Jumat siang, seusai salat di masjid terdekat, rombongan turis Indonesia menaiki bus dari hotel. Mereka akan berwisata keliling kota hingga nanti malam. Maggie diangkut Qadry untuk menjadi pemandu wisata dadakan. Perempuan paruh baya tersebut terlihat senang dan menjalankan tugasnya dengan semangat. Hisyam dan rekan-rekannya tidak ikut berwisata. Mereka harus menyelesaikan pekerjaan agar bisa turut berlibur selama dua hari ke depan. Utari yang bergabung dengan rombongan PC, berusaha mengakrabkan diri dengan orang-orang yang memang belum terlalu dikenalnya. Bersama Kimora, Utari turut membantu membagikan snack yang disiapkan tim Qadry sejak pagi tadi. Demikian pula dengan Dreena, Vanessa dan Gwenyth. "Ri, duduk sini," pinta Luthfan Baihaqi, direktur operasional Ganendra Grup. "Mas tambah manis aja," puji Utari seusai mendudukkan diri di kursi sebelah kanan pria berambut belah tengah, yang memang sudah dikenalnya sejak beberapa tahun silam."Jangan memuji kalau kamu tetap nolak nika
Hisyam memerhatikan ekspresi gadis muda di hadapannya, yang tengah menerangkan detail peristiwa tidak menyenangkan, yang dialami perempuan bermata sipit saat berlibur dua bulan silam. Shaylin Ming, sekali-sekali akan berhenti mengoceh untuk menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya sekali waktu. Gadis berkulit putih tersebut terlihat masih syok, meskipun telah mengikuti terapi. Setelah Shaylin menuntaskan ucapannya, Hisyam beradu pandang dengan Rangga yang sejak tadi turut mendengarkan ocehan sang nona. Sementara Fatma mengusap-usap punggung Shaylin sembari berusaha menenangkan gadis berwajah mungil itu. "Bisa dicoba dulu, Nona. Nanti, Nona yang pilih pengawal mana yang bisa jadi back up buat Fatma dan Kimora. Sekaligus menjaga kedua Adik Nona," tukas Hisyam. Shaylin mengangkat alisnya "Benarkah?" tanyanya. "Ya. Nanti kuajak mereka ke sini. Nona bisa wawancara sendiri." "Ehm, aku tidak mau yang bercambang." Hisyam mengulum senyuman. "Pengawal kami tidak ada yang bercambang,
Perjalanan selama dua hari mengelilingi area London dan sekitarnya, menjadikan semua orang senang. Selain rombongan PC, staf PG, PBK dan Baltissen juga turut serta. Hisyam menyewa bus tambahan agar tidak perlu mengerahkan banyak mobil. Pada hari Minggu, mereka berkunjung ke Hampstead, sebuah distrik hunian di London Utara. Hampstead merupakan bagian dari wilayah Camden di London Raya. Hisyam mengajak rombongan tersebut mengelilingi Hampstead yang menjadi area rekreasi terkenal. Banyak toko, kafe dan pusat souvenir di sepanjang jalannya yang memanjakan para pelancong. Hampstead juga terkenal sebagai permukiman orang-orang kaya di London. Selain itu, di sana juga terdapat bangunan-bangunan terkenal. Seperti Burgh House, Kenwood House, Spanish Inn, dan bioskop Everyman, yang merupakan salah satu bioskop tertua di dunia. Setelah puas melihat-lihat pusat perbelanjaan, Hisyam mengajak rombongan ke Hampstead Heath. Yakni, taman kuno seluas 320 hektar. Area publik berumput itu terletak d
Malam terakhir berada di London, Hisyam mengajak rombongan tim PC ke kafe yang menampilkan live music. Beberapa penyanyi berparas asli luar negeri tampil dengan lagu-lagu berirama lembut. Kala musik berubah menjadi lebih cepat, semua pengunjung mengarahkan pandangan ke tengah-tengah panggung. Seorang pria berperawakan sedang muncul sambil melambaikan tangan. Dia memberi kecupan jarak jauh yang menyebabkan penonton perempuan menjerit heboh. Pria yang mengenakan blazer putih dengan dalaman biru mengilat, bersiap-siap di tengah panggung. Kemudian dia bernyanyi dengan suara merdu yang diiringi tarian atraktif.Setelah lagu pertama usai, sang penyanyi berparas Asia langsung melanjutkan dengan lagu kedua yang juga berirama cepat. Hisyam dan rekan-rekannya berdiri untuk ikut bertepuk tangan seperti halnya pengunjung lain. Mereka bersorak ketika sang penyanyi berhasil mencapai nada tinggi tanpa sedikit pun cela. "Lagu ketiga, saya persembahkan buat teman-teman dari Indonesia," tutur peny
Kiano menggebrak meja beberapa kali sambil memaki. Dia benar-benar kesal karena pihak Macaire ternyata telah menyelidikinya. Kiano tidak menduga jika tingkahnya yang kerap berganti-ganti pasangan di ranjang, dijadikan cara pihak Macaire untuk menekannya. Pria bermata besar mengerutkan dahi. Dia penasaran, dari mana orang-orang itu bisa mendapatkan foto-foto saat dirinya sedang bersama wanita-wanita yang dijumpainya di kelab malam. Kiano mengusap wajah dengan tangan kanan, lalu meremas-remas rambutnya dengan sedikit keras. Dia khawatir ancaman itu akan benar-benar dilakukan pihak Macaire, yang pastinya akan membuat malu keluarganya. Dandi yang baru selesai menelepon Ghaisan, mendatangi Kiano yang masih termangu di sofa ruang tamu. Dandi menghempaskan tubuh ke kursi tunggal, lalu memanggil sahabatnya yang seketika menengadah. "Ghaisan nyaranin kamu nemuin Mas Revi," tukas Dandi. "Malu," jawab Kiano. "Dia juga nggak suka sama aku," lanjutnya. "Kalau dia nggak suka, dia pasti nggak
Sepasang mata bermanik hitam mengamati gerak-gerik gadis bergaun panjang tosca di kursi seberang. Sang pemilik mata seakan-akan terhipnotis hingga kesulitan mengalihkan pandangannya.Avariella menyadari bila sejak tadi diperhatikan Damsaz. Namun, dia mengabaikan pria itu dan fokus menghabiskan makanan di piringnya. Sekian menit berlalu, keduanya telah selesai bersantap. Avariella tengah sibuk memelototi layar ponsel, sedangkan Damsaz sedang berbincang dengan seseorang melalui sambungan telepon. Seusai menutup panggilan, Damsaz meletakkan ponsel ke meja. Dia kembali mengamati perempuan yang penampilannya sangat menawan. "Va, Sabtu nanti ada temanku yang nikah. Kamu bisa nemenin aku hadir di resepsinya?" tanya Damsaz. "Jam berapa?" Avariella balik bertanya. "Sebelas." "Acaranya di mana?" "Kelapa Gading." "Ada dress code?" "Enggak ada." "Oke, aku mau." "Syukurlah. Tadinya aku bingung mau ngajak siapa. Mau datang sendiri, nggak enak." "Adik Mas nggak bisa nemenin?" "Dia lagi
Alvaro mengeraskan rahang, sesaat setelah mengartikan tulisan berbahasa Spanyol, di foto yang dikirimkan Utari beberapa saat lalu. Otak Alvaro berputar cepat. Intuisinya mengatakan jika sedang ada yang tidak beres di London, yang kemungkinan berhubungan dengan Utari. Pria berambut cokelat mengingat-ingat cerita Carlos, yang selama beberapa bulan terakhir menyelidiki kegiatan keluarga Macaire. Alvaro mencoba menyusun puzzle yang masih berserakan. Dia menghubungkan satu cerita dengan cerita lain. Namun, sayangnya Alvaro belum menemukan bagian yang hilang, dan dia harus menunggu informasi tambahan untuk melengkapi puzzle.Alvaro melirik notifikasi di bagian atas ponselnya. Dia mendengkus pelan, sebelum memutuskan untuk mengabaikan panggilan dari gadis yang tengah dipikirkannya. Pria berparas separuh luar negeri menyandarkan punggung ke belakang. Dia menumpangkan siku kanan ke pegangan kursi, lalu Alvaro menempelkan dagunya, lalu diusap pelan dengan ibu jari.Kedipan di ponsel akhirn
Hisyam dan Beni mendengarkan penuturan Jerome Hank Ming dengan serius. Sekali-sekali sopirnya yang bernama Changpu turut menambahkan informasi. Yanuar yang turut dalam pertemuan itu, mencatat beberapa hal penting yang akan diteruskannya ke Alvaro dan Wirya. Shaylin yang berada di samping kiri daddy-nya, memegangi lengan lelaki berusia 50 tahun tersebut dengan erat. Shaylin sangat takut akan terjadi hal buruk pada Jerome dan keluarganya yang lain. Kimora dan Fatma saling melirik. Kedua gadis tersebut memahami bila sepertinya keadaan keluarga bos mereka sedang tidak baik-baik saja. Hal serupa juga dilakukan Valdi, Frank, Robi dan Irwin. Mereka berpikiran yang sama dengan kedua bodyguard lady, dan itu artinya mereka harus ekstra keras mengawal keluarga Ming. "Baik, Tuan. Terima kasih atas penjelasannya," tutur Hisyam, sesaat setelah Jerome berhenti mengocceh. "Dan mohon maaf, karena kondisinya tengah siaga, maka Tuan dan seluruh keluarga akan didampingi pengawal pribadi," lanjutnya.
114 Puluhan orang keluar dari belasan unit mobil berbagai tipe. Mereka mengepung rumah besar tiga lantai di kawasan elite Kota Paris. Kepala polisi melangkah cepat ke teras rumah itu. Dia memencet bel dan menunggu dibukakan. Detik berganti. Namun, pintu tetap tertutup. Kepala polisi tetap tenang dan menekan bel lagi. Dia memerhatikan sekeliling sambil berbicara pada wakilnya dengan suara pelan. Sekian menit berlalu, sang kepala polisi akhirnya menelepon seseorang. Tidak berselang lama, pintu belakang dan samping rumah itu dibongkar paksa. Belasan orang menerobos masuk. Mereka langsung ditembaki orang-orang dari lantai dua yang bersembunyi di sekitar tangga. Tim polisi membalas tembakan sembari bergerak maju. Mereka jalan cepat sesuai strategi yang telah dibuat sejak beberapa jam lalu. Selama hampir setengah jam baku tembak itu berlangsung. Banyak korban dari kedua belah pihak yang terluka. Selebihnya terpaksa melanjutkan perkelahian dengan tangan kosong. Tiga unit mobil MPV ber
113 Hisyam mengaduh ketika tendangan Othello menghantam telinga kanannya. Hisyam menggeleng cepat untuk menghilangkan pusing, lalu dia memandangi Othello yang sedang tersenyum miring. "Cuma segitu saja kemampuanmu?" ledek Hisyam sambil memutar-mutar lehetnya supaya rasa tidak nyaman bisa segera hilang. "Itu baru separuh," jawab Othello. "Keluarkan semuanya." "Dengan senang hati." Othello maju dan meninju berulang kali. Hisyam menangkis sambil mendur beberapa langkah. Dia mencari titik kelemahan lawannya, lalu Hisyam menyusun rencana dengan cepat. Hisyam melompat dan menginjak paha kiri Lazuardi yang berada di sebelah kanannya, kemudian Hisyam menarik leher Othello dan mengepitnya dengan kedua kaki. Othello tidak sempat menjerit ketika tubuhnya terbanting keras ke tanah. Dia hendak berbalik, tetapi lengan kiri Hisyam telanjur mengepit lehernya dan memelintir dengan cepat. Edgar yang melihat rekannya rubuh, bergegas menyerang Hisyam dengan dua tendangan keras hingga pria itu ter
112 Hugo meninju Felipe tepat di rahangnya. Lelaki tua bergoyang sesaat, sebelum dia menegakkan badan kembali. Felipe melirik kedua pistolnya yang tergeletak di tanah, dia hendak mengambil benda-benda itu, tetapi satu pengait besi muncul dari samping kanan dan berhasil menarik kedua senapan laras pendek. Felipe sontak menoleh dan kaget melihat dua perempuan yang rambutnya dicepol tinggi-tinggi, melesat untuk menarik kedua pistol. Felipe hendak menarik Gwenyth, tetapi gadis itu langsung berbalik dan melakukan tendangan putar. Felipe mengaduh saat badannya ambruk ke tanah. Dia hendak bangkit, tetapi Gwenyth telah menibannya dan memutar leher Felipe hingga berbunyi nyaring. "Uww! Pasti sakit," tukas Hugo sambil meringis. "Lempar dia ke sana, Bang." Gwenyth menunjuk ke kiri. "Aku mau naik ke situ," lanjutnya yang menunjuk dekat kantor pengelola. "Hati-hati." "Okay." Hugo mengamati saat kedua gadis berlari kencang. Dia kembali meringis ketika Gwenyth dan Puspa berduet untuk menjatu
111Hampir 200 orang berkumpul di depan sebuah rumah besar, di pinggir Kota San Sebastian. Mereka tengah mempersiapkan diri, sebelum memasuki puluhan mobil van dan MPV beragam warna. Mobil-mobil itu melaju melintasi jalan lengang. Salju tebal yang turun sejak semalam, menjadikan banyak tempat tertimbun. Hanya mobil-mobil dengan alat pemecah salju yang berani melintas. Selebihnya memilih tetap di tempat. Kota San Sebastian yang terkenal sebagai tempat wisata, terletak di utara Basque, tepatnya di tenggara Teluk Biscay. Kota tersebut dikelilingi oleh daerah perbukitan dan memiliki tiga pantai yang terkenal. Yakni Concha, Ondaretta dan Zurriola. Konvoi puluhan mobil menuju Igeldo, salah satu distrik yang menghadap Gunung Ulia. Mereka telah mendapatkan informasi akurat tentang keberadaan kelompok Hugo, yang tengah meninjau lokasi proyek. Laurencius yang berada di mobil pertama, berusaha tetap tenang. Meskipun adrenalinnya mengalir deras, tetapi dia harus mengendalikan diri. Sudah sang
110Jalinan waktu terus bergulir. Pagi waktu setempat, Hisyam dan kelompoknya telah berada di bandara Kota Paris. Mereka dijemput Torin, ketua regu pengawal Perancis, dan asistennya, menggunakan dua mobil MPV. Kedua sopir mengantarkan kelompok pimpinan Yoga ke vila yang disewa Carlos, yang berada di sisi selatan Kota Paris. Sesampainya di tempat tujuan, semua penumpang turun. Mereka disambut Mardi dan Jaka di teras rumah besar dua lantai bercat hijau muda. Kemudian mereka diajak memasuki ruangan luas dan bertemu dengan banyak orang lainnya. Hisyam terperangah menyaksikan rekan-rekannya semasa perang klan Bun versus Han, telah berada di tempat itu. Hisyam melompat dan memeluk Loko, yang spontan mendekapnya erat. "Abang, aku kangen!" seru Hisyam, seusai mengurai dekapan. "Aku juga kangen, Mantan musuh," seloroh Loko. "Oh, nggak kangen ke aku?" sela Michael yang berada di samping kanan Loko. "Tentu saja aku kangen. Terutama karena sudah lama kita nggak sparing," balas Hisyam sembar
109Rinai hujan yang membasahi bumi malam itu, menyebabkan orang-orang memutuskan untuk tetap di rumah ataupun tempat tertutup lainnya. Utari menguap untuk kesekian kalinya. Dia mengerjap-ngerjapkan mata yang kian memberat, sebelum menyandar ke lengan kiri suaminya. "Kalau sudah ngantuk, tidur," ujar Hisyam tanpa mengalihkan pandangan dari televisi yang sedang menayangkan film laga dari Jepang. "Lampunya matiin. Aku nggak bisa tidur kalau terang gini," pinta Utari. Hisyam menggeser badan ke kanan untuk menyalakan lampu tidur. Kemudian dia beringsut ke tepi kasur, dan berdiri. Hisyam jalan ke dekat pintu untuk memadamkan lampu utama. "Aku mau bikin teh. Kamu, mau, nggak?" tanya Hisyam. "Enggak," tolak Utari sambil merebahkan badannya. Sekian menit berlalu, Hisyam kembali memasuki kamar sambil membawa gelas tinggi. Dia meletakkan benda itu ke meja rias, lalu beranjak memasuki toilet. Kala Hisyam keluar, dia terkejut karena mendengar bunyi ponselnya. Pria berkaus hitam menyambar
108Jalinan waktu terus bergulir. Deretan acara pernikahan sudah tuntas dilaksanakan di dua kota. Hisyam dan Utari telah kembali ke Jakarta. Mereka menetap di rumah baru bersama kedua Adik Hisyam. Pagi itu, Chalid menjemput Utari dan mengantarkannya ke kantor Dewawarman Grup. Sementara Hisyam melajukan kendaraan menuju kediaman Sultan. Jalan raya yang padat merayap menyebabkan Hisyam menggerutu. Dia sangat berharap kondisi lalu lintas di Ibu Kota bisa lebih tertata, seperti halnya di London. Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sudah banyak orang berkumpul. Hisyam keluar dari mobil MPV mewah yang harganya sama dengan mobil Andri dan Haryono. Kemudian dia mendatangi orang-orang di gazebo dan teras, lalu menyalami semuanya dengan takzim. Tidak berselang lama, Yusuf dan teman-temannya datang. Sebab tidak mendapatkan tempat parkir, kedua sopir memarkirkan kendaraan mereka di pekarangan rumah Marley, yang berada di seberang. Alvaro mengajak semua orang untuk berpindah ke belakang. Hi
107 Ratusan orang memenuhi taman resor BPAGK di Bogor, yang telah diubah menjadi tempat pesta kebun nan mewah. Puluhan meja bernuansa putih, ungu muda dan fuchsia, mendominasi area kiri hingga tengah. Sementara bagian kanan sengaja dikosongkan untuk tempat pertunjukan. Pelaminan bersemu putih dan ungu, menambah keindahan tempat perhelatan akbar tersebut. Aroma bunga tercium di seputar area, terutama karena setiap sudutnya dipenuhi bunga beraneka warna, yang kian menambah kecantikan dekorasi hasil tim Mutiara.Pasangan pengantin baru menikmati hidangan di meja terdekat dengan pelaminan. Bersama hadirin, mereka menonton tiga video pre wedding yang telah disatukan. Hisyam mengusap tangan kiri Utari yang spontan menoleh. Keduanya sama-sama mengulum senyuman, karena mengingat saat pengambilan video, jauh sebelum mereka benar-benar menikah. "Kamu tahu? Waktu itu aku deg-degan banget. Terutama waktu kita adegan pelukan dari belakang," ujar Hisyam. "Aku ngerasa jantung Abang berdetak ken
106 "Syam, kamu apain Tari?" tanya Wirya sembari mengamati perempuan bergaun merah muda, yang sedang berbincang dengan istrinya. "Enggak diapa-apain, Bang," sahut Hisyam. "Jalannya aneh gitu." Hisyam meringis. "Mata Abang jeli banget." "Aku lebih pengalaman, jadi rada paham." Wirya melirik juniornya, lalu dia bertanya, "Berapa kali?" Hisyam tidak langsung menjawab, melainkan hanya tersenyum sembari menggaruk-garuk kepalanya. "Jawab!" desis Wirya sambil berpura-pura hendak mencekik pria yang lebih muda. "Dua," balas Hisyam dengan suara pelan. Wirya mengangkat alisnya, kemudian dia merangkul pundak sang junior. "Good. Aku dulu juga gitu." "Langsung dua set?" "Enggak. Malam dan pagi. Kamu?" "Siang dan sore. Entar malam sekali lagi." Keduanya saling melirik, sebelum terbahak bersama. Orang-orang di sekitar memandangi kedua pria yang sama-sama mengenakan kemeja biru tua, dengan tatapan penuh tanya. "Mereka ngakak begitu, aku jadi curiga," tutur Delany sambil memandangi suamin