah satu jam lamanya ia membolak-balikkan badan, tapi matanya tak jua terpejam. Entah apa yang mengganggu pikirannya. Tapi yang jelas, ia terus melirik pria yang sejak tadi terlelap di sofa empuk dekat ranjangnya.Tangannya menyentuh dada yang kembang kempis tak karuan. Jantungnya terus berdegup kencang, terutama saat melihat wajah David yang tengah mengarungi lautan mimpi. Dengan rambut klimis, jambang tipis dan deru napas yang membuat wajahnya semakin manis."Astaga!" serunya sembari menutup pipi tomatnya dengan selimut.Ini bukan pertama kalinya ia memandangi wajah pengawal yang kini sudah sah menjadi suaminya. Tapi rasanya baru kali ini Clara merasa pria itu menarik. Garis wajah yang keras dan dingin hanya hiasan, karena nyatanya begitu lunak hatinya ketika berhadapan dengan wanita."Apa yang kau lakukan?""Hah? Apa?" tanya Clara yang terkejut begitu mendengar suara bariton David. Gadis itu beranjak dan melihat pria itu sudah dalam posisi duduk. "Kau ta
"Wow, kau datang juga!" Leo masuk ke dalam ruang kerja mendiang kakaknya dengan wajah sumringah. Ia memandangi keponakannya bersama sang pengawal pribadi yang baru saja mengikat janji. Keduanya nampak semakin kompak saja, dimulai dari pakaian yang serasi, hingga sikap yang begitu mirip.Clara tengah duduk di meja kerja ayahnya, bersama David mendampingi. Tangan keduanya sibuk dengan beberapa lembar laporan, yang entah kapan. Dari raut wajahnya, terlihat sekali bahwa mereka sedang sibuk berbincang, sebelum akhirnya Leo muncul."Bagaimana? Apakah kau siap menghadapi para pemegang saham kali ini?" tanyanya setengah mengejek.Gadis itu tergelak, menertawakan sikap kekanakan Leo yang jelas saja ditunjukkan hanya untuk memanas-manasinya. Tangannya menggenggam lembaran dengan erat, berusaha menahan amarah. Sementara David dengan sigap menenangkan. Pria 40 tahun itu tak bisa tinggal dia ketika Leo mulai menggoda istrinya. Semain Clara terpancing, semakin mereka berada di titik terendah. Usi
"Semoga berhasil!"Seorang pria tambun menyalami Clara dan David secara bergantian. Senyumnya merekah, menyambut kedatangan penerus De Quinn dengan jiwa yang lebih muda lagi. Semangatnya meluluhkan separuh peserta rapat yang pada akhirnya memberikan kesempatan pada gadis 25 tahun itu untuk memimpin pabrik kecil mereka yang nyaris saja ditutup tahun ini.Leo dan Amy muncul di akhir. Keduanya tersenyum senang, karena sang keponakan nampak menurut dengan semua anjurannya. Tangannya terjulur, tanda memberikan selamat."Semoga ucapanmu tadi bukan hanya bualan belaka!" kata Leo dengan nada mengejek.Pria paruh baya itu masih percaya bahwa apa yang dilakukan oleh Clara dan David adalah hal yang sia-sia. Pabrik kecil itu sama sekali tak bisa diselamatkan, baik dari segi keuangan, juga sumber daya manusia. Masyarakat sekitar yang banyak bekerja di sana, memiliki perangai yang berbeda dari pabrik-pabrik mereka lainnya.Tak hanya itu, permasalahan limbah juga menimbulkan perselisihan dengan ling
"Tidak bisa! Ibu tidak bisa keliling sekarang!" jawab Ratna gugup.Wajahnya mendadak pucat pasi begitu mengetahui keinginan Clara untuk keliling di pabrik yang ia pimpin. Matanya mencari alasan yang mungkin bisa diterima oleh atasannya itu. Namun baru saja akan membuka mulut, tubuh wanita cantik itu sudah beranjak dari sofa."Sedang ada perbaikan di beberapa lokasi. Kami takut Ibu tak nyaman jika berkeliling saat ini."Clara mengernyitkan kening. Manik cokelatnya mengarah pada David yang menggeleng pelan. Sebelum sampai ke lokasi, keduanya sudah mencari tahu tentang pabrik tersebut. Dan sepanjang yang mereka ketahui, tak ada laporan yang mengatakan bahwa tengah diadakan perbaikan."Tak masalah, dengan begitu aku jadi tahu sejauh apa perkembangan pabrik ini," timpal Clara santai.Tangannya sudah menggapai tas mahal yang sejak tadi ia bawa. Langkah kakinya mantap, bergerak bersama David yang mengiringi di sisi. Keduanya tak mengindahkan basa-basi dari Ratna yang terus saja mengoceh bahw
BRUGH!Ratna menurunkan laporan yang baru saja ia bongkar dari gudang tepat di depan dua atasannya. Wajahnya masih sama, gugup, seolah baru saja melakukan dosa besar. Matanya mengamati, apa yang akan dilakukan oleh keduanya pada berkas-berkas itu."Kau boleh pulang!" kata Clara dengan senyum mengembang.Sontak hal itu membuat Ratna kebingungan. Matanya coba mencari jawaban pada David yang diam dengan tangan mulai mengambil salah satu laporan yang ada di paling atas tumpukan. Ia sama sekali tak tertarik dengan perbincangan dua wanita itu."T-tapi saya bisa di sini menemani Ibu dan Bapak, siapa tahu ada laporan yang membingungkan atau ada...""Kamu pikir saya bodoh?" tanya Clara dengan nada kesal. "Hah? Bu-bukan begitu, maksud saya, siapa tahu Ibu butuh bantuan saya dalam mengoreksi laporan tersebut." Ratna kalang kabut karena baru saja membuat Clara tersinggung.Clara beranjak dari tempat duduknya. Kesabarannya mulai kembali setelah beristirahat sebentar, dan tentu saja dibantu dengan
"Jadi apa yang harus aku katakan pada mereka?" tanya Clara yang sudah mondar-mandir sejak tadi.David membaca berkas yang sempat terlewat kemarin. Karena buru-buru pulang, ia mengambil keputusan tanpa pikir panjang. Dan akibatnya, hari ini ada sekelompok masyarakat yang melakukan demo di depan gerbang pabrik, hingga keduanya harus melalui pintu samping.Clara mengintip lewat jendela ruangannya. Matanya terkejut mendapati peserta demo yang semakin banyak. Sebagian dari mereka menuntut pencabutan keputusan pemecatan untuk beberapa orang, termasuk Ratna yang ternyata juga merupakan salah seorang putri daerah. Ialah alasan dari kegiatan demo kali ini."Tunggulah sebentar lagi, kita keluar setelah ada pihak kepolisian."Namun Clara langsung mengambil posisi di samping suaminya. Hatinya tak tenang, karena ini adalah pertama kalinya ia berhadapan dengan segerombolan orang yang tak dikenal. Bukan hanya itu, sikap anarkis dan teriakan penuh makian menggambarkan dengan jelas bagaimana kepribadi
"Mobil sudah siap, kita berangkat sekarang!" teriak David dari luar kamar.Satu kalimat dari pria itu membuat Clara tersentak. Gadis itu diam untuk beberapa saat. Sejak semalam sikap mereka menjadi canggung. Lebih tepatnya sejak ciuman yang didaratkan suaminya itu tanpa aba-aba.Tentu saja itu bukan ciuman pertama mereka. Namun kali ini begitu membekas karena David membuat permainan mereka semakin dalam dan nyaris terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Beruntung keduanya masih cukup sadar diri.Gara-gara perbuatannya, David harus menerima takdir untuk tidur di luar. Ya, Clara mengusirnya dan melarang pria itu untuk tidur di kamar yang sama dengannya. Karena ia butuh istirahat dan melihat wajah suaminya membuatnya semakin tak bisa tidur."Aku turun!" katanya seraya bergerak untuk memulai hari.Dengan satu set pakaian kantor yang rapi, Clara pergi bersama David. Hanya mereka berdua tanpa ditemani sopir. Keduanya sepakat untuk bersama menjalankan tantangan dari Leo. Sehingga intensitas di
"Apa yang terjadi?" tanya David dengan telepon yang tersambung dengan pengeras suara di mobilnya.Pria itu mendengarkan dengan seksama penjelasan demi penjelasan yang diutarakan mantan bawahannya. Kepalanya berdenyut kencang setiap kali sesuatu terjadi pada sang istri. Bukan hanya karena Clara tengah sakit dan beristirahat di rumah, tapi juga karena secara kedewasaan, gadis itu masih cukup muda untuk mengemban tanggung jawab sebesar itu.Kakinya menginjak pedal gas semakin dalam, bersama fokus mata yang tak teralihkan dari jalanan. Tangannya memegangi kepala yang terus memutar otak untuk membuat gadisnya semakin kuat. Bukan untuknya, tapi minimal untuk diri Clara sendiri. Dan itu adalah tugas yang cukup berat bagi David.Clara hidup dengan bergelimang harta dengan jutaan pengawal dan pelayan yang biasa membantunya. Dengan kondisinya kini, ditambah keberadaan Amy dan Leo yang terus merongrong hartanya, maka semua tak akan bisa kembali seperti sedia kala. Gadis itu harus bisa belajar ma
"Tuan Putriku sedang sakit?" Wajah Leo yang masuk tanpa permisi ke kamar keponakannya mendapat sambutan dingin. Gadis yang masih tergeletak di atas ranjang itu hanya memandang sengit. Tangannya menggenggam ujung bantal, siap melakukan lemparan jikalau pamannya itu mulai menyebalkan."Mau ku panggilkan dokter pribadiku? Atau ku antar ke rumah sakit untuk periksa?" tawarnya dengan senyum yang nampak ramah di luar.Clara memutar matanya malas. Ia sudah tahu betul bahwa kehadiran Leo hanya untuk mengejeknya yang sedang sakit. Tak ada maksud baik di hati pria yang sudah tinggal bersamanya sejak sang ibu meninggalkan rumah. Leo dan Amy berkedok malaikat yang akan menjaga keponakannya yang menderita, tapi kenyataannya tak demikian.Dua orang dewasa itu hadir untuk menjaga harta sang ayah, untuk dimiliki dan dikuasai berdua. Dan saat ini, semua nyaris menjadi nyata. Jika Clara tak segera bangkit dan terus bertumpu pada David yang memang banyak memberikan bantuan."Sudah ku katakan sejak awal
"HATCHI!"Clara memeluk dirinya sendiri bersama selimut tebal di atas kasur empuk. Pendingin ruangan yang biasanya menyala, mendadak padam. Tentu saja karena kondisi sang pemilik yang sedang tak enak badan.Sejak pulang dari restoran, gadis itu langsung membersihkan diri dengan air hangat. Ditambah lagi semangkuk sup hangat dan secangkir teh yang nampaknya belum cukup mengobati rasa dingin yang semakin menusuk tubuhnya. "Kau yakin tak ingin ku antar ke rumah sakit?" tawar David yang masih bertahan dengan sofa empuk di ujung ranjang.Jarak keduanya memang tak terlalu jauh. Tapi keduanya masih setia untuk menjaga privasi masing-masing dengan pisah ranjang. Selain untuk menjaga diri, juga untuk meyakinkan bahwa semua hubungan ini hanya sebuah kesalahan yang diawali dengan ulah licik seseorang."I'm okay!" katanya dengan jari telunjuk dan jempol yang membentuk lingkaran pertanda ia masih baik-baik saja.Namun tak demikian yang dilihat oleh David. Mata istrinya berair, dengan ingus yang m
"Jadi ayahku yang membiayai sekolahmu?" tanya Clara tak percaya. Cangkir di tangannya bergetar hebat, saking bingungnya dengan semua kebaikan sang ayah yang tak pernah ditunjukkan pada putri semata wayangnya.Sebagai anak, Clara merasa begitu tak tahu diri. Bukan hanya dalam hal berbakti, tapi juga mengetahui sifat dan sikap sang ayah, yang sebenarnya. Semua kebaikan yang dilakukan Tuan Bernardo hanya bisa ia dengar tanpa pernah ia ketahui dengan mata kepalanya sendiri.Seperti yang sudah diterima oleh David. Semenjak lepas dari pekerjaan pengawalnya yang lama, pria itu ternyata sudah direkrut oleh sang ayah dan langsung disekolahkan kembali. Pria yang kala itu masih menjadi karyawan baru, mendapatkan banyak sekali keuntungan yang bisa saja dimanfaatkan menjadi tak baik.Namun David yang pada dasarnya memang ingin menuntut ilmu membuat kepercayaan Bernardo semakin besar. Tak hanya itu, suami dari Clara De Quinn itu terus setia, kapanpun dan di mana pun sang ayah berada. Belum cukup sa
"Aku tak tahu kau pintar bersandiwara," celetuk Clara sembari masuk ke dalam ruangan mendiang sang ayah.Kantor yang luas dengan lukisan berukuran besar Bernardo terpampang nyata di tengah ruang. Matanya tajam, tepat ke arah tempat duduk empuk yang kini Clara tempati. Keduanya seolah saling berhadapan, seperti biasanya."Aku hanya mengikuti permainan yang sedang berjalan. Aku bisa menjadi apapun yang ku mau, tergantung situasinya. Karena begitulah manusia hidup, seperti air." David menjawab panjang lebar, berusaha menjelaskan dirinya pada sang istri yang baru dinikahinya beberapa hari.Nada bicaranya berubah, sesuai dengan bagaimana cara Clara bertanya. Gadis itu berubah drastis semenjak keluar dari mobil. Ekspresinya kembali dingin, seperti Nona Muda yang biasanya ia temui sehari-hari, kasar dan angkuh. Entah apa yang merasukinya, tapi jelas sekali terlihat perbedaannya."Apa kau juga bersandiwara di depan ayahku?" tanyanya pada David yang tercekat di sofa tamu.Matanya nyalang meng
"Kami sudah menikah, sah secara hukum dan agama!" Kilat cahaya berpendar bergantian. Para wartawan terlihat antusias mendengarkan Clara dan David yang duduk berdampingan sebagai sepasang suami-istri. Keduanya sama sekali tak menyangkal bahwa foto yang beredar adalah mereka."Jadi sejak kapan hubungan ini terjalin?" Seorang pria mengacung sembari menyampaikan pertanyaannya.Mendengar pertanyaan itu, Clara tersipu malu. Tangannya menutup bibir yang tersenyum. Pipinya merona, menunjukkan gerak tubuh yang sempurna. Tiba-tiba saja ia mengalungkan kedua tangannya di lengan sang suami."Aku diam-diam mencintainya. Ayahku sepertinya tahu, maka dari itu ia sering kali menjauhkan kami. Tapi sebelum ia pergi, pada pria inilah aku dititipkan. Jadi, aku rasa tak perlu menunggu waktu lama untuk menikah, walaupun hubungan kami baru sebentar."Manik Clara dan David bertemu, seolah memberi semangat satu sama lain. Pria itu tersenyum, sembari menggenggam jari-jari manis istrinya dengan lembut. Sandiwa
"Clara, bangun! Clara, kita harus pergi sekarang juga! Clara, ayo!"Wanita cantik dengan beberapa kerutan di wajahnya nampak menggoyang-goyangkan tubuh gadis kecil yang tengah terlelap itu dengan sekuat tenaga. Namun tak ada reaksi apapun, kecuali geliat kecil dengan kelopak yang terbuka, menunjukkan sepasang manik cokelat yang indah."Ibu mau ke mana?" tanya gadis itu polos."Ke tempat yang jauh, pergi dari orang-orang jahat di sini!" jawabnya sembari mengendong Clara kecil."Aku tak mau! Lepaskan aku! Aku ingin disini!" teriakan Clara menggema, bersama tubuh besar yang tersentak di sisinya.David terjaga dengan posisi aktif sepenuhnya. Dilihatnya Clara yang masih tertidur di sofa panjang. Keringat bercucuran dengan gumam penolakan yang terus terdengar. Wajahnya mendekat, menyimak dengan baik apa yang gadis itu ucap."Aku tak mau! Ibu bisa pergi sendiri!" serunya parau.Otak David berpikir keras, bingung karena tak pernah sekalipun mendengarkan celoteh Clara tentang ibunya. Beberapa