Rizal mengangguk dan sedikit menjauh, namun aku yakin tangannya akan sigap menangkap jika aku jatuh lagi.
Tak tahu kenapa aku merasa ada yang mengawasiku. Dan benar, saat aku melihat ke arah pintu masuk, sosok Mas Bayu ada di sana.
Kenapa dia disana? Oh tidak, apakah dia melihatku hampir jatuh tadi?
Aku berjalan pelan mendekatinya. Kakiku benar-benar terasa nyeri.
"Mas Bayu," sapaku canggung. Mas Bayu menatapku dengan pandangan tajam.
"Selamat siang, Pak, maaf saya tidak tahu Bapak berkunjung kemari," kata Rizal.
"Jelas kamu tidak tahu, kan kalian sedang sibuk berdua tadi." Mas Bayu mengalihkan pandangannya.
"Maaf, Pak. Bu Gendhis hampir jatuh tadi, dan sa--"
"Aku menjemputmu untuk makan siang. Tanamanmu biar diurus anak Pak Mahmud," kalimat yang diucapkan Mas Bayu terdengar datar, namun kata terakhirnya seolah menegaskan status Rizal.
Aku menatap ke arah Rizal, pemuda itu menunduk. Telinganya terlihat memerah.
"Iya Bu, biar tanaman ibu nanti saya antar ke rumah." Ucapnya kemudian. Rizal menatapku sekilas dan aku hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Ayo," ajak Mas Bayu sambil berlalu mendahuluiku.
Aku menggigit bibir menahan nyeri. Kakiku mungkin sedikit terkilir, semakin sakit saat ku gunakan untuk berjalan.
"Kenapa jalanmu lambat? Ayo," serunya dari dalam mobil. Aku tak melihat Pak Mahmud di sana, mungkin Mas Bayu menyuruhnya kembali ke kantor.
Aku tak ingin terlihat manja. Sebisa mungkin kupaksa kakiku untuk melangkah cepat.
Saat sudah sampai di depan pintu belakang, Mas Bayu malah membuka pintu depan dari dalam.
"Aku bukan sopir."
Mendengar ucapan datarnya aku hanya bisa diam. Tiba-tiba suamiku itu menyodorkan sesuatu.
"Ini krim pereda nyeri. Oles di kakimu yang sakit," ujarnya pelan.
Tanpa bicara aku menerimanya dan sesuai perintah Mas Bayu, ku oles krim bening itu ke pergelangan kaki. Terasa dingin, dan benar saja sedikit demi sedikit rasa nyeri berkurang.
Mobil terus melaju, dan ku tak lama berhenti di depan sebuah rumah mungil yang dikelilingi pagar rendah. Pagar itu tampak penuh dengan bunga mawar yang merambat disana.
Rumah siapa ini? Mas Bayu membunyikan klakson, dan tak lama muncul seorang perempuan cantik berbaju biru muda dengan motif bunga kecil. Inara.
"Mas Bayu … lama sekali, aku pikir nggak jadi." Ucapnya riang dari depan pintu.
Dia segera mengunci pintu dan berlari kecil menghampiri mobil. Namun saat sampai, dia tertegun menyadari keberadaanku.
"Eh, Gendhis," gumamnya pelan. Terlihat raut wajahnya menampakkan rasa kecewa.
Aku mengangguk.
"Maaf, tadi aku jemput dia dulu di tempat Rizal." Suara Mas Bayu terdengar lembut.
Inara mengangguk maklum, dia bergegas masuk dan duduk tepat di belakangku. Mas Bayu menoleh ke arahnya, "nggak papa kan, kalau dia ikut?"
Inara tersenyum dan mengangguk.
'Dia', ya …, aku hanya sebatas 'dia' di antara mereka berdua. Mobil kembali melaju.
Inara mendominasi percakapan, dan aku memilih diam. Perempuan itu sesekali tertawa riang, sementara Mas Bayu berulang kali ku lihat tersenyum.
Mobil berhenti di parkiran resto Korea. Hah, aku bahkan tidak tahu nama makanan Korea. Saat Inara dan Mas Bayu turun, aku enggan melepas sabuk pengaman.
"Gendhis, ayo …," ajak perempuan cantik itu.
"Kakinya sedang sakit," jelas Mas Bayu. Inara merespon dengan suara oh.
"Butuh bantuan?" tanyanya sambil menatapku dari luar. Aku hanya menggeleng. Setelah turun aku berusaha berjalan normal tanpa pincang. Krim yang tadi diberi Mas Bayu cukup ampuh mengurangi rasa nyeriku.
Inara menghampiri dan menggandeng tanganku. Sedikit risih, tapi aku tak bisa mengelak. Sementara itu, Mas Bayu berjalan mendahului kami.
Inara terlalu banyak bicara, hingga tak ada satupun yang masuk dengan benar di telingaku.
Mas Bayu duduk di sebuah sofa, dan Inara memaksaku untuk duduk disebelahnya. Sementara dia memilih untuk duduk di depan kami.
Seorang pelayan menghampiri kami sambil membawa buku menu. Inara begitu antusias memilih beberapa untuk kami. Aku yang belum pernah menginjakkan kaki di resto semewah ini hanya mampu diam.
"Nara, jangan kalap. Nanti kamu gendut sayang …," canda Mas Bayu sambil memegang tangan Inara.
Namun sekejap kemudian keduanya terdiam. Inara melepas tangan Mas Bayu pelan, "Maaf, Ndhis, aku dan Mas Bayu …,"
"Nggak masalah, toh kalian suami istri kan?" tukasku memotong ucapan Inara.
Ya, kalian berdua terbiasa bermanja. "Anggap saja aku tak ada. Nanti kalian akan terbiasa." Aku melanjutkan ucapanku.
"Gendhis benar, kehadirannya tidak akan merubah apapun diantara kita. Mas janji." Tangan Mas Bayu kembali menyentuh jemari Inara.
Perempuan cantik itu hanya menunduk.
"Inara cemburu, hanya karena aku tinggal denganmu." Mas Bayu menjelaskan perasaan istri sirinya di depanku.
Aku - kamu. Bahkan Mas Bayu sepertinya enggan menyebut namaku. Pantaskah Inara mencemburuiku?
"Maaf, Mas," ucap Inara lirih.
Entah kenapa melihat mereka berdua, perutku seolah diaduk oleh jari tak kasat mata. Mual.
Saat pelayan datang menyajikan menu pesanan Inara, aku hanya melongo. Semuanya terasa asing. Ada panci kuah diatas kompor kecil, di sebelahnya irisan daging mentah. Dan ada juga irisan sayur mentah dilumuri bumbu merah menyala.
Yang nampak normal di mataku hanya semangkuk mie rebus dengan berbagai toping.
"Ayo, Ndhis kita makan," suara ceria Inara kembali mendominasi.
Tangannya begitu terampil menggunakan sumpit untuk mengambil beberapa makanan di piring saji. Dan yang membuatku menyerngit saat dia menyeruput kuah mie menggunakan sendok sayur, dan meletakkan sendok itu kembali ke dalam mangkuk mie.
"Kenapa?" tanya Inara. Mungkin dia menangkap raut heran di wajahku.
"Kamu mau makan yang mana?" Suara Inara kembali terdengar.
"Ehm, aku makan mie ini saja."
Inara mengangguk. Tangannya cekatan memasukkan irisan daging tipis yang terlihat masih mentah ke dalam kuah panas. Aku sedikit bergidik membayangkan ada daging mentah di hadapanku.
Mas Bayu masih anteng menikmati beberapa cemilan. Beberapa kali mulutnya terbuka untuk menerima suapan dari Inara.
Huh, kenapa harus mengajakku kalau mereka ingin bermesraan begitu? Apakah aku juga harus 'kulino' dengan ini semua?
Ponselku bergetar, dan aku segera mengambil ponselku. Terlihat nama 'Ibu' memanggil.
Mas Bayu dan Inara menatapku, "Ibu," ucapku pelan. Entah ini penting atau tidak, yang ku ingat Inara tidak diterima di keluarga Mas Bayu.
"Angkat saja," perintah Mas Bayu.
"Halo, Bu, sugeng siang …," sapaku saat wajah Ibu terlihat.
"Halo, Ndhis. Kamu sedang dimana?" tanya Ibu. Aku menoleh ke arah Mas Bayu, laki-laki itu menadahkan tangannya. Mungkin dia ingin bicara dengan Ibu.
"Halo, Bu. Gendhis sedang makan siang denganku." Ucapan Mas Bayu terdengar datar.
"O ya? Wah, tumben kamu ngajak Gendhis keluar. Disitu cuma ada Gendhis kan?" Suara Ibu terdengar riang.
"Iya, Bu. Aku cuma sama istriku," jawaban Mas Bayu terkesan ambigu.
"Ya wis, lanjutkan. Ibu cuma kangen sama Gendhis. Ya sudah ya …."
Panggilan berakhir, Mas Bayu menghela nafas. Dia meletakkan ponselku di meja.
"Beres kan Mas, aku bilang juga apa. Kalau kamu ngajak Gendhis, Ibu tidak akan berpikiran macam-macam. Dan Mas Bayu juga nggak perlu adu urat sama Ayah." Inara berkata santai, seolah aku tidak ada disini.
Aku meletakkan sendok dengan kasar.
"Jadi kalian memanfaatkanku agar bisa makan siang bersama?"
Mas Bayu terkejut dan menoleh ke arahku.
"Jaga bicaramu!" Sentaknya kasar.
"Kalau bukan permintaan Inara, aku tidak akan membawamu kemari."
Dadaku panas mendengar ucapannya. Tanpa bicara aku segera berdiri dan melangkah keluar restoran. Ku abaikan suara Inara dan Mas Bayu yang sedang berdebat.
"Gendhis, tunggu …!"
Sepertinya Inara berusaha mengejarku.
"Gen … ahhh!"
Aku menoleh dan terkejut saat melihat Inara, perempuan itu tersungkur dan bagian bawah bajunya basah!
"Gendhis, tunggu …!"Sepertinya Inara berusaha mengejarku."Gen … ahhh!"Aku menoleh dan terkejut saat melihat Inara, perempuan itu tersungkur dan bagian bawah bajunya basah!Terlihat pecahan beling bertebaran di sekitarnya. Seorang pelayan laki-laki berdiri kaku dengan nampan kosong."Gimana sih, resto sebagus ini kenapa punya pelayan ceroboh kayak kamu!" Inara menuding pelayan malang itu. Si pelayan tidak menjawab, tapi terlihat sekali dia menahan diri untuk tidak membalas tudingan Inara."Kamu tahu, bajuku ini mahal, kena tumpahan juice mana bisa hilang," keluhnya. Tangannya sibuk
Seketika ruangan hening, bahkan setelah Mas Bayu menjauhkan wajahnya dariku.Tatap matanya yang tajam memaksaku untuk mengangguk. Pria dingin itu kemudian kembali menggenggam tanganku dan memaksa mengikuti langkahnya.Kami berdua menaiki tangga. Di sudut yang tersembunyi aku berhenti dan melepaskan genggaman tangannya.Mas Bayu menyerngit tak suka. Namun aku tak perduli. Aku tak ingin terus terbuai oleh sikap manisnya di kantor. Dan akan terasa sakit saat menemukan realita berbeda sesampainya di rumah nanti.Dengusan kasar terdengar, dan hentakan kakinya kembali terdengar menaiki tangga.Tuhan, tolong hentikan debaran kurang ajar yang lancang datang tanpa k
Aku tergagap, bodoh … bodoh! Aku bahkan tak tahu alamat tempat tinggalku saat ini …!Sopir taksi menepikan mobilnya, dan menoleh ke arahku, "maaf, Mbak … tujuan kita kemana ya?" Dia bertanya sekali lagi.Aku yang dari tadi menahan kesal tanpa sadar mengalirkan air mata. Sopir tadi menghembuskan nafas, mungkin dia sedang berusaha bersabar. Apa dia tidak tahu, aku lebih kesal darinya.Pagi tadi dengan rasa bahagia aku keluar dari rumah, membeli tanaman, sampai akhirnya dijemput paksa oleh laki-laki yang bergelar suami. Di situ kebahagiaanku mulai terkikis, semakin habis ketika harus menjemput Inara.Ditambah ucapan kasar Mas Bayu tadi di kantor! Ah …!
Mas Bayu mencekal tanganku dan menarik masuk ke kamar. Sesampainya di kamar, tubuhku didorongnya ke tempat tidur. Aku yang tidak menduga mendapat perlakuan seperti itu tentu saja hilang keseimbangan. Apalagi Mas Bayu yang berbadan tinggi kekar seolah mengerahkan seluruh tenaganya."Jangan banyak tingkah dan mempermalukan dirimu sendiri. Apalagi di depan asisten rumah tangga," sentaknya kasar. Dia berdiri tegak, kakinya berada di kanan kiri lututku, dengan telunjuk mengarah lurus kepadaku.Aku cepat berdiri dan mendorong tubuhnya, "Aku tidak peduli. Toh posisiku dan mereka tak ada bedanya. Hanya sebagai pelengkap rumah mewahmu ini kan?"Mas Bayu sepe
"Jangan pergi, Nara …," ucap Mas Bayu di tengah tidurnya.Bahkan dalam keadaan tidur pun Inara masih selalu bergentayangan di pikirannya!Inara, perempuan jelita yang memiliki kedudukan istimewa di hati suamiku. Jika mereka memang saling mencintai, kenapa Ayah dan Ibu sangat menentang?Aku yakin ini bukan karena harta. Karena perempuan itu bahkan memiliki toko kue dan toko pakaian peninggalan orang tuanya. Lalu kenapa?Bahkan nama Inara seolah tabu terucap di depan mertuaku. Apa yang tidak ku ketahui?
"Aku kenapa? Aku dari tadi makan, iya kan Bik?"Raut wajah Bibik memucat. Begitu juga dengan Rum.Aku berusaha keras menyembunyikan tawa kemenangan. Sudah kubilang kan, aku tak akan tinggal diam. Benar?"Ta--di Gendhis kesurupan, Pak," ucap Rum terbata.Mas Bayu mendekat, dia memperhatikan wajahku seolah aku akan menghilang jika sebentar saja pandangannya beralih. Bibik dan Rum berdiri sejajar tepat di depan pintu menuju dapur."Kamu kesurupan?" Pertanyaan tajam dari sua
"Dengan syarat, aku boleh bekerja." Ku utarakan kembali keinginanku setelah Mas Bayu melepas pelukannya.Aku merasa ada yang hilang saat tubuh kami berjarak."Tak ada syarat selain itu? Kamu mau mobil? Atau kamu mau ku buatkan taman pribadi?""Aku bekerja, atau Inara tidak tinggal di sini." Aku berkata tegas. Tidak mungkin aku di rumah selama dua puluh empat jam, dan harus menyaksikan kemesraan yang mereka suguhkan.Aku masih punya hati. Meski mungkin sudah tidak terbentuk lagi."Nanti aku pikirkan dulu," tukas Mas Bayu."Berarti Inara jangan dulu dibawa kemari," cetusku.
Pagi baru datang dan rumah sudah dipenuhi oleh suara Inara.Ku tepuk pelan bahu Mas Bayu, berusaha membuatnya bangun."Mas, bangun. Inara berteriak mencarimu ….""Hmm …," gumaman tak jelas tertangkap telingaku."Mas." Aku masih berusaha membuatnya membuka mata."Hmm … apa sih sayang …," sahutnya dengan mata setengah terbuka.Aku terdiam mendengarnya memanggilku sayang. Sebisa mungkin ku tepis debaran di hati. Mungkin dia belum sepenuhnya sadar.Suara Inara kembali terdengar memanggil Mas Bayu.&nbs
Rasa tak percaya diri muncul. Apa bentuk tubuhku berubah mengerikan? Apa lemak yang mengiringi kehamilanku membuat hasratnya lebur?Lagi-lagi aku patah.Kuputuskan untuk mengunci pintu, dan menangis diam-diam. Berusaha meredam amarah agar tak salah arah.Duduk diam dan membiarkan air mata mengalir begitu saja.Hampir tengah malam seseorang mencoba membuka pintu. Aku tetap diam. Tak berusaha bangun untuk membukanya.Saat ini aku ingin sendiri. Berdamai dengan rasa yang menyakitiku.***"Kenapa p
Hari-hari selanjutnya kulalui dengan normal. Tidak ada yang mengusikku, selain Mas Bayu.Lelaki itu nyaris setiap saat memintaku kembali ke rumah. Sayangnya aku masih merasa nyaman disini. Rumah Diana yang sudah dibeli suamiku dengan harga fantastis.Diana bahkan mampu membeli rumah lain yang lebih besar dan juga liburan ke luar kota. Aku tidak akan melupakan saat Mas Bayu juga menjanjikan sebuah toko kue lengkap dengan karyawan untuknya.Entahlah, aku tak tahu apa yang ada di dalam pikiran suamiku itu. Terlalu mudah menghamburkan uang.Sepertinya setelah kepergianku, dia berubah bekerja keras hingga lupa waktu. Mungkin itu caranya untuk melupakan aku. Menurut Inara, harta Mas Bayu tak akan
"Kamu mau makan apa?" tanya Mas Bayu. Tatapannya tak beralih dari jalan raya yang padat ileh kendaraan."Tidak," jawabku pelan."Anakku, apa dia tidak lapar?" Kali ini Mas Bayu menatapku sebentar.Rasa hangat kembali memenuhi dadaku. Aku tersenyum. Semudah itu membuatku bahagia."Kenapa?""Hmm? Kenapa apanya?" Aku menoleh. Mengamati tangan kekarnya yang memegang setir."Kamu, senyum-senyum begitu.""Nggak boleh?" rajukku.Mas Ba
Tidak apa?" Aku masih mencoba mencari kepastian.Mas Bayu masih berdiri tegak. Tak menoleh, juga tak menyahut. Dengan cepat kulempar bantal ke arahnya.Hanya terdengar helaan nafas darinya. Aku hampir putus asa. Sikapnya semakin mambuatku yakin pada apa yang kupikirkan. Pak Mahmud telah meninggal."Aku ikut," putusku cepat.Ternyata ucapanku kali ini menimbulkan reaksi. Dia berbalik dan memandangku. Aku berdiri dan segera meraih jaket untuk menutupi piyama yang kukenakan. Selanjutnya aku menabrak lengannya untuk keluar menuju kamar mandi."Ndhis!"Seruannya tak kuhiraukan. Dengan cepat aku mencuci muka dan menggosok gigi. Tak lupa kuikat rambut menyerupai gaya ekor kuda."Ayo," ajakku."Kamu di rumah saja." Dia masih berusaha membujuk."Tidak. Aku ikut atau kamu tidak akan pernah bisa menemukanku lagi. Aku akan pergi," ancamku."Bagaimana bisa kamu pergi, sedangkan dun
"Katakan, di mana Pak Mahmud?" Aku mencecar Mas Bayu. Lelaki itu menghela nafas kasar."Entahlah. Terakhir yang kutahu, dia mengantar ayah melakukan perjalanan bisnis. Beberapa malam yang lalu, dia menghubungiku. Memberi tahu tentang kamu. Semua begitu cepat. Seperti sesuatu mengejarnya.""Kamu tidak melacak ponselnya?" tanyaku khawatir. Hal mudah bagi Mas Bayu untuk mengetahui keberadaan seseorang melalui ponsel. Apalagi ada beberapa karyawannya yang dibidang itu."Sudah. Dan hanya ponsel yang kutemukan." Mas Bayu membuang muka. Terlihat sekali dia tengah menyembunyikan sesuatu."Lalu, siapa laki-laki yang tadi berkelahi denganmu?""Mereka suruhan ibu.""Suruhan? Untuk apa?" Heranku."Kamu mengandung pewaris mereka," ucapnya pelan."Apa hubungannya?""Jika anak kita lahir, mereka akan membawanya, dan tidak mustahil mengakhiri hidup kita."Gila! Aku tidak habis pikir, ini ha
Aku berpura tidak peduli dengan raut wajahnya yang terlihat kesal. Dengan gerakan santai kubereskan peralatan untuk membersihkan luka Mas Bayu tadi.Selain obat pereda nyeri, orang-orang itu juga membeli kain kasa dan beberapa lembar plester.Cangkir kopi kubawa ke dalam. Sebagai gantinya aku membuatkan teh manis untuknya dan empat orang yang berdiri siaga di teras. Sebenarnya aku sudah mempersilahkan mereka untuk duduk, tapi aura Mas Bayu yang kehilangan secangkir kopi begitu kelam. Mungkin itu membuat mereka memilih berdiri.Hari sudah malam, dan aku menyiapkan makanan untuk lima lelaki dewasa. Mudah saja bagiku yang memang senang bergelut di dapur. Apalagi si kecil yang biasanya aktif, entah kenapa kurasa tenang. Apa mungkin dia senang, bisa merasakan kehadiran ayahnya?Senyum muncul saat menyentuh perutku sendiri. Ah, bagaimana rasanya jika Mas Bayu mengelusnya?Aku menggigit bibir. Tiba-tiba dorongan untuk merasakan tangan
"Aku terluka, tidakkah kamu ingin melihatnya?"Melihat lukanya? Dia terluka?Hatiku mulai sedikit goyah. Apalagi bayi dalam kandunganku seolah memaksa untuk mendekati sang ayah."Aku yang masuk, atau kamu keluar," tegasnya. Matanya tak lepas dariku.Terlihat Mas Bayu mulai melangkah, tanpa melepas pandangan. Semakin dekat, dan semakin terlihat luka lebam di wajahnya. Dia benar-benar terluka!"Berhenti! Aku akan keluar." Segera kututup ponsel dan berjalan membuka pintu.Pintu terbuka, angin senja menyambutku. Memainkan anak rambut di dahiku.Setelah sekian lama, aku kembali bisa menatapnya. Ada rasa membuncah yang memaksaku untuk berlari. Ingin meraup wajah tampannya, menenggelamkan diri di pelukannya."Jangan lari!" Serunya tertahan. Sorot matanya terlihat khawatir."Tidak, aku tidak berlari," elakku. Aku hanya mempercepat langkah, agar bisa segera berdiri di depanmu. Berada dala
Sangat jelas dia mengawasiku. Salah satu dari empat lelaki yang tempo hari melakukan pengeroyokan.Lelaki itu terlihat mengamati, lalu menengok ke segala arah. Siapa dia?Apa yang dia inginkan?Aku cepat-cepat mengambil ponsel, berusaha menghubungi Rizal. Sesaat aku ragu. Apa Rizal benar-benar bermaksud baik? Atau ada sesuatu yang dia dan Pak Mahmud sembunyikan dariku?Atau mungkinkah Pak Mahmud mengirim orang-orang itu untuk menjagaku? Ah, tidak!Tatapan lelaki itu terlihat begitu kelam. Seperti menunggu waktu tepat untuk berbuat jahat.Apa yang harus aku lakukan?Bingung. Ya, aku tak tahu siapa yang benar-benar peduli saat ini. Tak ada satupun yang berusaha menemuiku.Aku seperti terbelenggu di tempat ini.Aku hidup, tapi kebebasanku terenggut. Aku lelah. Sangat lelah.***Tak tahu berapa lama aku bergelung di balik selimut. Keringat dingin terus mengalir. Suara
Kandunganku saat ini memasuki bulan ketujuh. Aku begitu menikmati setiap prosesnya. Perut yang perlahan membesar, membuatku merasa semakin percaya diri.Percaya diri, dan berusaha untuk meyakinkan diri jika aku bisa melalui ini semua. Setiap saat aku membaca dongeng untuk calon anakku. Semua kasih sayang tercurah penuh untuknya. Apalagi saat ini hanya dia yang benar-benar kumiliki.Orang-orang disekitar tempat tinggalku sangat baik. Mereka percaya jika aku majikan Diana yang sedang 'tirah' (istirahat di tempat lain untuk memulihkan kesehatan).Mereka tak mempersoalkan aku yang tinggal seorang diri. Sedikit aneh bagiku, mereka sama sekali tidak mengusik ataupun menatapku curiga. Tapi tak apa. Bukankah ini lebih baik?Di pagi hari aku sering berjalan mengitari komplek. Seperti pagi ini, aku mengambil rute memutar lewat area belakang yang masih berupa perkebunan milik warga. Suasana yang masih asri mengingatkan aku pada desa yang kutinggalkan