"Aku kenapa? Aku dari tadi makan, iya kan Bik?"
Raut wajah Bibik memucat. Begitu juga dengan Rum.
Aku berusaha keras menyembunyikan tawa kemenangan. Sudah kubilang kan, aku tak akan tinggal diam. Benar?
"Ta--di Gendhis kesurupan, Pak," ucap Rum terbata.
Mas Bayu mendekat, dia memperhatikan wajahku seolah aku akan menghilang jika sebentar saja pandangannya beralih. Bibik dan Rum berdiri sejajar tepat di depan pintu menuju dapur.
"Kamu kesurupan?" Pertanyaan tajam dari sua
"Dengan syarat, aku boleh bekerja." Ku utarakan kembali keinginanku setelah Mas Bayu melepas pelukannya.Aku merasa ada yang hilang saat tubuh kami berjarak."Tak ada syarat selain itu? Kamu mau mobil? Atau kamu mau ku buatkan taman pribadi?""Aku bekerja, atau Inara tidak tinggal di sini." Aku berkata tegas. Tidak mungkin aku di rumah selama dua puluh empat jam, dan harus menyaksikan kemesraan yang mereka suguhkan.Aku masih punya hati. Meski mungkin sudah tidak terbentuk lagi."Nanti aku pikirkan dulu," tukas Mas Bayu."Berarti Inara jangan dulu dibawa kemari," cetusku.
Pagi baru datang dan rumah sudah dipenuhi oleh suara Inara.Ku tepuk pelan bahu Mas Bayu, berusaha membuatnya bangun."Mas, bangun. Inara berteriak mencarimu ….""Hmm …," gumaman tak jelas tertangkap telingaku."Mas." Aku masih berusaha membuatnya membuka mata."Hmm … apa sih sayang …," sahutnya dengan mata setengah terbuka.Aku terdiam mendengarnya memanggilku sayang. Sebisa mungkin ku tepis debaran di hati. Mungkin dia belum sepenuhnya sadar.Suara Inara kembali terdengar memanggil Mas Bayu.&nbs
"Gendhis, bisa minta tolong belikan aku cemilan? Mas Bayu sedang sibuk dan katanya hari ini dia lembur," pinta Inara.Aku yang sedang asyik dengan tanamanku tak menggubris ucapannya. Baru beberapa menit yang lalu aku sampai di rumah, bahkan keringatku belum juga kering."Gendhis …!"Aku menghela nafas, "Kamu bisa minta tolong Rum, kan?" balasku malas.Aku tak suka sikap Inara yang seolah memanfaatkanku. Dia tahu aku memperhatikan kehamilannya. Karena itu berulang kali dia memintaku melakukan sesuatu atas nama bayi di dalam perutnya.Dan lagi, sifat cemburunya semakin hari semakin menjadi. Pernah dia mengamuk hanya karena Mas Bayu membelikanku sebuah
Pagi itu aku berhasil menghalangi Ibu untuk mengetahui keberadaan Inara. Dan itu berpengaruh besar pada sikap Inara dan Mas Bayu.Tak ada lagi ucapan ketus dan sok berkuasa meluncur dari Inara. Sedangkan Mas Bayu, laki-laki itu semakin berubah. Lebih hangat.Aku benar-benar mencoba menempatkan diri di posisiku yang seharusnya.Menantu pilihan orang tua Mas Bayu, bukan istri Mas Bayu.Perlahan aku mulai menikmati ini semua. Aku mengikuti saran Ibu untuk pergi ke salon, juga menyempatkan untuk menyalurkan hobi baruku. Yaitu merawat tanaman.Karena itu aku juga lebih sering bertemu dengan Rizal. Ya, aku sering mengunjungi toko bunga miliknya. Bukan apa-apa, to
Aku masih menatap foto Inara bersama kedua orang dewasa itu. Berbagai pertanyaan berputar di kepala. Apa hubungan Inara dan ayah? Mungkinkah perempuan yang memangku Inara kecil ini istri ayah? Aku mencubit bibirku sendiri. Tidak mungkin. Bisa jadi mereka bersaudara, atau rekan bisnis. Bisa juga mereka …. Mungkinkah Inara anak kandung ayah? Jika benar, berarti Mas Bayu dan Inara …? Ya Tuhan! Semoga aku salah. Semoga ini semua tidak benar, elakku dalam hati. Aku segera mengabadikan foto itu di ponselku. Selesai. Dengan sedikit gemetar aku kembali merapikan buku harian itu tanpa membacanya
"Kamu lancang menikahi Inara! Padahal kamu tahu pasti siapa dia!" Ayah kembali melayangkan tangan, namun Mas Bayu mengelak cepat."Antara aku dan Inara tidak ada hubungan darah. Dan kami sama-sama korban. Sudah sepantasnya aku melindunginya dari kejahatan kalian," teriak Mas Bayu.Dia bilang, tak ada hubungan darah? Apa maksudnya?"Bayu, hentikan semua ini. Kamu jangan seperti ini … Bayu," isak Ibu."Apa Ibu dulu berhenti saat aku menangis, Bu?" Kali ini Mas Bayu menatap wajah Ibu.Aku tak tahu arah pembicaraan mereka. Ku pikir kemarahan Mas Bayu hanya ditujukan pada Ayah.Tangis Ibu semakin
Sejak Tante Dilara meninggal, ayah yang pekerja keras merasa kewalahan mengasuh Inara yang sangat aktif. Saat itu ibu datang menawarkan diri untuk mengasuh Inara dan Bayu. Tentu dengan syarat mereka kembali rujuk. Tak ada alasan bagi ayah untuk menolak. Dia berharap keputusannya tepat. Tanpa persetujuan Bayu, mereka kembali bersatu. Menganggap jika anak kecil hanya akan mengangguk setuju. Mungkin ayah dan ibu lupa, Bayu bukan boneka yang tak bernyawa. Mereka berpesta, mengabadikan persahabatan dalam ikatan pernikahan kedua. Mengabaikan Bayu yang terombang ambing di antara ego kedua orang tuanya. Terlebih ayah begitu menyayangi Inara, karena paras Dilara seolah menempel erat di wajah gadis kecil itu. Dan hati
Pagi ini mataku enggan terbuka. Sayangnya aku tak terbiasa bangun setelah matahari tinggi, karena itu tubuhku menolak kembali rebah. Dulu aku bersahabat dengan embun pagi.Sepertinya baru sebentar rasa damai membuai. Sedikit malas, ku rentangkan dua lengan, meluruskan beberapa sendi.Ponsel masih berada di genggamku. Sekilas kelebat suara sayup menyapa. Sepertinya semalam aku dengar tentang satu-satunya istri.Istri siapa? Apakah Mas Bayu? Tentu bukan. Jelas aku dan Inara sama-sama sah menjadi istrinya.Jangan-jangan rasa gelisah mencoba menyesatkan pendengaranku. Aku hanya tak mau salah arah. Guncangan luka masa lalu yang di buka Ibu semalam, masih begitu membekas.
Rasa tak percaya diri muncul. Apa bentuk tubuhku berubah mengerikan? Apa lemak yang mengiringi kehamilanku membuat hasratnya lebur?Lagi-lagi aku patah.Kuputuskan untuk mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Berusaha meredam amarah agar tak salah arah.Duduk diam dan membiarkan air mata mengalir begitu saja.Hampir tengah malam seseorang mencoba membuka pintu. Aku tetap diam. Tak berusaha bangun untuk membukanya.Saat ini aku ingin sendiri. Berdamai dengan rasa yang menyakitiku.***"Kenapa p
Hari-hari selanjutnya kulalui dengan normal. Tidak ada yang mengusikku, selain Mas Bayu.Lelaki itu nyaris setiap saat memintaku kembali ke rumah. Sayangnya aku masih merasa nyaman disini. Rumah Diana yang sudah dibeli suamiku dengan harga fantastis.Diana bahkan mampu membeli rumah lain yang lebih besar dan juga liburan ke luar kota. Aku tidak akan melupakan saat Mas Bayu juga menjanjikan sebuah toko kue lengkap dengan karyawan untuknya.Entahlah, aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran suamiku itu. Terlalu mudah menghamburkan uang.Sepertinya setelah kepergianku, dia berubah bekerja keras hingga lupa waktu. Mungkin itu caranya untuk melupakan aku. Menurut Inara, harta Mas Bayu tak akan
"Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bayu. Tatapannya tak beralih dari jalan raya yang padat ileh kendaraan."Tidak," jawabku pelan."Anakku, apa dia tidak lapar?" Kali ini Mas Bayu menatapku sebentar.Rasa hangat kembali memenuhi dadaku. Aku tersenyum. Semudah itu membuatku bahagia."Kenapa?""Hmm? Kenapa apanya?" Aku menoleh. Mengamati tangan kekarnya yang memegang setir."Kamu, senyum-senyum begitu.""Nggak boleh?" rajukku.Mas Ba
Tidak apa?" Aku masih mencoba mencari kepastian.Mas Bayu masih berdiri tegak. Tak menoleh, juga tak menyahut. Dengan cepat kulempar bantal ke arahnya.Hanya terdengar helaan nafas darinya. Aku hampir putus asa. Sikapnya semakin mambuatku yakin pada apa yang kupikirkan. Pak Mahmud telah meninggal."Aku ikut," putusku cepat.Ternyata ucapanku kali ini menimbulkan reaksi. Dia berbalik dan memandangku. Aku berdiri dan segera meraih jaket untuk menutupi piyama yang kukenakan. Selanjutnya aku menabrak lengannya untuk keluar menuju kamar mandi."Ndhis!"Seruannya tak kuhiraukan. Dengan cepat aku mencuci muka dan menggosok gigi. Tak lupa kuikat rambut menyerupai gaya ekor kuda."Ayo," ajakku."Kamu di rumah saja." Dia masih berusaha membujuk."Tidak. Aku ikut atau kamu tidak akan pernah bisa menemukanku lagi. Aku akan pergi," ancamku."Bagaimana bisa kamu pergi, sedangkan dun
"Katakan, di mana Pak Mahmud?" Aku mencecar Mas Bayu. Lelaki itu menghela nafas kasar."Entahlah. Terakhir yang kutahu, dia mengantar ayah melakukan perjalanan bisnis. Beberapa malam yang lalu, dia menghubungiku. Memberi tahu tentang kamu. Semua begitu cepat. Seperti sesuatu mengejarnya.""Kamu tidak melacak ponselnya?" tanyaku khawatir. Hal mudah bagi Mas Bayu untuk mengetahui keberadaan seseorang melalui ponsel. Apalagi ada beberapa karyawannya yang dibidang itu."Sudah. Dan hanya ponsel yang kutemukan." Mas Bayu membuang muka. Terlihat sekali dia tengah menyembunyikan sesuatu."Lalu, siapa laki-laki yang tadi berkelahi denganmu?""Mereka suruhan ibu.""Suruhan? Untuk apa?" Heranku."Kamu mengandung pewaris mereka," ucapnya pelan."Apa hubungannya?""Jika anak kita lahir, mereka akan membawanya, dan tidak mustahil mengakhiri hidup kita."Gila! Aku tidak habis pikir, ini ha
Aku berpura tidak peduli dengan raut wajahnya yang terlihat kesal. Dengan gerakan santai kubereskan peralatan untuk membersihkan luka Mas Bayu tadi.Selain obat pereda nyeri, orang-orang itu juga membeli kain kasa dan beberapa lembar plester.Cangkir kopi kubawa ke dalam. Sebagai gantinya aku membuatkan teh manis untuknya dan empat orang yang berdiri siaga di teras. Sebenarnya aku sudah mempersilahkan mereka untuk duduk, tapi aura Mas Bayu yang kehilangan secangkir kopi begitu kelam. Mungkin itu membuat mereka memilih berdiri.Hari sudah malam, dan aku menyiapkan makanan untuk lima lelaki dewasa. Mudah saja bagiku yang memang senang bergelut di dapur. Apalagi si kecil yang biasanya aktif, entah kenapa kurasa tenang. Apa mungkin dia senang, bisa merasakan kehadiran ayahnya?Senyum muncul saat menyentuh perutku sendiri. Ah, bagaimana rasanya jika Mas Bayu mengelusnya?Aku menggigit bibir. Tiba-tiba dorongan untuk merasakan tangan
"Aku terluka, tidakkah kamu ingin melihatnya?"Melihat lukanya? Dia terluka?Hatiku mulai sedikit goyah. Apalagi bayi dalam kandunganku seolah memaksa untuk mendekati sang ayah."Aku yang masuk, atau kamu keluar," tegasnya. Matanya tak lepas dariku.Terlihat Mas Bayu mulai melangkah, tanpa melepas pandangan. Semakin dekat, dan semakin terlihat luka lebam di wajahnya. Dia benar-benar terluka!"Berhenti! Aku akan keluar." Segera kututup ponsel dan berjalan membuka pintu.Pintu terbuka, angin senja menyambutku. Memainkan anak rambut di dahiku.Setelah sekian lama, aku kembali bisa menatapnya. Ada rasa membuncah yang memaksaku untuk berlari. Ingin meraup wajah tampannya, menenggelamkan diri di pelukannya."Jangan lari!" Serunya tertahan. Sorot matanya terlihat khawatir."Tidak, aku tidak berlari," elakku. Aku hanya mempercepat langkah, agar bisa segera berdiri di depanmu. Berada dala
Sangat jelas dia mengawasiku. Salah satu dari empat lelaki yang tempo hari melakukan pengeroyokan.Lelaki itu terlihat mengamati, lalu menengok ke segala arah. Siapa dia?Apa yang dia inginkan?Aku cepat-cepat mengambil ponsel, berusaha menghubungi Rizal. Sesaat aku ragu. Apa Rizal benar-benar bermaksud baik? Atau ada sesuatu yang dia dan Pak Mahmud sembunyikan dariku?Atau mungkinkah Pak Mahmud mengirim orang-orang itu untuk menjagaku? Ah, tidak!Tatapan lelaki itu terlihat begitu kelam. Seperti menunggu waktu tepat untuk berbuat jahat.Apa yang harus aku lakukan?Bingung. Ya, aku tak tahu siapa yang benar-benar peduli saat ini. Tak ada satupun yang berusaha menemuiku.Aku seperti terbelenggu di tempat ini.Aku hidup, tapi kebebasanku terenggut. Aku lelah. Sangat lelah.***Tak tahu berapa lama aku bergelung di balik selimut. Keringat dingin terus mengalir. Suara
Kandunganku saat ini memasuki bulan ketujuh. Aku begitu menikmati setiap prosesnya. Perut yang perlahan membesar, membuatku merasa semakin percaya diri.Percaya diri, dan berusaha untuk meyakinkan diri jika aku bisa melalui ini semua. Setiap saat aku membaca dongeng untuk calon anakku. Semua kasih sayang tercurah penuh untuknya. Apalagi saat ini hanya dia yang benar-benar kumiliki.Orang-orang disekitar tempat tinggalku sangat baik. Mereka percaya jika aku majikan Diana yang sedang 'tirah' (istirahat di tempat lain untuk memulihkan kesehatan).Mereka tak mempersoalkan aku yang tinggal seorang diri. Sedikit aneh bagiku, mereka sama sekali tidak mengusik ataupun menatapku curiga. Tapi tak apa. Bukankah ini lebih baik?Di pagi hari aku sering berjalan mengitari komplek. Seperti pagi ini, aku mengambil rute memutar lewat area belakang yang masih berupa perkebunan milik warga. Suasana yang masih asri mengingatkan aku pada desa yang kutinggalkan