"Sebenarnya tiap kata baik-baik saja yang terucap dari mulut manusia bisa jadi sebuah bentuk pertahanan, sekaligus sugesti dari kehidupannya yang berantakan."
***"Ada apa, Pak?"Dewandaru Angkasa Biru menoleh, dan menemukan mata Althaf tengah mengintipnya dari balik spion. Dhani yang berada di balik kemudi pun juga. Paspampres yang beberapa tahun ini selalu menjaganya itu tampak penasaran saat Biru membanting pintu mobilnya, dan berekspresi begitu sangar setelah keluar dari resto, tempat ia bertemu dengan Harry Taragandhi. Keduanya bingung, karena biasanya setelah melakukan pertemuan bisnis, Biru akan bersikap santai, dan sumringah.Namun kali itu tidak. Kesepakatannya gagal berjalan. Harry lebih memilih keuntungan semu yang belum tentu didapatkannya dari politik ketimbang kerja sama mereka yang telah berjalan beberapa tahun ini. Padahal jelas-jelas keuntungan yang Harry dapatkan dari kerja sama itu lebih banyak, dan lebih jelas. Tapi, kenyataann"Tak ada yang sempurna di dunia ini. Sebab, kesempurnaan bisa jadi boomerang. Sebab, kesempurnaan bisa membuat manusia merasa dirinya adalah Tuhan."***"Apa Marco ketahuan? Berarti saya sudah masuk ke dalam DPO, ya? Sial!"Anthony Radjarta mengumpat, ia kesal bukan main. Ternyata kasus Purwanto jadi besar, dan sudah pasti Marco beserta dirinya akan menjadi tersangka utama. Radja sebenarnya sudah menduga, saat ia menemukan kalau rekeningnya terblokir tanpa permintaannya. Radja yakin ini adalah ulah polisi, bukan oknum KPK seperti yang Radja katakan pada Praba.Radja mulai memberikan instruksi, namun suara berdeham dari seseorang membuatnya kaget. Tanpa menoleh pun, Radja yakin kalau orang itu adalah Praba, bosnya. Radja pun segera menutup teleponnya, dan menghadap pada Praba yang tengah menatapnya dengan tajam. Radja tak bereaksi berlebihan, hanya diam tak berkutik."Ada apa, Radja? Mengapa kamu terlihat sangat kesal? Ada apa dengan Marco? Kenapa adikmu itu?" cerca Praba yang dibalas
"Ada hal-hal yang biasa bagi orang lain, tapi bagi sebagian yang lain justru menakutkan. Tuhan menciptkan perbedaan. Tiap individu berbeda, dan peraturanlah yang membuat mereka seragam. Bukan individunya yang seragam." *** Ava kaget, tentu saja. Meskipun ia sudah mengetahui fakta itu dari suaminya, ia tetap gemetar saat melihatnya secara langsung. Tapi, Ava tidak boleh gentar. Dengan tangan gemetar, ia buka aplikasi kamera, lalu difotonya beberapa kali, setelah itu ia buat video berdurasi lima menit. Menurutnya, itu sudah cukup membuktikan kalau Djati memang bandar narkoba yang suaminya curigai.Setelah mengumpulkan semua bukti itu, ia pun mengunci ponselnya. Ia hendak pergi dari bilik tersebut, namun baru beberapa langkah ia bertemu tatap dengan Bernardio, dan Pramudya. Ava bersyukur, karena memutuskan pergi lebih cepat sebelum kedua orang itu memergokinya, dan mungkin membunuhnya. Ava tahu Djati tidak akan melakukan itu, tapi siapa yang bisa menebak. Sekarang saja Djati terbukti s
"Tiap berita punya fakta, dan asumsi. Hanya yang memiliki data, maka disebut dengan berita. Bukan hoax yang bisa menghancurkan siapa saja."***"Apa? Pingsan? Ava pingsan, dan kalian baru memberi tahu saya setelah di rumah?"Pertanyaan Djati tidak ditanggapi oleh Bernardio, tapi langsung diangguki oleh Pramudya lengkap dengan cengirannya. Pemuda itu lalu menunjuk ke Bernardio, lalu memainkan alisnya dengan sengaja. Djati menoleh, dan menatap Bernardio dengan tajam. Namun seperti kebiasaan Bernardio, tatapan bosnya tak pernah mempan, pria itu tetap tak berkutik.Djati mau tidak mau langsung mengambil ponselnya. Meminta penjelasan dari Bernardio juga percuma. Ia lebih baik langsung menelepon orang yang membuatnya khawatir. Tapi, mengingat ia sedang sakit, Djati pun mengurungkan niatnya. Ditaruhnya lagi ponselnya, dan berusaha untuk tidak menelepon Ava."Kok, enggak jadi?" tanya Pramudya heran."Perempuan itu memiliki suami, Pram." Bukan Djati yang menjawab, tapi Bernardio. "Lagipula dia
"Siapa yang lebih lama bertahan, dan berhasil menang adalah yang tak hanya menggunakan otak, serta otot. Melainkan juga menggunakan strategi."***"Maksud Ibu bagaimana? Saya enggak paham."Tarissa tersenyum. Ia paham kalau caranya ini akan sulit untuk dipahami bagi siapa pun, termasuk untuk otak sepintar anaknya sendiri. Tarissa sudah menyiapkan diri untuk pertanyaan Biru yang sudah pasti kebingungan. Di pikiran anaknya, cara satu-satunya adalah dengan menghalau Harry untuk tidak memberitakan apa pun mengenai foto itu.Tapi, hal itu adalah hal yang mustahil. Hampir sepuluh tahun, Tarissa berkecimpung di dunia politik meskipun hanya sekadar sebagai pendamping suaminya. Namun ia sudah hafal di luar kepala bagaimana politikus baru menginginkan tempat yang ajeg untuk dirinya sendiri. Apalagi Harry Taragandhi datang dari latar belakang pengusaha yang sukses, pastilah ia berpikir untung ruginya dengan cermat."Bolehkah saya yang menjelaskan?" tanya sang konten kreator pada Tarissa. Tarissa
"Berusahalah jujur, meskipun dunia kenyataannya selalu kejam terhadapmu. Berusahalah jujur, meskipun orang lain membalasmu dengan kebohongan."***"Gila! Dari mana akun ini punya foto Bang Djati?"Djati menoleh saat Bernardio bergumam dengan suara teramat pelan, tapi masih terdengar olehnya. Bernardio pun menyadari kalau bosnya menoleh, ia lalu memberikan ponselnya pada Djati, agar pria itu melihat apa yang dilihatnya. Djati mengernyit saat menemukan fotonya berada di salah satu media sosial bersama Ava. Ia kaget tentu saja.Padahal pertemuan itu dilakukan di tempat yang privat. Banyak orang yang tidak akan peduli dengan siapa mereka bertemu. Karena memang banyak diantaranya dilakukan untuk membicarakan bisnis. Djati pun memutar otak, dan di kepalanya banyak sekali kandidat yang bisa mengambil fotonya bersama Ava."Sial! Pasti saya diikuti!" seru Djati kesal. "Bernardio, dari siapa informasi ini berasal?""Dari Ibu Marianna, Bang. Dia bertanya kalau banyak staf yang membicarkan akun g
"Tuhan tidak pernah tidur. Ia akan membalas orang-orang baik yang berusaha, dan bertahan di jalan kebenaran."***"Terima kasih, Pak Biru. Berkat anda ibu saya mendapat seorang kuasa hukum yang mumpuni. Setidaknya saya bisa berharap kalau Ibu saya bisa mendapat hukuman yang jauh lebih ringan dari ringan."Biru mengangguk. Ia tersenyum tipis, dan langsung menerima uluran tangan Sulistiawati. Ia senang karena masalah Purwanto bisa berjalan seharusnya. Tinggal mengejar Anthony Radjarta saja, maka semua proses terlewati dengan baik, dan berakhir melegakan untuk semua orang.Althaf yang berada di belakang Biru pun, juga tersenyum. Ia kemudian memberikan sang anak pada ibunya. Sulistiawati berterima kasih, karena Althaf telah menjaga anaknya dengan sangat baik. Ia bahkan sampai tertidur di gendongan Althaf."Anda sangat baik sekali. Mohon maaf sebelumnya, apakah anda sudah menikah?" tanya Sulistiawati pada Althaf yang dibalas gelengan olehnya. "Anda akan menjadi ayah yang baik nantinya. Sek
"Tiap individu di dunia ini, ada masanya. Karena sesungguhnya tidak ada yang abadi, akan terganti dengan yang lain. Terganti dengan masa yang baru." *** "Maaf, Bang Dio!" Bernardio menengadah. Perasaannya tidak enak sama sekali, saat melihat Warman berlari masuk ke dalam ruangannya tanpa mengetuk pintu. Ia yakin pasti ini ada hubungannya dengan Pramudya. Anak bodoh itu sudah Bernardio ingatkan untuk tidak pergi hari ini, tapi dengan kurang ajarnya dia justru mengabaikan permintaannya, dan mematikan panggilan darinya saat itu juga. "Ada apa, Warman? Bukankah saya meminta kamu untuk mengikuti Pramudya? Kenapa kamu justru ada di sini? Berita apa yang kamu ingin sampaikan pada saya?" Warman menarik napasnya, lalu menghembuskannya secara perlahan. "Saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, saya terlambat. Mas Pram melakukan tindakan impulsif dengan mendatangi Mr. Johar saat tugas bandara menahan kopernya. Teledornya lagi, saat itu polisi datang, dan Mas Pram justru bertindak gegaba
"Tiap kejahatan yang ditanam pasti menghasilkan balasan yang setimpal."***"Terima kasih ya, Padma. Saya sangat bersyukur karena Ava memiliki sahabat, dan saudara sebaik kamu."Selepas Padma menjawab, dan mengakhiri teleponnya, Biru pun menyimpan ponselnya di kantong jaket. Ia menghela napas, merasa bersyukur karena hari itu Ava merasa lebih baik setelah ditemani oleh Padma. Walau bagaimana pun saat sakit, bukan cuma tubuh yang butuh beristirahat, tapi juga otak. Dengan mendatangkan Padma ke rumah, Biru berharap istrinya punya teman ngobrol, dan berdiskusi untuk melepas penat.Eki yang melihat atasannya sudah selesai menelepon, langsung menghampiri. Biru pun menoleh, dan menanggapi kedatangan anak buahnya. Ia sudah sangat bekerja keras, butuh diapresiasi atas hasil yang telah ia dapatkan."Pak," sapa Eki seraya bersikap hormat pada sang atasan. "Terlihat dari jalannya sesi interogasi, Pramudya menolak memberi tahu siapa yang berada di belakangnya. Pengacaranya juga berkata kalau klie
"Lepasin tangan gue! Lo tuh, sudah punya istri. Mau apa lagi sih?"Padma memaksa Travis untuk melepas tangannya. Tapi, pria itu seperti menolak permintaannya. Padahal Travis sudah menjadi suami Ayunda, tapi mengapa masih saja mengemis untuk menjelaskan hal yang sudah berlalu. Padma tak segila itu untuk mendengarkan, dan membuang waktunya hanya untuk pria itu.Travis masih kencang memeganginya, padahal tangan Padma sudah merah karena terus dipaksa. Padma ingin berteriak, tapi di tangga darurat itu tak ada siapa pun. Pria itu sengaja menariknya ke sini untuk menyudutkannya, dan melakukan apa pun yang pria itu ingin lakukan. Namun Padma jelas tak akan membiarkannya."Dia minta dilepasin, lo enggak dengar memangnya? Apa karena lo bule, makanya harus pakai bahasa Inggris? Cepat lepasin, sebelum gue terpaksa mematahkan tangan itu."Padma, dan Travis kaget. Ternyata ada orang lain di koridor tersebut. Ia sedang duduk tak jauh dari kami, dan sepertinya sudah memperhatikan kami sejak tadi. Tra
"Maaf, anda siapa ya?"Istri dari Radjarta bertanya, saat Bernardio berdiri di depan rumahnya. Ia sengaja langsung bertemu sang pemilik untuk memberikan aset yang sedianya dititipkan Praba padanya kepada keluarga Radjarta. Karena amanat, Bernardio pun langsung melakukannya, dan menjalankan tugasnya secepat ia bisa."Maaf, kalau saya mengganggu." Bernardio pun menyodorkan tangannya, dan istri Radjarta langsung menjabatnya. "Saya Bernardio. Saya tangan kanannya Pak Djati, anaknya Pak Praba. Saya ingin menyampaikan pesan dari Pak Praba untuk anda.""Oh, ya, silahkan masuk."Bernardio pun masuk, dan diminta duduk di salah satu kursi di ruang tamu tersebut. "Mohon maaf sebelumnya, Ibu. Karena saya tidak tahu nomor rekening Ibu, atau pun Pak Radja. Jadi, saya memberikannya dalam bentuk cek. Jadi, nanti anda bisa datang ke bank terdekat, dan meminta untuk mentransfernya ke rekening yang Ibu miliki.""Aduh, maaf Mas Bernard, tapi ini tuh, maksudnya apa ya? Bisa bicaranya pelan-pelan. Saya ini
"Anda tahu kan, kesempatan anda sempit untuk tidak mendapat hukuman seumur hidup. Meskipun kita ajukan banding sekali pun, pastinya akan sulit untuk menang. Kesalahan anda terlalu banyak, dan itu tidak bisa ditukar hanya dengan kerja sama dengan pihak kepolisian sekali pun."Praba mengangguk, ia mengerti segala konsekuensi yang ia harus hadapi kedepannya. Semenjak Djati dinyatakan meninggal, dan Ava sudah mau menemuinya, segala keputusan yang diberikan padanya akan diterimanya dengan ikhlas. Praba tak akan pernah menuntut apa-apa. Apa pun yang diterimanya adalah ganjaran dari seluruh perbuatannya di masa lalu."Saya sudah bilang tidak apa-apa kan, Jeremy? Jadi, jangan tanya lagi. Apa pun yang diputuskan oleh hakim, saya akan menerimanya.""Tidak ada akan menyesal?"Praba menggeleng. "Jika saya takut menyesal, maka saya tidak akan melakukan semua kejahatan di masa lalu, Jeremy. Apa pun yang terjadi ke depannya, saya akan terima. Kamu tidak perlu takut. Kamu juga patutnya berubah. Pilih
"Ada permulaan, dan ada akhir. Ada pertemuan, dan juga perpisahan. Jadi, jangan pernah sesali apapun."***"Mama bahagia deh! Ava mau melahirkan, dan Asla dinyatakan hamil. Nah sat set begini dong. Dalam waktu yang enggak lama keluarga kita akan ramai dengan tangisan bayi. Ya Tuhan, terima kasih!"Ava tertawa sambil merangkul bahu mertuanya yang terlihat sangat bahagia. Kini, meskipun tantangan di hadapannya akan lebih berat, namun Tarissa lebih bahagia. Tidak hanya sebagai nenek, Tarissa akan menyandang status baru, yakni menjadi ibu negara. Perhitungan cepat dilakukan, dan untuk sementara hasil akhir menentukan kalau ayah mertuanya, Berdaya Adinegara unggul dengan enam puluh satu persen. Jauh mengungguli pesaingnya.Walaupun demikian, Tarissa tak peduli. Kebahagiaan anak-anaknya sekarang adalah hal utama. Ia sangatlah senang melihat kalau kedua putranya tak lama lagi akan menjadi ayah. Menjalani pernikahan yang bahagia bersama istri-istri mereka. Masalah negara, itu urusan nanti."K
"Tak ada yang pasti dalam hidup ini. Termasuk manusia yang tiap hari, jam, menit, dan detik bisa berubah pikiran, serta sikap."***"Wah, sudah berapa bulan, Mbak kehamilannya?"Seorang ibu yang mengantar putrinya cek kandungan bertanya, dan Ava hanya menjawab sekadarnya sambil tersenyum. Ia lalu menceritakan kalau putrinya juga hamil tak jauh dari usia kandungan Ava. Sayangnya tak sebahagia Ava yang bisa diantar kemana-mana oleh sang suami. Ava sebenarnya enggan mendengarkan masalah rumah tangga orang lain, tapi karena Biru tak juga kembali dari toilet membuat Ava akhirnya terpekur mendengar kisah cinta orang lain.Baru setengah jalan Ibu itu bercerita, terdapat keributan di ujung lorong lantai rumah sakit tempat Ava duduk menunggu untuk diperiksa dokter kandungan. Ava, dan sang ibu menoleh. Mereka mendapati seorang perempuan tengah berteriak, dan membentak si laki-laki dengan caci maki yang begitu keras. Awalnya Ava tak peduli, ia melengos, dan kembali melemparkan pandangan ke korid
“Setiap hal di muka bumi ini akan ada timbal balik. Setiap kejahatan yang manusia tanam, akan mendapat imbas yang serupa. Setiap kebaikan yang manusia berikan, maka akan mendapat hadiah yang besar, bahkan berlipat ganda nikmatnya.” *** “Apa anda yakin akan membongkar semuanya?” Praba mengangguk dengan yakin. Tak pernah ada sedikit pun kegundahan di hatinya yang membuat Praba tidak yakin dengan pernyataannya. Ia ingin mengungkapkan segalanya, seperti permintaan Biru, dan juga Ava. Bila mereka ingin Praba menghabiskan waktu untuk selamanya di penjara, maka akan ia lakukan semua itu dengan sukarela, dan juga ikhlas. Ia tahu kesalahannya sangatlah banyak, dan juga tak terbendung. Ia bahkan rela menanggung kesalahan Djati untuk ia tanggung, karena memang semua yang terjadi pada Djati adalah salahnya. Ia yang menjerumuskan Djati ke dunia ini. Ia pula yang memaksa, dan mengancam Djati untuk tetap menjual narkoba, meskipun anak itu tak menginginkannya sama sekali. “Tolong catat semua ora
"Kata orang-orang, saat mencintai pria, standar pertama bagi seorang perempuan adalah ayahnya. Lalu bagaimana jika figur ayah tak pernah muncul dalam diri seorang perempuan?"***Ava meringis saat melihat ayah kandungnya sendiri. Lama tak melihat Praba, membuatnya lupa akan sosok itu. Sosok yang dahulu pernah sangat ia benci sedemikian rupa, sekarang terkurung menyedihkan di dalam jeruji besi yang dingin. Inilah yang Ava inginkan, meskipun kini rasa iba itu muncul, menyeruak memenuhi seluruh hatinya."Apakabar Pak Praba?" tanya Ava memulai pembicaraan. Ava menunggu, tapi Praba tak juga memulai pembicaraan, jadi ia mendahuluinya dengan suara bergetar. "Ini pertemuan pertama kita, setelah segala permasalahan dan plot twist yang tersaji di hidup kita."Praba diam, tapi ia tak mungkin duduk di situ, dan tak memulai apa pun. "Walau saya tak suka tempat ini, tapi saya baik-baik saja. Tempat ini tak seburuk pikiran saya. Kemungkinan saya mulai merasa nyaman di sini.""Ini serius, atau hanya
"Terkadang dalam hidup banyak hal yang tak terduga. Termasuk sebuah keinginan yang tak terwujud, tapi digantikan dengan hal lain yang lebih besar oleh Tuhan."***"Kalian bertengkar?"Biru melirik istrinya dari balik kertas-kertas berisi laporan keuangan perusahaannya. Biru benar-benar banyak sekali pekerjaan, selepas platform permainannya viral, dan brand pakaiannya mengalami peningkatan penjualan yang sangat drastis. Mengalahkan pekerjaannya sebagai seorang polisi, Biru hampir saja menghabiskan sisa dua puluh empat jam hanya untuk pekerjaan sampingannya. Belum lagi, kini ia harus membagi waktunya yang sudah sempit untuk istri, dan calon bayi mereka.Ava yang baru selesai mandi, dan tengah mengeringkan rambutnya tersebut juga hanya menghela napas. Ia tahu akan percuma membagi kisah ini pada suaminya, tapi selain Biru, Ava tak tahu lagi harus bercerita pada siapa. Jadi, meskipun Biru tak memahami alasannya marah pada Padma, ia tetap menjelaskan kronologi pertengkarannya dengan sahabat
"Tak ada yang sempurna dalam hidup, termasuk sebuah pernikahan. Pasti ada pasang surut yang membuat sebagian orang pasangan akhirnya berpisah, dan memilih jalan lain sendiri-sendiri."***"Selamat ya, Mas Samudera, dan Mbak Asla. Semoga kalian langgeng terus hingga maut memisahkan. Benar-benar deh, kalian berdua cocok banget!"Celetukan Irvin membuat beberapa keluarga tertawa saat mendengarnya. Namun apa yang dikatakan Irvin benar adanya. Samudera yang tampan sangat cocok bersanding dengan Asla yang sangat manis, dan cantik. Samudera yang hanya memakai kemeja putih, dan Asla yang memakai gaun putih selutut sangatlah padu bersama.Belum lagi dengan latar belakang pantai Anyer di Novus Jiva Villa, membuat suasana yang terasa begitu intim, serta indah. Dengan dihadiri oleh keluarga besar kedua mempelai, pernikahan Samudera, dan Asla terasa sangat berkesan. Keduanya seperti larut dalam bahagia bersama orang-orang yang mereka kenal dekat sejak kecil."Peenikahan yang indah, ya?" tanya Asta