Bab 31
Alin melempar begitu saja kartu nama pemberian dari Farhan tadi di tong sampah dekat kitchen. Sudah ada puluhan kartu nama yang berakhir di sana selama enam bulan terakhir. Sejak ia berubah menjadi semakin glowing. Siapa yang tidak tergoda pada wanita cantik, mandiri, dan pemilik toko kue serta kafe yang ramai.“Nona Bintang, apa kedepannya saya katakan saja jika anda tidak di sini. Anda pasti merasa terganggu kan?” ucap waiters yang tadi bersamanya menemui Aldi dan teman-temannya, merasa tak enak hati.Alin tersenyum pada gadis yang menjadi bawahannya itu,”Tidak apa. Lanjutkan saja pekerjaanmu.”Pukul 10 malam, kafe sebentar lagi tutup. Setelan meting sebentar dengan karyawannya, Alin bergegas pulang. Ia menyambar tas bahu dan mengambil kunci mobilnya, lalu berjalan ke luar. Ia di buat terkejut oleh suara yang sangat ia kenal. Siapa lagi kalau bukan Aldi. Pria itu menyapa dan dengan tidak tau malunya bertanya. Tetapi, memang inilah yang Alin harapkan. AldiBab 32"Jadi, ini toko kue mu, Lin?"Alin menoleh pada pria yang kini berdiri di belakang tubuhnya yang sedang menata kue di display."Apa yang kamu lakukan di sini, Aldi?" Alin bertanya dengan datar. Lalu acuh kembali pada kesibukannya membantu seorang waiter menatap kue di display."Jadi, tadi aku lewat sini, melihat namanya mengingatkanku pada mu."Alin tak menggubris walau sudut bibirnya sempat terangkat, ia tetap berpura-pura tak perduli."Sebenarnya, sudah sejak lama aku memperhatikan toko ini. Ramai sekali! Melihatmu ada di sini dan melihat namanya. Aku yakin ini milikmu. Rasa kue di sini pasti tidak di ragukan lagi." Aldi terus mengoceh meski Alin tak menanggapi."Jadi," ucap Alin menoleh dan memiringkan tubuhnya menghadap Aldi."kamu memari karena nama atau rasa?" Tanyanya dengan mata yang menatap wajah Aldi."Dua duanya. Aku tau bagaimana rasa kue yang kamu buat sangat menakjubkan. Dan aku sangat berharap bisa bertemu denganmu di sini. Dan lihat!? Harapanku terkabul.""Selama
Bab 33Alin duduk di depan meja riasnya. Memandang wajahnya yang terpantul di cermin. Ia baru saja selesai mandi, tubuhnya bahkan masih berbalut bathrobe dan rambutnya terbungkus handuk. Alin menyentuh bibirnya yang sedikit bengkak. Terbayang di kepalanya, saat Noah menciumnya dengan sangat lama dan lembut. Walau Alin sudah menutup hatinya. Tetapi, ada rasa yang tiba-tiba menyeruak ke dalam hatinya. "Alin, sadarlah, kamu nggak boleh terbawa perasaan. Dia membutuhkan tubuhmu, dan kamu membutuhkan uangnya. Hubungan ini hanya tentang saling menguntungkan. Nantinya juga kalian akan berpisah. Jangan gunakan perasaanmu." Alin bergumam pada dirinya sendiri.Alin menarik nafas dalam dan menghembuskan. Ia menarik laci barisan kedua dari meja riasnya. Mengambil surat perjanjian pra nikahnya dengan Noah. "Sampai detik ini, sudah banyak yang dia beri. Tapi, dia juga belum mengambil apa pun. Aku takut, dia akan menuntutnya di masa depan." Alin bergumam lirih. Ia berdiri da
"Mas Aldi ngapain sih? Nerima telpon kok lama banget," gerutu Melin celingukan. Ia memesan makanan terlebih dahulu untuk dirinya sendiri.Setengah jam berlalu, Melin gelisah karena Aldi tak kunjung menghampirinya. Pesan yang ia kirim beberapa menit yang lalu juga belum di baca. Ia pun mencoba menghubungi melalui telpon. "Sibuk lagi, masa dari tadi nggak kelar-kelar sih!? Apa sih yang di obroli?" Timbul rasa curiga di hati Melin. Secara logika, tak mungkin bos menghubungi by phone sampai selama ini dan di jam malam. Membayangkan dirinya diselingkuhi dan dikhianati, darah Melin mendidih. Tangan wanita itu mengepal kuat."Awas saja, Mas, kalau kamu sampai selingkuh dariku." Melin bergumam pelan dengan mata merah dan tangan yang mengepal.Sementara itu, Aldi masih menyetir sambil melihat ke kiri dan ke kanan. Mencari mobil coklat yang dulu pernah ia lihat di bawa Alin. "Di mana sih?" Gumamnya melihat ke sekitar. "Aku udah bolak balik di sekitar jalan ini, tapi
Bab 35Mata Melin membulat dan hampir keluar dari tempatnya. Bibir mengerucut dan wajah yang memerah oleh amarah yang sejak tadi tertahan."Dari mana saja kamu, Mas?" todong Melin bercekak pinggang."Mas kan udah bilang tadi, mas terima telpon dari bos." Aldi mencoba memberi alasan.Melin tertawa sumbang,"bos?""Berikan hp mu, Mas!" Melin menengadahkan tangan.Aldi yang sudah lelah hanya melewati Melin begitu saja masuk ke dalam rumah."Mas! Berikan hape mu!" Suara Melin meninggi sambil berbalik mengikuti Aldi.Aldi merasa lelah karena sedari tadi mencari Alin. Rasa dongkol yang tadi hilang, kini muncul tiba-tiba bersama dengan rasa lapar yang mendera. Di tambah, Melin yang tak henti memberondong dengan kalimat menuduhnya, semakin membuat Aldi meradang.Brak! Prang!Aldi mengambil vas di samping bufet dan melemparkannya ke arah deretan foto keluarga yang terpajang di dinding. Hingga menimbulkan bunyi yang nyaring dan berdentang, membuat Melin
Bab 36"Dari mana kamu dapatkan foto itu?""Siapa dia, Mas?"Aldi menghela nafas panjang,"bukan siapa-siapa, Mel. Sekarang katakan dari mana kamu mendapatkan foto itu?" tanya Aldi mencoba sabar. Ia harus tau siapa yang mencoba menyiram bara api cemburu di hati Melin yang sempat tenang."Bukan siapa-siapa? Yakin bukan siapa-siapa?" tuntut Melin dengan tatapan yang masih tajam."Kami hanya bertabrakan dan mas cuma menyampaikan maaf padanya," elak Aldi berbohong.Melin tertawa hambar, "maaf? Tapi Mas terlihat begitu senang.""Lalu Mas harus berekspresi seperti apa? Marah begitu? Di sini Mas yang sudah menabraknya, dan Mas hanya mencoba bersikap ramah," ujar Aldi terus berkelit."kalau kamu masih saja curiga dan bersikap seperti ini, terpaksa mas lakukan apa yang kamu tuduhkan itu!" lanjutnya mengancam.Mulut Melin membulat tak percaya,"Ooohh, jadi mas ngancem sekarang?" "Jangan curigai Mas kalau nggak ingin mas lakukan yang kamu tuduhkan itu!" Tegas
Bab 37"Terima kasih ya, karena udah menjemputku. Mobilku sedang di pinjam teman dan dia belum kembali," ucap Alin sembari melirik ke sepion. Walau tak terlalu terlihat olehnya. Tetapi ia sangat yakin Melin melihat mobil Aldi membawanya. "Enggak masalah, mas seneng bisa membantu kamu, Lin," sahut Aldi tersenyum sambil sedikit menoleh ke arah Alin sebentar, lalu kembali melihat ke depan."Ooh iya, kita mau kemana, nih?""Pulang aja, Al.""Ke apartemen seruni?"Alin tercekat, menatap Aldi dalam diam. Walau Noah pernah mengatakan kemungkinan Aldi akan tau sendiri di mana dirinya tinggal. "Uumm, aku, pernah melihatmu masuk ke komplek apartemen itu. Kupikir di sana kamu tinggal sekarang." Aldi menjadi salah tingkah karena Alin yang diam menatapnya. Hanya itu yang bisa coba ia kelit saat ini. Tak mungkin ia jujur dengan berkata sudah mengikutinya selama beberapa hari hanya untuk tau di mana sang mantan istri tinggal."Ooohh, begitu," ujar Alin tersenyum kecut.
Bab 38"Mas capek, mas nggak ada tenaga untuk bertengkar denganmu, Mel." Aldi melewati begitu saja Melin yang berdiri dengan tangan yang terlipat di dada.Amarah sudah memenuhi dadanya, Melin menarik lengan Aldi dengan kasar dan memaksanya berbalik berhadapan dengannya."Capek? Apa mas pikir aku nggak capek nungguin mas di sini?""Siapa juga yang nyuruh kamu nunggu Mel? Biasanya juga kamu udah tidur," kilah Aldi menarik balik tangannya dan melanjutkan langkah."Mas!"Melin yang belum puas menyusul Aldi ke kamar, dan terus melontarkan pertanyaan yang membuat Aldi semakin gerah dan jengah. Aldi mencoba tidak perduli dan berbaring, nyatanya Melin terus saja menyerangnya. Sampai Aldi kehabisan kesabaran."Cukup! Melin! Cukup! Mas jadi malas pulang kalau kamu seperti ini. Menuduh mas tanpa bukti dan terus menyudutkan mas! Maaf saja, maaf saja kalau mas benar-benar akan melakukannya," tukas Aldi kesal bangkit, mengambil bantal, dan selimut lalu berjalan ke luar
Bab 39"Mau ke mana mas Aldi?" Gumam Melin mengikuti Aldi yang telah pulang dari kantor. Sudah satu jam lamanya, Melin menunggu Aldi di parkiran karena suaminya itu sedang ada meet up dengan beberapa relasinya. Sebagai seorang manager, ia harus bisa menjilat beberapa orang penting agar mudah untuk naik pangkat nantinya. Aldi memang mengincar sebagai manager yang kepala manager di pabrik tempatnya bekerja. Saat ini ia masih menjabat sebagai manager produksi.Setelah melihat Aldi keluar dari kantor, Melin bergegas melakukan penyamaran dan menggunakan ojek yang kebetulan mangkal di sekitar pabrik. Ia sengaja meninggalkan motornya agar Aldi tak mengenali atau pun melihat motornya mengikuti.Mobil Aldi berbelok di resto Langit milik Alin. Setelah memastikan Aldi masuk, Melin pun ikut mengendap dengan hati yang terus bertanya-tanya. Tanpa ia tau, dari lantai tiga, Alin tersenyum melihat Melin yang membuntuti Aldi masuk ke restonya."Baiklah, sepertinya kamu sudah menemukan petunjuk dariku.
"Noah?" "Noah." Noah baru saja memasuki kamar, tertegun melihat Alin memanggil namanya. lekas ia datang mendekat. "Sayang!?" Noah menggenggam tangan istrinya. "Aku di sini," tanyanya duduk di bibir ranjang."Apa yang kamu rasakan?" "Noah, aku... aku merasa kotor." Noah menatap istrinya sendu. "Jangan katakan itu. jika kotor, kita bisa membersihkannya." "Tapi..." "ssttt!" Noah menempelkan jari di bibir Alin. "Aku akan memandikanmu nanti, tapi, aku lapar, ayo kita makan dulu, hum?" Noah menggendong Alin keluar kamar, membawanya sampai ke dapur lalu mendudukkan di kursi bar. "Kita lihat ada apa di sini," cetusnya membuka kulkas. "Hmm, cuma ada telur, keju, dan roti tawar. Apa kita buat roti bakar saja?" usulnya menoleh pada Alin. "Aku ingin mandi Noah," ucap Alin lirih. "Iya, nanti aku mandikan," balas Noah mencoba terlihat acuh walau sebenarnya hati pria ini sudah sangat remuk. "Kita makan dulu. Setelah makan, aku janji akan membersihkan mu sampai benar-benar ber
Mata Noah tajam terarah. Bahkan bola mata yang kini di selimuti amarah itu hampir keluar dari rongganya. "Serahkan padaku.""Aku harus menyelesaikannya sendiri, Bin."Robin menggeleng, "tidak, serahkan padaku.""Kau mau aku diam saja saat istriku mendapat pelecehan seperti ini?"Robin diam, memilih kata yang tepat agar sedikit mengurangi amarah di dada Noah saat ini."Tidak, tentu saja tidak. Kamu harus lebih bisa menenangkan Alin. Saat ini ia membutuhkan dirimu. Masalah yang lain, serahkan padaku. Aku percaya padaku, kan?" Robin menatap Noah bersungguh-sungguh.Sedangkan Noah menatap dengan amarah yang berkobar di matanya."Bagaimana jika dia bangun dan mendapati dirimu tak ada di sisi. Saat ini, dia membutuhkanmu, bukan aku. Atau kamu memang lebih rela aku yang menenangkannya dalam pelukan ini?"Noah mencengkram kerah depan baju Robin. Dan itu berhasil membuat Robin tersenyum."Jadi, biarkan kami yang selesaikan. Kamu cukup terima laporan dari kami saja. Akan kami selesaikan dengan
"Kenapa kamu tinggalkan Alin sama Tasya aja?" Noah berteriak penuh emosi karena orangnya malah sangat teledor meninggalkan dua wanita saat Alin jelas dalam incaran."Maaf, saya sudah meninggalkan beberapa orang juga di sana."Ricky menjawab penuh sesal, di wajahnya sudah membekas lebam oleh pukulan Noah tadi."Lalu bagaimana bisa Alin sampai diculik!? Bagaimana kalian bekerja? Hah?""Maaf, Tuan." "Haahh!" Noah menendang jog belakang di depannya. Marah, marah, dan amarah itu terus menjilati dirinya. "Jika sampai terjadi hal buruk padanya, habis kalian semua!""Tenanglah!" ucap Robin yang menyetir di depan melihat Noah sedari tadi hanya marah-marah dan mengamuk."Kita sudah dapat lokasinya. Jangan habiskan tenagamu untuk mengamuk di sini."Noah berdecak kesal, tangan itu terus mengepal dan wajah yang semakin mengeras. Dalam pikirannya Alin kini sedang ketakutan. Pikiran buruk terus berkelebat mencemaskan wanitanya."Aku bersumpah, ta
"Tolong siapkan untuk meja nomor lima. Yang ini sedikit spesial ya, pesanan khusus." Alin memberi instruksi pada koki di dapur restonya. "Baik, Bu.""Dan untuk ruang VIP satu. Sudah dibooking oleh Mr. Marvin untuk meting nanti malam.""Baik."Setelah memberi beberapa arahan dan mengecek laporan, Alin melangkah keluar dari restonya. Di belakangnya beberapa orang tampak mengikuti. Merasa diikuti, Alin menoleh. Terkejut karena orang-orang itu mendorong tubuhnya kedepan. "A-apa yang kalian lakukan!?" Serunya. "Ikut kami," ujar seorang berbadan besar yang paling dekat dengannya dan menahan lengan wanita cantik itu."Le-lepas!" Dengan gemetar Alin mencoba berontak dan meloloskan diri."Si-siapa kalian? Lepaskan aku!" lontarnya dengan terbata.Lelaki itu tersenyum tipis, semakin menarik tubuh Alin."Ikut saja jika tak ingin kami bertindak lebih kasar di sini."Mata Alin bergerak liar, mencari siapa saja yang bisa dimintai bantuan. Namun, sekitar serasa sepi dan tak banyak orang melintas
Di lorong depan pintu apartemen Alin, tampak tiga orang preman tengah berkelahi dengan seorang pria dan wanita. ketiganya tampak kuwalahan meskipun memiliki badan lebih besar karna kelincahan sepasang pria dan wanita yang tiba-tiba mengganggu pekerjaan mereka. kedua orang itu adalah bodyguard Alin itu. Tasya dan Ricky."Siapa kalian? kenapa mengganggu pekerjaan kami?!"Ricky tertawa mencemooh,"Pekerjaan kalian, mengganggu pekerjaan kami!" cetusnya memasang kuda-kuda, saling melindungi punggung dengan membelakangi rekan kerjanya."Siapa yang menyuruh kalian?""Bukan urusan mu!" sentak salah satu preman itu menyerang. Dengan gesit, Ricky dan Tasya membalas.Ketiga preman itu memang hanya badannya saja yang besar. Namun, kalah oleh kegesitan dan teknik yang Ricki dan Tasya punya. Tiba-tiba saja, dari ujung lorong, Noah muncul. terkejut melihat kedua bodyguard Alin sedang bertarung melawan tiga preman. Ia ikut menerjang, memanjangkan kaki mengenai bagian vital salah satu preman tersebut. H
Bab 52Melin terduduk lemas menyenderkan tubuhnya di ruangan kepala bagian. Wajahnya masih tak percaya dan matanya bergarak liar tak terima dengan apa yang baru saja ia dengar.“A-apa maksud bapak?” meminta penjelasan.“Seperti yang sudah saya utarakan tadi, Melin. Kamu mendapat peringatan sebelumnya tentang kedislipinan. Tetapi, kamu berulang kali bahkan seperti menganggapnya sepele. Aku tau suamimu adalah seorang manager juga. Apa karena itu juga kamu jadi berani seperti ini?”“Ti-tidak pak. Saya memang sedang dalam kondisi yang rumit.” Melin mencoba memberi penjelasan dan alasan.“Maaf, ini sudah keputusan semua orang. Ini surat pemecatanmu,” ucap Pak kepala bagian seraya menyerahkan surat pada Melin.“Ta-tapi pak.” Melin menggeleng kuat tak terima, berharap masih memiliki kesampatan berikutnya. Tetapi, melihat gelagat atasannya itu, Melin tau harapan tinggallah harapan.“Maaf, Melin. Ini sudah keputusan final. Pesangonmu, mintalah pada bagian HRD.”*Brak!Aldi terperanjat melihat
Bab 51“Apa dia masih di sana?” bisik Alin dengan mata sayu. Wajah lelaki yang hanya berjarak beberpa centi saja darinya.Noah yang masih memeluk pinggang Alin melirik ke bawah sana. Di mana Aldi masih terlihat mematung dengan seorang balita dalam pangkuan.“Masih,” jawab Noah berganti melihat Alin yang membelakangi dinding kaca. Menautkan lagi bibirnya dengan milik Alin. Sementara itu, di bawah sana, Aldi masih memandang mantan istrinya sedang berciuman mesra dengan seorang lelaki. Ia tak tau siapa lelaki itu karena wajahnya tertutup kepala Alin yang membelakanginya. “Siapa dia? Aku tau Alin belum menikah, lalu apa pria itu pacarnya?” Aldi bermonolog tanpa melepaskan pandngannya dari dua sejoli di lantai tiga itu. Tentu saja, dari jarak setinggi itu, Aldi tak bisa melihat dengan jelas siapa lelaki yang tengah berciuman dengan mantan istrinya.“Sudahlah, untuk apa aku terus melihat mereka, bikin hatiku panas saja,” gumam Aldi terus merasakan nyeri di dada. Kebetulan, saat itu Melki
Bab 50“Kenapa pak Aldi gegabah menceraikan ibuk?” Anis yang sedari tadi merasa tak enak dan tak nyaman karena pergi dengan majikan prianya terus merasa berslah pada Melin.“Kamu nggak usah ikut campur urusan saya! Tugas kamu, mengasuh Melki. Ngerti?”“Maaf, pak.” Anis pun sebenarnya merasa sudah lancing mengatakan hal itu. Tetapi, ia sendiri merasa kasihan pada Melin juga pada Melki. Karena keegoisan majikannya, bocah itu tak merasakan kasih sayang yang utuh.*“Kamu pulanglah dulu, Nis. Aku masih ada urusan dan nggak bisa membawa kamu serta,” ucap Aldi setelah mereka selesai membeli kebutuhan Melki. “Melki biar sama aku, kamu beli lah apa pun atau jalan-jalan dulu jika malas pulang dan ketemu Melin,” sambung Aldi mengangsurkan lembaran uang pada Anis. Anis terlihat keberatan berpisah dengan Melki. Tetapi, gadis itu juga tak punya hak apa pun untuk menyampaikan keberatannya. Bagi gadis itu, Melki sudah menjadi bagian dari hidupnya, hingga saat mer
Bab 49“Suruh wanita itu keluar!”Alin yang baru saja sampai di resto, langsung bisa melihat keributan di sana. Bahkan suara Melin pun terdengar sampai di telinga Alin yang baru keluar dari mobil.“Siapa yang kau suruh keluar, Mel?”Seketika Melin yang sdang marah itu menoleh ke arah pintu masuk. Mendapati Alin di sana darahnya mendidih, sekonyong-konyong mendekat dengan tangan terulur. Alin reflek menangkap tangan itu, dan mendorongnya.“Jangan sampai aku melaporkanmu atas tuduhan penyerangan, Mel! Lihatlah berapa banyak orang yang bisa menjadi saksi di sini!” tukas Alin mendelik tajam pada Melin yang menahan amarah hingga tampak deretan giginya yang putih dan bergemeletuk.“Kau! Jalang sialan! Di mana kau sembunyikan suamiku?”“Sembunyikan bagaimana? Pria dewasa sebesar itu bagaimana aku menyembunyikannya. Harusnya kau gunakan akal sehatmu dan bertanya padanya! Bukan padaku!” hardik Alin tak kalah keras.“Dia tidak pulang semalam,”“Lalu apa urusannya denganku?”“Kau pasti mempenga