Dayyan tidak pernah main-main dengan keputusannya. Sebab didukung oleh bukti yang belum bisa dibantah pula. Di hari menjelang malam ketika angin panas telah berganti dengan angin yang mulai dingin, Nuwa benar-benar mendapatkan siksaan. Dikatakan keji tapi tidak menimbulkan luka. Tidak keji tapi membuat wanita Suku Mui itu semakin membenci putra pertama Ali. Janda Kai itu dimasukkan ke dalam sebuah bak berisikan air di mana ada banyak batu es berukuran besar. Sekilas memang tidak menimbulkan luka, tetapi rasa dingin hingga menggigit tulang tidak mampu ditepis oleh Nuwa. Giginya bergemeratakan dan bibirnya bergetar. Dayyan memperhatikan dari luar penjara. “Padahal dia hanya tinggal mengaku saja, lalu beritahu semua yang dia tahu, perkara selesai. Tinggal dijatuhkan hukuman mati,” ucap Dayyan dari luar penjara melihat wanita itu disiksa. Sebenarnya ia tak tega, tetapi tidak ada jalan lain agar Nuwa buka mulut. Dari arah kiri datang Maira yang baru saja kembali dari perbukitan mencari
Nuwa telah sadar dan diberi tahu oleh dokter yang membersihkan kandungannya. Dokter itu sampai meminta maaf berkali-kali karena terpaksa hal demikian dilakukan. Nyawa sang ibu akan menjadi taruhan jika perdarahan tidak dihentikan sesegera mungkin. Nuwa hanya termenung saja, bahkan sang dokter tak mau meninggalkan wanita itu takutnya ia berbuat nekat. Bunuh diri misalnya. “Lalu kenapa aku tidak ikut mati saja? Suamiku tewas di tiang gantungan, anakku keguguran karena aku disiksa atas kesalahan yang tidak pernah aku lakukan. Si keparat itu, akan aku cari dan bunuh dia!”Benar Nuwa menangis, tapi dalam tangisannya, dendam tumbuh amat cepat pada diri Dayyan. Karena janin itu satu-satunya kenangan dari Kai. hilang. Namun, wanita itu langsung terduduk di lantai, ia masih sangat lemah. “Sabar, saudariku, aku tahu kau sedang sedih, tapi istirahat dulu. Jangan menyiksa dirimu seperti ini.” Dokter itu membantu Nuwa naik ke atas ranjang.“Aku tidak pernah menyiksa diriku sendiri. Kau tahu, bah
“Kau ingin apa, katakan saja?” tanya Maira. Istri Fahmi pun yakin kalau dia bukan mata-mata. Ada jejak kebaikan yang tertinggal di wajah Nuwa. Maka bagi Maira, Dayyan sangat ceroboh tidak bisa tanggap. “Aku tidak ingin apa-apa. Aku ingin istirahat, itu saja. Maaf, aku sedang tidak ingin diganggu,” ujar Nuwa. “Baiklah, kalau begitu jangan lupa minum obat sampai kandunganmu bersih kembali dan mungkin jika sempat akan aku cari bukti kalau kau bukan mata-mata.” Maira tentu harus meluangkan waktu jika ingin menolong Nuwa, sedangkan urusan Fahmi saja belum selesai. “Bersabarlah, Nak, Ibu tidak akan bosan-bosannya mengatakan ini padamu. Yang pergi akan diganti.” “Aku tidak menginginkan suami lagi, jika itu yang Ibu maksud,” bantah Nuwa. “Tidak harus suami, mungkin hal lain yang dulu kau inginkan tapi tidak sempat diwujudkan. Kau hanya perlu sabar, Nak, itu saja. Baiklah, Ibu pergi dulu, assalammualaikum.” Gu keluar begitu juga dengan Maira. Wanita Suku Mui itu tidak tahu harus berbuat
Sudah tujuh hari Nuwa dirawat di rumah sakit dan kondisi kesehatannya semakin membaik. Apakah dengan demikian ia dibebaskan? Tidak. Dayyan masih tetap menjadikannya tahanan rumah. Nuwa tak boleh keluar sejengkal pun dari kamar tempat ia dirawat. Putra pertama Gu itu masih tetap pada keyakinan sebelum bukti lebih akurat ditemukan. Lalu bagaimana dengan pencarian Maira. Masih dilangsungkan tapi tidaklah mudah menembus pertahanan keamanan sistem di Negeri Xin Hua. Jikalau mudah pasti Fahmi sudah ia temukan. Yang ada hanya catatan kelam tentang Nuwa dan suaminya yang membunuh beberapa tentara. Bukan kelam juga, tapi hanya sebentuk perlindungan diri. “Ya Allah, mengapa semua jalan terasa buntu,” ujar Maira di ruangannya. Fahmi tidak ada kabar, Nuwa juga tidak ada perkembangan sama sekali. Dua orang yang ia yakini harus diselamatkan. Lalu ia pun hanya bisa berserah saja dengan takdir. Sebab semua upaya telah dikerahkan. *** Bawahan Dayyan kembali menangkap dua orang mata-mata perempuan
Obrolan tiga orang itu menggunakan bahasa asing dan terdengar sangat akrab di telinga para penjaga. Para tentara itu pun mau tak mau menganggap bahwa semuanya adalah teman seperjuangan. Apalagi Nuwa tertawa. Iya, memang benar, hanya saja janda Kai itu sedang menertawakan nasibnya sendiri. “Pada akhirnya kita memang tidak boleh terlalu berharap pada orang lain, kita hanya bisa mengandalkan diri kita sendiri. Aku menemukan teman hidup yang begitu sempurna dan melengkapi hidupku. Nyatanya, dia pergi lebih dahulu. Aku berharap anak kami bisa tumbuh besar dan ada kenangan tentang Kai, nyatanya dia juga pergi lebih cepat. Lalu hanya tinggal aku sendirian, berdiri di kakiku sendiri dan sedang menanti kematian.” Nuwa menghela napas panjang. Tak lama setelah itu Dayyan datang dan tiga bawahannya. Tiga perempuan itu disuruh keluar untuk menghadap pada pengadilan. “Kalian akan diadili,” ujar adik Maira. “Terserah kau saja. Pastikan aku benar-benar mati di tanganmu. Karena kalau tidak aku akan
Tiga orang terpidana mati segera dibawa ke tanah lapang. Kedua kalinya bagi Nuwa. Di sana sudah ada tempat eksekusi tergantung dari kesalahan masing-masing. Ada hukuman pancung, hukuman tembak, terakhir hukuman gantung. Dan ketiganya dijatuhkan hukuman terakhir. Dayyan tentu saja datang, ditambah dengan dua orang hakim yang menjatuhkan eksekusi pada tiga terpidana mati, serta beberapa tentara yang mendapat jatah jaga di camp tersebut. Semua mata terfokus pada kehadiran tiga perempuan yang dari pancaran wajah dan matanya sama sekali tidak takut mati. “Kai, anakku, tunggulah, tak lama lagi kita akan bersama-sama,” ucap Nuwa ketika melihat terpidana pertama naik ke tempat tiang gantungan. “Ada pesan terakhir?” tanya eksekutor di tiang gantungan pada terpidana urutan pertama. “Xin Hua akan menguasai dunia,” katanya dengan sungguh-sungguh. Lalu wajah itu ditutup dengan kain hitam. Lehernya dikaitkan tali. Tuas penahan papan di kaki ditarik hingga tubuh itu tergantung begitu saja tanpa
“Kau tidak bersalah. Aku menemukan buktinya. Maaf, maaf, aku terlambat, ya Allah.” Maira memeluk Nuwa yang masih terus mengeluarkan air mata. Wanita berusia 20 tahun itu sedih bukan karena hukuman yang dijatuhkan padanya, tetapi karena kesempatan bertemu Kai dan anaknya yang sudah tiada terjeda. Jari jemari Nuwa terkepal dengan sangat erat. Medis datang ingin memeriksa keadaan Nuwa, tapi ia menolak. “Aku baik-baik saja, aku masih hidup.” Wanita Suku Mui itu berdiri tegak. “Syukurlah kau tidak apa-apa. Kau tunggu di sini saja. Aku akan berbicara dengan hakim terlebih dahulu.” Maira turun dari tempat tiang gantungan dan mengambil notebook lalu berbicara sebentar pada dua hakim. Seorang laki-laki berdiri terpaku, dan sesaat bingung dengan apa yang telah terjadi. Dia tak tahu mengapa kakaknya tidak berbicara padanya. Juga sangat memahami arti tatapan tersangka yang tidak jadi mati itu padanya. Kebencian begitu besar tergambar di sana. Nuwa mengambil kain hitam yang tadi menutupi waja
Seragam tentara Dayyan dilucuti semuanya dan ia kini menggunakan baju biasa saja. Sungguh lelaki itu menyesal karena tidak mendengarkan kata kakak serta ibunya. Ia telah menjadi tentara sejak usia 17 tahun dan kini melepas jabatannya di usia 29 tahun. Langkah yang memang harus diambil tanpa pandang bulu, sekalipun dulu ayahnya orang yang cukup dikenal. “Kau juga untuk sementara waktu akan dipenjara, sembari menanti hukuman jatuh atasmu. Kau harus mengikuti urutan semuanya, Dayyan,” ucap hakim pada Dayyan. Lelaki bermata abu-abu itu hanya mengangguk saja. Yang ia pikirkan ialah keadaan Feme yang sedang menjalani terapi dan hanya mengandalkan dirinya saja. Dengan suka rela putra pertama Ali memasuki penjara di mana Nuwa dulu ditahan. Situasi kini terbalik dan harus ia jalankan dengan kepatuhan. Lelaki itu terbatuk sebab hantaman Nuwa di tulangnya tidaklah main-main. Siapa yang bisa menyangka ada tenaga yang begitu besar tersembunyi di balik tubuh yang terlihat lemah dan lembut. Dayya
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun