Eve memakaikan jaket Kai, lalu menyematkan tas kecil yang biasa dipakai putranya itu.“Ingat ya, Kai. Jangan nakal. Mami akan jemput setelah selesai mengurus semua persiapan kafe,” ujar Eve mengingatkan.“Kai tidak pernah nakal,” balas Kai.Eve hanya tersenyum menanggapi ucapan Kai. Dia mengajak Kai keluar dari kamar, lalu bertemu Bram dan Alana yang juga sudah siap ingin bekerja.“Kamu jadi nitipin Kai?” tanya Bram.“Iya,” jawab Eve, “kalau aku ajak, takutnya nanti di sana agak ribet dan tidak aman untuk Kai,” ucap Eve menjelaskan.Bram mengangguk-angguk, saat itu terdengar suara bel dari pintu depan, membuat semua orang langsung menoleh.“Sepertinya dia datang,” ucap Eve.Eve menggandeng Kai menuju pintu, lalu melihat siapa yang datang.“Pagi, Bu Eve. Pak Kaivan tidak bisa jemput, jadi saya diminta jemput,” ujar sopir Kaivan.Eve mengangguk. Dia menghadap pada Kai lalu berjongkok dan kembali menasihati.“Pokoknya Kai harus nurut sama Paman Kaivan, ya.” Eve kembali merapikan tali tas
Maria terkejut mendengar pertanyaan Kai, tapi dia tetap tersenyum.“Tentu saja tidak, kenapa kamu berpikiran kalau nenek ini jahat?” tanya Maria bersikap manis pada Kai.“Coalnya, bibi itu jahat.” Kai bicara sambil menunjuk ke arah pagar.Maria mengerutkan alis, lalu kembali tersenyum.“Tidak, nenek tidak jahat. Bahkan, tahu Kai mau datang, nenek bikin banyak makanan, kue, bahkan di rumah ada mainan. Mau?” Maria membujuk agar Kai mau ikut.“Paman Kaivan di mana?” tanya Kai sebelum setuju dengan ajakan Maria, meski dia tergiur dengan semua yang disebutkan Maria.“Ada di dalam, sedang bersiap-siap,” jawab Maria, “bagaimana kalau masuk, sarapan sambil nunggu Paman Kaivan siap?” Kai akhirnya mau. Dia menggandeng tangan Maria lalu berjalan masuk rumah mewah itu.Maria sangat senang. Seperti dugaannya, cucunya sangat tampan dan cerdas. Dia langsung menyukai Kai, apalagi anak kecil itu lahir dari rahim Eve. Lengkap sudah harapannya terkabul.Kai berjalan masuk rumah besar itu. Dia melihat a
Dania pergi ke pantry untuk membuat kopi. Saat baru saja akan masuk, Dania mendengar para staff bergunjing di pantry.“Kayaknya itu alasan Pak Kaivan tidak jadi menikahi Grisel. Pak Kaivan sudah punya anak.”“Apa mungkin anak di luar nikah? Tahu sendiri, Pak Kaivan belum menikah, kan?”“Bisa juga. Kasihan ya Grisel, padahal dulu sudah sangat bangga dan sombong mau nikah sama Pak Kaivan, eh ternyata dibuang.”“Iya, mana sekarang juga dipecat.”Dania mendengar cerita para staff. Dia berdeham sambil berjalan masuk pantry.“Eh, Dania.” Semua staff terkejut dan panik melihat Dania. Apalagi mereka sudah tahu siapa Dania.Dania hanya tersenyum. Dia mengambil cangkir dan ingin menyeduh kopi.“Eh, Dania. Apa kamu tahu soal Pak Kaivan yang sudah punya anak?”“Iya, tadi heboh lho karena Pak Kaivan bawa anak kecil mirip sekali dengannya, sama-sama tampannya.”Para staff itu penasaran dan langsung bertanya pada Dania.“Oh, Kai.” Dania menanggapi perkataan rekan kerjanya itu.“Kai?” Para staff bing
Kaivan menatap Kai yang baru saja mematikan panggilan, lalu mengulurkan ponsel ke Kaivan.“Bagaimana? Apa Mami akan datang?” tanya Kaivan.Ternyata Kai menjawab panggilan itu hanya akal-akalan Kaivan agar Eve mau datang ke sana.“Tidak tahu,” jawab Kai, “tapi cepertinya akan datang,” imbuh Kai lalu melebarkan senyum.“Anak pintar.” Kaivan mengusap rambut Kai.Kai menatap Kaivan yang kembali makan, lalu bertanya, “Apa beneran, Kai boleh manggil papi?” Kaivan tersedak mendengar pertanyaan Kai. Dia menatap bocah itu yang terlihat serius menatapnya.“Kamu tidak yakin?” tanya Kaivan.“Yakin, tapi Kai tidak mau dimarahi Mami. Nanti pacti Mami bilang, Kai jangan manggil papi ke cembarang orang, nggak boleh. Gitu.” Kai bicara sambil menggerakkan telunjuk di depan wajah, persis seperti sang mami kalau sedang menasihati.Kaivan merasa Kai sangat lucu. Dia membalas, “Mami tidak akan marah. Kalau marah, aku yang akan hadapi.”Kai melebarkan senyum.Eve sudah sampai di depan perusahaan, tapi Eve
Kaivan masih memegangi tubuh Eve yang hampir terjatuh. Dia memandang Eve yang masih belum berdiri tegap dan masih bersandar padanya.Eve mendongak hingga menatap pada Kaivan. Dia sangat terkejut ketika menyadari bersandar pada pria itu, bahkan kedua tangan Kaivan ada di pinggangnya.“Maaf.” Eve buru-buru berdiri dengan benar. Dia segera menghampiri Kai yang ada di sofa.Kai tersenyum lebar saat menyaksikan sang mami salah tingkah.Kaivan menoleh Eve yang berjalan cepat menghampiri Kai. Dia kemudian menutup pintu, lalu pergi menghampiri Eve dan Kai.“Kai tadi bilang apa?” tanya Eve saat sudah di samping Kai.“Memangnya Kai bilang apa?” tanya Kai balik sambil mengedip-ngedipkan mata.Eve melirik Kaivan yang sedang berjalan menghampiri mereka, lalu berbisik, “Kenapa Kai tadi manggil papi?”“Oh … Papi bolehin, kok!” Di saat Eve bicara lirih agar Kaivan tidak dengar, Kai malah bicara dengan sangat lantang.Eve terkejut. Dia langsung menoleh dan melihat Kaivan sudah berdiri di dekatnya. Eve
Kai baru saja sampai rumah bersama Eve. Dia terlihat sangat senang saat naik ke ranjang untuk tidur siang.“Papi Kaivan baik ‘kan, Mami. Dia mau tukar jadi papi Kai, kalau Kai mau,” celoteh Kai sambil berbaring.Eve diam.“Mami nggak cuka, ya?” tanya Kai dengan wajah sedih saat melihat maminya hanya diam.Eve menatap pada Kai, lalu mencoba tersenyum.“Kenapa Kai tiba-tiba minta Paman Kaivan buat gantiin jadi papi?” tanya Eve penasaran.Kai memainkan kedua telunjuk, lalu membalas, “Kai nggak pernah lihat Papi. Teruc Papi Kaivan baik cekali, makanya Kai maunya papi Kai ya Papi Kaivan. Pas Kai bilang boleh tukar papi, Papi Kaivan bolehin.”Eve tersenyum getir, lalu mengusap lembut kening Kai.“Sudah, Kai tidak usah berpikir aneh-aneh. Mami tidak marah, selama Paman Kaivan tidak keberatan, tidak apa-apa,” ujar Eve pada akhirnya.Eve tidak ingin menambah kesedihan Kai jika melarang memanggil Kaivan dengan sebutan ‘papi’. Dia menyadari jika tidak bisa memberikan sosok ayah pada Kai, sehingg
“Kok pada diam? Kai tahu apa?” tanya Kai masih menuntut jawaban dari para orang tua.“Ah … itu, Kai sudah tahu kalau mau makan malam sama Paman Kaivan,” jawab Eve sambil tersenyum canggung.“Oh ….” Kai berlarian lagi setelah membentuk huruf ‘O’ dengan bibirnya.Eve bernapas lega, lalu memandang pada Alana dan Bram.“Kenapa tidak jujur saja, Eve?” tanya Alana dengan suara pelan, takut Kai mendengar lagi.Mereka sadar, Kai terlalu cerdas, kadang setiap kalimat yang masuk ke telinga bocah itu, bisa langsung masuk dan dicerna otak.“Aku hanya merasa belum ada waktu yang tepat,” ujar Eve.“Tidak ada waktu yang tepat, kalau kamu sendiri tidak berkeinginan melakukannya,” ucap Bram menasihati, “ya sudah, kalau memang mau diajak makan malam, kita siap-siap dulu,” kata Bram lalu berjalan menuju kamar.**Eve dan yang lain sudah siap untuk pergi makan malam. Saat akan keluar dari pintu, mereka terkejut melihat sopir Kaivan sudah menunggu di depan.“Saya pikir kalian masih lama, saya datang hanya
Di private room. Eve melanjutkan makan bersama Alana.Alana menatap Eve yang makan dengan tenang, hingga tiba-tiba bertanya, “Sepertinya pria itu sangat serius padamu sampai mengajak kita makan malam di sini. Apa kamu yakin masih ragu padanya, Eve?”Eve berhenti mengunyah. Dia menatap pada sang kakak ipar yang menunggu jawaban darinya. Eve tertunduk sebentar, lalu tersenyum tipis.“Entahlah, Kak.” Alana melihat tatapan lain di mata Eve. Dia memegang tangan Eve dan bertanya, “Apa ada masalah sampai membuatmu ragu?”Eve menarik napas dalam-dalam, lalu membalas, “Sebenarnya ada hal yang tidak pernah aku ceritakan pada kalian, Kak.”Alana terkejut. “Apa?”Eve menceritakan soal Grisel dan Damian dulu, tentu saja Alana terkejut karena tak menyangka hal itu. Alana sampai tak bisa berkata-kata.“Bagaimana bisa Grisel sekejam itu padamu? Padahal kalian berteman lama. Pantas saja Grisel tidak pernah main ke rumah dan kalian tidak pernah pergi bersama,” ucap Alana benar-benar syok.“Jangan ceri
Hari pernikahan Eve dan Kaivan tiba. Malam sebelum acara pernikahan, Eve berada di kamar sedang istirahat setelah makan malam.“Eve, boleh aku masuk?” tanya Alana setelah sebelumnya mengetuk pintu.“Masuklah, Kak.”Alana membuka pintu kamar Eve. Dia melihat adik iparnya itu sedang duduk memegang ponsel.“Ada apa, Kak?” tanya Eve sambil menggeser posisi duduknya di ranjang untuk memberi tempat agar Alana bisa duduk.Alana duduk di dekat Eve. Dia menatap pada adik iparnya itu.“Besok kamu akan menikah. Aku dan kakakmu selama ini menyadari, belum pernah memberikan yang terbaik, terutama aku yang sering sekali bersikap tak baik karena rasa iri padamu. Tapi, semua sudah berlalu. Aku tidak bisa memberi apa pun selain mendoakan yang terbaik untuk kebahagiaanmu,” ucap Alana sambil menggenggam erat telapak tangan Eve.Bola mata Eve berkaca-kaca. Dia mengulum bibir untuk menahan tangisnya.“Tidak memberi apa-apa bagaimana, Kak? Aku bisa kuliah dan tumbuh juga karena usaha kalian. Ya, meski Kak
Siang itu Eve pergi ke perusahaan Kaivan. Dia mengantar makanan karena Kaivan berkata jika sangat sibuk.“Kamu masih sibuk?” tanya Eve saat masuk ruangan Kaivan.Kaivan menatap pada Eve. Melihat calon istrinya itu datang, Kaivan langsung menutup tirai dinding kaca agar para staff tak melihat apa yang dilakukannya.“Kenapa tirainya ditutup?” tanya Eve keheranan.Kaivan mendekat pada Eve, lalu mengecup pipi wanita itu.“Biar mereka tidak melihat ini,” jawab Kaivan.Eve terkejut sampai memukul lengan Kaivan karena gemas.Eve mengajak Kaivan duduk. Dia membuka pembungkus makanan agar Kaivan bisa segera menyantap makan siang.“Aku sebenarnya masih harus memilah berkas, sepertinya tidak bisa makan siang dulu,” kata Kaivan.Eve menatap pada Kaivan, lalu membalas, “Kamu tetap harus makan meski sedang sibuk. Kamu memilah berkas, biar aku yang menyuapi.”Senyum mengembang di wajah Kaivan saat mendengar ide Eve. Dia mengajak Eve ke meja kerja, memosisikan kursi lain di samping kursi kerjanya agar
Eve dan Kaivan masih duduk berdua di samping rumah setelah semua orang pulang. Kaivan menggenggam erat telapak tangan Eve seperti tak berniat melepas.“Kamu dan Damian benar-benar sudah berbaikan?” tanya Eve memastikan.“Ya, anggap saja begitu. Tapi aku akan tetap memantaunya, meski bisa dibilang kalau dia sudah berumur, tapi Damian itu masih labil.”Eve terkekeh pelan mendengar ucapan Kaivan.“Kenapa malah tertawa?” tanya Kaivan dengan dahi berkerut halus.“Ya, labil sepertimu tampaknya,” balas Eve sambil melirik Kaivan.“Siapa bilang aku labil?” Kaivan tidak terima Eve mengatainya seperti itu.Eve menahan tawa. Dia menggeser posisi hingga menatap pada Kaivan lalu menjelaskan, “Jika kamu tidak labil, kamu pasti akan segera menikahi Grisel waktu itu.”Kaivan terkesiap, lalu mengelak, “Itu bukan labil, tapi hanya belum yakin.”“Aku memang berjanji akan menikahi, tapi itu untuk wanita yang aku tiduri. Dan saat Grisel mengakuinya, entah kenapa ada yang janggal, karena itu aku tidak seger
Malam itu. Kaivan dan yang lain makan malam bersama di rumah Maria. Ada Bram dan Alana juga yang diundang ke rumah.“Kalian jangan sungkan, ya. Makan saja apa yang kalian suka, kalau mau memilih menu lain yang tidak ada di meja, bilang saja. Tidak usah malu-malu, anggap rumah sendiri,” ucap Maria pada Bram dan Alana.Bram dan Alana mengangguk. Mereka benar-benar canggung diajak makan malam di rumah Maria.Saat mereka sedang makan malam, pelayan datang menemui Maria.“Itu, Bu. Pak Damian dan Mbak Dania datang,” kata pelayan.“Oh, suruh masuk saja. Aku yang mengundang mereka untuk makan malam bersama,” balas Maria.Pelayan itu mengangguk lalu segera pergi ke depan untuk mempersilakan Damian dan Dania masuk.Eve menoleh pada Kaivan. Dia melihat pria itu memasang wajah datar dan tak senang. Eve memilih diam dan tak berkomentar sama sekali.Damian dan Dania masuk. Dania langsung menyapa Maria dan yang lain, sedangkan Damian menatap pada Kaivan yang tak memandang ke arahnya sama sekali.“Ay
Bram buru-buru turun dari mobil saat sampai di rumah Kaivan. Dia dijemput sopir Kaivan karena sangat mencemaskan Eve ketika tadi menghubungi.“Bagaimana keadaanmu? Kenapa kamu tidak segera menghubungiku?” tanya Bram langsung mengecek apakah Eve terluka atau tidak.“Aku baik-baik saja, Kak. Kak Bram tidak perlu mencemaskanku seperti ini,” ucap Eve mencoba menenangkan.Bram menatap sendu, lalu menghela napas pelan.Eve mengajak Bram duduk lebih dulu, kemudian menceritakan yang terjadi dan kondisi Grisel saat ini.Bram menghela napas kasar, baru kemudian berkomentar.“Dia punya pilihan agar hidupnya lebih baik, tapi dia malah memilih cara yang salah dan memaksakan sesuatu yang seharusnya tak dia miliki,” ujar Bram, “ya sudahlah, terpenting kamu baik-baik saja.”Bram menatap Eve penuh kelegaan.Eve mengangguk-angguk sambil memulas senyum agar Bram lega.**Setelah Eve merasa lebih baik, dia dan Kaivan pergi mengunjungi Grisel ke rumah sakit untuk melihat perkembangan dan laporan medis dar
Eve mengajak Kaivan menemui ibu Grisel. Bagaimanapun mereka harus memberitahu kondisi Grisel pada wanita itu. Eve sendiri juga tidak bisa merasa tenang begitu saja karena secara langsung atau tidak, Eve juga memperburuk depresi Grisel.“Pak.” Wanita tua itu langsung sedikit membungkuk saat melihat Kaivan di belakang dan menemuinya.Eve langsung merangkul pundak wanita tua itu, kemudian berkata, “Bibi ada yang mau aku bicarakan.”Wanita itu terkejut, bahkan terlihat takut.“Apa saya membuat kesalahan?” tanya wanita tua itu.“Tidak, Bi. Bibi tidak berbuat salah, hanya saja ada yang memang harus kami bicarakan dengan Bibi,” ucap Eve mencoba tenang meski takut dengan reaksi ibu Grisel.“Duduklah, Bi.” Kaivan bicara dengan tegas agar wanita itu tidak kebingungan.Eve mengajak ibu Grisel duduk, begitu juga dengan Eve dan Kaivan yang duduk berhadapan dengan wanita itu.Wanita itu terlihat gemetar, bahkan jemarinya saling meremas sambil menatap pada Eve dan Kaivan secara bergantian.Eve ingin
Kaivan pergi ke rumah sakit setelah Eve agak tenang. Dia juga sudah berpesan pada Maria untuk menjaga Eve.Sesampainya di rumah sakit, Kaivan menemui Hendry yang ada di depan ruang inap bersama pengacara yang ditunjuk untuk menangani kasus itu, hanya berjaga-jaga jika Grisel tiba-tiba menuntut Eve.“Bagaimana?” tanya Kaivan begitu sudah berada di hadapan Hendry dan pengacara.Hendry dan pengacara itu menatap aneh pada Kaivan, membuat Kaivan mengerutkan alis.“Ada apa? Grisel ingin menuntut Eve, atau dia membuat onar lagi?” tanya Kaivan menaruh curiga.“Bukan,” jawab Hendry sambil menggeleng.“Lalu?” tanya Kaivan dengan satu sudut alis tertarik ke atas.“Lebih baik Anda lihat sendiri, dokter juga ada di dalam,” kata Hendry.Kaivan tentunya semakin penasaran, ada apa sebenarnya sampai Hendry tak menjelaskan langsung padanya. Dia akhirnya masuk ke ruang inap, lalu melihat sendiri apa yang terjadi pada Grisel.Dokter masih mengecek kondisi Grisel bersama dua perawat, bahkan kini Grisel ha
Eve dan Kaivan masih menunggu sampai Grisel selesai CT-Scan, saat itu Hendry datang setelah mengecek kamera Cctv di apartemen.“Bagaimana?” tanya Kaivan.“Saya mendapat salinannya, Pak. Sebentar saya kirim ke Anda,” kata Hendry.Hendry mengirimkan video rekaman Cctv ke ponsel Kaivan, lalu menjelaskan, “Semua murni karena kesalahan Grisel yang menyerang Eve dulu, Pak. Bahkan jatuhnya Grisel sebenarnya tidak sepenuhnya salah Eve karena seperti yang terlihat di rekaman itu, kaki Grisel tersandung kakinya sendiri yang membuatnya jatuh ke belakang dan kepalanya langsung menghantam cermin.”Eve dan Kaivan mengamati rekaman itu, ternyata benar jika kejadian yang menimpa Grisel sepenuhnya bukan salah Eve.“Tapi tetap saja, dia terluka karena aku mendorongnya lebih dulu,” ucap Eve tetap cemas. Dia bisa terlibat dengan hukum karena masalah ini.Kaivan menggenggam erat tangan Eve, lalu berkata, “Kamu tenang saja. Biar pengacaraku yang mengurus semuanya. Ada bukti yang kita pegang juga ada saksi,
Eve terus mempertahankan cincinnya. Dia takkan mengalah lagi dari Grisel setelah apa yang Grisel lakukan padanya selama ini.“Kamu tidak layak memakai cincin ini. Ini seharusnya menjadi milikku!” teriak Grisel terus mencoba melepas cincin dari jari Eve.Eve terus mempertahankan cincin itu, begitu tangannya bisa lepas dari genggaman Grisel, Eve langsung mendorong Grisel agar menjauh darinya.Namun nahas, Grisel terdorong cukup kuat, hingga mundur sebelum akhirnya menabrak cermin yang terpajang di dinding dekat lift. Kaca itu pecah seiring Grisel yang terjatuh berlumuran darah karena luka akibat benturan cukup keras.Eve sangat syok. Dia tak berniat mencelakai Grisel, tapi ternyata Grisel malah terluka karena perbuatannya.Semua yang di sana juga terkejut, apalagi Grisel langsung tak sadarkan diri.Eve gemetar karena panik.Grisel dibawa ke rumah sakit. Eve juga ikut karena merasa harus bertanggung jawab. Dia sudah menghubungi Kaivan karena ketakutan, Eve juga tidak mungkin menghubungi