Selama penerbangan menuju Jakarta. Tidak ada percakapan di antara Gerald dan Agnes. Bahkan, pria itu pun larut dengan kegiatan sendiri dibandingkan membuka obrolan bersama Agnes. Perempuan itu enggan memulai dan berusaha meredam rasa kesal, mengingat pria di sampingnya telah mempermainkan Agnes. “Nyebelin banget,” gerutu Agnes menatap kesal Gerald yang sudah dijemput sopir keluarga. Padahal, mereka beriringan keluar dari bandara setelah perjalanan di pesawat dan duduk bersebelahan. Gerald seolah tidak mengenal Agnes dan berlalu tanpa ucapan selamat tinggal. Ia melihat Honda CR-V putih itu berlalu dari bandara dan meninggalkan Agnes sendirian. Perempuan yang membawa satu koper dan kardus merek oleh-oleh, segera memanggil taksi. Ia ingin bertemu anak tercinta, meluapkan kebahagiaan. Perjalanan yang ditempuh untuk sampai ke kompleks perumahan sederhana tidak begitu lama. Hanya empat puluh lima menit dengan keadaan jalan yang lancar. “Anak Mama ... kangen banget udah lama nggak ketem
“Nenes janda cantik di kompleks ini, lho, Nak. Dia masih muda dan baru punya satu anak. Banyak pria muda di sekitar sini sering sekali bicarakan Nenes. Kamu nggak mau ikut mengantri dapatkan hati Nenes?” “Uhuk! Uhuk!” Gerald mengulum senyum melihat Agnes serabutan mengambil air putih dibantu Nek Lastri yang ikut panik. Pria itu sempat melihat Agnes sangat menyukai camilan dari Nek Lastri. Ia menikmati sambil mendengarkan Gerald diajak bicara wanita lansia itu. Tapi ia tidak berpikir Nek Lastri sedang mempromosikan Agnes di hadapan mantan kekasihnya. “Pelan-pelan makannya, Nenes. Jangan buat khawatir karena orang keselek juga bahaya. Nggak bisa dianggap remeh kalau yang tersedak makanan terlalu berat dan kasar.” Nek Lastri duduk di samping Agnes dan membantu menepuk serta mengusap punggung perempuan cantik itu. Agnes mengangguk dengan menyisakan sedikit batuk. Ia mengambil satu gelas berisi air putih untuk mendorong sisa makanan di tenggorokan. Dengan gerakan cepat Agnes menoleh
Perempuan berseragam olahraga itu masih manja bergelayut di leher kekasihnya. Ia menempelkan tubuh depan di punggung kekasihnya, lalu menaruh dagu di bahu tegap itu. Suara kecupan terisi di ruang ekstrakurikuler basket dan tidak lantas membuat pria yang sedari tadi sibuk melihat profil calon anggota baru merasa risih. “Masih lama, Kak? Jadi, kan, antar aku ke tempat bimbel?” Agnes mengingatkan kekasihnya yang sudah lima menit lalu mengabaikannya. Sebenarnya bukan mengabaikan, melainkan memang membutuhkan waktu merekrut anggota dan Agnes sudah dipersilakan melakukan aktifitas apa pun di ruangan sedang ini. Ukuran ruang ekskul ini setengah dari ruang kelas umum. Beberapa fasilitas tambahan cukup nyaman dan ditunjang camilan yang selalu tersedia. Gerald—kekasih Agnes—yang baru pensiun beberapa waktu lalu pun masih pada kebiasaan; menyediakan makanan untuk anggota lain. “Sebentar lagi selesai,” sahut Gerald membiarkan Agnes mengusel di ceruk lehernya. Jam masih menunjukkan pukul tiga
Tertulis di dalam surat pernikahan kontrak, jika Agnes akan mendapatkan beberapa keuntungan sebagai bentuk ganti rugi dari pernikahan mereka yang hanya berlangsung selama satu tahun kedepan. Beberapa di antaranya mencakup satu unit mobil sport, rumah di kawasan elit, uang sepuluh milyar dan saham atas resort yang ditempati Agnes. Bahkan, rumah di kawasan elit akan dipilih sendiri oleh Agnes, maksimal satu minggu sebelum pernikahan mereka berlangsung secara tertutup. Ini bukan hal yang ditakuti Agnes. Ada hal lain membuatnya sedikit gundah dan hampir mundur. Sayangnya, dendam masa lalu Agnes terpantik kembali dan ia ingin menghancurkan telak Jiera. Ia akan membuat posisi di antara mereka terbalik, lalu Agnes bisa memenangkan keinginan terpendamnya juga. Gerald melihat tangan kanan Agnes dengan cepat membuat sebuah garis berbentuk tanda tangan. Pola cepat setelah dalam kurun kurang dari dua menit Agnes membaca isi surat tersebut. “Kamu berubah pikiran?” tanya Gerald masih tidak perca
Gerald menatap tidak percaya hal yang diucapkan Agnes. Ia tidak pernah berpikir Agnes akan sefrontal ini dalam mempertanyakan sesuatu yang menurut Gerald privasi. Hubungan di antara Gerald dan Jiera dikonsumsi untuk mereka berdua saja. Tapi melihat tatapan tegas Agnes dan keingintahuan lebih jauh, membuat Gerald mendapati sosok baru di depannya.Ini bukanlah seorang Agnes Zefanya yang dikenal sebagai General Manager. Perempuan dewasa dengan segala sikap mandiri, tidak berusaha mengusik kehidupan orang lain dan hanya mementingkan kebahagiaan sendiri tanpa perlu memikirkan permasalahan orang lain.Perempuan di hadapannya telah berbeda dari sifat yang dulu sangat manja terhadap Gerald. Entah alasan apa Agnes mempertanyakan hal tersebut.Ia memaksakan sedikit senyum. Mungkin Gerald salah mendengar pertanyaan Agnes.Pria itu berdeham pelan dan berucap, “Kamu lagi banyak pikiran, Nes? Apa Tante kamu menghubungi kamu mengenai sikapku yang mempermalukan beliau?”“Kenapa mengalihkan pembicaraa
Manik hitam Agnes melihat interaksi antara Irvin dan Gerald. Pria itu membawa Irvin ke ruang tengah, lalu menyiapkan mainan edukasi, saling berbicara satu sama lain. Gerald justru menyukai bagaimana Irvin terlihat ingin berbicara banyak. Sesekali pria itu membuat Irvin tertawa. Gerald bangun lebih pagi dibandingkan Agnes yang terlelap di samping Irvin. Seluruh pakaian mandi, lalu menyiapkan ASI untuk Irvin dilakukan Gerald. Bahkan, Gerald sudah memesan sarapan pagi dan mereka makan bersama di balkon ruang tengah. “Kamu mau aku antar pulang jam berapa?” Agnes terkesiap. Ia mendongak dan mendapati Gerald mendekati Agnes sambil menggendong Irvin yang terlelap. Ia segera bangun dari kursi balkon ruang tengah. Perempuan itu tidak sadar jika Irvin sudah cukup lama bermain, lalu tertidur seraya masih memegang botol minum. Bibir itu masih mengemut dibantu dengan tangan bebas Gerald yang tidak menahan beban tubuh Irvin. “Ge. Kamu marah sama aku?” “Marah karena apa, Nes?” Bibir ranum itu
Gerald melangkah ringan menuju pintu utama rumah orangtuanya. Senyum manis tidak pudar saat ingatan kuat mengenai kejahilannya pada Agnes berjalan sempurna. Ia tahu Agnes terpaksa harus menyuapi, sedangkan tangan kanan Gerald sibuk membantu Irvin menikmati makan siang. Setidaknya ia berhasil mengambil kesempatan dalam kesempitan, meskipun tatapan membunuh Agnes cukup membuat Gerald takut. “Akhirnya kamu sudah pulang, Nak. Mami nggak bisa hubungi nomor ponsel kamu dan ternyata memang nggak aktif sama sekali.” Gerald menoleh ke sumber suara, berniat untuk menjelaskan dari pertanyaan Mami kesayangannya. Namun, tatapan Gerald sudah tertuju di ujung sofa, tepat di samping Maminya yang semringah menyambut kedatangan Gerald. “Jiera?” “Kejutan!” Gerald mematung saat tubuh seksi itu sudah melangkah lebar, lalu mendekap erat tubuh Gerald menumpahkan segala kerinduan. Mami Gerald yang melihat pelukan sepasang tunangan itu pun mengulas senyum kecil. Dua orang di hadapannya memang lebih ser
Secara mendadak Agnes meminta bertemu Gerald di kafe beberapa hari lalu mereka singgahi. Perempuan itu beralasan ingin memberikan berkas penting keuangan resort dan permasalahan lain yang sudah dirangkum. “Ini sudah cukup malam kalau kita bertemu di luar rumah kamu, Nes.” “Aku nggak mau tetangga salah paham dengan kehadiran kamu di rumahku.” Agnes melirik sekilas jam tangannya. “Lagipula masih jam sembilan dan kompleks benar-benar sepi sekitar setengah sebelas malam.” Ia masih bisa pulang dengan keadaan biasa saja karena jarak kafe dan rumahnya tidak terlalu jauh. Ada salah satu tetangga di blok yang sama mengadakan hajatan akhir pekan nanti. Jadi, dipastikan keadaan kompleks tidak akan sepi lebih cepat. Gerald memilih mengalah sambil menatap berkas satu tumpuk yang sudah di print Agnes. “Kenapa harus dikasih sekarang? Aku nggak minta karena berpikir kamu harus menikmati liburan di Jakarta.” “Sudah ada Titania juga yang mengerjakan tugas kamu. Dan ya, kamu masih bisa mengirim via
“Liam. Barusan aku dapat telepon dari Jiera. Dia menangis terus dan mengatakan dengan sesenggukan, kalau dia sangat mencintai Ge. Aku nggak tau maksud dia ngomong kayak gitu tanpa sebab. Tapi aku merasa hubungan di antara mereka lagi nggak baik.” “Apa jangan-jangan mereka putus?” Papi Gerald—Liam Ogawa—menelaah ucapan sang istri yang berjalan mendekat sofa di mana lelaki itu sedari tadi menyelesaikan pekerjaan di ruang tengah. “Mereka berdua sudah berstatus tunangan, Indira. Sebentar lagi menikah dan aku rasa Ge nggak berniat melakukan, kecuali ada kesalahan fatal yang terjadi di antara mereka.” Wanita cantik berusia di pertengahan empat puluh tahun itu mengambil duduk di samping suaminya. Ia diam, ikut memikirkan seluruh tangis Jiera dan mengatakan rasa cintanya. “Anak kita selingkuh?” “Yang nangis sambil memohon, siapa?” “Jiera,” jawab Mami Gerald polos, sedangkan hatinya cukup gusar. Pernikahan Jiera dan Gerald sudah semakin di depan mata. Banyak sekali halangan yang membuat
“Biru, merah ama ijau.” “Waaahhh! Hebat sekali cucu Nenek!” Bukan hanya Mama Agnes yang bertepuk tangan heboh, melainkan sang suami—Kakek Irvin—ditemani beberapa kerabat dekat Irvin yang masih di sekolah dasar ikut takjub dengan kepintaran Irvin. Apalagi paras tampan Irvin yang semakin terlihat perpaduan serasi. “Dengar kan, Kek? Cucu kita ngucapin ‘R’ lumayan bagus,” lanjut wanita itu berseri ke arah sang suami, meminta persetujuan dari lelaki itu. “Iya, Ma. Cucu Kakek ini pintar, mirip Maminya waktu kecil,” puji Papa Agnes dan menyodorkan satu keping biskuit pada Irvin yang banyak tersaji di meja ruang tamu. Seluruh hidangan dan camilan sudah tersaji sangat banyak. Menyambut kedatangan Agnes beserta keluarga kecilnya. Tidak tanggung-tanggung, Papa Agnes sengaja sudah membeli kolam renang karet untuk cucu kecilnya dan bisa juga memuat untuk sanak saudara yang masih kecil. Perlengkapan untuk berenang juga sudah lebih dari cukup dan akan dipakai sore nanti. “Anak kalian pintar, N
“Aku nggak pernah tau, kalau kamu sedekat itu dengan Arumi.”Gerald baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengikat ulang dasi yang ia lepas saat berada di unit Agnes. Tatapan Gerald sudah terkunci dengan perempuan yang berdiri di sisi ranjang, menatap dirinya sinis.Tangan kanan Agnes terangkat sambil menggoyangkan ponsel Gerald. “Semesra itu sampai dia harus chat lewat nomor kontak pribadi kamu, hm?”“Arum? Ibu pengganti Irvin?”Pertanyaan yang lebih berupa memastikan itu nyatanya membuat dada Agnes sesak. Ia mengembuskan napas kasar, mengepalkan erat ponsel Gerald sebagai pengalihan emosi. Entah kenapa sedari awal Agnes benci Gerald memperlakukan manis seorang perempuan.Mungkin sedari dulu hanya Agnes yang sangat penuh diberikan perhatian, tatapan lekat dan perlakuan manis. Ia belum terbiasa melihat Gerald berbagi hal yang dulu tetaplah Agnes Zefanya pemenangnya. “Memangnya ada berapa nama Arum yang kamu kenal?”“Nes,” panggil Gerald melihat perubahan raut itu berubah tidak lem
“Lo nggak ada rasa curiga sama Ibu pengganti Irvin?”Baru saja Agnes menyelesaikan panggilan telepon pada Arumi. Perempuan itu memberitahu pada Arumi untuk membatalkan penerbangan ke Bali untuk kesekian kali setelah Agnes memundurkan jadwal.Kali terakhir hal mendesak adalah saat Irvin dan Gerald jatuh sakit pasca menyelamatkan putra semata wayang Agnes di pulau seberang. Arumi selalu menyanggupi dan meminta Agnes terus mengabarinya kapan pun butuh, sekalipun harus berangkat di hari yang sama.Kening Agnes mengernyit. Ia melihat Fiani mengambil duduk di depan Agnes. Mereka berdua sedang berada di ruang kerja Fiani. Jam istirahat digunakan keduanya untuk makan siang dari bekal yang dibuat Agnes.Ia bersama Gerald membagi tugas bersama. Siang ini Gerald membawa Irvin bertemu klien ditemani beberapa pegawainya yang lain. “Kenapa kita harus membahas Arumi? Lo kayak curigaan gitu,” balas Agnes menatap tidak suka ekspresi menyelidik Fiani.“Sorry, kalau gue harus ngebahas orang yang selama
“Jadi selama ini kamu udah tau, kalau Jiera selingkuh dari kamu? Kenapa masih dipertahankan, sih?” Agnes mendesah berat seraya menyandarkan punggung di sandaran kursi restoran area rooftop.Agnes mengajak Gerald duduk di area lebih sepi untuk membicarakan hal ini dan berusaha berhati-hati dalam menyampaikan fakta perselingkuhan Jiera. Tapi sepertinya Agnes lah yang syok dan merasakan pandangan yang sedikit mengabur.Tidak ada raut sedih ataupun kaget saat Agnes membahas perihal Jiera dan Victor. “Kamu nggak kelihatan kaget sama sekali,” cetus Agnes.“Jujur, aku kaget tentang Jiera dan Victor. Tapi nggak terlalu memengaruhi pandanganku karena Victor memang nggak pernah setia sama satu perempuan pun dan berpeluang suka sama Jiera,” aku Gerald melipat kedua tangan di atas meja.Ia menatap lekat perempuan di depannya, sangat tulus dan ingin selalu membuat Gerald bisa mendapatkan pasangan yang baik. “Terimakasih, Nes. Aku sangat menghargai informasi yang kamu sampaikan.”Kedua bibir tipis
Agnes tersenyum manis melihat ayah dan anak sudah sehat dan sekarang berlari di atas pasir pantai. “Papi! Irvin! Kita harus pulang sekarang, udah sore!”Kedua tangan Agnes terlipat di dada, lalu sedikit mencebik saat dua orang yang ia panggil berhenti bermain. Mereka terlalu sibuk melakukan pendekatan lebih erat, sedangkan Agnes dibiarkan sendirian tanpa diajak.Hm, mungkin ini lebih baik dibandingkan semalam ia mengkhawatirkan suami dan anak lelakinya. “Pulang, Pi!”“Ayo, Nak. Kita dekati Mami, habis itu kamu Papi mandiin, ya?” Gerald menggendong tubuh mungil yang sekarang antusias ingin dimandikan Gerald.Perlahan dua orang itu mengikis jarak yang kurang dari lima belas meter untuk mendekati Agnes. “Tega banget nggak ajak aku main sama kamu dan anak kita,” cetus Agnes mencebik tidak suka.“Maaf. Tapi kamu kelihatan menikmati makanan di gazebo tadi,” balasnya menarik lembut pinggang ramping Agnes, lalu mendaratkan satu kecupan di kening.Saat itupula kerja jantung Agnes terasa berkal
“Ibu bisa mengompres terlebih dulu dan jika setengah jam kedepan suhu tubuhnya belum normal. Silakan ibu membangunkan suaminya untuk makan dan minum obat.”Agnes mengangguk patuh. “Terimakasih, Dok.”Fiani mengantar lelaki tua berstatus dokter ke pintu depan unit. Gerald dan Irvin sudah mendapatkan penanganan dari lelaki itu. Tubuh Irvin sedikit demam begitupula dengan Gerald. Bedanya, suhu tubuh Gerald lebih mengkhawatirkan dibandingkan Irvin yang sekarang sedang duduk di boks bayi.Anak lelaki Agnes sudah disuapi dan patuh minum obat. Sekarang Agnes menjadi khawatir dengan Gerald pasca kehilangan kesadaran setelah menunduk penuh penyesalan, mengatakan permintaan maaf.“Pak Gerald mau dibangunin sekarang, Nes? Disuruh dokter makan dan minum obat, kan?” Fiani mengambil duduk di hadapan Agnes. Ia menarik kursi rias dan sesekali memerhatikan Irvin bermain dengan mainannya.“Biarin dia tidur dulu.”Tangan Agnes mengusap pipi Gerald. Suhu tubuhnya belum stabil dan mungkin ini juga disebab
Fiani bersimpuh di hadapan Agnes dengan tangis yang belum mengering. “Maafin gue, Nes ... Irvin hilang karena keteledoran gue. Tolong, maafin gue,” isaknya menunduk dalam. Hati Agnes hancur. Ia menutup wajah, frustrasi dan sulit mengindahkan tangis Fiani. Dirinya juga sama khawatir dan belum mendapatkan kabar tentang Irvin hampir satu jam setelah kehilangan. “Irvin. Irvin anak Mami, semoga kamu baik-baik aja, Nak,” lirih Agnes menatap kosong ranjang yang masih menyisakan kain dan guling tidur anak semata wayangnya. Tangis Fiani semakin pecah. Sorot kosong dan suara getir Agnes meremukkan hatinya. Bahkan, permintaan maaf Fiani hanya dianggap angin lalu. “Nes,” ucap Fiani gemetar, mencoba meraih kedua tangan Agnes. Dengan gesit perempuan itu menarik kasar, lalu beranjak dan meninggalkan rasa sakit di ulu hati Fiani. Ia terduduk lemah dan menyesali kecerobohannya. Pintu unit dibuka tergesa dan tatapan Gerald berganti menatap Agnes juga Fiani yang ia tinggal di unit Agnes. “Ge! Di man
“Berani-beraninya lo masuk lagi di hidup Gerald!” Agnes sedikit terhuyung, tidak siap saat bahunya di dorong kasar oleh Jiera. Rahang Agnes dengan kuat dicengkeram Jiera. Semakin mengetat dan tidak memedulikan tangan Agnes yang berusaha melepaskannya. “JIERA!” Gerald berlari karena posisi ia dan Agnes berjarak. “Lepas sebelum aku bertindak lebih jauh, Jiera!” “Bertindak apa, ha?! Kamu mau membela perempuan pengkhianat ini?” manik mata Jiera berkilat penuh kebencian. Ia menggunakan satu tangan lagi meraih batang leher Agnes, membawa perempuan itu dekat, meskipun sedang diusahakan Gerald agar mantan kekasihnya lepas dari cengkeraman Jiera. Agnes menatap tajam Jiera disela ringisan tulang pipi yang diapit keras. Kedua sudut bibir Jiera tertarik sempurna, memandang penuh ejekan saingan baru yang menyelinap di sini. “Sejak kapan lo masuk dan merusak hubungan gue bersama Gerald?” “Oh, apa karena kehadiran lo, Gerald udah nggak napsu sama gue? Lo jalang baru yang dipungut Gerald, ya? B