Share

Bab 2. Mulai Jenuh

Penulis: Santavero03
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-25 13:42:02

"Dian, semua udah siapkan?" tanya Mas Arya sesaat setelah menginjakkan kaki di teras rumah sepulangnya dari kantor.

Aku terperanjat, sebab Mas Arya tidak memberitahu kalau ia akan pulang lebih awal. Sementara jadwal keberangkatannya adalah besok.

"Be..belum, Mas!" Dian tidak tahu kalau Mas akan berangkat sekarang, kan tadi Mas bilang berangkatnya besok," jawabku.

"Duh..kamu ini, besok atau hari ini apa bedanya!" kesalnya.

"I..iya..iya..Mas, Dian segera bereskan!" sahutku dan segera berlari ke kamar mempersiapkan pakaian dan keperluan lainnya sementara Mas Arya pergi mandi.

"Mas berangkat dulu!"

"Iya Mas, hati-hati ya,

"Nih.. untuk belanja selama Mas di luar kota," Mas Arya memberikan langsung ke tanganku. Kupikir selama tidak di rumah, ia akan memberikan uang belanja untuk dua hari.

Namun tidak, Mas Arya tetap saja memberikan jumlah uang seperti biasanya. Seharusnya ia memberikan dua kali lipat, sebab selama ia pergi tentu saja aku tak bisa meminta.

Kali ini kupandangi uang pemberiannya sembari mengerutkan dahi.

"Kenapa? Kurang?" hentaknya saat melihat ekspresi wajahku.

"Kan aku tidak di rumah dua hari, ya itu lebihlah untuk beli lauk kamu sendiri. Anak-anakkan belum terlalu banyak makan." imbuhnya lagi.

Hanya lauk saja yang di pikirkannya. Sabun, detergen dan kebutuhan lain tidak masukkah dalam hitungannya? Belum lagi kalau tiba-tiba anak sakit. Uang dari mana? benakku.

Bisa apalagi kalau bukan diam dan menerima.

"Ya udah, Mas berangkat. Kalau ada apa-apa. Pakai handphone tetangga buat hubungi Mas," titahnya.

Kuantar beliau sampai menghilang dengan mobil yang membawanya.

Kuhela nafas panjang, setelah kepergiannya untuk beberapa hari. Entah mengapa aku merasa sedikit lega saat ia pergi jauh.

Aku seakan leluasa untuk melakukan aktivitasku tanpa ada yang menegur dan mengatur.

Dua puluh tiga ribu rupiah ini pun ke pandangi, sembari memutar otak untuk menggunakannya.

Kan masih ada lauk semalam, hiburku.

Keesokan hari..

Aku sengaja bangun kesiangan lewat beberapa jam dari biasanya.

Ibu-ibu di komplek masih berkumpul di warung Bu Idah. Padahal sudah hampir pukul sebelas siang. Apa mereka tidak masak, pikirku.

Tujuan utama ke warung itu mereka nomor duakan, terlebih dulu mereka membuat kelompok untuk menggosip atau menggibah, entahlah..

Setiap kali mereka ada di sana, aku selalu menahan diri untuk ikut bergabung. Selain tidak punya waktu, alasan lainnya karena Mas Arya tidak memperbolehkan.

"Bu Dian, tumben nih belanjanya siangan," sahut salah satu dari mereka.

"Eh..iya Bu, baru siap beberes dulu, baru ke warung," sahutku.

"Ah.. biasa itu kalau suami tidak ada di rumah, saya juga gitu kok," sahut yang lainnya.

Aku hanya melempar senyum untuk para ibu itu. Dan lanjut dengan tujuanku ke warung itu.

"Bu Dian, sini dong sesekali gabung dengan kita, apa ibu tidak bosan berkurung di rumah terus?"

"Iya, sini bu, kan suaminya lagi pergi,"

Memanglah ibu-ibu komplek tau aja kalau suami orang tidak di rumah, benakku.

Sebenarnya tidak berani untuk bergabung. Tapi mengingat Mas Arya sedang tidak berada di sini, aku beranikan duduk bergabung dengan mereka. Aku juga sesekali ingin merasakan seperti para istri-istri di komplek ini, yang tidak melulu di dapur atau membabu di rumah.

"Kita tuh.. sering ngumpul di sini, bukan mau menggibah, palingan cuma curhat atau berbagi masalah rumah tangga," salah satu dari mereka menepis prasangka buruk tentang ibu-ibu komplek yang suka berkumpul di saat orang sedang sibuk beraktivitas.

"Ibu Dian ikut yah main arisan ama kita, kebetulan kita kurang satu orang lagi nih!"

"Arisan?" tanyaku singkat.

"Hem...mm gimana yah, nggak deh bu, takut gak bisa bayarnya ntar," tolakku.

"Iya, main dikit aja kok biar gak berat, yang ikut juga dikit biar cepat selesainya," imbuh mereka.

"Iya deh, ikut ya! Suami ibu kan kerjanya bagus masa main arisan kecil-kecilan ga bisa bayar sih," sahut mereka.

"Bukan gitu bu, masalahnya banyak kebutuhan lain," jawabku.

"Kebutuhan apa, halahh.. anak masih kecil-kecil kok, Bu, kayaknya belum banyak kebutuhan deh," sahut mereka lagi.

"Di masa-masa seperti ini lah ibu harus punya simpanan, karena anak belum pada sekolah. Caranya yah main arisan bareng kita," mereka masih membujukku.

"Lima ribu sehari gak beratlah, Bu," mereka kembali menimpali.

"Hem..mm gimana yah, ntar suami saya gak setuju, Bu," jawabku.

"Suami mah gak perlu tau semua urusan istri, yang penting gak aneh-aneh, Bu," sahut mereka.

"Suami kita-kita juga nggak setuju kami ikut-ikut arisan. Yah, tapi kami tetap lanjutkan,"

"Sekarang tuh, gak usah jujur-jujur amat sama suami, kita kan juga nggak tahu kalau suami udah jujur nggak ama kita!"

"Udah tenang aja bu, rahasia di jaga, hehehe.. imbuh mereka saling bersahutan.

"Hem.. nanti deh saya pikir-pikir lagi," balasku, menolak sebisaku.

"Mikir apa lagi, Bu Dian? Gaji suami pasti ibu yang pegang, bisalah di sisipkan lima ribu aja," oceh salah satu dari mereka lagi.

Kalimat terakhir dari lisan ibu-ibu ini membuatku mematung. Jangankan memegang gajinya melihat saja aku belum pernah, apalagi menghitung. Mas Arya tidak pernah memberikan gajinya langsung ke tanganku.

Ia hanya memberiku uang belanja harian saja. Mendengar perkataan mereka ingin rasanya cepat-cepat kembali. Sebelum mereka mengatakan hal lainnya yang membuatku lebih tersinggung.

Ternyata aku berbeda dengan ibu-ibu komplek ini. Aku tidak selevel dengan mereka, gumamku dalam hati.

Aku hanya di anggap pelayan rumah tangga saja oleh suami ku. Aku bagai istri yang tak dianggap .

"Hey...! Bu Dian kok ngelamun aja?" gimana mau kan? " Aku tersentak saat tangan Bu Idah menepuk bahu ku.

"Eh.. tidak Bu.." jawabku kikuk.

"Ya sudah kalau Bu Dian tidak mau ikut, jangan di paksa," ucap Bu Idah.

"Udah..jangan pada ribut, biar saya deh yang ambil dua nomor!" sahut Bu Imar wanita sosialita di komplek kami. Walau tidak bekerja, hanya mengurus rumah saja Bu Imar selalu berpenampilan seperti wanita sosialita. Pasti ia begitu di manjakan suaminya, benakku.

Padahal jabatan suami Bu Imar di perusahaan tempat suamiku bekerja, masih lebih tinggi jabatan suamiku. Dan sudah pastilah gaji nya juga lebih tinggi suami ku.

Tapi penampilan dan kehidupan sehari-hari nya mengalahkanku.

"Memang Bu Imar ini tidak terkalahkan," puji mereka kepada Bu Imar sembari tertawa lebar.

"Tenang saja, besok uang tip perjalanan suamiku dari luar kota pasti bersisa, dan biasanya semua di serahkan sama saya. Saya akan bayar lunas arisannya Bu- ibu," paparnya dengan sedikit angkuh.

"Wah..wah.. hebat suami ibu, sekalian deh ambil tiga nomor," goda mereka kepada Bu Imar.

"Itu belum ada apa-apanya, Bu. Belum lagi oleh-oleh buat saya dan anak-anak, biasanya sampai tidak terangkut ke dalam mobil, haha...!" balas Bu Imar bangga.

Mendengar itu semua rasa iri pun menyinggahi ku. Hal yang tidak pernah di lakukan suami untuk ku.

Tidak mesti di hujani hadiah atau pemberian yang mahal sebenarnya. Cukup perhatian saja sebagai tanda kalau aku masih berharga bagi nya.

"Beruntung sekali yah Bu Imar," sahut salah satu dari mereka

"Bu Dian bagaimana? Bukankah suami ibu dan Bu Imar bekerja di perusahaan yang sama?"

Senyum tipis kulemparkan kepada mereka sebagai jawaban. Karena sudah tidak nyaman di sini, aku memutuskan kembali ke rumah.

Setiba di rumah dan di saat anak-anak masih terlelap, kesunyian pun menyergap ku. Tanpa sadar airmata perlahan jatuh saat menatap wajah mereka satu persatu.

Hari-hari yang kulalui, mulai ayam berkokok hingga rembulan meredup terkadang membuat ku jenuh.

Suami tidak punya waktu untukku, pulang ke rumah hanya ingin melewati malam berganti pagi saja. Pekerjaan rumah dan mengasuh anak pun ia tidak mau berbagi tugas, semua ia bebankan kepadaku.

Sekalipun lelah bekerja di luar rumah setidaknya ia memberi sedikit perhatian dengan bertanya' apa kamu sudah makan?' Kamu lelah? istirahat lah! ',

Ah..sudahlah..

Aku tidak melakukan apapun hari ini, hanya memasak untuk kami bertiga saja.

Besok Mas Arya pulang seharusnya aku senang. Sudah dua hari kami tidak bertemu dan seharusnya juga aku merindukannya.

Tapi...Ada apa denganku? Aku bahkan tidak mengharap kepulangannya. Aku lebih menikmati kebersamaan ku dengan anak-anak.

Selama di luar kota ia juga tidak memberiku kabar, apakah sudah tiba atau memberitahukan sedang apa ia di sana.

Bab terkait

  • Jangan Salahkan Aku Selingkuh    Bab 3. Kenapa Belum Pulang Mas?

    Seperti yang Mas Arya janjikan malam ini ia akan pulang. Sedari pagi hingga sore, aku sudah berbenah diri. Mulai dari mempersiapkan makan malam, hingga merapikan rumah.Aku tidak tahu pukul berapa tepatnya ia tiba di rumah. Tugasku hanya menyambut dan menciptakan suasana yang tidak membuatnya jengkel.Aku masih terus menunggu sampai mendapat kabar kalau kepulangannya di batalkan.Sudah hampir pukul dua belas malam. Aku gelisah, mengapa Mas Arya tidak menghubungiku kalau ia tidak jadi pulang malam ini. Terlalu malam kalau aku harus pergi ke rumah tetangga dan meminjam handphone untuk menghubungi Mas Arya, benakku.Aku mengerjap saat silau dari luar jendela menembus kedua netraku."Aku tertidur?!" pekikku tersentak sembari berdiri tegak."Aduh! Mas Arya!" spontan aku berlari ke kamar mencari keberadaannya. Kupikir ia sudah pulang."Tidak ada?! Atau.. jangan-jangan Mas Arya sudah pulang dan aku tertidur. Jadi aku tidak mendengar ia mengetuk pintu!" ocehku panik membayangkan kalau Mas A

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-25
  • Jangan Salahkan Aku Selingkuh    Bab 4. Dimana Kamu.

    Setiba di rumah sakit..Aku tidak lagi memperhatikan penampilanku. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu aku segera menuju ke Rumah sakit. Aroma muntahan Rizky di pakaianku pun tidak lagi kurasakan.Saat Dokter memeriksa, tidak selangkah pun aku jauh darinya. Tangan mungilnya memegang erat jemariku. Sembari menatap lurus wajahnya. Ku seka airmata yang perlahan menetes di pipi ini.Rizky terbaring lemah di saat Mas Arya tidak bersama kami. Hal yang paling aku takutkan selama ini. Tidak hentinya aku meneteskan air mata. Jauh dari keluarga, mungkin itu salah satu yang membuat suasana hati kian memilukan. Setelah menikah aku memutuskan ikut dengan Mas Arya kemana pun ia di pindah tugaskan, termasuk pindah ke kota besar ini. Setelah ku pastikan Rizky terlelap, perlahanku lepaskan jemari mungilnya yang sedari tadi menggenggam jemariku. Aku pun melangkah ke kolidor menuju ruang administrasi. Niatku ingin menanyakan berapa lama lagi Rizky akan di rawat di rumah sakit ini.Aku takut uang y

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-25
  • Jangan Salahkan Aku Selingkuh    Bab 5. Lingerie Siapa?

    Aku tidak punya pilihan, setelah Dokter mengijinkan Rizky pulang.Hingga akhirnya aku menerima tawaran Mas Rian. Di tambah lagi rumah kami yang searah, dan kupikir tidak terlalu merepotkannya."Sudah Mas, kami turun di sini saja!" titahku setelah mobil yang di kendarai Mas Rian hampir memasuki kompleks perumahan kami."Kenapa? Kan masih di depan, sedikit lagi," sahutnya."Tidak usah Mas, kami di sini aja , tinggal beberapa langkah lagi kok," tolakku.Namun, mobil mewah ini tidak juga berhenti. Melihat ekspresi wajah Mas Rian, aku pun tidak ingin mengulangi permintaanku.Hingga akhirnya mobil mewahnya itu berhenti tepat di depan rumah kami."Tidak usah Mas, saya bisa sendiri," tolakku lagi. Aku menahan saat Mas Rian ingin ikut mengantar kami ke dalam rumah. "Pulanglah, Mas sudah banyak membantu kami hari ini. Terima kasih banyak, Mas!" "Entah bagaimana aku hari ini jika tidak ada Mas tadi, sekali lagi makasih ya, Mas," ucapku lirih."Sudah tidak usah berlebihan, aku dan Arya kan bert

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-25
  • Jangan Salahkan Aku Selingkuh    Bab 1. Nafkah Dua Puluh Tiga Ribu Lima Ratus.

    Langkahku tertahan dan segera menoleh cepat, saat mendengar suara tegas dari lisan suamiku. Kemudian pandanganku turun ke lembaran rupiah yang baru saja ia letakkan ke atas meja.Aku segera mengambil dan menggenggam lembaran rupiah itu tanpa menghitung jumlahnya terlebih dahulu. Kemudian kembali ke dapur. Paling jumlahnya hanya dua lembar uang sepuluh ribuan dan tiga lembar uang kertas seribuan, pikirku.Tidak pernah lebih atau pun kurang. Entah bagaimana caranya Mas Arya bisa mengumpulkan uang seribuan yang bagi sebagian orang sudah di remehkan, bahkan kalau tercecer tidak lagi di cari dan di anggap penting.Lembaran rupiah itu ia berikan bukan untuk kepentinganku pribadi, melainkan untuk kebutuhan hidup kami sekeluarga.Dua puluh tiga ribu rupiah. Yah..nafkah untuk tiap harinya yang ia berikan kepadaku. Tidak perlu di tanya apakah uang sebanyak itu cukup untuk kami sekeluarga dengan dua anak balita.Aku tidak pernah meminta lebih selama ini, cukup ia memberikan nafkah yang sewajarn

    Terakhir Diperbarui : 2023-10-25

Bab terbaru

  • Jangan Salahkan Aku Selingkuh    Bab 5. Lingerie Siapa?

    Aku tidak punya pilihan, setelah Dokter mengijinkan Rizky pulang.Hingga akhirnya aku menerima tawaran Mas Rian. Di tambah lagi rumah kami yang searah, dan kupikir tidak terlalu merepotkannya."Sudah Mas, kami turun di sini saja!" titahku setelah mobil yang di kendarai Mas Rian hampir memasuki kompleks perumahan kami."Kenapa? Kan masih di depan, sedikit lagi," sahutnya."Tidak usah Mas, kami di sini aja , tinggal beberapa langkah lagi kok," tolakku.Namun, mobil mewah ini tidak juga berhenti. Melihat ekspresi wajah Mas Rian, aku pun tidak ingin mengulangi permintaanku.Hingga akhirnya mobil mewahnya itu berhenti tepat di depan rumah kami."Tidak usah Mas, saya bisa sendiri," tolakku lagi. Aku menahan saat Mas Rian ingin ikut mengantar kami ke dalam rumah. "Pulanglah, Mas sudah banyak membantu kami hari ini. Terima kasih banyak, Mas!" "Entah bagaimana aku hari ini jika tidak ada Mas tadi, sekali lagi makasih ya, Mas," ucapku lirih."Sudah tidak usah berlebihan, aku dan Arya kan bert

  • Jangan Salahkan Aku Selingkuh    Bab 4. Dimana Kamu.

    Setiba di rumah sakit..Aku tidak lagi memperhatikan penampilanku. Tanpa mengganti pakaian terlebih dahulu aku segera menuju ke Rumah sakit. Aroma muntahan Rizky di pakaianku pun tidak lagi kurasakan.Saat Dokter memeriksa, tidak selangkah pun aku jauh darinya. Tangan mungilnya memegang erat jemariku. Sembari menatap lurus wajahnya. Ku seka airmata yang perlahan menetes di pipi ini.Rizky terbaring lemah di saat Mas Arya tidak bersama kami. Hal yang paling aku takutkan selama ini. Tidak hentinya aku meneteskan air mata. Jauh dari keluarga, mungkin itu salah satu yang membuat suasana hati kian memilukan. Setelah menikah aku memutuskan ikut dengan Mas Arya kemana pun ia di pindah tugaskan, termasuk pindah ke kota besar ini. Setelah ku pastikan Rizky terlelap, perlahanku lepaskan jemari mungilnya yang sedari tadi menggenggam jemariku. Aku pun melangkah ke kolidor menuju ruang administrasi. Niatku ingin menanyakan berapa lama lagi Rizky akan di rawat di rumah sakit ini.Aku takut uang y

  • Jangan Salahkan Aku Selingkuh    Bab 3. Kenapa Belum Pulang Mas?

    Seperti yang Mas Arya janjikan malam ini ia akan pulang. Sedari pagi hingga sore, aku sudah berbenah diri. Mulai dari mempersiapkan makan malam, hingga merapikan rumah.Aku tidak tahu pukul berapa tepatnya ia tiba di rumah. Tugasku hanya menyambut dan menciptakan suasana yang tidak membuatnya jengkel.Aku masih terus menunggu sampai mendapat kabar kalau kepulangannya di batalkan.Sudah hampir pukul dua belas malam. Aku gelisah, mengapa Mas Arya tidak menghubungiku kalau ia tidak jadi pulang malam ini. Terlalu malam kalau aku harus pergi ke rumah tetangga dan meminjam handphone untuk menghubungi Mas Arya, benakku.Aku mengerjap saat silau dari luar jendela menembus kedua netraku."Aku tertidur?!" pekikku tersentak sembari berdiri tegak."Aduh! Mas Arya!" spontan aku berlari ke kamar mencari keberadaannya. Kupikir ia sudah pulang."Tidak ada?! Atau.. jangan-jangan Mas Arya sudah pulang dan aku tertidur. Jadi aku tidak mendengar ia mengetuk pintu!" ocehku panik membayangkan kalau Mas A

  • Jangan Salahkan Aku Selingkuh    Bab 2. Mulai Jenuh

    "Dian, semua udah siapkan?" tanya Mas Arya sesaat setelah menginjakkan kaki di teras rumah sepulangnya dari kantor.Aku terperanjat, sebab Mas Arya tidak memberitahu kalau ia akan pulang lebih awal. Sementara jadwal keberangkatannya adalah besok."Be..belum, Mas!" Dian tidak tahu kalau Mas akan berangkat sekarang, kan tadi Mas bilang berangkatnya besok," jawabku."Duh..kamu ini, besok atau hari ini apa bedanya!" kesalnya."I..iya..iya..Mas, Dian segera bereskan!" sahutku dan segera berlari ke kamar mempersiapkan pakaian dan keperluan lainnya sementara Mas Arya pergi mandi."Mas berangkat dulu!" "Iya Mas, hati-hati ya,"Nih.. untuk belanja selama Mas di luar kota," Mas Arya memberikan langsung ke tanganku. Kupikir selama tidak di rumah, ia akan memberikan uang belanja untuk dua hari.Namun tidak, Mas Arya tetap saja memberikan jumlah uang seperti biasanya. Seharusnya ia memberikan dua kali lipat, sebab selama ia pergi tentu saja aku tak bisa meminta. Kali ini kupandangi uang pemberi

  • Jangan Salahkan Aku Selingkuh    Bab 1. Nafkah Dua Puluh Tiga Ribu Lima Ratus.

    Langkahku tertahan dan segera menoleh cepat, saat mendengar suara tegas dari lisan suamiku. Kemudian pandanganku turun ke lembaran rupiah yang baru saja ia letakkan ke atas meja.Aku segera mengambil dan menggenggam lembaran rupiah itu tanpa menghitung jumlahnya terlebih dahulu. Kemudian kembali ke dapur. Paling jumlahnya hanya dua lembar uang sepuluh ribuan dan tiga lembar uang kertas seribuan, pikirku.Tidak pernah lebih atau pun kurang. Entah bagaimana caranya Mas Arya bisa mengumpulkan uang seribuan yang bagi sebagian orang sudah di remehkan, bahkan kalau tercecer tidak lagi di cari dan di anggap penting.Lembaran rupiah itu ia berikan bukan untuk kepentinganku pribadi, melainkan untuk kebutuhan hidup kami sekeluarga.Dua puluh tiga ribu rupiah. Yah..nafkah untuk tiap harinya yang ia berikan kepadaku. Tidak perlu di tanya apakah uang sebanyak itu cukup untuk kami sekeluarga dengan dua anak balita.Aku tidak pernah meminta lebih selama ini, cukup ia memberikan nafkah yang sewajarn

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status