Share

Tak Terduga

Penulis: Tri Nur
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Tanpa suara aku meletakkan novel di atas nakas, dan beringsut turun. Sambil mengikat rambut aku berjalan menuju pintu.

Saat pintu terbuka, aku terperanjat. Sebuah kejutan …!

Mas Bayu yang semula bersandar di samping pintu pun sepertinya ikut terkejut. Mungkin tak menyangka aku akan keluar.

Sesaat mata kami bertemu, gerakan tanganku yang sedang merapikan rambut pun terhenti. Beberapa anak rambut masih terburai.

"Sedang apa disini?" tanyaku sesaat setelah rasa kagetku hilang.

"Hm, kata Bibik kamu tidak keluar sejak siang." Jawaban Mas Bayu cukup panjang kali ini.

"Kenapa berdiri di situ?" tanyaku lagi. Kali ini tidak ada jawaban yang ku terima. Hanya tatapan tajam Mas Bayu seolah mengatakan dia tidak suka mendengar pertanyaan dariku.

Ah, aku lupa. Bukankah ini rumahnya? Jadi dia bebas berdiri dan melakukan apapun yang dia mau di mana saja. Bahkan dia bebas menganggapku tak ada, bahkan saat aku berada tepat di hadapannya.

Tak mau ambil pusing, aku segera berlalu ke dapur. Aku sudah gatal ingin memegang pisau dan menghirup bau bawang.

Ku buka tempat penyimpanan bumbu dan mengambil beberapa butir bawang merah, bawang putih, kemiri, sedikit lada dan beberapa buah cabai rawit merah. Aku sangat menyukai pedas. Dan selama di sini, Bibik sangat jarang memasak menggunakan banyak cabai. Sepertinya cabai hanya dia gunakan untuk mempercantik masakannya saja.

Dengan cekatan aku mengupas dan mencuci bawang. Aku mencari cobek dan ulekan, kemudian siap menggerus bermacam bumbu yang sudah kusiapkan. Hmm, sepertinya ada yang kurang. Sayur, ya …, aku butuh sayur sebagai pelengkap masakanku nanti.

Saat membuka kulkas, aku melihat dari sudut mata seseorang tengah mengawasiku. Biar saja. Aku rindu bergelut dengan dapur. Meskipun dapur ini sangat berbeda dengan dapurku di kampung.

Aku mengambil beberapa lembar daun sawi, dan juga daun bawang. Tak lupa aku menyiapkan sepiring nasi.

Suara spatula beradu dengan wajan terdengar riuh. Tanpa sadar aku bersenandung. Sudah hampir dua bulan aku tidak memainkan peralatan masak, ada kebahagiaan tersendiri saat bisa menguasai dapur.

Tak butuh waktu lama, aroma nasi goreng menguar memenuhi dapur.

Aku mencuci peralatan masak setelah memindahkan nasi goreng ke dalam piring.

"Mbak, biar saya yang cuci." Suara Bibik terdengar di belakangku.

"Aku bisa melakukannya sendiri, Bik." Aku tak mengalihkan pandanganku dari busa yang melumuri permukaan wajan.

"Nanti Bapak marah, Mbak …," ujarnya.

"Marah kenapa, Bik? Toh Bapak tidak akan tahu," kataku sambil mengeringkan tangan. Sudah selesai mencuci, saatnya menikmati nasi gorengku.

Tangan kanan  membawa piring nasi goreng, dan segelas air putih kubawa dengan tangan kiri. Saat sampai di ruang makan aku kembali dikejutkan oleh keberadaan Mas Bayu. Suamiku itu tampak duduk di kursi, tatapan matanya tajam mengarah padaku.

"Kamu bisa minta Bibik membuatkan nasi goreng," ucapnya ketus.

"Aku hanya ingin memasak sendiri." Ku jawab ucapannya dan segera duduk. Aku tak sabar ingin segera memasukkan nasi goreng ke dalam mulut.

Dengan sepenuh hati ku nikmati makanan di depanku.

Ku abaikan keberadaan Mas Bayu. Seperti dia juga biasa mengabaikan aku. Bukan balas dendam, hanya saja aku ingin terbiasa melakukan apa yang dia lakukan. Mungkin dengan begini Mas Bayu tidak akan merasa terganggu dengan sikapku selama ini.

Aku tak mengenal suamiku sebelumnya. Jadi wajar jika aku tak tahu apapun tentang dia. Caranya memperlakukanku, seperti itu juga mungkin dia ingin diperlakukan.

Selesai makan aku menghabiskan air putih yang ku bawa dari dapur. Kemudian beranjak untuk mencuci gelas dan piring. Tak lupa aku mengisi botol minum untuk ku bawa ke kamar.

Sejak dulu aku terbiasa bangun dan merasa haus di malam hari. Sebelum menikah aku juga selalu membawa minum ke kamarku. Dua bulan di sini, aku sedikit tersiksa, rasa segan pada Mas Bayu membuatku tidak berani membawa minum ke kamar.

Saat ingin kembali ke dalam kamar, kulihat Mas Bayu masih duduk di tempat yang sama.

Baru ku sadari jika piring dan sendok masih tertata rapi. Bahkan nila goreng dan tumis kangkung kesukaan Mas Bayu masih utuh. Hanya gelas berisi air putihnya yang sudah berkurang separuh.

"Belum makan?" Pertanyaan bodoh yang ku lontarkan.

"Menurutmu? Apakah aku bisa makan, saat menantu pilihan orang tuaku tidak makan apapun sejak siang. Entah apa yang akan mereka lakukan padaku, jika mereka tahu kamu kelaparan di rumahku."

Sebuah kalimat terpanjang yang ku dengar darinya cukup membuatku terhenyak. Menantu pilihan orang tua? Jadi hanya sebatas itu aku di matanya?

"Aku sudah makan, jadi Mas Bayu bisa makan dengan tenang," balasku tanpa melihat ke arahnya.

Sedikit perih mendengar ucapan dari mulut suamiku. Menantu pilihan orang tua.

Dalam satu hari aku mendapat dua ucapan manis yang tak akan pernah bisa ku lupakan. Pertama dari Rum, dan yang kedua dari Mas Bayu.

Aku melangkah dengan tenang. Senyum tipis melengkung di bibirku.

Baiklah, mari kita lihat. Apa yang bisa ku lakukan sebagai 'menantu pilihan orang tua'.

Bab terkait

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Asing atau Terasing

    Pagi ini aku menikmati segelas teh. Tanpa menghidangkan kopi. Bibik yang sedang memasak untuk sarapan memandangku heran. Tapi dia sama sekali tidak bicara apapun.Ya, aku asing di sini. Bahkan asisten rumah tangga pun tidak menganggapku ada. Atau mungkin terganggu oleh kehadiranku?Ku lihat Mas Bayu seperti mencari sesuatu, atau mungkin memastikan sesuatu. Dia menatapku sesaat, dan aku memilih tidak berkomentar apapun."Bik …, tolong buatkan kopi." Suamiku meminta Bibik membuatkannya kopi.Lihat! Sebenarnya mudah saja dia memintaku untuk membuatkan secangkir k

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Aku diantara Mereka

    Rizal mengangguk dan sedikit menjauh, namun aku yakin tangannya akan sigap menangkap jika aku jatuh lagi.Tak tahu kenapa aku merasa ada yang mengawasiku. Dan benar, saat aku melihat ke arah pintu masuk, sosok Mas Bayu ada di sana.Kenapa dia disana? Oh tidak, apakah dia melihatku hampir jatuh tadi?Aku berjalan pelan mendekatinya. Kakiku benar-benar terasa nyeri."Mas Bayu," sapaku canggung. Mas Bayu menatapku dengan pandangan tajam."Selamat siang, Pak, maaf saya tidak

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Kejutan Inara

    "Gendhis, tunggu …!"Sepertinya Inara berusaha mengejarku."Gen … ahhh!"Aku menoleh dan terkejut saat melihat Inara, perempuan itu tersungkur dan bagian bawah bajunya basah!Terlihat pecahan beling bertebaran di sekitarnya. Seorang pelayan laki-laki berdiri kaku dengan nampan kosong."Gimana sih, resto sebagus ini kenapa punya pelayan ceroboh kayak kamu!" Inara menuding pelayan malang itu. Si pelayan tidak menjawab, tapi terlihat sekali dia menahan diri untuk tidak membalas tudingan Inara."Kamu tahu, bajuku ini mahal, kena tumpahan juice mana bisa hilang," keluhnya. Tangannya sibuk

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Bukan Pelengkap Identitas

    Seketika ruangan hening, bahkan setelah Mas Bayu menjauhkan wajahnya dariku.Tatap matanya yang tajam memaksaku untuk mengangguk. Pria dingin itu kemudian kembali menggenggam tanganku dan memaksa mengikuti langkahnya.Kami berdua menaiki tangga. Di sudut yang tersembunyi aku berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.Mas Bayu menyerngit tak suka. Namun aku tak perduli. Aku tak ingin terus terbuai oleh sikap manisnya di kantor. Dan akan terasa sakit saat menemukan realita berbeda sesampainya di rumah nanti.Dengusan kasar terdengar, dan hentakan kakinya kembali terdengar menaiki tangga.Tuhan, tolong hentikan debaran kurang ajar yang lancang datang tanpa k

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Istri Pungut?

    Aku tergagap, bodoh … bodoh! Aku bahkan tak tahu alamat tempat tinggalku saat ini …!Sopir taksi menepikan mobilnya, dan menoleh ke arahku, "maaf, Mbak … tujuan kita kemana ya?" Dia bertanya sekali lagi.Aku yang dari tadi menahan kesal tanpa sadar mengalirkan air mata. Sopir tadi menghembuskan nafas, mungkin dia sedang berusaha bersabar. Apa dia tidak tahu, aku lebih kesal darinya.Pagi tadi dengan rasa bahagia aku keluar dari rumah, membeli tanaman, sampai akhirnya dijemput paksa oleh laki-laki yang bergelar suami. Di situ kebahagiaanku mulai terkikis, semakin habis ketika harus menjemput Inara.Ditambah ucapan kasar Mas Bayu tadi di kantor! Ah …!

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Jangan Pergi

    Mas Bayu mencekal tanganku dan menarik masuk ke kamar. Sesampainya di kamar, tubuhku didorongnya ke tempat tidur. Aku yang tidak menduga mendapat perlakuan seperti itu tentu saja hilang keseimbangan. Apalagi Mas Bayu yang berbadan tinggi kekar seolah mengerahkan seluruh tenaganya."Jangan banyak tingkah dan mempermalukan dirimu sendiri. Apalagi di depan asisten rumah tangga," sentaknya kasar. Dia berdiri tegak, kakinya berada di kanan kiri lututku, dengan telunjuk mengarah lurus kepadaku.Aku cepat berdiri dan mendorong tubuhnya, "Aku tidak peduli. Toh posisiku dan mereka tak ada bedanya. Hanya sebagai pelengkap rumah mewahmu ini kan?"Mas Bayu sepe

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Kesurupan

    "Jangan pergi, Nara …," ucap Mas Bayu di tengah tidurnya.Bahkan dalam keadaan tidur pun Inara masih selalu bergentayangan di pikirannya!Inara, perempuan jelita yang memiliki kedudukan istimewa di hati suamiku. Jika mereka memang saling mencintai, kenapa Ayah dan Ibu sangat menentang?Aku yakin ini bukan karena harta. Karena perempuan itu bahkan memiliki toko kue dan toko pakaian peninggalan orang tuanya. Lalu kenapa?Bahkan nama Inara seolah tabu terucap di depan mertuaku. Apa yang tidak ku ketahui?

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Teman?

    "Aku kenapa? Aku dari tadi makan, iya kan Bik?"Raut wajah Bibik memucat. Begitu juga dengan Rum.Aku berusaha keras menyembunyikan tawa kemenangan. Sudah kubilang kan, aku tak akan tinggal diam. Benar?"Ta--di Gendhis kesurupan, Pak," ucap Rum terbata.Mas Bayu mendekat, dia memperhatikan wajahku seolah aku akan menghilang jika sebentar saja pandangannya beralih. Bibik dan Rum berdiri sejajar tepat di depan pintu menuju dapur."Kamu kesurupan?" Pertanyaan tajam dari sua

Bab terbaru

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Luluh

    Rasa tak percaya diri muncul. Apa bentuk tubuhku berubah mengerikan? Apa lemak yang mengiringi kehamilanku membuat hasratnya lebur?Lagi-lagi aku patah.Kuputuskan untuk mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Berusaha meredam amarah agar tak salah arah.Duduk diam dan membiarkan air mata mengalir begitu saja.Hampir tengah malam seseorang mencoba membuka pintu. Aku tetap diam. Tak berusaha bangun untuk membukanya.Saat ini aku ingin sendiri. Berdamai dengan rasa yang menyakitiku.***"Kenapa p

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Kecewa

    Hari-hari selanjutnya kulalui dengan normal. Tidak ada yang mengusikku, selain Mas Bayu.Lelaki itu nyaris setiap saat memintaku kembali ke rumah. Sayangnya aku masih merasa nyaman disini. Rumah Diana yang sudah dibeli suamiku dengan harga fantastis.Diana bahkan mampu membeli rumah lain yang lebih besar dan juga liburan ke luar kota. Aku tidak akan melupakan saat Mas Bayu juga menjanjikan sebuah toko kue lengkap dengan karyawan untuknya.Entahlah, aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran suamiku itu. Terlalu mudah menghamburkan uang.Sepertinya setelah kepergianku, dia berubah bekerja keras hingga lupa waktu. Mungkin itu caranya untuk melupakan aku. Menurut Inara, harta Mas Bayu tak akan

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Cemburu

    "Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bayu. Tatapannya tak beralih dari jalan raya yang padat ileh kendaraan."Tidak," jawabku pelan."Anakku, apa dia tidak lapar?" Kali ini Mas Bayu menatapku sebentar.Rasa hangat kembali memenuhi dadaku. Aku tersenyum. Semudah itu membuatku bahagia."Kenapa?""Hmm? Kenapa apanya?" Aku menoleh. Mengamati tangan kekarnya yang memegang setir."Kamu, senyum-senyum begitu.""Nggak boleh?" rajukku.Mas Ba

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Ratu di Hati Suamiku

    Tidak apa?" Aku masih mencoba mencari kepastian.Mas Bayu masih berdiri tegak. Tak menoleh, juga tak menyahut. Dengan cepat kulempar bantal ke arahnya.Hanya terdengar helaan nafas darinya. Aku hampir putus asa. Sikapnya semakin mambuatku yakin pada apa yang kupikirkan. Pak Mahmud telah meninggal."Aku ikut," putusku cepat.Ternyata ucapanku kali ini menimbulkan reaksi. Dia berbalik dan memandangku. Aku berdiri dan segera meraih jaket untuk menutupi piyama yang kukenakan. Selanjutnya aku menabrak lengannya untuk keluar menuju kamar mandi."Ndhis!"Seruannya tak kuhiraukan. Dengan cepat aku mencuci muka dan menggosok gigi. Tak lupa kuikat rambut menyerupai gaya ekor kuda."Ayo," ajakku."Kamu di rumah saja." Dia masih berusaha membujuk."Tidak. Aku ikut atau kamu tidak akan pernah bisa menemukanku lagi. Aku akan pergi," ancamku."Bagaimana bisa kamu pergi, sedangkan dun

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Kontraksi

    "Katakan, di mana Pak Mahmud?" Aku mencecar Mas Bayu. Lelaki itu menghela nafas kasar."Entahlah. Terakhir yang kutahu, dia mengantar ayah melakukan perjalanan bisnis. Beberapa malam yang lalu, dia menghubungiku. Memberi tahu tentang kamu. Semua begitu cepat. Seperti sesuatu mengejarnya.""Kamu tidak melacak ponselnya?" tanyaku khawatir. Hal mudah bagi Mas Bayu untuk mengetahui keberadaan seseorang melalui ponsel. Apalagi ada beberapa karyawannya yang dibidang itu."Sudah. Dan hanya ponsel yang kutemukan." Mas Bayu membuang muka. Terlihat sekali dia tengah menyembunyikan sesuatu."Lalu, siapa laki-laki yang tadi berkelahi denganmu?""Mereka suruhan ibu.""Suruhan? Untuk apa?" Heranku."Kamu mengandung pewaris mereka," ucapnya pelan."Apa hubungannya?""Jika anak kita lahir, mereka akan membawanya, dan tidak mustahil mengakhiri hidup kita."Gila! Aku tidak habis pikir, ini ha

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Hilang

    Aku berpura tidak peduli dengan raut wajahnya yang terlihat kesal. Dengan gerakan santai kubereskan peralatan untuk membersihkan luka Mas Bayu tadi.Selain obat pereda nyeri, orang-orang itu juga membeli kain kasa dan beberapa lembar plester.Cangkir kopi kubawa ke dalam. Sebagai gantinya aku membuatkan teh manis untuknya dan empat orang yang berdiri siaga di teras. Sebenarnya aku sudah mempersilahkan mereka untuk duduk, tapi aura Mas Bayu yang kehilangan secangkir kopi begitu kelam. Mungkin itu membuat mereka memilih berdiri.Hari sudah malam, dan aku menyiapkan makanan untuk lima lelaki dewasa. Mudah saja bagiku yang memang senang bergelut di dapur. Apalagi si kecil yang biasanya aktif, entah kenapa kurasa tenang. Apa mungkin dia senang, bisa merasakan kehadiran ayahnya?Senyum muncul saat menyentuh perutku sendiri. Ah, bagaimana rasanya jika Mas Bayu mengelusnya?Aku menggigit bibir. Tiba-tiba dorongan untuk merasakan tangan

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Membasuh Luka

    "Aku terluka, tidakkah kamu ingin melihatnya?"Melihat lukanya? Dia terluka?Hatiku mulai sedikit goyah. Apalagi bayi dalam kandunganku seolah memaksa untuk mendekati sang ayah."Aku yang masuk, atau kamu keluar," tegasnya. Matanya tak lepas dariku.Terlihat Mas Bayu mulai melangkah, tanpa melepas pandangan. Semakin dekat, dan semakin terlihat luka lebam di wajahnya. Dia benar-benar terluka!"Berhenti! Aku akan keluar." Segera kututup ponsel dan berjalan membuka pintu.Pintu terbuka, angin senja menyambutku. Memainkan anak rambut di dahiku.Setelah sekian lama, aku kembali bisa menatapnya. Ada rasa membuncah yang memaksaku untuk berlari. Ingin meraup wajah tampannya, menenggelamkan diri di pelukannya."Jangan lari!" Serunya tertahan. Sorot matanya terlihat khawatir."Tidak, aku tidak berlari," elakku. Aku hanya mempercepat langkah, agar bisa segera berdiri di depanmu. Berada dala

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Tersiksa

    Sangat jelas dia mengawasiku. Salah satu dari empat lelaki yang tempo hari melakukan pengeroyokan.Lelaki itu terlihat mengamati, lalu menengok ke segala arah. Siapa dia?Apa yang dia inginkan?Aku cepat-cepat mengambil ponsel, berusaha menghubungi Rizal. Sesaat aku ragu. Apa Rizal benar-benar bermaksud baik? Atau ada sesuatu yang dia dan Pak Mahmud sembunyikan dariku?Atau mungkinkah Pak Mahmud mengirim orang-orang itu untuk menjagaku? Ah, tidak!Tatapan lelaki itu terlihat begitu kelam. Seperti menunggu waktu tepat untuk berbuat jahat.Apa yang harus aku lakukan?Bingung. Ya, aku tak tahu siapa yang benar-benar peduli saat ini. Tak ada satupun yang berusaha menemuiku.Aku seperti terbelenggu di tempat ini.Aku hidup, tapi kebebasanku terenggut. Aku lelah. Sangat lelah.***Tak tahu berapa lama aku bergelung di balik selimut. Keringat dingin terus mengalir. Suara

  • Jarak (tamu di hati suamiku)   Diawasi

    Kandunganku saat ini memasuki bulan ketujuh. Aku begitu menikmati setiap prosesnya. Perut yang perlahan membesar, membuatku merasa semakin percaya diri.Percaya diri, dan berusaha untuk meyakinkan diri jika aku bisa melalui ini semua. Setiap saat aku membaca dongeng untuk calon anakku. Semua kasih sayang tercurah penuh untuknya. Apalagi saat ini hanya dia yang benar-benar kumiliki.Orang-orang disekitar tempat tinggalku sangat baik. Mereka percaya jika aku majikan Diana yang sedang 'tirah' (istirahat di tempat lain untuk memulihkan kesehatan).Mereka tak mempersoalkan aku yang tinggal seorang diri. Sedikit aneh bagiku, mereka sama sekali tidak mengusik ataupun menatapku curiga. Tapi tak apa. Bukankah ini lebih baik?Di pagi hari aku sering berjalan mengitari komplek. Seperti pagi ini, aku mengambil rute memutar lewat area belakang yang masih berupa perkebunan milik warga. Suasana yang masih asri mengingatkan aku pada desa yang kutinggalkan

DMCA.com Protection Status