“Astaga, kenapa sulit sekali untuk fokus!”Valerie mengetik dengan ritme cepat, mencoba mengalihkan perhatiannya dari semua hal yang berbau Aldrich. Tetapi, fakta bahwa ia masih bisa mencium aroma khas pria itu pada dirinya membuatnya hampir kehilangan konsentrasi. “Kenapa dia selalu membuat segalanya lebih rumit?”Ia menghela napas, melirik jam di laptopnya. Presentasi rapat pagi ini sudah hampir selesai disiapkan, namun pikirannya tetap terganggu. “Dia bosmu, Valerie. Fokus. Jangan sampai ada yang salah hari ini.”Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. “Masuk,” katanya tanpa menoleh.Pintu terbuka, dan suara langkah yang sudah terlalu familiar membuat tubuhnya sedikit menegang. Aldrich masuk dengan percaya diri, membawa cangkir kopi di tangannya. Tatapan Valerie langsung terangkat, bertemu dengan senyum kecil pria itu yang entah kenapa selalu terasa berbahaya.“Aku hanya ingin memastikan kau sudah siap,” katanya ringan.Valerie mengangkat satu alis. “Aku selalu siap, Tuan Aldri
Valerie menepuk-nepuk pipinya pelan, mencoba menenangkan diri setelah kejadian barusan. “Dia benar-benar tidak punya malu!” pikirnya sambil menghela napas panjang. Ia segera melangkah cepat menuju ruang kerjanya, berusaha menghindari tatapan siapa pun yang mungkin curiga.Sesampainya di ruang kerja, Valerie menutup pintu rapat-rapat dan menyandarkan punggungnya ke pintu. Jantungnya masih berdetak cepat. Ia menunduk, menatap ujung sepatunya, sambil berusaha memahami perasaannya sendiri.“Kenapa aku harus terjebak dengan pria seperti itu?” gumamnya pelan, mengacak rambutnya dengan frustrasi. Namun, bayangan wajah Aldrich dan cara dia memandangnya tadi terus muncul di benaknya. Valerie menggelengkan kepala keras-keras. “Fokus, Valerie. Jangan biarkan dia mengendalikanmu!”Ia kembali duduk di mejanya, mencoba melanjutkan pekerjaannya. Namun, pikirannya terus melayang pada Aldrich. Bagaimana pria itu dengan mudah menggoda, membuat dirinya terpojok, tapi tetap merasa aman dalam pelukann
“Ini hasil laporannya, Tuan.”Bastian menerima map cokelat yang disodorkan Jacob, orang kepercayaannya. Dengan tenang, pria paruh baya itu membuka map tersebut, matanya tajam meneliti dokumen dan foto-foto yang terlampir di dalamnya.“Nona Valerie sudah dua kali terlihat menginap di mansion Tuan Aldrich,” ujar Jacob, menunjuk salah satu foto yang menunjukkan Valerie sedang masuk ke mansion tersebut.Bastian mengangguk pelan, ekspresinya sulit ditebak. Namun, ada sedikit senyum kepuasan di wajahnya. “Sepertinya mereka benar-benar menjalani perjodohan ini dengan baik. Aku sempat khawatir Valerie akan mencoba kabur lagi, atau lebih buruk, kembali pada mantan kekasihnya.”Jacob tetap berdiri tegak, menunggu instruksi lebih lanjut.“Bagus, Jacob. Kerja yang baik,” lanjut Bastian sambil menutup map itu. “Namun, jangan lengah. Terus pantau mereka. Aku ingin tahu setiap detail, sekecil apa pun. Jika ada sesuatu yang mencurigakan atau keluar dari rencana, segera laporkan padaku.”“Baik, Tuan
“Ah, ini.”Valerie sedang menyiapkan dokumen dan laptopnya di ruang rapat ketika Aldrich masuk dengan langkah santai. Pria itu mengenakan setelan jas biru tua yang pas di tubuhnya, membuat seluruh peserta rapat—terutama wanita—tidak bisa menahan diri untuk melirik. Namun, Aldrich hanya memusatkan perhatiannya pada satu orang: Valerie.“Dia tampan sekali.”“Benar, aku penasaran wanita seperti apa yang akan menjadi pendampingnya.”“Aku juga, tetapi lelaki seperti dia, seringkali berganti pasangan. Seperti berganti pakaian.”Bisik wanita-wanita itu yang dapat Aldrich dengar meski samar. Aldrich melangkah mendekat, berdiri di belakang Valerie yang sedang memeriksa slide presentasi di layar besar. Tanpa peringatan, Aldrich membungkuk, menyandarkan lengannya di kursi Valerie, lalu berbisik di telinganya.“Semangat, aku akan memberimu hadiah yang tidak bisa kau tolak jika rapat hari ini berhasil.” Valerie membeku sejenak, wajahnya memanas. “Tuan Aldrich,” bisiknya tajam, melirik pria itu.
“Bukalah.”Aldrich menyodorkan kotak persegi berukuran sedang yang dihias dengan pita satin elegan. Di atas kotak itu, tertera logo sebuah brand terkenal yang Valerie tahu harganya pasti tidak murah.“Kau tidak serius memberiku lingerie, kan?” Valerie melotot, mengingat candaan Aldrich saat masih di kantor tadi.Aldrich tertawa lepas, suara tawanya memenuhi ruang mobil. Ia melepaskan sebelah tangannya dari kemudi untuk menutup mulut menggunakan punggung tangannya, seolah menahan diri agar tidak terlalu keras tertawa.“Buka saja, Babe,” jawab Aldrich dengan santai. “Kau akan tahu setelah melihatnya.”Mata Valerie menyipit penuh kecurigaan. “Kau terlihat sangat mencurigakan,” katanya sambil memegang kotak itu erat.Aldrich meliriknya sekilas, senyuman menggoda masih terukir di wajahnya. “Jika itu memang lingerie, aku akan merasa sangat kecewa jika kau menolak memakainya malam ini.”Valerie memutar bola matanya dengan dramatis. “Kalau ini benar lingerie, kau tidak akan bisa melihatku mem
Di apartemennya, Valerie mencoba menenangkan diri, namun tawa riuh dari teman-temannya di ruang tamu segera mengalihkan perhatian.“Valerie! Kau akhirnya datang!” seru Megan dengan senyum lebar, langsung melompat dari sofa untuk menghampirinya.“Lama sekali! Apa Aldrich menahanmu terlalu lama?” goda Hanna dengan tatapan jahil.Valerie menahan napas sejenak sebelum menghela napas panjang. Ia melepas sepatu dengan gerakan lelah, lalu meletakkan kotak hadiah di meja. “Tak usah tanya, kalian tidak akan percaya apa yang terjadi.”Mata Luna langsung tertuju pada kotak itu. “Apa itu?” tanyanya penuh rasa ingin tahu. “Hadiah dari si bos tampanmu?”Valerie mendesah. Tidak mungkin ia menjelaskan semuanya—pertemuan pertamanya dengan Aldrich di Paris, bagaimana ia salah menduga bahwa pria itu adalah seorang gigolo yang ia bayar hanya untuk melupakan sakit hatinya karena Charlos. Serta perjodohan konyol yang diatur Ayahnya. Itu semua terlalu memalukan untuk dibahas, bahkan dengan teman-temannya.
“Hah...”Valerie menghela napas panjang sebelum membuka pintu apartemennya. Aldrich baru saja pergi, meninggalkan aroma parfumnya yang masih melekat di udara.Perasaan Valerie sedikit tak enak. Dia tahu jika teman-temannya akan bertanya setelah ini. Klik. Pintu terbuka, dan benar saja akan tebakannya beberapa saat lalu. “Apa yang kalian lihat?” tanyanya, memicingkan mata ke arah teman-temannya yang tengah menatapnya dengan senyum penuh arti.Luna langsung menghampirinya, mengambil dua kantong besar berisi camilan dari tangan Valerie dan membawanya ke dapur. “Jadi, siapa pria tadi? Itu Aldrich, kan?” tanyanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.Valerie menghela napas lagi, menatap teman-temannya yang jelas-jelas menunggu jawaban. “Ya, dia Aldrich,” katanya akhirnya, berusaha terdengar santai.“Damn! Kau tidak bilang kalau dia setampan itu!” seru Hanna, hampir memekik.Megan dan Luna mengangguk cepat, setuju tanpa ragu.“Lalu bagaimana ceritanya dia sampai mengantarkan camilan
“Megan.”Valerie memanggil dengan lembut, membuat tiga pasang mata di ruangan itu beralih padanya. Sudah hampir pukul tiga dini hari, tetapi keempat sahabat itu masih terjaga, menikmati malam penuh canda tawa.“Kenapa kalian menatapku seperti itu?” tanya Megan, mengernyit curiga melihat senyum-senyum penuh arti dari ketiga sahabatnya.Valerie tertawa kecil, lalu berdiri dan berjalan menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan sebuah kotak persegi yang diikat pita dua warna, hitam dan pink, tampak elegan namun menggoda.“Kami punya sesuatu untukmu,” kata Valerie sambil mengangkat kotak itu di depan Megan. Ia menatap Luna dan Hanna sekilas, meminta persetujuan sebelum menyerahkannya. Setelah mendapat anggukan semangat dari keduanya, Valerie menyodorkan kotak itu kepada Megan.“Apa ini?” Megan menerima kado tersebut dengan mata yang tiba-tiba berkaca-kaca. Ia mencoba menahan emosinya, tapi jelas hadiah itu mengharukannya.“Bukalah, kau akan tahu,” ujar Luna dengan senyum
Aldrich bersandar ke sofa, menatap api yang berkobar di perapian sebelum akhirnya berbicara."Tentang yang terakhir kali, aku masih menunggu jawabanmu. Kalau-kalau kau berubah pikiran."Valerie menoleh, menatapnya dengan alis bertaut. "Apa maksudmu?"Aldrich tersenyum miring, sorot matanya tajam namun tetap tenang. "Pernyataan cintaku. Aku tahu kau merasakannya sama seperti aku. Jadi, berhentilah berpura-pura bahwa itu tidak terjadi. Jangan terus-terusan menolak aku."Valerie membuka mulut, hendak membantah, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Karena di lubuk hatinya, ia tahu Aldrich benar.Dan perasaan yang ia rasakan saat ini juga nyata.Namun, ia menepisnya. "Kau mungkin salah mengartikannya, Aldrich. Bisa saja perasaan itu hadir karena kita menjadi partner ranjang. Itu hanya sesaat."Entah sudah berapa kali Valerie mengatakan itu.Membuat Aldrich menghela napas pelan, lalu mengalihkan pandangannya ke perapian. Ekspresinya tidak berubah, tetapi Valerie bisa merasakan ketegangan y
Valerie tahu ia harus mundur. Ia harus menjauh sebelum semuanya semakin tak terkendali. Tapi ketika Aldrich semakin mendekat, ketika matanya yang tajam menatap bibirnya seolah meminta izin tanpa kata, Valerie justru tetap diam.Tidak ada keraguan. Tidak ada kecanggungan.Lalu, bibir Aldrich menyentuhnya—hangat, lembut, dan begitu pasti.Ciuman itu bukan tuntutan, bukan juga sesuatu yang tergesa-gesa. Aldrich menciumnya dengan tenang, seakan memberi waktu bagi Valerie untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Sentuhannya dalam, tapi tidak mendesak. Seolah ia ingin Valerie merasakan setiap sensasi, setiap getaran yang muncul dari sentuhan mereka.Dan Valerie? Ia membalas.Tanpa sadar, jemarinya yang tadinya mengepal di dada Aldrich kini melonggar, jemari kecilnya merayap naik, menyentuh leher pria itu, lalu berhenti di belakang tengkuknya. Ia tidak menarik Aldrich lebih dekat, tapi juga tidak mendorongnya pergi.Aldrich menangkap isyarat itu dengan cepat. Ciumannya semakin dalam, lebih
"Letakkan saja, biar aku yang membersihkan sisanya," kata Aldrich saat melihat Valerie bersiap membereskan piring dan peralatan makan mereka.Namun, bukannya menurut, Valerie justru tetap berdiri di tempatnya. "Kau sudah memasak. Biar aku yang membersihkannya." Ia mengerucutkan bibir, menunjukkan ketidaksetujuannya.Aldrich hanya meliriknya sekilas sebelum dengan sigap mengambil piring dari tangan Valerie. "Kau duduk saja," ujarnya tegas, lalu membawa semua peralatan makan ke wastafel.Tapi tentu saja, Valerie tidak mau diam begitu saja. Ia justru mengikuti Aldrich sampai ke wastafel, memperhatikannya dengan penuh rasa ingin tahu.Aldrich, tanpa menghiraukannya, mengambil celemek hitam yang tergantung di samping lemari dapur, lalu mengenakannya dengan gerakan terlatih. Ia juga menyarungkan sepasang sarung tangan karet sebelum mulai mencuci piring dengan telaten. Jemarinya yang biasanya tampak garang saat mengetik di laptop atau menggenggam setir mobil, kini dengan luwes menggosok set
“Kau ingin melihat kamarmu?”Suara Aldrich yang dalam menyadarkannya dari lamunannya. Valerie menoleh, menemukan pria itu sudah berdiri di dekat tangga dengan ekspresi tenang, tetapi matanya tetap mengamati Valerie dengan cermat.Valerie mengangguk pelan, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang merayapi dirinya. Ia mengikuti Aldrich menaiki tangga lebar yang terbuat dari kayu gelap dengan pegangan besi berukir. Langkah mereka nyaris tidak bersuara di lantai kayu, menciptakan suasana yang semakin sunyi.Setibanya di lantai atas, Aldrich membuka salah satu pintu di sisi kiri koridor. Valerie melangkah masuk dan langsung terdiam.Kamar itu lebih besar dari apartemennya.Tempat tidur berukuran king dengan seprai putih bersih berada di tengah ruangan, berhadapan langsung dengan dinding kaca yang memperlihatkan pemandangan hutan di kejauhan. Ada sofa kecil di sudut ruangan, serta meja kerja yang terlihat simpel namun elegan.Dibandingkan dengan kemewahan yang dingin di mansion Aldrich, ruang
Mobil melaju dengan kecepatan stabil di jalanan yang semakin lengang. Valerie yang awalnya masih tegang, perlahan mulai menyadari sesuatu. Jalanan yang mereka lalui bukanlah rute menuju apartemennya, juga bukan ke mansion Aldrich.“Kita ke mana?” tanyanya, menoleh pada Aldrich dengan alis berkerut.Aldrich tetap menatap ke depan, wajahnya tanpa ekspresi. “Tempat yang lebih aman.”Valerie merasakan firasat aneh menyelusup ke dalam dirinya. “Tapi apartemenku—”“Sudah tidak aman,” potong Aldrich tegas. “Juga mansionku. Charlos bukan orang bodoh. Jika dia cukup berani mengikutiku sejauh ini, dia pasti punya mata-mata yang memantau setiap pergerakanku.”Valerie menggigit bibirnya, pikirannya berputar. “Lalu ke mana kau membawaku?”Aldrich akhirnya menoleh sekilas ke arahnya, sebelum kembali fokus pada jalan. “Villaku.”Valerie mengerjap. “Villa?”Aldrich mengangguk. “Di luar kota, jauh dari pemukiman. Hanya sedikit orang yang tahu keberadaannya, dan tidak ada yang bisa menemukanmu di sana
“Kita meninggalkan mobil ini di sini?” Valerie bertanya pelan.Aldrich mengangguk. “Ya, biarkan mereka mengikuti yang salah.”Bawahan Aldrich segera membawa mobil lama mereka pergi ke arah yang berbeda, seolah mereka masih ada di dalamnya. Sementara itu, Aldrich dan Valerie sudah berada di kendaraan baru, melaju ke arah lain.Di kejauhan, Charlos yang masih memantau melalui sistem pelacakan mulai menyeringai.“Aku tahu kau cerdas, Aldrich.” Ia berbisik, matanya menatap titik bergerak di layar ponselnya.Namun, senyumannya perlahan memudar ketika ia menyadari sesuatu yang aneh. Mobil yang ia lacak tiba-tiba bergerak ke arah yang tidak masuk akal.Charlos mengerutkan kening. “Tunggu… Apa ini?”Dalam hitungan detik, titik tersebut berhenti di satu lokasi. Lalu—hilang.Charlos mengumpat. Ia baru sadar—Aldrich telah mengelabuinya. Charlos membanting ponselnya ke dashboard dengan frustrasi. Rahangnya mengeras, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang kini terasa semakin gelap di bawah ba
Dari dalam mobil dengan kaca gelap yang terparkir di seberang jalan, Charlos mengamati pemandangan di depannya dengan rahang mengatup keras. Jemarinya mengepal di atas pahanya, sementara matanya tak lepas dari sosok Valerie yang tertawa lepas di samping Aldrich."Cih... Lihat kau sekarang, Valerie," gumamnya dengan nada penuh kebencian. "Bersama pria yang bahkan tidak seharusnya ada di sisimu."Charlos menyandarkan tubuhnya ke jok mobil, menekan dahinya dengan ibu jarinya sementara pikirannya berkecamuk. Ia sudah memperhitungkan banyak hal, tetapi satu hal yang tidak ia duga adalah betapa cepatnya Aldrich mengambil alih posisi di hati Valerie. Seharusnya, wanita itu masih terluka dan rentan setelah pengkhianatannya dulu.Harusnya, Valerie kembali padanya.Harusnya, Valerie tidak bisa bahagia dengan pria lain."Kau pikir kau sudah menang, Aldrich?" gumamnya rendah, bibirnya menyeringai tipis. "Aku tidak akan diam saja melihat ini."Charlos lalu meraih ponselnya dan membuka pesan dari
Mobil mewah Aldrich melaju mulus di sepanjang jalan utama, meninggalkan pusat kota yang sibuk. Valerie bersandar di jok penumpang, sesekali melirik ke luar jendela, mencari sesuatu.“Aldrich, berhenti di situ,” ujarnya tiba-tiba, matanya berbinar melihat gerobak cendol pinggir jalan.Aldrich mengerutkan kening, melirik ke arah yang dimaksud Valerie. Di sana, seorang penjual cendol tua tengah sibuk melayani pelanggan dengan mangkuk plastik berisi es serut hijau, santan, dan gula merah kental. Motor-motor terparkir sembarangan di sekitar gerobak, beberapa orang duduk di bangku kayu, menyeruput minuman mereka dengan puas.Dahi Aldrich semakin berkerut. “Di sana?” tanyanya, terdengar tidak yakin.“Iya,” Valerie mengangguk penuh semangat. “Aku mau cendol dari bakul itu.”Aldrich menekan rem perlahan, tetapi tak segera menepikan mobilnya. Tatapannya kembali ke Valerie, kali ini dengan ekspresi skeptis. “Kau yakin? Kita bisa pergi ke restoran atau kafe yang menjual cendol lebih bersih dan
Dalam ruangan yang remang-remang, Charlos duduk di belakang mejanya, jemarinya mengetuk-ngetuk permukaan kayu dengan ritme lambat. Wajahnya datar, tetapi sorot matanya menyiratkan ketidakpuasan.“Rencana kita gagal,” katanya dengan suara rendah, menelepon seseorang.Di seberang sana, Jennifer tengah duduk santai di sebuah salon mewah. Wanita itu meniup lembut kukunya yang baru saja dihiasi nail art berkilauan, seolah apa yang dikatakan Charlos bukan masalah besar.“Kalau begitu, jalankan rencana kedua,” ujar Jennifer santai, suaranya terdengar seperti mendikte. “Aku ragu kali ini Valerie akan lolos.”Senyum tipis muncul di sudut bibir Charlos. Tanpa menanggapi lebih lanjut, ia menutup panggilan itu secara sepihak. Jemarinya kini bertaut, sementara tatapannya meredup penuh obsesi.“Kau harus kembali padaku, Valerie,” gumamnya pelan. “Jika tidak, maka tak akan ada yang bisa memilikimu.”Sementara Valerie baru saja menyusun laporan terakhirnya hari itu. Berkas-berkas sudah tertata rapi,