Ferdi mengernyit dan bertanya, "Kamu diusir olehnya tujuh kali?"Cindy mengangguk dengan canggung. Ferdi seketika merasa gusar sekaligus kasihan. Sementara itu, Sonia justru merasa lega. Dulu Cindy sangat angkuh dan kekanak-kanakan, tetapi sekarang anak ini bersedia berjuang demi hasil karya sendiri. Ini artinya, Cindy sudah dewasa. Sikap pantang menyerah seperti ini pasti akan membuatnya sukses di kemudian hari."Ayo, kita sama-sama mengunjungi Pak Venick," ujar Sonia sambil tersenyum tipis.Tandy menoleh menatap Sonia, lalu bertanya, "Sepertinya sangat repot, kamu yakin bisa mengatasi masalah ini?""Dicoba saja, daripada kita terus sembarangan menebak," sahut Sonia sambil mengangkat alisnya.Cindy merasa tidak enak hati sehingga berkata, "Kalian nggak usah pergi. Pak Venick sangat kasar dan kejam waktu bicara. Aku nggak ingin kalian dimarahinya.""Lagian, kita semua sudah di sini. Jumlah kita juga lebih banyak, dia nggak bakal bisa marah. Mungkin saja, kita berhasil membujuknya kali
Cindy membawa Sonia dan lainnya ke toko jahit Keluarga Untara. Ketika melihat suasana di sana begitu ramai, dia pun tercengang dan tidak tahu apa yang terjadi.Angie mengenakan topi penghalang cahaya matahari. Dia mengernyit sambil bertanya, "Cindy, kamu ke mana saja? Kita ini rekan kerja, bukannya kamu harus mengabariku kalau pergi? Aku kira kamu sudah kabur."Ketika melihat sikap Angie yang begitu buruk, Ferdi mendengus dan berkata, "Memangnya kakakku tidak boleh pergi sebentar? Kamu kira dia harus menemanimu 24 jam? Lagi pula, kamu bisa saja meneleponnya, 'kan?""Siapa kamu?" tanya Angie yang sempat tertegun sesaat.Cindy segera mengadang di depan Ferdi dan menjelaskan, "Ini adikku. Dia mengunjungiku barusan. Dia masih kecil, jadi bicaranya terlalu blak-blakan. Maafkan dia, ya."Angie mendengus saat melihat seragam yang dipakai Ferdi. Dia berujar, "Aku nggak akan bersikap perhitungan dengan anak kecil."Sonia tidak akan melakukan perdebatan tidak berfaedah seperti ini. Dia berkata k
Staf itu bisa menilai bahwa Tandy dan lainnya bukan orang yang bisa diusik olehnya. Apalagi, para turis mulai berkerumun di sekitar. Dia khawatir masalah ini akan berdampak buruk bagi acara, jadi buru-buru meminta maaf dan menarik asisten Tiara supaya Sonia bisa masuk.Asisten Tiara tentu tidak bisa menerimanya. Dia menatap punggung Sonia dan lainnya dengan galak, lalu berkata kepada staf itu, "Sutradara yang menyuruh Tiara dan Stella membujuk Pak Venick. Kamu malah membiarkan orang-orang itu masuk untuk mengganggu. Kalau Pak Venick gagal dibujuk, kamu tanggung akibatnya sendiri!"Staf itu merasa serbasalah. Dia segera menyanjung asisten itu supaya tidak marah-marah lagi. Di sisi lain, Sonia dan lainnya melewati aula depan dan menuju ke halaman belakang. Begitu tiba, mereka langsung melihat Tiara dan Stella.Tiara termangu sesaat melihat Sonia. Dia merasa wajah Sonia agak familier. Seketika, dia teringat bahwa mereka pernah bertemu di Restoran Jolly, bahkan sempat berkonflik karena Mat
Sonia dan lainnya masuk ke halaman belakang. Terlihat seorang pria berusia 40-an tahun sedang menyapu dedaunan. Pria ini seharusnya pelayan Keluarga Untara. Dia mendongak, lalu bertanya dengan kesal, "Kenapa kalian datang lagi? Pak Venick tidak ingin ikut acara kalian. Pergi sana, jangan ganggu Pak Venick lagi."Cindy memohon, "Tolong biarkan kami mencoba sekali lagi, ya?"Pria itu tahu Cindy sudah datang berkali-kali sehingga merasa agak kasihan padanya. Sesudah ragu-ragu sejenak, dia mengangguk menyetujuinya. "Ya sudah, ini yang terakhir kali. Kalau Pak Venick menolak, kamu jangan mengganggunya lagi. Kalau tidak, aku bisa dimarahinya.""Terima kasih banyak!" Cindy segera mengucapkan terima kasih.Ferdi bergumam, "Kenapa pria itu sombong sekali?"Tandy mendengus sebelum berucap, "Para seniman selalu menganggap diri sendiri hebat, padahal tidak ada apa-apanya.""Tandy!" tegur Sonia sambil menoleh.Tandy menyeringai dan berkata, "Baiklah, aku tidak akan bicara lagi."Cindy mengetuk pint
Sonia dan Venick asyik mengobrol. Sementara itu, Cindy dan lainnya hanya bisa termangu. Sonia mengenal Venick? Hubungan keduanya bahkan terlihat begitu dekat? Ini sungguh di luar dugaan.Cindy maju, lalu bertanya dengan hati-hati, "Sonia, ka ... kamu dan Pak Venick saling kenal?"Sonia tersenyum tipis dan membalas, "Guruku dan Pak Venick adalah teman lama. Beberapa tahun lalu, aku dan guruku pernah menumpang di rumah Pak Venick. Itu sudah lama kali, Pak Venick pun mungkin sudah lupa. Makanya, aku nggak bilang apa-apa pada kalian."Venick adalah inspirasi Sonia saat mendesain pakaian. Itu sebabnya, gaya pakaiannya selalu terkesan agak kuno.Venick terkekeh-kekeh dan berkata, "Mana mungkin aku lupa. Waktu itu, aku ingin sekali merebutmu dari gurumu. Lagi pula, kamu juga menyukai pakaian rancanganku. Sayangnya, gurumu tidak bisa merelakanmu.""Di mataku, kalian berdua sama-sama guruku," ujar Sonia dengan tatapan tulus."Kamu masih kuliah?" tanya Venick."Sudah tamat, aku bekerja di studio
Ekspresi Venick berubah. Dia seperti memahami sesuatu. Sonia berkata lagi, "Aku yakin acara ini bisa membuat banyak orang jatuh hati dengan sulamanmu yang unik. Pasti ada orang yang benar-benar menyukainya.""Mereka adalah benih harapan dan kamu harus memilih benih yang baik untuk dibina. Kalau nggak ada yang mewarisi keterampilanmu, kami akan sangat menyayangkannya, apalagi kamu sendiri."Venick menatap Sonia dengan tatapan penuh kasih sayang. Kemudian, dia berkata seraya tersenyum, "Sonia, sejak kapan kamu menjadi begitu pintar bicara? Dulu kamu sangat pendiam. Kalau bukan karena wajahmu masih mirip dengan dulu, aku pasti mengira aku salah mengenali orang.""Bu Sonia jarang berbicara panjang lebar begini. Dia benar-benar bekerja keras kali ini," ujar Ferdi mendadak. Semua orang pun tidak bisa menahan tawa mendengarnya.Venick berpikir sesaat, lalu mengangguk dan berkata, "Ucapanmu memang masuk akal. Aku terlalu keras kepala, makanya tidak menemukan murid yang bisa mewarisi keterampil
Angie juga berlari masuk. Dia menggenggam tangan Cindy dan bertanya dengan emosional, "Pak Venick benar-benar sudah setuju?""Ya, semua ini berkat Sonia," sahut Cindy sambil tersenyum.Angie menatap Sonia, lalu berkata dengan agak malu, "Maafkan sikapku tadi.""Nggak apa-apa." Sonia menoleh menatap Venick dan berucap, "Kamu pasti akan sangat sibuk. Aku nggak akan mengganggu kerja samamu dengan Cindy. Aku pamit dulu.""Kedatanganmu terlalu mendadak kali ini. Lain kali, kabari aku dulu. Kamu juga bisa menginap di rumahku," balas Venick dengan enggan."Oke. Aku pasti akan datang kalau ada waktu," ujar Sonia."Pergilah, titip salam kepada gurumu," pesan Venick."Oke." Sonia berpamitan dengan Venick, lalu membawa Ferdi dan Tandy pergi.Cindy mengantar mereka keluar. Setelah mereka masuk ke mobil, dia berbalik dan hendak masuk. Tepat saat itu, ponselnya berdering. Stella yang meneleponnya.Begitu panggilan tersambung, Stella langsung bertanya, "Cindy, gimana caranya Sonia membujuk Venick?"C
Sonia mengemudikan mobilnya, membawa Tandy dan Ferdi pulang ke kota. Sepanjang perjalanan, Ferdi benar-benar gembira. Dia berseru, "Kak Sonia, kamu hebat sekali. Aku benar-benar kagum padamu!"Tandy berkata dengan tenang, "Sudah kubilang, tidak ada masalah yang tidak bisa ditangani olehnya. Kalau ada masalah, cari saja dia."Sonia menggeleng dan tertawa. "Aku nggak sehebat itu. Aku cuma kebetulan mengenal Pak Venick."Ferdi mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu bertanya dengan mata berbinar-binar, "Kak, kamu sudah lama mengenal Pak Venick? Dia bahkan ingin menerimamu sebagai murid?""Ya, dulu aku pernah tinggal di rumah Pak Venick. Dia cuma bercanda ingin merekrutku. Pak Venick tahu aku sudah punya guru," sahut Sonia sambil mengangguk ringan."Apa gurumu lebih hebat lagi dari Pak Venick?" tanya Ferdi dengan penuh semangat."Dalam bidang seni, semua orang sama hebatnya. Pak Venick cuma suka mengasingkan diri," jelas Sonia.Ketika keduanya asyik mengobrol, Tandy memandang ke luar jendela
âEmm, aku tidur siang!â Theresia meregangkan tubuhnya.Nada bicara Theresia begitu terang-terangan. Ranty pun tidak berpikir kebanyakan. Dia hanya bertanya, âBagaimana dengan pertemuan tadi siang?âTheresia terdiam sejenak, lalu berkata dengan tersenyum, âSepertinya nggak begitu cocok.âMorgan membangkitkan tubuhnya, lalu bersandar di atas ranjang melihat ke sisi wanita yang sedang bertelepon. Dia yang membungkus tubuhnya dengan jubah tidur sedang membelakangi Morgan dan berkata pada orang di ujung telepon bahwa mereka berdua tidak cocok.âNggak cocok?â Ranty merasa agak kecewa. âKenapa? Apa kamu nggak suka sama dia? Atau dia yang nggak suka sama kamu?âTheresia berkata dengan nada bercanda, âKami saling nggak suka.ââJadi, kalian nggak nonton opera?ââNggak!ââKakak temanku memang lebih besar beberapa tahun dari kamu, tapi nggak kelihatan sama sekali. Apalagi dia itu orangnya agak kalem. Dia bukan nggak suka sama kamu. Kalau kamu punya perasaan sama dia, aku rasa kalian bisa coba untuk
Morgan memalingkan kepalanya, lalu mengambil boneka unicorn untuk melihatnya. Tiba-tiba dia kepikiran dengan ulang tahun ke-17 Theresia, Morgan baru pulang dari luar. Theresia menyuguhkan mie masakannya untuk dicicipinya.Morgan menyantap mie masalah Theresia, lalu memberinya sebuah gantungan kunci unicorn dan memberinya ucapan selamat ulang tahun.Pada malam hari itu juga, Morgan meminta pertama kalinya.Morgan melepaskan mantelnya, lalu meletakkannya di atas sofa. Theresia menyeduh teh, kemudian menyuguhkannya kepada Morgan. Dia berbicara dengan nada bersalah, âHanya ada daun teh, coba dicicipi.ââOke, tidak masalah!â Tatapan Morgan kelihatan tajam. Berhubung sering berhubungan dengan tentara bayaran, dia pun selalu menunjukkan sisi dinginnya.Theresia melangkah mundur selangkah, lalu melihat dia meminum teh.Morgan mengenakan kemeja berwarna hitam. Wibawanya kelihatan jelas. Dia memegang cangkir teh sembari duduk di atas sofa. Gambaran ini membuatnya terasa sangat ajaib.Morgan menye
Saat Theresia pergi, Morgan telah memberinya uang yang cukup banyak untuk melewati sisa hidupnya. Kenapa Theresia mesti bekerja dengan susah payah lagi?âEmm!âTheresia mengangguk. âSetelah tiba di Kota Jembara, aku berencana untuk tinggal di sini, tapi aku tidak ingin jadi pengangguran. Aku merasa aku seharusnya melakukan sesuatu. Kemudian, aku pun mendirikan sebuah perusahaan humas. Jujur saja, maksud awalku adalah perusahaan humas memiliki banyak sumber informasi. Aku pikir mungkin bisa membantumu. Aku juga nggak menyangka ternyata hasilnya cukup baik.âMorgan mengangguk.Pelayan datang untuk mengantar makanan. Mereka berdua menghentikan obrolan, lalu menyantap makanan dengan tenang.Setelah makan beberapa saat, Theresia mengangkat kepalanya dan bertanya, âApa kamu datang ke Kota Jembara karena masalah Sonia?ââIya!â Morgan mengangguk. âSementara ini aku tinggal di rumah Pak Aska.âTheresia pun mengerti. Dia berkata dengan tersenyum, âAku lihat di internet, sekarang semua opini berpi
Mereka berdua naik ke restoran lantai dua. Sonia mengirim pesan kepada Ranty.[ Kita sudah sampai! ]Ranty segera membalas pesan.[ Theresia sudah menunggu selama sepuluh menit. Suruh Tuan Morgan ke meja nomor enam! ][ Oke! ]Sonia menoleh untuk melihat Morgan. âAku ke toilet dulu. Kamu tunggu aku di meja nomor enam. Aku akan segera kembali.ââEmm!â Morgan juga tidak merasa curiga. Dia pun berjalan ke meja makan nomor enam.Restoran di dalam opera house ini penuh dengan hawa seni. Jendela tinggi dipadukan dengan lukisan dinding dan lampu kristal kuno. Ada beberapa tamu sedang mengobrol santai. Hawa romantis dan klasik muncul di mana-mana.Morgan tahu wanita ini berada di kota ini. Hanya saja, saat bertemu, Morgan tetap merasa syok!Theresia juga terbengong. Dia spontan berdiri. Raut wajahnya seketika berubah menjadi ekspresi hormat. âTuan Morgan!âWanita Itu mengenakan mantel panjang berwarna hitam dengan riasan tipis di wajahnya. Alisnya indah bagai lukisan di kejauhan. Matanya bening
Sonia melirik Reza dengan tidak berdaya. Kemudian, dia memalingkan kepalanya melihat ke luar jendela. âCuaca sudah cerah?ââIya, sudah cerah!â Reza memiringkan tubuhnya, menopang kening dengan pergelangan tangannya. âApa suasana hatimu sudah membaik?âSonia meregangkan tubuhnya. âSuasana hatiku selalu baik!âKemudian, Sonia memalingkan kepala untuk melihatnya. âApa sudah seharusnya kamu pergi ke perusahaan untuk bekerja?ââKamu pergi bersamaku!â Reza memasukkan tubuh lembut Sonia ke dalam pelukannya, tidak rela untuk melepaskannya.âNggak bisa. Hari ini aku mau ke rumah Pak Aska.â Sonia mengangkat kepala untuk menatapnya. âSekalian minta sesuatu dari Pak Guru. Aku mau mempersiapkan tes DNA Hallie.ââKalau begitu, kamu sarapan dulu. Setelah kamu pergi ke rumahnya Pak Aska, aku baru pergi bekerja!ââOke!âReza menunduk, lalu mencium Sonia untuk beberapa saat. Kemudian, dia baru menggendong Sonia.Saat sarapan, Sonia baru terbaca pesan yang dikirim Ranty semalam.[ Aku sudah berhasil atasi
Reza menatap Sonia. âJadi, jangan harap untuk meninggalkanku!âSonia mengulurkan tangan untuk memeluknya. âAku nggak pernah berpikir seperti itu, nggak pernah sama sekali!âSuara Reza terdengar serak. âSayang, apa kamu peduli dengan perasaanku?ââPeduli!ââSekarang aku sangat panik!âSonia memeluknya. âAku ada di dalam pelukanmu. Kenapa kamu malah panik?ââTapi, setelah kamu tidur, kamu tidak menginginkanku lagi!â Nada bicara si pria terdengar gusar.Sonia terdiam membisu.âSonia!â Reza mencubit dagunya. Nada bicaranya terdengar sabar dan lembut. âKematian Serigala tidak ada hubungannya sama kamu. Dia membantu Tritop dalam begitu banyak hal. Dia sudah tidak bisa kembali lagi. Meninggal tanpa penyesalan adalah akhir yang paling bagus untuknya.âSonia menggigit erat bibirnya. Dia tidak berbicara.âAku bukan lagi mengatakan kata-kata yang tidak ingin kamu dengar. Kalau kamu tidak mendetoks racun di dalam tubuhmu, cepat atau lambat kamu akan diserang oleh pengaruh obat. Kalau suatu hari nan
Reza berkata dengan perlahan, âKamu mau muntahin ke dalam air lagi?âTangan Sonia yang sedang menekan ponsel berhenti. Dia mengangkat kepalanya melihat ke sisi sang pria.Hanya ada satu lampu yang dinyalakan di dalam kamar. Pencahayaan lampu redup dipancarkan ke lima indra tajam si pria. Di dalam suasana istimewa ini, wajah tampan Reza kelihatan agak dingin.Terdengar juga samar-samar suara turun salju di luar sana. Angin dingin mengembus kepingan salju, lalu dijatuhkan ke atas kaca. Rasa dingin mulai terasa.Mereka berdua bertatapan untuk beberapa saat, kemudian Reza berkata dengan nada datar, âAku terus mencari alasan kenapa obat ini tidak berkhasiat. Bahkan aku juga menyuruh anggotaku untuk mencari Billy dan Profesor Regan, aku yakin mereka tidak membohongiku. Obat penawar untuk racun yang disuntikkan di tubuhmu juga tidak salah.ââAku tidak habis pikir, padahal obat itu manjur, kemudian aku mendapatkan jawabannya pada tiga hari lalu. Aku tahu kenapa obat itu tidak manjur?ââSelain m
Saat makan malam, Rose sudah kelihatan bersemangat saat turun ke lantai bawah. Ketika melihat Juno, dia pun memberi salam dengan terkejut, âJuno, kapan kamu pulangnya?âJuno tidak ingin menghiraukan Rose. Dia hanya melirik Rose sekilas, lalu membalikkan tubuhnya berjalan ke ruang makan.âKenapa malah nggak hiraukan aku?â Rose mengejarnya. âApa hanya karena aku nggak tunggu kamu, lebih dulu kembali dari Kota Kibau saja? Aku merindukan Sonia!âLangkah kaki Juno semakin cepat lagi. Dia masih saja tidak berbicara.âKenapa, sih!â Rose mengejar, lalu mengadang di hadapan Juno. Dia memutar bola matanya dan bertanya, âJangan-jangan kamu marah karena aku tidur di ranjangmu?âBola mata di balik kacamata Juno kelihatan dingin dan datar. âAku takut kamu tular flumu ke aku, boleh, âkan?ââAku malah mau tularin ke kamu!â Rose membelalakinya. âBiar kita sama-sama sakit. Namanya juga senasib sepenanggungan!âJuno menatap Rose, lalu mengangkat tangannya untuk memegang kening Rose. âApa kamu masih demam?
Tenggorokan Juno bergerak. Dia menarik selimut untuk menutupi tubuh Rose.Rose malah langsung membukanya lagi. âPanas! Panas sekali!âJuno kembali menarik selimut, lalu menahan Rose tidak mengizinkannya untuk bergerak. Keningnya sendiri juga ikut berkeringat.Biasanya orang yang demam akan merasa kedinginan. Kenapa Rose malah berbeda?Juno mencari pakaian Rose, lalu memasukkannya ke dalam selimut. Dia meraba-raba mulai memakaikan pakaian di tubuh Rose. Meskipun hendak memanggil pelayan, Rose juga mesti duluan mengenakan pakaiannya. Jika tidak, bagaimana pemikiran orang lain ketika melihat Rose tidak mengenakan apa-apa di dalam kamarnya?Mungkin karena merasa gugup dan tidak pernah membantu orang lain untuk mengenakan pakaian dalam, Juno pun meneliti beberapa saat baru berhasil mengenakannya. Di antaranya, tentu saja tersentuh bagian yang tidak seharusnya tersentuh. Juno memaksakan dirinya untuk menganggap Rose sebagai anak kecil yang baru datang ke rumah Aska saja.Pada akhirnya, Juno m