Tubuh tetap ingin setegar batu karang yang dihantam ombak, tapi hati meleleh bagai lilin yang terbakar. Kegelisahan yang nyaris berubah menjadi pesimistis berdenyut di nadi Mentari. Masalah yang mengadang kian menjadi dilema yang menakutkan. Ia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Arya. Setelah memberikan nomor ponselnya pada Sri, Mentari memutuskan untuk pulang. Ia berjalan dengan malas melintasi beranda. Rumah ini bagai penjara mewah untuknya. Ia dibebaskan untuk pergi sesukanya, tapi tetap harus kembali dan menjalankan kewajibannya sebagai menantu keluarga Mahawira dan istri Rakhan. “Mami, Mami!” teriakan bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun menghentikan langkah Mentari setelah melewati ruang keluarga. Mata Mentari sedikit melebar melihat anak berkulit putih dan berpipi tembem itu. Rambut ikal dan mata beningnya berhasil mencuri perhatian Mentari. Rasa suka melihat anak itu tiba-tiba menyelinap ke dalam hati dan tanpa sadar membuatnya tersenyum sendiri. Dia tampan dan
Melewati hari yang sibuk ternyata tak mengubah perasaan kesal Rakhan pada Mentari. Kejadian tadi siang masih melekat dalam memorinya. Wanita keras kepala itu masih saja menuduhnya terlibat atas hilangnya Arya. Sikap tidak kooperatifnya pun membuat Rakhan lebih jengkel. Ia tidak habis pikir kenapa ayahnya sampai bisa memaksanya menikah dengan wanita sok pintar yang menyebalkan seperti Mentari.Rakhan menggoyang gelas bertangkai dan berbadan bulat berisi red wine. Alih-alih meneguk isinya, ia hanya mengamati cairan hasil fermentasi buah anggur itu. Sesekali pandangannya menembus ke luar jendela yang setinggi langit-langit dan memandangi awan, atap gedung lain, atau hanya sekadar memandang kosong. Di dalam apartemen mewah berfasilitas megah ini Rakhan biasanya menghabiskan waktu untuk menenangkan diri dari permasalahan yang sedang melilitnya. Namun, kali ini ia tidak sendirian. Sepasang tangan dengan jari-jari lentik dan berkuku oval yang dicat merah tiba-tiba mengalungi pundak lebar R
Melewati hari yang sibuk ternyata tak mengubah perasaan kesal Rakhan pada Mentari. Kejadian tadi siang masih melekat dalam memorinya. Wanita keras kepala itu masih saja menuduhnya terlibat atas hilangnya Arya. Sikap tidak kooperatifnya pun membuat Rakhan lebih jengkel. Ia tidak habis pikir kenapa ayahnya sampai bisa memaksanya menikah dengan wanita sok pintar yang menyebalkan seperti Mentari.Rakhan menggoyang gelas bertangkai dan berbadan bulat berisi red wine. Alih-alih meneguk isinya, ia hanya mengamati cairan hasil fermentasi buah anggur itu. Sesekali pandangannya menembus ke luar jendela yang setinggi langit-langit dan memandangi awan, atap gedung lain, atau hanya sekadar memandang kosong. Di dalam apartemen mewah berfasilitas megah ini Rakhan biasanya menghabiskan waktu untuk menenangkan diri dari permasalahan yang sedang melilitnya. Namun, kali ini ia tidak sendirian. Sepasang tangan dengan jari-jari lentik dan berkuku oval yang dicat merah tiba-tiba mengalungi pundak lebar R
“Tari ....” Ucapan lirih Lucian menghentikan debat kecil antara Mentari dan Anton. Seuntai rasa syukur dan bahagia menyelusup ke dalam hati Mentari meski tak bisa ia tunjukkan dengan berapi-api. Mentari hanya memandangi Lucian dari tempat duduknya tanpa senyuman untuk mengekspresikan kebahagiaannya. Hanya binar cerah yang terpancar dari mata cokelatnya yang menggambarkan betapa Mentari senang ayahnya sudah bangun dan bisa berbicara lagi kepadanya. “Iya, Pa.”“Sedang apa kau di sini?” Suara Lucian terdengar sedikit serak.Sedang apa? Mentari mengerutkan dahi. “Tari sedang menunggui Papa. Papa sakit.”“Kau pulang saja. Kau harus mempersiapkan resepsi pernikahanmu.”Itu lagi. Mentari mendesah kesal. Seketika ia merasa keberadaannya di sana tidak diinginkan. “Tapi Papa kan sedang sakit. Tari—““Apakah suamimu tahu kau di sini?” potong Lucian dengan nada menyelidik.“Kenapa Papa peduli sekali dengan menantu Papa? Dia tahu atau tidak, itu tidak penting, Pa.” Mentari melipat tangan di atas
Mentari mengunci pintu kamar sesaat setelah Rakhan meninggalkan kamarnya. Ia khawatir Rakhan akan kembali lagi dengan membawa kemarahan. Mentari belum siap dan tidak akan pernah siap untuk menerima kemarahan Rakhan seperti malam itu. Menurutnya, Rakhan tidak waras. Pria itu sebelas-dua belas dengan ayahnya yang selalu memaksakan kehendak pada orang lain. Menyebalkan! Mentari menghardik Rakhan di dalam hati. Tubuhnya tiba-tiba saja meremang dan hatinya seketika tertusuk memori pahit di malam menyakitkan itu. Cara Rakhan meminta haknya sebagai suami membuat Mentari nyaris mengalami trauma. Sekarang, ia dihadapkan pada fakta bahwa ia dan Rakhan harus melakukannya lagi sampai dia hamil. Oh, tidak!Tidak berpikir untuk membersihkan diri atau hanya sekadar berganti pakaian, Mentari langsung terjun bebas ke tempat tidur dan membenamkan wajahnya ke atas bantal. Beberapa saat kemudian ia mengangkat wajah, menarik napas dalam-dalam, dan berguling. Ia berbaring dengan posisi terlentang dan men
Tidak ingin menciptakan keributan, Rakhan akhirnya menyetujui usulan ayahnya. Seperti yang sudah direncanakan, siang itu seluruh anggota keluarga pergi ke rumah sakit. Kedatangan mereka kebetulan bertepatan dengan jam besuk hingga pihak rumah sakit harus menyambut mereka melalui pintu belakang supaya tidak menimbulkan kegaduhan. Mengingat keluarga Mahawira cukup terkenal di arena bisnis dan gosip, tentu saja pihak rumah sakit tidak mau mengambil risiko terjadinya kehebohan yang bisa mengganggu pasien lain. Mereka lebih memilih mengistimewakan keluarga pemilik saham terbesar rumah sakit tersebut dengan memberi sedikit keleluasaan. Sebagai besan dan orang paling tua di antara mereka, Handoko menjadi orang pertama yang masuk ke kamar perawatan Lucian. Sementara itu, yang lain menunggu di ruang tunggu khusus yang telah disiapkan pihak rumah sakit, sebuah kamar rawat inap di sebelah kamar Lucian yang disulap menjadi ruang tunggu yang nyaman. Bukan Rakhan Mahawira namanya jika pria itu bi
“Selamat siang, Pak Lucian.” Kehadiran Rakhan menyelamatkan Mentari dari rasa gugup dan panik. Mentari menelan kembali umpatannya pada Rakhan yang sempat terucap di dalam hati. Ia memperhatikan langkah Rakhan sampai berhenti berjalan dan berdiri di samping ranjang Lucian, berseberangan dengannya. Namun, Rakhan tak sedikit pun berusaha untuk melihat dan melirik Mentari. Pandangannya hanya tertuju pada Lucian. “Selamat siang. Apa kabarmu, Nak?” Lucian tampak semringah melihat menantunya. Binar matanya yang cerah mengindikasikan adanya kegembiraan dalam diri pria itu. Sebaliknya, Mentari merasa sedih dan kasihan melihat ayahnya yang begitu bangga dengan kehadiran Rakhan. Pria itu tidak tahu bagaimana menantu yang selalu ia pedulikan tidak pernah sedikit pun memedulikannya. Keadaan tak seimbang itu yang menyayat-nyayat hati Mentari walaupun ayahnya sudah tidak berlaku adil kepadanya dan Arya. “Baik.” Rakhan hanya menjawab dengan singkat. Ia bahkan tidak menanyakan kabar Lucian dan ju
Rakhan memalingkan pandangan ke arah lain berusaha menenangkan dirinya sendiri. Suatu kesalahan besar telah mengundang Mentari ke sana dan berbicara dengannya. Sekarang bukan ia yang mengintimidasi Mentari, melainkan sebaliknya. Dengan cara paling halus dan sangat sederhana, Mentari mampu menyerang sisi lain dari diri Rakhan. “Aku tidak pernah ingin berada di dalam keluarga ini, apalagi menjadi salah satunya. Jika jalan terbaik untuk terbebas dari pernikahan ini aku harus melahirkan anakmu, aku setuju.” Mentari pasrah karena tak punya pilihan yang lebih baik. Suaranya pun bahkan terdengar sedikit bergetar ketika berbicara. Rakhan tertegun. Tiba-tiba saja ia merasa menjadi pria paling tidak beruntung sekaligus paling brengsek. Hanya untuk bebas dari belenggu pernikahan, ia harus memaksa seorang wanita melahirkan anaknya. Ia ingin sekali memaki dirinya sendiri, tapi seperti halnya Mentari, ia pun tak punya pilihan. Ayahnya begitu menginginkan cucu darinya dan Mentari. “Apa kau yak
Setelah kejadian siang tadi, Rakhan merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Namun, sebagian dari dirinya tetap merasa gelisah. Setibanya di rumah, ia mendapati Mentari yang sedang duduk di ruang tamu sedang menidurkan Arga di pangkuannya. Kehangatan yang terpancar dari pandangan Mentari selalu menjadi penghiburan bagi Rakhan, meskipun malam itu ia tahu bahwa berita yang akan disampaikannya bukanlah sesuatu yang ringan.Rakhan melepas jasnya dan berjalan mendekati Mentari. Ia mengecup bibir Mentari, lalu dahi Arga. Semampunya Rakhan mencoba tersenyum seakan-akan tidak ada yang terjadi. Namun, Mentari tahu ekspresi Rakhan tidak seperti biasa. Wanita itu bisa merasakan ada sesuatu yang mengganjal dari cara Rakhan menatapnya.“Kau baik-baik saja?” tanya Mentari penuh kuriositas sambil menepuk-nepuk paha Arga yang mulai tertidur pulas. Tatapannya penuh dengan kekhawatiran meski ia berusaha terlihat tenang.Rakhan mengambil napas dalam-dalam, lalu duduk di sebelahnya. “Ada sesuatu
Rakhan mengecup pipi Mentari, lalu berkata pelan di telinganya, “Sampai bertemu sore nanti.”“Hubungi aku kalau kau ada meeting dadakan, ya,” ucap Mentari sambil menurunkan Arga dari gendongannya.“Tentu saja.” Sekali lagi Rakhan mengecup pipi Mentari. “Aku pergi. I love you.”“Aku juga. Hati-hati di jalan.”Usai makan siang bersama Mentari, Rakhan kembali ke kantornya. Siang itu, Jakarta tampak begitu terik, tetapi Rakhan hampir tidak merasakannya. Pikirannya kembali dijejali berbagai urusan pekerjaan, terutama proyek yang melibatkan Annika. Namun, tak dapat dipungkiri, sosok Evander pun kerap muncul di benaknya sejak pertemuan mereka. Ia masih meragukan pria itu meskipun kredibilitasnya sebagai pengacara profesional tidak diragukan lagi. Tanpa ia sadari, mobil yang dikemudikan sopirnya sudah hampir setengah perjalanan. Mereka baru saja berhenti di perempatan ketika tiba-tiba dua orang pria berhelm yag mengendarai sepeda motor sport mendekat ke jendela mobilnya. Rakhan yang tengah a
Rakhan duduk di belakang meja kerjanya. Pandangannya menembus jendela kaca yang memperlihatkan pemandangan kota dari ketinggian. Sementara itu, pikirannya dipenuhi dengan informasi yang baru saja diterima. Drew datang ke kantornya pagi itu dengan sebuah rahasia yang selama ini tersembunyi dalam bayang-bayang keluarga Annika.“Evander adalah saudara sepupu Annika,” kata Drew sambil meletakkan map di meja Rakhan. “Anak dari adik tiri ayahnya yang tidak pernah dipublikasikan. Keluarga mereka merahasiakan hubungan itu, karena ibu Evander dan kakak ayahnya Annika tidak pernah menikah.”Rakhan menggenggam tepi meja, mencerna kata-kata Drew dengan hati-hati. “Pantas aku tidak menemukan informasi apa pun tentang hubungan mereka di media sosial dan situs pencarian. ”“Benar,” sahut Drew. “Mereka punya ikatan keluarga yang cukup rumit. Itu sebabnya hubungan mereka disembunyikan. Oh, iya. Kau juga harus tahu bahwa Evander itu seorang duda. Mantan istrinya orang Jerman. Mereka bercerai tiga tahun
Rakhan pulang lebih larut dari biasanya. Pekerjaan di kantor membuatnya kelelahan, tetapi begitu membuka pintu, kehangatan yang familiar segera menyambutnya. Cahaya lampu yang terang dan cerah, aroma harum masakan yang masih tersisa di udara, dan yang paling menyenangkan, Mentari sudah berdiri di ambang pintu dengan senyuman manis yang selalu membuatnya merasa tenang.Mentari berjalan mendekat dan seperti kebiasaannya, ia memberikan ciuman lembut di pipi Rakhan. “Selamat datang, sayang,” bisik Mentari dengan lembut.Rakhan tersenyum, merasakan sejenak kehangatan itu. “Selalu menyenangkan pulang ke rumah,” jawabnya pelan sambil membelai lembut rambut Mentari. Seketika, rasa lelahnya menjadi berkurang.“Aku sudah memasak makanan favoritmu, sup asparagus kepiting.” Mentari mengumumkan menu makan malam yang telah disajikannya di atas meja makan.“Wah, makan besar nih!” Rakhan menanggapi dengan antusias. “Kalau begitu, aku mandi dulu. Nanti kita makan bareng.”“Jangan lama-lama, ya. Aku su
Sore itu, rumah Mentari dan Rakhan dipenuhi dengan kehangatan. Arga sedang bermain di tengah ruang keluarga, sementara Mentari dan Rakhan duduk di sofa sambil menikmati teh hangat. Angin sepoi-sepoi dari jendela yang terbuka membawa suasana tenang. Untuk beberapa saat, mereka bisa melupakan kesibukan dan drama di luar sana.Namun, ketenangan itu segera terganggu ketika suara bel pintu berbunyi. Mentari menatap Rakhan dengan sedikit heran. Mereka tidak sedang menantikan tamu sore ini.“Siapa ya kira-kira?” tanya Mentari sambil berdiri dan menuju pintu.Rakhan mengangkat bahu dan melirik Arga yang masih sibuk bermain, lalu dia berdiri mengikuti istrinya. Ketika Mentari membuka pintu, mereka mendapati Annika berdiri di sana bersama seorang pria bertubuh tinggi yang tidak lain adalah Evander."Annika? Evander?" Mentari terkejut, tapi senyumnya tetap ramah. "Apa yang membawa kalian ke sini?"Annika tersenyum dan mengangkat sebuah bingkisan di tangannya. "Kami datang untuk mengucapkan terim
Rakhan menatap Aldy dengan tajam. "Ketika kau menyakiti seseorang, itu menjadi urusan semua orang. Apalagi kalau dia orang yang aku kenal."Annika terduduk di atas paving block. Kedua tangannya bertumpuk menutupi pipinya yang bengkak sambil menangis. Mentari dengan cepat berjongkok di samping Annika, memeriksa keadaan wanita itu. “Kau baik-baik saja?” tanyanya penuh kekhawatiran.Annika menoleh pelan ke arah Mentari. Sambil terisak-isak, wanita itu berkata dengan suara bergetar dan jelas sekali ia sedang menyembunyikan rasa sakitnya. “A-aku nggak apa-apa.” Aldy melangkah mendekat, masih marah, tapi Rakhan berdiri tegak di depannya, seperti dinding pelindung yang tidak mungkin ditembus. "Pergilah sebelum situasi ini menjadi lebih buruk buatmu," kata Rakhan dingin dan dengan nada mengancam yang jelas.Aldy tampak ragu sejenak. Ekspresi wajahnya terlihat mengeras. “Dia tunanganku. Aku punya hak atas dia!”Rakhan tidak bergeming, hanya menatap Aldy dengan mata yang penuh amarah. "Kau ti
Mentari mengambil napas dalam-dalam, menenangkan degup jantungnya yang terasa berantakan. Setelah beberapa detik yang terasa begitu panjang, ia memutuskan bahwa menunggu tanpa kepastian hanya akan membuat pikirannya semakin semrawut. Tanpa berpikir panjang, ia berbalik dan melangkah menuju gerai kopi tempat Rakhan dan Annika duduk. Suara langkah kakinya terasa begitu berat, seakan-akan setiap langkah membawa sejuta pertanyaan yang menunggu jawaban.Ketika Mentari tiba di depan meja mereka, Rakhan yang awalnya fokus pada pembicaraannya dengan Annika, mendongak dan terkejut melihat kehadirannya. Dalam sekejap ekspresi serius di wajahnya berubah menjadi bingung. Namun, itu hanya sesaat sebelum akhirnya menyambut Mentari dengan senyum."Tari? Kamu di sini?" Rakhan bertanya, suaranya terdengar tenang tapi menyimpan keheranan.Annika yang duduk di hadapan Rakhan tersenyum manis menyambut istri sang mantan. "Hai, Mentari. Lama tak bertemu."Mentari memaksakan diri tersenyum, berusaha menjaga
"Arga sudah tidur?" Rakhan bertanya pelan, mengintip dari balik pintu kamar.Mentari mengangguk sambil menepuk-nepuk punggung putra mereka yang baru saja terlelap. "Iya, baru saja."Rakhan mendekat, duduk di tepi ranjang sambil mengamati wajah kecil Arga. "Dia sudah semakin besar. Cepat sekali waktu berlalu."Mentari tersenyum tipis. "Iya, rasanya baru kemarin aku menggendongnya untuk pertama kali."Keluarga kecil Mentari dan Rakhan telah menemukan ritme kebahagiaan mereka. Kehadiran Arga, putra mereka yang kini genap berusia satu tahun, melengkapi segala yang pernah diimpikan Mentari. Meski terkadang malam-malam panjang diisi tangisan bayi dan kelelahan, bagi Mentari, setiap detik bersama Arga dan Rakhan merupakan kebahagiaan tersendiri. Rakhan, meski jarang bisa menunjukkan sisi romantisnya, ia selalu membuat hari-hari Mentari penuh dengan kejutan kecil yang manis. Sebuah pelukan tiba-tiba, hadiah yang sederhana tapi bermakna, atau sekadar ikut begadang di sampingnya saat Arga sedan
Gemuruh emosi mendadak memenuhi dada dan membuatnya sesak napas. Berusaha tetap tenang, Mentari melontarkan tanya tanpa emosi berlebihan, “Kau masih berhubungan dengannya?”“Ada pekerjaan yang mengharuskan aku tetap terhubung dengannya.” Rakhan menjelaskan dengan hati-hati.Sementara itu, ponsel Rakhan terus berdering membuat telinga Mentari tidak nyaman. Mentari mengembus napas. Wanita itu tidak bisa menyembunyikan kekesalannya hingga ia hanya diam.“Tari ....”Mentari mengembus napas. Mencoba untuk bersikap dewasa memang tidak mudah tapi perlu dicoba. “Angkat saja.”“Kau yakin?”“Iya.”