Langkahku tertahan dan segera menoleh cepat, saat mendengar suara tegas dari lisan suamiku. Kemudian pandanganku turun ke lembaran rupiah yang baru saja ia letakkan ke atas meja.
Aku segera mengambil dan menggenggam lembaran rupiah itu tanpa menghitung jumlahnya terlebih dahulu. Kemudian kembali ke dapur.Paling jumlahnya hanya dua lembar uang sepuluh ribuan dan tiga lembar uang kertas seribuan, pikirku.Tidak pernah lebih atau pun kurang. Entah bagaimana caranya Mas Arya bisa mengumpulkan uang seribuan yang bagi sebagian orang sudah di remehkan, bahkan kalau tercecer tidak lagi di cari dan di anggap penting.Lembaran rupiah itu ia berikan bukan untuk kepentinganku pribadi, melainkan untuk kebutuhan hidup kami sekeluarga.Dua puluh tiga ribu rupiah. Yah..nafkah untuk tiap harinya yang ia berikan kepadaku. Tidak perlu di tanya apakah uang sebanyak itu cukup untuk kami sekeluarga dengan dua anak balita.Aku tidak pernah meminta lebih selama ini, cukup ia memberikan nafkah yang sewajarnya saja. Suamiku bekerja di perusahaan yang gajinya masih di atas UMR. Belum lagi kalau ia lembur. Aku bahkan tidak tahu nominal angkanya. Sebab aku tidak pernah melihat dan di beritahu.Tetap aku syukuri, walaupun memang sangatlah kurang untuk kebutuhan kami sehari-hari.Meminta lebih pun percuma, bukannya memberi, malah yang ada aku di diceramahi. Harus hemat lah, Pandai-pandai mengatur, jangan royal, gaji suamimu tidak seberapa. Beberapa kalimat yang sederhana memang, namun menyakitkan.Jika rupiah yang ia berikan ratusan ribu atau puluhan juta mungkin aku bisa terima perkataan itu.Dua puluh tiga ribu rupiah yang hanya untuk diri ku sendiri saja masih kurang.Lagi-lagi kuputar otak bagaimana memanfaatkan uang itu."Bu Idah, berasnya setengah kilo ya, cabe dan tomatnya duaribu saja," ucapku pada pemilik warung dekat rumah."Oh, baik Bu Dian," sahut beliau kemudian mengambilkannya untukku.Aku menarik perlahan lembaran rupiah yang ku genggam erat mulai dari rumah."Nih, Bu Dian, ada yang lain?" sahut beliau lagi.Aku terdiam sejenak sembari berpikir apa lagi yang harus kubeli dengan sisa uang itu."Bu Dian, ayam lagi murah lho. Perasaan Bu Dian gak pernah deh masak ayam, apa suaminya gak pernah minta makan lauknya ayam?""Ng..ng..iya Bu," jawabku kaku.Uangku mana cukup, batinku. Bukan hanya ayam, segalanya pun ingin kubeli jika uang yang kubawa banyak."Sekilo ya Bu, murah kok sekilonya hanya 20 rebo!" sergah Bu Idah cepat dan bergegas menimbangnya untukku, padahal aku belum mengiyakannya."Tidak..tidak.. Bu, seperempat saja!" aku menimpali cepat sebelum beliau membuatkan sekilo untukku."Seperempat? gak salah, Bu? Dapatnya paling dua potong lho?!" sergah beliau lagi."Iyah..buat ayahnya saja, saya gak suka lauknya ayam," jawabku tersenyum tipis. Padahal itu adalah makanan favoritku. Dengan berat aku harus mengatakan sebaliknya.Sebab tidak mungkin juga aku berkata yang sebenarnya, kalau sisa uangku untuk membeli setengahnya saja tidak cukup."Sayurnya beli dua ribu saja bisa, Bu Idah?" tanyaku."Bisa sih bisa Bu, cuma dapatnya sedikit, beli 4 ribu deh," sahut beliau."Iya deh, bu," kali ini aku mengiyakan.Aku kembali pulang dengan sisa uang empat ribu rupiah. Dengan langkah cepat aku meninggalkan warung Bu Idah. Takut kalau kedua anakku yang aku tinggal sedang tidur, terbangun."Syukurlah.. mereka masih terlelap," gumamku sembari menatap mereka hangat.Aku pun leluasa melakukan rutinitasku di dapur.***Sudah pukul enam sore, sebentar lagi Mas Arya pulang, gumamku dalam hati.Makanan untuknya pun sudah terhidang di meja makan. Tidak penting denganku yang makan dengan nasi dan sayur saja. Asalkan ia makan enak dengan nafkah yang ia cari itu.Sementara aku yang menurutnya hanya berleha-leha di rumah. Padahal tenagaku terkuras habis setiap harinya. Belum lagi otakku yang tiap hari berpikir keras memenuhi kebutuhan dapur. Agar ia tidak bertanya, kemana uang belanja? mengapa lauk hanya begini saja? Bla..bla..Setelah merasa rapi dan wangi, aku pun dengan anak-anak menunggu Mas Arya di teras rumah."Sudah gelap, mengapa ayah belum pulang ya, Nak?" ocehku kepada kedua balita yang bahkan tidak mengerti dengan pertanyaanku.Aku hanya bisa menatap mereka tanpa berharap jawaban dari lisan mungil itu."Biasanya Mas Arya ngomong kalau pulang telat, apa mungkin dia lembur ya?" ocehku sendiri."Sudah pukul sepuluh, mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dengannya," harapku lagi.Aku menahan kedua netraku yang mulai meredup agar tetap terbuka. Aku tidak ingin tertidur jika Mas Arya pulang nanti.Kamu enak-enakan tidur suami belum pulang kerja, pasti kalimat itu yang akan kuterima. Padahal aku juga manusia yang butuh istirahat walaupun tidak bekerja menghasilkan uang.Tapi tenagaku yang juga bekerja mengurus anak-anak dan rumah tidak di anggap sebagai sesuatu yang melelahkan juga.Bangun lebih dulu sebelum seisi rumah terjaga dan tidur setelah seisi rumah tertidur lelap.Aku segera menoleh ke arah jendela, setelah cahaya menyilaukan dari lampu sepeda motor Mas Arya menembus tirai jendela.Dengan cepat bergegas kubukakan pintu sebelum ia mengetuk."Sudah pulang, Mas?" tanyaku lembut."Hem..!" sahutnya dan melangkah masuk. Mungkin ia kelelahan, benakku. Aku pun tidak ingin menanyai mengapa ia pulang larut, setelah melihat raut wajah kusutnya."Tidak mandi dulu, Mas?" tanyaku memberanikan diri."Mas..Mas.."ulangku lagi. Tapi hanya suara dengkuran yang menyahutiku.Melihat Mas Arya tertidur lelap tanpa sempat mengganti pakaiannya membuatku iba. Begitu lelahkah ia demi memenuhi kebutuhan kami, benakku.Melihat Mas Arya seperti itu membuatku pun tak berani mengeluh tentang keadaanku. Mungkin ia lebih lelah dibandingkan aku. Aku tak berani banyak menuntut. Oleh sebab itu berapa uang yang ia berikan, kuterima dengan ikhlas.Setelah menarik selimut untuk menutupi setengah tubuh Mas Arya yang terlelap, aku kembali ke dapur.Sajian yang sudah aku hidangkan untuknya tak tersentuh sedikitpun. Melihat makanan itu tiba-tiba perutku keroncongan. Namun aku berpikir, lauk ini bisa kusimpan untuk besok sehingga uang belanja yang dibelikan Mas Arya akan berlebih dan bisa dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, benakku.Keesokan pagi.."Dian, besok Mas ke luar kota dua hari. Kamu persiapkan keperluan untuk Mas bawa ke sana," titahnya saat akan melangkah ke luar."Mas, duitnya mana?" aku menahan langkah Mas Arya, ia lupa meninggalkan uang belanja.Ia pun merogoh saku kemeja dan meletakkannya di atas meja ruang tamu. Seperti biasa kuterima tanpa menggerutu."Sebentar..!" ucapnya tiba-tiba sembari merogoh saku kemejanya lagi. Aku menunggu, berharap ia ingin memberikan lebih. Benar sekali...ia melemparkan uang logam lima ratus rupiah ke atas meja."Tuh.. lumayan buat nambah beli sabun colek," ucapnya simpel dan segera berlalu.Tidak ingin mengumpat atau pun menggerutu. Ku terima saja walau nilainya kecil, toh..ini juga hasil keringat suamiku, gumamku.Setelah Mas Arya berangkat ke tempat kerja, aku merasa kesepian di saat kedua anakku masih terlelap.Sering terbersit di benak, untuk bisa kembali bekerja. Ingin punya penghasilan sendiri tanpa harus meminta kepada suami.Semenjak menikah dengannya aku terlalu sering menahan keinginanku. Jangankan untuk membeli skincare agar tetap terlihat cantik di depan suami. Untuk membeli makanan yang enak saja aku harus menahan selera."Dian, semua udah siapkan?" tanya Mas Arya sesaat setelah menginjakkan kaki di teras rumah sepulangnya dari kantor.Aku terperanjat, sebab Mas Arya tidak memberitahu kalau ia akan pulang lebih awal. Sementara jadwal keberangkatannya adalah besok."Be..belum, Mas!" Dian tidak tahu kalau Mas akan berangkat sekarang, kan tadi Mas bilang berangkatnya besok," jawabku."Duh..kamu ini, besok atau hari ini apa bedanya!" kesalnya."I..iya..iya..Mas, Dian segera bereskan!" sahutku dan segera berlari ke kamar mempersiapkan pakaian dan keperluan lainnya sementara Mas Arya pergi mandi."Mas berangkat dulu!" "Iya Mas, hati-hati ya,"Nih.. untuk belanja selama Mas di luar kota," Mas Arya memberikan langsung ke tanganku. Kupikir selama tidak di rumah, ia akan memberikan uang belanja untuk dua hari.Namun tidak, Mas Arya tetap saja memberikan jumlah uang seperti biasanya. Seharusnya ia memberikan dua kali lipat, sebab selama ia pergi tentu saja aku tak bisa meminta. Kali ini kupandangi uang pemberi
Seperti yang Mas Arya janjikan malam ini ia akan pulang. Sedari pagi hingga sore, aku sudah berbenah diri. Mulai dari mempersiapkan makan malam, hingga merapikan rumah.Aku tidak tahu pukul berapa tepatnya ia tiba di rumah. Tugasku hanya menyambut dan menciptakan suasana yang tidak membuatnya jengkel.Aku masih terus menunggu sampai mendapat kabar kalau kepulangannya di batalkan.Sudah hampir pukul dua belas malam. Aku gelisah, mengapa Mas Arya tidak menghubungiku kalau ia tidak jadi pulang malam ini. Terlalu malam kalau aku harus pergi ke rumah tetangga dan meminjam handphone untuk menghubungi Mas Arya, benakku.Aku mengerjap saat silau dari luar jendela menembus kedua netraku."Aku tertidur?!" pekikku tersentak sembari berdiri tegak."Aduh! Mas Arya!" spontan aku berlari ke kamar mencari keberadaannya. Kupikir ia sudah pulang."Tidak ada?! Atau.. jangan-jangan Mas Arya sudah pulang dan aku tertidur. Jadi aku tidak mendengar ia mengetuk pintu!" ocehku panik membayangkan kalau Mas A
Setiba di rumah sakit..Aku tidak lagi memperhatikan penampilanku. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu aku segera menuju ke Rumah sakit. Aroma muntahan Rizky di pakaianku pun tidak lagi kurasakan.Saat Dokter memeriksa, tidak selangkah pun aku jauh darinya. Tangan mungilnya memegang erat jemariku. Sembari menatap lurus wajahnya. Ku seka airmata yang perlahan menetes di pipi ini.Rizky terbaring lemah di saat Mas Arya tidak bersama kami. Hal yang paling aku takutkan selama ini. Tidak hentinya aku meneteskan air mata. Jauh dari keluarga, mungkin itu salah satu yang membuat suasana hati kian memilukan. Setelah menikah aku memutuskan ikut dengan Mas Arya kemana pun ia di pindah tugaskan, termasuk pindah ke kota besar ini. Setelah ku pastikan Rizky terlelap, perlahanku lepaskan jemari mungilnya yang sedari tadi menggenggam jemariku. Aku pun melangkah ke kolidor menuju ruang administrasi. Niatku ingin menanyakan berapa lama lagi Rizky akan di rawat di rumah sakit ini.Aku takut uang y
Aku tidak punya pilihan, setelah Dokter mengijinkan Rizky pulang.Hingga akhirnya aku menerima tawaran Mas Rian. Di tambah lagi rumah kami yang searah, dan kupikir tidak terlalu merepotkannya."Sudah Mas, kami turun di sini saja!" titahku setelah mobil yang di kendarai Mas Rian hampir memasuki kompleks perumahan kami."Kenapa? Kan masih di depan, sedikit lagi," sahutnya."Tidak usah Mas, kami di sini aja , tinggal beberapa langkah lagi kok," tolakku.Namun, mobil mewah ini tidak juga berhenti. Melihat ekspresi wajah Mas Rian, aku pun tidak ingin mengulangi permintaanku.Hingga akhirnya mobil mewahnya itu berhenti tepat di depan rumah kami."Tidak usah Mas, saya bisa sendiri," tolakku lagi. Aku menahan saat Mas Rian ingin ikut mengantar kami ke dalam rumah. "Pulanglah, Mas sudah banyak membantu kami hari ini. Terima kasih banyak, Mas!" "Entah bagaimana aku hari ini jika tidak ada Mas tadi, sekali lagi makasih ya, Mas," ucapku lirih."Sudah tidak usah berlebihan, aku dan Arya kan bert
Aku tidak punya pilihan, setelah Dokter mengijinkan Rizky pulang.Hingga akhirnya aku menerima tawaran Mas Rian. Di tambah lagi rumah kami yang searah, dan kupikir tidak terlalu merepotkannya."Sudah Mas, kami turun di sini saja!" titahku setelah mobil yang di kendarai Mas Rian hampir memasuki kompleks perumahan kami."Kenapa? Kan masih di depan, sedikit lagi," sahutnya."Tidak usah Mas, kami di sini aja , tinggal beberapa langkah lagi kok," tolakku.Namun, mobil mewah ini tidak juga berhenti. Melihat ekspresi wajah Mas Rian, aku pun tidak ingin mengulangi permintaanku.Hingga akhirnya mobil mewahnya itu berhenti tepat di depan rumah kami."Tidak usah Mas, saya bisa sendiri," tolakku lagi. Aku menahan saat Mas Rian ingin ikut mengantar kami ke dalam rumah. "Pulanglah, Mas sudah banyak membantu kami hari ini. Terima kasih banyak, Mas!" "Entah bagaimana aku hari ini jika tidak ada Mas tadi, sekali lagi makasih ya, Mas," ucapku lirih."Sudah tidak usah berlebihan, aku dan Arya kan bert
Setiba di rumah sakit..Aku tidak lagi memperhatikan penampilanku. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu aku segera menuju ke Rumah sakit. Aroma muntahan Rizky di pakaianku pun tidak lagi kurasakan.Saat Dokter memeriksa, tidak selangkah pun aku jauh darinya. Tangan mungilnya memegang erat jemariku. Sembari menatap lurus wajahnya. Ku seka airmata yang perlahan menetes di pipi ini.Rizky terbaring lemah di saat Mas Arya tidak bersama kami. Hal yang paling aku takutkan selama ini. Tidak hentinya aku meneteskan air mata. Jauh dari keluarga, mungkin itu salah satu yang membuat suasana hati kian memilukan. Setelah menikah aku memutuskan ikut dengan Mas Arya kemana pun ia di pindah tugaskan, termasuk pindah ke kota besar ini. Setelah ku pastikan Rizky terlelap, perlahanku lepaskan jemari mungilnya yang sedari tadi menggenggam jemariku. Aku pun melangkah ke kolidor menuju ruang administrasi. Niatku ingin menanyakan berapa lama lagi Rizky akan di rawat di rumah sakit ini.Aku takut uang y
Seperti yang Mas Arya janjikan malam ini ia akan pulang. Sedari pagi hingga sore, aku sudah berbenah diri. Mulai dari mempersiapkan makan malam, hingga merapikan rumah.Aku tidak tahu pukul berapa tepatnya ia tiba di rumah. Tugasku hanya menyambut dan menciptakan suasana yang tidak membuatnya jengkel.Aku masih terus menunggu sampai mendapat kabar kalau kepulangannya di batalkan.Sudah hampir pukul dua belas malam. Aku gelisah, mengapa Mas Arya tidak menghubungiku kalau ia tidak jadi pulang malam ini. Terlalu malam kalau aku harus pergi ke rumah tetangga dan meminjam handphone untuk menghubungi Mas Arya, benakku.Aku mengerjap saat silau dari luar jendela menembus kedua netraku."Aku tertidur?!" pekikku tersentak sembari berdiri tegak."Aduh! Mas Arya!" spontan aku berlari ke kamar mencari keberadaannya. Kupikir ia sudah pulang."Tidak ada?! Atau.. jangan-jangan Mas Arya sudah pulang dan aku tertidur. Jadi aku tidak mendengar ia mengetuk pintu!" ocehku panik membayangkan kalau Mas A
"Dian, semua udah siapkan?" tanya Mas Arya sesaat setelah menginjakkan kaki di teras rumah sepulangnya dari kantor.Aku terperanjat, sebab Mas Arya tidak memberitahu kalau ia akan pulang lebih awal. Sementara jadwal keberangkatannya adalah besok."Be..belum, Mas!" Dian tidak tahu kalau Mas akan berangkat sekarang, kan tadi Mas bilang berangkatnya besok," jawabku."Duh..kamu ini, besok atau hari ini apa bedanya!" kesalnya."I..iya..iya..Mas, Dian segera bereskan!" sahutku dan segera berlari ke kamar mempersiapkan pakaian dan keperluan lainnya sementara Mas Arya pergi mandi."Mas berangkat dulu!" "Iya Mas, hati-hati ya,"Nih.. untuk belanja selama Mas di luar kota," Mas Arya memberikan langsung ke tanganku. Kupikir selama tidak di rumah, ia akan memberikan uang belanja untuk dua hari.Namun tidak, Mas Arya tetap saja memberikan jumlah uang seperti biasanya. Seharusnya ia memberikan dua kali lipat, sebab selama ia pergi tentu saja aku tak bisa meminta. Kali ini kupandangi uang pemberi
Langkahku tertahan dan segera menoleh cepat, saat mendengar suara tegas dari lisan suamiku. Kemudian pandanganku turun ke lembaran rupiah yang baru saja ia letakkan ke atas meja.Aku segera mengambil dan menggenggam lembaran rupiah itu tanpa menghitung jumlahnya terlebih dahulu. Kemudian kembali ke dapur. Paling jumlahnya hanya dua lembar uang sepuluh ribuan dan tiga lembar uang kertas seribuan, pikirku.Tidak pernah lebih atau pun kurang. Entah bagaimana caranya Mas Arya bisa mengumpulkan uang seribuan yang bagi sebagian orang sudah di remehkan, bahkan kalau tercecer tidak lagi di cari dan di anggap penting.Lembaran rupiah itu ia berikan bukan untuk kepentinganku pribadi, melainkan untuk kebutuhan hidup kami sekeluarga.Dua puluh tiga ribu rupiah. Yah..nafkah untuk tiap harinya yang ia berikan kepadaku. Tidak perlu di tanya apakah uang sebanyak itu cukup untuk kami sekeluarga dengan dua anak balita.Aku tidak pernah meminta lebih selama ini, cukup ia memberikan nafkah yang sewajarn