Setelah pintu tertutup, suasana dalam ruangan terasa lebih tenang. Valerie masih diam di tempatnya, menatap tempat sampah di mana buket bunga itu kini teronggok tanpa arti. Ia menghela napas pelan."Terima kasih," ucapnya tanpa menoleh pada Aldrich.Aldrich tidak segera menjawab. Ia mendekati meja Valerie, bersandar di tepiannya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kau bisa saja memberitahuku jika bajingan itu masih mengganggumu."Valerie mendesah, akhirnya menatap Aldrich. "Aku tidak mau membuat masalah ini jadi lebih besar. Lagi pula, aku bisa menanganinya sendiri."Aldrich menyipitkan mata, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. "Begitu? Karena dari yang kulihat, kau tampak terganggu."Menggigit bibirnya, Valerie tidak ingin mengakui hal itu. Namun, Aldrich selalu bisa membaca dirinya lebih baik daripada yang ia harapkan."Aku hanya tidak suka melihat Charlos masih berusaha kembali dalam hidupku. Itu menjijikkan," akhirnya ia mengaku.Aldrich mengangguk kecil, lalu mengangkat daguny
"Hhh...." Aldrich menggenggam kedua pipi Valerie, mempertemukan dahi mereka. Nafas keduanya masih memburu setelah ciuman panas yang baru saja terjadi. Sontak, Valerie pun terkekeh pelan, dan Aldrich ikut tersenyum melihatnya. "Ini kantor," ujar Valerie di sela usahanya mengatur nafas. "Ya, aku tahu," jawab Aldrich, masih enggan menjauh. Tatapannya tetap terkunci pada Valerie, sementara posisi mereka yang begitu dekat bisa dengan mudah menimbulkan kesalahpahaman. Senyuman jahil terukir di bibir Aldrich. "Kau tak penasaran bagaimana rasanya bercinta di kantor? Atau kalau kau mau, kita bisa masuk ke ruangan rahasia." Ia hanya berniat menggoda, yakin Valerie akan segera mendorongnya sambil mengatakan bahwa ia gila—seperti biasanya. Namun kali ini, sesuatu yang berbeda terjadi. Alih-alih menjauh, Valerie justru meremas lembut kedua tangan Aldrich, menatapnya dalam dengan tatapan yang tak terduga. "Sepertinya menarik," bisiknya dengan senyum menggoda. Pernyataan itu seperti bensin
“Argh... sial!” Aldrich mengeluarkan geraman tertahan, matanya yang awalnya terpaku pada bibir Valerie, kini beralih ke tangan wanita itu. Valerie menatap Aldrich dengan sorot mata nakal yang menggoda. Sesekali, dengan sengaja, ia memberikan tekanan lembut pada bagian sensitif Aldrich, membuat pria itu kembali mengerang. Aldrich menutup mata dengan gigi rapat. “Jangan bermain-main denganku, babe,” desis Aldrich dengan suara serak, penuh gejolak. Valerie terkekeh, “Bermain seperti apa?” tanyanya polos, “Seperti ini?” Tambahnya, tangannya dengan lihai membuka gesper celana Aldrich, lalu perlahan menurunkan resletingnya. Matanya fokus, dan Aldrich segera menahan tangan Valerie saat wanita itu hampir membebaskan bagian tubuhnya yang sudah tegang sempurna. “Aaa!”Tanpa banyak bicara, Aldrich mengangkat Valerie dengan gerakan cepat, menggendongnya seperti koala. Dengan tergesa, ia membuka pintu ruang rahasia. Valerie, yang melihat kegugupan Aldrich, hanya bisa tertawa kecil. “Kau ter
“Di mana celana dalamku?”Aldrich yang sedang mengenakan kemejanya menoleh sekilas, menatap Valerie yang masih menyelimuti tubuh polosnya dengan selimut.“Aku tidak tahu,” jawabnya santai.Seingatnya, ia membuang sepotong kain itu secara asal saat terburu-buru melucuti pakaian Valerie tadi.Sontak Valerie pun mendengus, menatap Aldrich tajam. “Kau pasti melemparkannya ke entah di mana.”Aldrich hanya tersenyum kecil, lalu kembali mengancingkan lengannya dengan tenang. “Kau tinggal pilih yang baru di lemari itu. Semua model dan warna terbaru tersedia. Oh, aku suka yang hitam tali satu,” godanya.Valerie langsung mengambil kotak tisu di atas nakas dan melemparkannya ke arah pria itu. “Dasar gila!”Aldrich menangkap kotak tisu itu dengan mudah, tawanya meledak. “Aku serius, babe. Aku memilih semuanya sendiri. Kau bisa coba satu per satu kalau mau.”Valerie menggerutu sambil bangkit menuju lemari, membuka pintunya dengan kesal. Matanya membulat saat melihat deretan pakaian dalam berbagai
Valerie menghela napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang menggantung di udara. “Aldrich, kau tidak perlu membuangnya seperti itu,” katanya, meskipun dalam hatinya ia juga merasa risih dengan keberadaan paket dari Charlos. Aldrich menatapnya tajam. “Jadi, kau ingin menyimpannya?” tanyanya dengan nada yang sulit ditebak. Valerie mengusap pelipisnya. “Bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak ingin kau terusik oleh hal sepele seperti ini.” Pria itu mendekat, kedua tangannya bertumpu pada meja, mengurung Valerie di antara tubuhnya. “Sepele?” ulang Aldrich dengan nada rendah. “Pria itu masih berusaha masuk ke dalam hidupmu, Valerie. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.” Jarak mereka begitu dekat hingga Valerie bisa merasakan hembusan napas Aldrich di kulitnya. Sorot mata pria itu intens, penuh dominasi yang khas. Bukannya merasa takut, Valerie justru tersenyum kecil, mencoba menenangkan Aldrich. “Dan kau pikir aku akan membiarkan dia masuk lagi?” balasnya, menatap langsung
Charlos mengambil ponsel dan menjawab panggilan itu tanpa basa-basi.“Kau lihat sendiri, kan?” tanya Jennifer di seberang telepon, suaranya penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Valerie benar-benar beruntung. Dia mendapatkan Aldrich, sementara aku kehilangan segalanya.”Charlos menyeringai tipis. “Jadi, kau ingin bekerja sama?”Jennifer tertawa kecil. “Aku sudah punya rencana. Kau hanya perlu melakukan bagianmu.”Charlos menyipitkan mata, tertarik. “Apa yang kau rencanakan?”Jennifer tidak langsung menjawab. Hening sesaat sebelum ia berkata dengan suara yang lebih pelan dan berbahaya, “Percayalah, setelah ini, Aldrich tidak akan lagi percaya pada Valerie.”Senyum Charlos semakin lebar. “Kedengarannya menarik.”Mereka berdua akhirnya sepakat untuk bertemu di tempat yang lebih aman untuk membahas rencana mereka lebih lanjut.Sementara itu, di dalam kantor, Aldrich sedang menelpon seseorang dengan ekspresi dingin.“Aku ingin semua gerak-gerik Charlos diawasi,” katanya pada orang di se
“Kau tersenyum?” tanya Valerie tak percaya.Aldrich baru saja memintanya menemani lembur, tapi tiba-tiba pria itu malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Valerie yang menunggu dengan tumpukan berkas di depan. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00, kantor mulai sepi, hanya tersisa mereka berdua di ruangan ini.Aldrich yang baru saja menerima pesan dari mata-matanya tentang pergerakan Charlos dan Jennifer terkekeh pelan. Ia mengunci ponselnya dan meletakkannya di atas meja sebelum menatap Valerie dengan senyum yang membuat wanita itu kesal sekaligus penasaran.“Maaf, babe. Aku terlalu fokus.” Suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.Valerie mendengus, lalu melipat tangan di depan dada, sikapnya seperti seseorang yang sedang merajuk. Namun, detik berikutnya, ia tersadar akan reaksinya sendiri. Mengapa ia bisa bertingkah seperti ini di depan Aldrich dengan begitu alami? Padahal, saat pria itu menyatakan perasaannya, ia dengan tegas menolak.Namun kini, me
"Jadi?" Charlos menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Jennifer dengan penuh selidik. "Apa rencanamu?"Jennifer tersenyum kecil, matanya bersinar licik. Dengan gerakan anggun, ia mengaduk kopinya perlahan sebelum menjawab, "Kita akan memainkan kesetiaan sebagai senjata. Buat Aldrich percaya bahwa Valerie masih mencintaimu, bahwa hubungan kalian belum benar-benar berakhir."Charlos mengangkat alis, belum sepenuhnya yakin. "Dan kau yakin itu akan berhasil?"Jennifer tertawa pelan, suara lembutnya penuh racun. "Tentu saja." Ia menatap Charlos tajam. "Valerie meninggalkanmu karena perselingkuhanmu denganku. Sekarang, bagaimana jika Aldrich berpikir Valerie masih berharap kembali padamu? Pria sepertinya tak akan tahan dengan pengkhianatan. Dia pasti akan membenci Valerie."Charlos mengusap dagunya, perlahan senyum terbentuk di wajahnya. Membayangkan skenario itu, membayangkan Valerie yang kaya raya dan terluka, kembali dalam genggamannya, terdengar sangat menarik.Dulu, ia meningga
"Kau benar-benar tidak tertarik padaku?" tanya Aldrich, suaranya lebih dalam dari biasanya.Menatap Valerie dengan mata yang sulit ditebak. Ada keraguan, ada penasaran, dan sedikit—hanya sedikit—kesedihan yang terselip di sana.Valerie terkekeh, nada tawanya sedikit berat karena efek alkohol yang mulai menguasai dirinya. Ia mengangkat gelas wine ke dahinya, membiarkan dinginnya menyentuh kulitnya sejenak sebelum matanya terpejam. Beberapa detik berlalu, lalu ia membuka matanya lagi, menatap Aldrich dengan sorot yang sulit diartikan."Aku suka," katanya, suaranya samar dan menggoda.Aldrich mencondongkan tubuhnya ke depan, ekspresinya berubah serius. "Lalu mengapa kau menolakku?" tanyanya, ada nada sedih.Valerie tersenyum miring, lalu mencondongkan tubuhnya juga, jari-jarinya menyentuh bahu Aldrich dengan lembut. "Dengar," katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. Ia kemudian meletakkan gelasnya ke atas meja, seolah ingin lebih fokus pada percakapan mereka. "Kau itu lelaki pil
"Aku tidak tahan!"Valerie hampir saja berdiri, tapi sebelum dia sempat menggeser kursinya, Jennifer dan Charlos sudah lebih dulu bangkit. Wanita itu menempel mesra di lengan Charlos, tangannya melingkar erat seolah menandai kepemilikannya.Valerie menyipitkan mata, mengamati keduanya yang berjalan keluar dari kafe dengan penuh percaya diri, seakan tak peduli dengan tatapan orang-orang sekitar. Jennifer bahkan tertawa kecil sambil menepuk dada Charlos sebelum mereka benar-benar menghilang di balik pintu kaca."Akhirnya mereka pergi juga," keluh Valerie, lalu menjatuhkan dirinya kembali ke kursi dengan napas panjang.Aldrich, yang sejak tadi menyaksikan reaksinya dengan ekspresi terhibur, terkekeh santai. "Apa kau juga ingin pergi? Tidak perlu menebak, mereka pasti berakhir di hotel malam ini."Valerie menoleh cepat, menatap Aldrich dengan wajah setengah kesal. "Aku tidak peduli!" ketusnya, memutar bola mata.Tapi Aldrich tidak tertipu. Dia melihat bagaimana Valerie meneguk minumannya
“Aku tidak tahu mengapa bisa sebuta itu dan menyukai dia!” keluh Valerie, sebelum meneguk minumannya dengan gerakan cepat dan kesal.Di hadapannya, Aldrich hanya terkekeh kecil. Saat pelayan datang membawa cangkir espresso keduanya, ia mengangguk singkat sebagai tanda terima kasih, lalu kembali memusatkan perhatiannya pada Valerie.“Wajar saja jika manusia khilaf,” komentarnya santai, nada suaranya penuh hiburan melihat ekspresi kesal Valerie.Valerie menghela napas panjang, lalu diam-diam mengangguk, mengakui kebenaran ucapan Aldrich. Dahulu, ia benar-benar menganggap Charlos sebagai pria baik. Seseorang yang ia pikir akan selalu ada untuknya. Namun kenyataannya, pria itu dengan mudah mengkhianatinya, memilih sahabatnya sendiri, Jennifer—dan meninggalkan Valerie begitu saja.Dan sekarang? Mendengar sendiri rencana busuk serta percakapan menjijikkan antara Charlos dan Jennifer membuatnya ingin menertawakan dirinya sendiri. Dulu, ia begitu bodoh hingga menangisi pria brengsek seperti
"Jadi?" Charlos menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Jennifer dengan penuh selidik. "Apa rencanamu?"Jennifer tersenyum kecil, matanya bersinar licik. Dengan gerakan anggun, ia mengaduk kopinya perlahan sebelum menjawab, "Kita akan memainkan kesetiaan sebagai senjata. Buat Aldrich percaya bahwa Valerie masih mencintaimu, bahwa hubungan kalian belum benar-benar berakhir."Charlos mengangkat alis, belum sepenuhnya yakin. "Dan kau yakin itu akan berhasil?"Jennifer tertawa pelan, suara lembutnya penuh racun. "Tentu saja." Ia menatap Charlos tajam. "Valerie meninggalkanmu karena perselingkuhanmu denganku. Sekarang, bagaimana jika Aldrich berpikir Valerie masih berharap kembali padamu? Pria sepertinya tak akan tahan dengan pengkhianatan. Dia pasti akan membenci Valerie."Charlos mengusap dagunya, perlahan senyum terbentuk di wajahnya. Membayangkan skenario itu, membayangkan Valerie yang kaya raya dan terluka, kembali dalam genggamannya, terdengar sangat menarik.Dulu, ia meningga
“Kau tersenyum?” tanya Valerie tak percaya.Aldrich baru saja memintanya menemani lembur, tapi tiba-tiba pria itu malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Valerie yang menunggu dengan tumpukan berkas di depan. Jam sudah menunjukkan pukul 19.00, kantor mulai sepi, hanya tersisa mereka berdua di ruangan ini.Aldrich yang baru saja menerima pesan dari mata-matanya tentang pergerakan Charlos dan Jennifer terkekeh pelan. Ia mengunci ponselnya dan meletakkannya di atas meja sebelum menatap Valerie dengan senyum yang membuat wanita itu kesal sekaligus penasaran.“Maaf, babe. Aku terlalu fokus.” Suaranya terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya.Valerie mendengus, lalu melipat tangan di depan dada, sikapnya seperti seseorang yang sedang merajuk. Namun, detik berikutnya, ia tersadar akan reaksinya sendiri. Mengapa ia bisa bertingkah seperti ini di depan Aldrich dengan begitu alami? Padahal, saat pria itu menyatakan perasaannya, ia dengan tegas menolak.Namun kini, me
Charlos mengambil ponsel dan menjawab panggilan itu tanpa basa-basi.“Kau lihat sendiri, kan?” tanya Jennifer di seberang telepon, suaranya penuh dengan kemarahan yang terpendam. “Valerie benar-benar beruntung. Dia mendapatkan Aldrich, sementara aku kehilangan segalanya.”Charlos menyeringai tipis. “Jadi, kau ingin bekerja sama?”Jennifer tertawa kecil. “Aku sudah punya rencana. Kau hanya perlu melakukan bagianmu.”Charlos menyipitkan mata, tertarik. “Apa yang kau rencanakan?”Jennifer tidak langsung menjawab. Hening sesaat sebelum ia berkata dengan suara yang lebih pelan dan berbahaya, “Percayalah, setelah ini, Aldrich tidak akan lagi percaya pada Valerie.”Senyum Charlos semakin lebar. “Kedengarannya menarik.”Mereka berdua akhirnya sepakat untuk bertemu di tempat yang lebih aman untuk membahas rencana mereka lebih lanjut.Sementara itu, di dalam kantor, Aldrich sedang menelpon seseorang dengan ekspresi dingin.“Aku ingin semua gerak-gerik Charlos diawasi,” katanya pada orang di se
Valerie menghela napas panjang, mencoba meredakan ketegangan yang menggantung di udara. “Aldrich, kau tidak perlu membuangnya seperti itu,” katanya, meskipun dalam hatinya ia juga merasa risih dengan keberadaan paket dari Charlos. Aldrich menatapnya tajam. “Jadi, kau ingin menyimpannya?” tanyanya dengan nada yang sulit ditebak. Valerie mengusap pelipisnya. “Bukan begitu maksudku. Aku hanya tidak ingin kau terusik oleh hal sepele seperti ini.” Pria itu mendekat, kedua tangannya bertumpu pada meja, mengurung Valerie di antara tubuhnya. “Sepele?” ulang Aldrich dengan nada rendah. “Pria itu masih berusaha masuk ke dalam hidupmu, Valerie. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi.” Jarak mereka begitu dekat hingga Valerie bisa merasakan hembusan napas Aldrich di kulitnya. Sorot mata pria itu intens, penuh dominasi yang khas. Bukannya merasa takut, Valerie justru tersenyum kecil, mencoba menenangkan Aldrich. “Dan kau pikir aku akan membiarkan dia masuk lagi?” balasnya, menatap langsung
“Di mana celana dalamku?”Aldrich yang sedang mengenakan kemejanya menoleh sekilas, menatap Valerie yang masih menyelimuti tubuh polosnya dengan selimut.“Aku tidak tahu,” jawabnya santai.Seingatnya, ia membuang sepotong kain itu secara asal saat terburu-buru melucuti pakaian Valerie tadi.Sontak Valerie pun mendengus, menatap Aldrich tajam. “Kau pasti melemparkannya ke entah di mana.”Aldrich hanya tersenyum kecil, lalu kembali mengancingkan lengannya dengan tenang. “Kau tinggal pilih yang baru di lemari itu. Semua model dan warna terbaru tersedia. Oh, aku suka yang hitam tali satu,” godanya.Valerie langsung mengambil kotak tisu di atas nakas dan melemparkannya ke arah pria itu. “Dasar gila!”Aldrich menangkap kotak tisu itu dengan mudah, tawanya meledak. “Aku serius, babe. Aku memilih semuanya sendiri. Kau bisa coba satu per satu kalau mau.”Valerie menggerutu sambil bangkit menuju lemari, membuka pintunya dengan kesal. Matanya membulat saat melihat deretan pakaian dalam berbagai
“Argh... sial!” Aldrich mengeluarkan geraman tertahan, matanya yang awalnya terpaku pada bibir Valerie, kini beralih ke tangan wanita itu. Valerie menatap Aldrich dengan sorot mata nakal yang menggoda. Sesekali, dengan sengaja, ia memberikan tekanan lembut pada bagian sensitif Aldrich, membuat pria itu kembali mengerang. Aldrich menutup mata dengan gigi rapat. “Jangan bermain-main denganku, babe,” desis Aldrich dengan suara serak, penuh gejolak. Valerie terkekeh, “Bermain seperti apa?” tanyanya polos, “Seperti ini?” Tambahnya, tangannya dengan lihai membuka gesper celana Aldrich, lalu perlahan menurunkan resletingnya. Matanya fokus, dan Aldrich segera menahan tangan Valerie saat wanita itu hampir membebaskan bagian tubuhnya yang sudah tegang sempurna. “Aaa!”Tanpa banyak bicara, Aldrich mengangkat Valerie dengan gerakan cepat, menggendongnya seperti koala. Dengan tergesa, ia membuka pintu ruang rahasia. Valerie, yang melihat kegugupan Aldrich, hanya bisa tertawa kecil. “Kau ter