Tiga orang terpidana mati segera dibawa ke tanah lapang. Kedua kalinya bagi Nuwa. Di sana sudah ada tempat eksekusi tergantung dari kesalahan masing-masing. Ada hukuman pancung, hukuman tembak, terakhir hukuman gantung. Dan ketiganya dijatuhkan hukuman terakhir. Dayyan tentu saja datang, ditambah dengan dua orang hakim yang menjatuhkan eksekusi pada tiga terpidana mati, serta beberapa tentara yang mendapat jatah jaga di camp tersebut. Semua mata terfokus pada kehadiran tiga perempuan yang dari pancaran wajah dan matanya sama sekali tidak takut mati. “Kai, anakku, tunggulah, tak lama lagi kita akan bersama-sama,” ucap Nuwa ketika melihat terpidana pertama naik ke tempat tiang gantungan. “Ada pesan terakhir?” tanya eksekutor di tiang gantungan pada terpidana urutan pertama. “Xin Hua akan menguasai dunia,” katanya dengan sungguh-sungguh. Lalu wajah itu ditutup dengan kain hitam. Lehernya dikaitkan tali. Tuas penahan papan di kaki ditarik hingga tubuh itu tergantung begitu saja tanpa
“Kau tidak bersalah. Aku menemukan buktinya. Maaf, maaf, aku terlambat, ya Allah.” Maira memeluk Nuwa yang masih terus mengeluarkan air mata. Wanita berusia 20 tahun itu sedih bukan karena hukuman yang dijatuhkan padanya, tetapi karena kesempatan bertemu Kai dan anaknya yang sudah tiada terjeda. Jari jemari Nuwa terkepal dengan sangat erat. Medis datang ingin memeriksa keadaan Nuwa, tapi ia menolak. “Aku baik-baik saja, aku masih hidup.” Wanita Suku Mui itu berdiri tegak. “Syukurlah kau tidak apa-apa. Kau tunggu di sini saja. Aku akan berbicara dengan hakim terlebih dahulu.” Maira turun dari tempat tiang gantungan dan mengambil notebook lalu berbicara sebentar pada dua hakim. Seorang laki-laki berdiri terpaku, dan sesaat bingung dengan apa yang telah terjadi. Dia tak tahu mengapa kakaknya tidak berbicara padanya. Juga sangat memahami arti tatapan tersangka yang tidak jadi mati itu padanya. Kebencian begitu besar tergambar di sana. Nuwa mengambil kain hitam yang tadi menutupi waja
Seragam tentara Dayyan dilucuti semuanya dan ia kini menggunakan baju biasa saja. Sungguh lelaki itu menyesal karena tidak mendengarkan kata kakak serta ibunya. Ia telah menjadi tentara sejak usia 17 tahun dan kini melepas jabatannya di usia 29 tahun. Langkah yang memang harus diambil tanpa pandang bulu, sekalipun dulu ayahnya orang yang cukup dikenal. “Kau juga untuk sementara waktu akan dipenjara, sembari menanti hukuman jatuh atasmu. Kau harus mengikuti urutan semuanya, Dayyan,” ucap hakim pada Dayyan. Lelaki bermata abu-abu itu hanya mengangguk saja. Yang ia pikirkan ialah keadaan Feme yang sedang menjalani terapi dan hanya mengandalkan dirinya saja. Dengan suka rela putra pertama Ali memasuki penjara di mana Nuwa dulu ditahan. Situasi kini terbalik dan harus ia jalankan dengan kepatuhan. Lelaki itu terbatuk sebab hantaman Nuwa di tulangnya tidaklah main-main. Siapa yang bisa menyangka ada tenaga yang begitu besar tersembunyi di balik tubuh yang terlihat lemah dan lembut. Dayya
Nuwa bangun ketika mendengar adzan Shubuh berkumandang begitu kencang di telinganya. Sudah beberapa kali ia alami kejadian yang dulu begitu asing di negaranya. Namun, kali ini dalam situasi yang berbeda. Nuwa telah bebas tanpa menyandang gelar tersangka lagi. Wanita Suku Mui itu pun bangun dan beranjak ke kamar mandi. Semua perlengkapan telah disediakan dari ujung rambut sampai kaki. Ia hanya perlu bergerak saja. Air terasa hangat karena musim panas sedang terik-teriknya. Selesai mengemas diri sendiri. Wanita itu pun membuka pintu kamarnya. Ada banyak perempuan dan anak-anak berjalan kaki. Karena tak tahu akan bertanya pada siapa, Nuwa pun hanya ikut saja. Ternyata semuanya menuju masjid untuk menunaikan shalat Shubuh. Wanita berkulit putih pucat itu lupa kalau dia sekarang tinggal di negeri yang baru. Ingin menggunakan identitas muslimah sedalam dan sepanjang apa pun bebas. Nuwa sudah menggunakan gamis dan khimar lebar, ternyata masih ada yang lebih panjang bahkan bajunya menyeret
“Kau siapa?” tanya Nuwa tidak ramah karena masalah trauma. “Assalammualaikum, Nuwa, aku Feme istrinya Dayyan.” Feme mengulurkan tangan ingin berjabatan, tetapi wanita itu hanya memandang saja. Istri Dayyan sadar bahwa kehadirannya tidak diharapkan. Karena itulah ia datang bersama Guru Zulaikha yang disegani oleh semua perempuan di wilayah itu. “Anakku, kalau sesama muslimah ingin berkenalan, dibalas saja, tidaklah dosa, justru baik untuk menjalin silaturahmi,” ujar sang guru yang akhirnya punya kesempatan untuk tahu lebih tentang Nuwa. Wanita paruh baya itu mengerti bagaimana rasa trauma yang dialami oleh perempuan yang datang dari jauh dalam keadaan hamil dan keguguran pula. “Walaikumsallam. Katakan keperluanmu dan pergi dari sini!” Tidak ada keramahan dari nada bicara Nuwa. “Hei, jangan begitu, ayo kita bicara sambil minum kopi. Kau pasti tidak pernah minum kopi yang dimasak pakai pasir panas, bukan. Ayo, nanti juga kau pasti ketagihan.” Zulaikha meraih tangan Nuwa. Tatapan m
Tiga hari sudah Dayyan ditahan. Tak lama lagi hukuman akan dijatuhkan untuknya. Lelaki itu hanya bisa mempersiapkan diri saja. Selain karena mental hancur disebabkan kesalahan diri sendiri. Ia pun tak tahu berapa banyak lecutan di punggung yang bisa ia tahan. Selama ini umumnya, rakyat biasa sanggup bertahan paling hebat 40 kali. Itu pun sudah tak sadarkan diri dan dirawat di rumah sakit. Lalu untuknya melampaui batas. 130 kali, apa Dayyan sanggup sadarkan diri?Tiga hari menjadi dua hari, lalu hari penerimaan hukuman pun tiba. Dayyan dikeluarkan dari penjara. Di sana ada beberapa tentara yang bertugas. Hakim yang menjatuhkan hukuman, Maira, juga Feme, Gu menolak datang karena tak tega melihat anaknya mendapat siksaan. Walau karena kesalahan sendiri. “Nuwa, apa dia tidak datang?” tanya Feme pada Maira. “Dia menolak hadir. Katanya segala sesuatu yang terjadi pada Dayyan bukan lagi urusannya. Dia hanya mendoakan …” Maira tak jadi meneruskan ucapannya. “Mendoakan apa?” Feme penasaran
Feme berjalan ke dapur. Ia muntah karena memang karena penyakitnya. Air dari perut yang berwarna kuning dan pahit memenuhi tempat cuci piring. Mata-mata itu menepuk pundak Feme agar napasnya lebih lega. Kemudian dari balik lengan baju yang dilapisi sarung tangan, ia mengeluarkan sebuah jarum besi tipis dan beracun.“Nyonya, setelah ini kau akan tidur dengan tenang selama-lamanya. Selamat tinggal,” ujar mata-mata itu. Feme yang memang lemah dari dulu tidak bisa melawan ketika jarum tersebut menancap di lehernya. Lalu mata-mata itu memakai khimar juga cadar. Ia meninggalkan Feme yang terkulai lemas di dapur. Perlahan-lahan mata indah itu tertutup dan Feme tidak mengembuskan napas lagi. *** Maira membawa jasad Feme ke kantor polisi untuk diotopsi lebih lanjut dan dicari apa penyebab kematiannya. Albhani dan Sabhira akan tinggal sampai ayahnya sembuh di rumah Gulaisha. Tentu Maira akan menjenguk mereka juga. “Ya Allah, seakan-akan masalah tidak ada habisnya.” Maira menarik napas panja
Hampir empat hari lamanya, Nuwa berjalan ke sana kemari mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya. Namun, ia tidak diterima. Sebab Nuwa mendatangi restaurant atau tempat pelayanan publik di mana semua pegawainya laki-laki. Hingga wanita Suku Mui itu diberi tahu jikalau perempuan umumnya bekerja sebagai guru, dokter, perawat, pegawai pemerintahan, polisi, tentara. Sedangkan untuk pekerjaan kasar tidak ada. Nuwa mengembuskan napas panjang. Ia tidak memiliki satu pun kemampuan itu. Dirinya hanya tamat sekolah dasar saja. Uang pemberian Maira masih ada, bahkan nanti kalau habis ia akan diberi santunan. Namun, Nuwa bukanlah orang yang suka mengemis bahkan menjual cerita sedihnya pada orang lain. Semua derita ia pendam sendirian. “Kalau begitu mengapa kau tidak mendaftar sekolah saja lagi. Nanti kau akan diuji lalu ditempatkan sesuai minat dan bakatmu,” ucap ibu asrama ketika melihat Nuwa duduk seperti tanpa tujuan. Negeri Syam memang aman untuk wanita. Akan tetapi, janda Kai yang sud
Pintu rumah mereka telah didobrak. Satu demi satu kamar dibuka oleh Dayyan. Tidak ada istrinya di sana, hingga ia mendengar suara orang menjerit. Lelaki itu berlari dan mendobrak pintu. Di sana ada tiga orang wanita dengan tipikal wajah yang sama. Dayyan memberikan kode pada yang lain agak tak ikut masuk. Sebab gamis Nuwa pendek sampai ke paha, dan tidak menggunakan khimar pula. “Lepaskan istriku.” Dayyan mengarahkan senapannya. “Lepaskan kami dulu, setelah itu dia kami berikan, atau kalau tidak perut istrimu kami tembak, mati sudah keduanya.” Salah satu mata-mata mengarahkan pistol ke perut Nuwa. Pada kesempatan yang sama, sambil menahan rasa sakit, pedih, serta nyeri. Nuwa menarik pistol di tangan mata-mata itu. Sempat terjadi perebutan. Dayyan kemudian membidik salah satu mata-mata tepat di bagian kepala hingga tewas. “Kau tak akan bisa lari,” ucap Nuwa sambil tersenyum dan menahan pedih di kakinya yang tertancap pecahan gelas. “Kau tak akan bisa tersenyum lagi.” Mata-mata i
“Sudah tinggal menunggu hari saja untuk lahiran, saranku perbanyak saja bergerak tapi jangan terlalu lelah, ya.” Dokter kandungan menyatakan hasil pemeriksaan pada janin di dalam rahim Nuwa. Sudah sembilan bulan hampir sepuluh hari. Soal banyal bergerak, Nuwa bahkan masih mengawasi anak-anak latihan. Entah bagaimana kekuatan dia itu, semua dikerjakan asal mampu. Bahkan store mereka berdua baru saja selesai meski isinya belum ada. “Sudahilah melatih anak-anak. Percayakan sama pada Bhani,” ucap Dayyan sambil membantu Nuwa memasuki mobil. Tubuh wanita itu hanya gendut di bagian perut dan pipi saja jadinya. “Ya, ya, memang sudah waktunya istirahat. Napasku agak sesak akhir-akhir ini.” Nuwa duduk pun sudah tidak nyaman lagi. “Ya, memang begitu. Sabar saja, kalau anaknya sudah keluar baru lega.” “Aku tak punya pengalaman sama sekali.” “Selalu ada yang pertama kali, santai dan tarik napas.”“Kau iya enak bilang santai, tenang, jangan terlalu dipikirkan. Aku yang menjalani bukan kau.” T
“Hmm katanya sebentar, cuman lima belas menit saja aku pergi. Nanti juga aku kembali, kau tunggu saja di dalam mobil. Sudah satu jam masih juga mutar-mutar tak menentu.” Dayyan menggerutu di dalam jeep. Pasalnya Nuwa ingkar janji. Ia pergi membawa Bhira dan Bhani untuk memborong aneka street food yang menggugah selera. Maklum bawaan ibu hamil lagi banyak makan, tidak dituruti nanti ribut, dituruti ternyata seperti ini. “Lihatlah, di tangannya kiri dan kanan sudah isi makanan. Itu pun masih belum puas juga untuk belanja.” Akhirnya Nuwa menampakkan diri juga. Dayyan sudah tak sabar ingin pulang dan tidur siang sebentar. “Aku lama, ya?” tanya Nuwa ketika membuka pintu jeep. Dia sadar pergi terlalu lama, soalnya banyak godaan di depan mata.“Oh tidak, Sayang, baru juga satu jam, kupikir tadi akan dua jam belanjanya.” Tadi Dayyan marah sekarang nggak lagi. “Iya, rencananya begitu, ini juga belum puas aku belanja. Pedagangnya juga lama sekali membungkus makanannya, maaf, ya, kau sampai
“Sepertinya aku harus keluar dari sini,” ucap Prof Yang Juan. Ia sadar hanya tinggal sendirian di ruang rapat dan Menteri Pertahanan Xin Hua beserta jajarannya memasuki ruangan satu demi satu. “Tidak apa-apa, Prof, kau pun boleh mendengar rapat ini karena menyangkut kejayaan negeri kita,” jawab Menteri Pertahanan yang menggunakan seragam tentara warna cokelat tua. Seragam dengan banyak pangkat di dada serba tiga buah bintang di bahunya. Mendengar jawaban demikian sang professor pun duduk dan melanjutkan pekerjaanya. Sambil bekerja sambil ia mendengarkan rapat yang sedang membahas seorang perempuan. Ia dianggap sangat berbahaya padahal tidak pernah melakukan tindakan kejahatan apa pun selain melindungi diri. “Hanya untuk membunuh seekor Wei Nuwa saja mata-mata kita sudah banyak yang mati. Apa saja kerja kalian selama ini? Coba kerja itu pakai otak jangan hanya pakai otot. Kalau dia cerdas kirim orang yang jauh lebih cerdas. Kalau dia kuat kirim orang yang jauh lebih kuat. Kalau dia
Ibu hamil memang kadang-kadang malah sering sekali ngidam. Namun, Nuwa berbeda. Yang dia idamkan makanan buata orang dari desanya, padahal di Syam juga ada walau rasanya berbeda. “Ya kemana harus aku cari? Sama saja pun di sini tahu di sana tahu, bentuknya sama putih, makan saja yang ada,” ucap Dayyan ketika Nuwa protes rasa tahu di Syam tak padat sama sekali. “Ya sudah aku buat sendiri saja. Nanti aku beli kedelainya. Kalau bisa kedelai yang bibitnya dari surga dan disiram dengan energi murni serta dipanen oleh para dewi, rasanya pasti enak dan lebih padat.” Nuwa melihat tahu goreng di depan matanya. Karena kurang padat jadi sulit baginya membuat tahu bulat digoreng dadakan. Setelah usaha yang tidak terlalu keras. Kedelai dari ladang surgawi itu akhirnya mereka dapatkan di supermarket terdekat. Dibeli secukupnya oleh Nuwa dan mulailah ia membuat tahu. Tiga hari kemudian jadi sudah ada sekitar dua kotak tahu dalam ukuran cukup besar dan keesokan harinya baru diolah menjadi dua jeni
Nuwa dan Dayyan belum punya anak karena wanita bermata besar itu masih harus menjalani terapi beberapa kali lagi. Walau sebenarnya aktifitas Nuwa sudah normal seperti biasa.Dayyan rajin menyuruh istrinya untuk pergi ikut tausiyah atau pengajian agar Nuwa menjadi pribadi yang lebih penyabar. Sebab gampang sekali istrinya tersulut emosi. Perkara jemuran nyangkut saja bajunya dimarahin, padahal mereka benda mati. Pada satu hari setelah pulang mengaji, Nuwa ingin bertanya karena rasa-rasanya ceramah tadi tidak pas di hatinya. Ia menunggu waktu sampai anak-anaknya tidur. “Sayang, ada yang mengganjal di pikiranku. Kata penceramah tadi, apa benar kita sebagai istri tidak boleh asal-asal membuka dompet milik suami,” tanya Nuwa. Pasalnya dia sering mengambil uang dari dompet suaminya. Uang dia? Ya, ada, tapi rasanya ada yang kurang kalau tak ambil dari sana. “Bukan tak boleh, mungkin maksud penceramah tadi bicara saja, bilang aku mau ambil uang di dalam dompet. Izin sebentar, kan, tidak a
Nuwa itu orangnya emosian dari dulu kala sejak menikah dengan Kai. Untungnya dia dapat suami yang penyabar. Kalau tidak bisa lomba lempar piring setiap hari. Seperti contoh waktu masih hidup di di desa dan bekerja sebagai pengurus kuda. Ketika jam istirahat dan sepasang suami itu menonton series India nggak jelas, dari layar televisi cembung di rumah bagian belakang. Nuwa dan Kai baru saja selesai makan siang. “Udah episode ke berapa series ini tak tamat-tamat, panjang sekali bikin cerita. Makan, tidur, ngobrol nggak jelas, masalah tak selesai-selesai,” ucap Nuwa sambil merebahkan kepala di kursi plastik. “Sudah lewat 300 episode kurasa, sudah setahun lebih kita menontonnya,” jawab Kai yang juga lelah.Dia tak tahu sama sekali jalan ceritanya, hanya menemani istrinya nonton saja. Nggak, bukan romantis. Kai mencegah Nuwa menghancurkan tivi saking gak masuk akal jalan cerita series India yang mereka tonton. “Lihatlah, ha ha ha, konyol sekali. Gimana ceritanya, ditampar pipi kiri yan
“Nuwa, kau tak ada kegiatan, kan, hari libur besok?” tanya Fani sebelum jam pulang sebentar lagi. “Ada, tidur seharian,” jawab wanita itu sambil menguap. Capek dia ngajar anak-anak latihan non stop enam dari tujuh hari menjelang ujian kenaikan tingkat. “Jangan tidur terus, kapan ketemu jodohnya kalau kau tak bergerak.”“Udah ada jodohnya Nuwa. Tuuuh, yang sering diajak berantem.” Padma mengisyaratkan Syeikh Dayyan yang sedang merapikan buku. “Hei, baik-baik kau ngomong, ya, mau mati bilang sekarang.” Naik emosi Nuwa tiba-tiba dijodohin sama orang yang paling dia benci sejagad raya. “Tenang semua, aku belum keluar dari kelas ini, jangan buat keributan atau mau dihukum lagi!” tegur sang guru yang terganggu dengan suara sengau manja milik guru anaknya. “Maaf, Syeikh,” ucap Nuwa sambil merapatkan gigi. “Siang besok, yuk, ke nikahan sepupuku. Acara khusus perempuan. Boleh pakai baju bebas tak harus pakai abaya hitam.” Fani mengajak temannya yang punya hobi makan dan tidur. “Serius
Belasan Tahun Lalu Nuwa kecil yang berusia tujuh tahun dan sebatang kara tanpa orang tua, berjalan pulang sendirian di tengah gelapnya malam. Saat itu sedang gencar-gencarnya diembuskan isu ada vampir pengisap darah yang akan membunuh kaum muslimin di Desa Ligeng. Gadis kecil bermata besar itu ketakutan dan mulai menangis sendirian. Kemudian ada seorang tentara Xin Hua yang gelap mata. Lelaki tersebut meluruskan tangan dan lompat-lompat. Nuwa kecil menoleh ke belakang dan ketakutanlah dia. “Huaaa, Ibu, tolooong, aku mau dimakan vampir, huahaahaaa, Ayah, kenapa tinggalkan aku sendiri.” Jatuh Nuwa, bangun lagi, lari terus, takut dihisap darahnya sama vampir. Saat itulah pertama kalinya takdir mempertemukan Nuwa dan Kai. Pemuda itu sedang lewat sambil membawa bakpao kukus yang masih hangat. Masih ada uang untuk beli makanan belum terlalu susah hidupnya. Pemuda yang berusia 16 tahun itu mendengar jerit tangis gadis kecil. Fu Kai pun mencari asal suara, ketemu, Nuwa langsung bersembun