Beberapa hari kemudian, baru saja aku mengijakkan kaki di depan pintu gerbang kampusku sudah ada yang berteriak memanggilku, mereka setengah mencemaskanku. Setengah berlari Widya dan Cinthya menghampiriku. Ternyata, mereka sudah lama menunggu kehadiranku. Demi ingin menemuiku, mereka bersedia datang lebih pagi dari biasanya.
“Hai Ana… lama amat sih kamu datangnya. Aku dan Cinthya sudah tak sabar menungggumu dari tadi. Demi kamu, kami rela berdiri hampir satu jam di bawah pohon Akasia itu,” ujar Widya sesampainya dia di sisiku.
“Iya Ana, sebel deh menunggumu. Pekerjaan menunggu itu paling tidak mengenakkan, menyebalkan tau…!” timpal Cinthya.
“Eh, kalian saja yang datangnya kepagian kali. Emangnya ada apa yang membuat kalian rela menjadi satpam kampus begitu, hah?” sambutku bercanda.
Widya maupun Cinthya tidak hiraukan gurauanku. Mereka serius ingin menyampaikan kabar buruk padaku.
“Gawat, Na! Kamu sekarang sudah masuk bursa gosip.”
“Nah, bukannya kamu ini Widya yang menjadi biangnya gosip?”
“Benar Na, yang dikatakan Widya… swear…” sambung Cinthya.
“Sudah jangan bercanda!!! Persoalannya kini, ada yang merasa terusik olehmu,” tanpa memperhatikan gurauanku, Widya setengah memaksa menggiringku ke bangku yang berada di bawah pohon Tiara Payung, tepatnya di halaman depan kampus di samping tempat parkir. “Benar, Na… Orang-orang sudah mulai menggosipin kencanmu dengan Aditya di perpustakaan itu loh… Mereka merasa iri dan banyak yang bilang macam-macam tentang dirimu. Aku dan Cinthya begitu mencemaskanmu. Kemarin, ketika aku sedang makan bakso di Cafetaria, aku dengar langsung, Dea, Anggi dan Donna anak sastra biang resek itu sedang membicarakanmu. Mereka merasa tak senang kamu menjalin hubungan dengan Aditya. Tentunya aku sebagai sahabatmu tidak rela dengar kamu dijelek-jelekkan. Apalagi kini mereka sedang cari-cari dirimu. Katanya sih mau membuat perhitungan dengan dirimu.”
Aku menjadi terperangah dengar kabar tak sedap dari Widya.
“Lho, apa salahku pada mereka? Aku tak merasa mengganggu atau mengambil sesuatu dari mereka, mengapa mereka sewot seperti cina kebakaran jenggot begitu sih?” sergahku. Aku menjadi tak habis pikir dengar kabar dari Widya dan Cinthya.
“Masalahnya, mereka menuduhmu telah mengguna-gunai Aditya, agar Aditya takhluk dipelukkanmu gitu,” ujar Cinthya.
Dengar tutur kata Widya maupun Cinthya, membuat aku menggeleng-gelengkan kepala, “Amit-amit jabang bayi, kok kampungan sekali sih mereka. Sembarangan menuduh aku pakai klenik segala. Sebagai mahasiswa, seharusnya mereka tidak berpikiran sempit begitu. “
“Ya, begitulah kenyataannya sekarang para mahasiswa selalu bicara dan berbuat tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Tetapi yang ingin aku tanyakan padamu, apa benar kamu mulai menjalin hubungan dengan Aditya?” selidik Widya.
“Ngaco kali mereka Wid. Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Aditya. Hanya kebetulan saja aku ketemu Aditya di perpustakaan. Dan kebetulan juga buku yang sedang kucari-cari ada di tangannya. Wajarkan aku meminjam buku itu padanya. Hanya sebatas itu hubunganku dengan Aditya, tak lebih,” sergahku meyakinkan Widya maupun Cinthya.
“Tapi mereka mengatakan hubungan kalian begitu mesra. Apalagi mereka melihat sekeluar kalian dari perpustakaan itu menunjukkan kedekatan yang intim sekali, Na… Bahkan ada segelincir mahasiswi menudingmu pakai pelet segala,” kejar Widya menyelidik.
“ Masa bodohlah Wid dengan pendapat orang tentang kami. Aku tak berani berspikulasi tentang hubunganku dengan Aditya. Terlalu prematur untuk dibahas sekarang. Kalau orang mengatakan aku pakai pelet segala, itu berarti dirinya tidak layak menjadi mahasiswi USU. Cocoknya dia jadi paranormal saja, ya-nggak Wid?” jawabku, sembari menepuk-nepuk bahu Widya yang masih penasaran. Widya pun menjadi tersenyum kecut dengar banyolanku. Lanjutku, “Oke Wid, Cinthya terima kasih atas pemberitahuanmu ini. Tapi jangan mudah percaya oleh omongan orang, kalau belum tentu kebenarannya. Nah, biarkan saja kalau anak resek itu ingin buat persoalan denganku, aku tak takut kok.”
Widya mengernyitkan dahinya. Tangannyapun menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, dia begitu penasaran. “Tapi yang aku herankan padamu, ternyata kamu begitu mudah mendapatkan simpati cowok, apalagi kini Aditya lagi… Bagaimana sih caranya Na? Kamu itu, kalau punya ilmu tolong berbagi dong dikit padaku. Aku tak peduli ilmu putih kek atau ilmu hitam kek, yang penting aku ingin sekali sepertimu, gitu loh… Kamu nggak keberatan kan berbagi denganku…?” ujar Widya, sembari cengengesan.
“Iya Na, aku pun mau,” sambung Cinthya.
Aku pun menjadi tersenyum lihat tingkah Widya dan Cinthya.” Nggak ada itu istilah ilmu hitam atau ilmu putih dalam kamusku Wid…Cinthya… Nah, agar kalian tidak penasaran. Resep untuk mendapatkan kekasih atau apapun namanya, maka pertama-tama, kalian itu harus jadi diri sendiri. Kedua, Kalian harus mampu menunjukkan kelebihan yang menjadi kekuatan karakter diri kalian. Dan ketiga, kalian harus gaul gitu…”
“Oh… hanya sebegitu sajanya ilmu untuk menundukkan hati orang!!!” sela Widya tidak percaya.
“Oyalah…” sahutku singkat.
“Ah, aku ragu atas pendapatmu ini Ana… Bagi cewek seperti kita-kita ini, senjata utama untuk menarik dan menakhlukkan kaum cowok, bukannya kecantikan Ana?” komentar Widya mempertanyakan pendapatku.
“Aku pun sependapat dengan Widya, bagi kita memang kecantikan menjadi hal utama. Agar bisa menjadi cantik dan sempurna, bukankah kita rela mengeluarkan duit untuk ke salon, bahkan operasi plastik bila perlu dan memungkinkan, bukankah begitu…?” sambung Cinthya.
Aku menjadi kasihan juga pada sobat karibku Widya dan Cinthya yang selalu dihinggap rasa tidak percaya diri. Mereka berdua terjebak pandangan yang keliru, yang selalu membuat diri menjadi bete teruuus…
“Nah, kalian ini jangan terpengaruh terhadap stigma kecantikan seorang wanita sebagai daya pikat utama. Kecantikan itu sifatnya relatif loh Widya, Cinthya… Kecantikan di mata orang itu berbeda-beda. Memang tidak dapat dipungkiri kecantikan itu perlu, tetapi yang utama adalah kekuatan karakter yang kita miliki, sebagai ciri khas pribadi kita yang dapat mempengaruhi cara pandang orang lain terhadap diri kita.”
“Kelebihan seperti pasang susuk, pelet atau ajian begitu menurutmu Ana?” potong Widya.
“Jangan pendek pikir begitulah kamu, Wid… Itu pendapat umum masyarakat awam untuk mencari kompensasi penampilan diri. Jangan kamu jejali otakmu dengan stigma yang merendahkan statusmu itu Widya. Lihatlah sekarang ini menjamur kursus-kursus kepribadian, sebagai tempat rujukan orang untuk menemukan kekuatan karakter dirinya. Tetapi tanpa kursus pun kita sebenarnya dapat menemukan kekuatan karakter kita sendiri, asal kita mau mempelajarinya, Widya.”
“Caranya bagaimana Ana, aku semakin tidak mengerti?” tanya Widya mulai tertarik.
“Mudah kok, tinggal mempelajari kelebihan diri kita yang menonjol dan bagaimana kita mampu mengaktualisasikannya saja… Begitu juga, jangan lupa kamu harus menguasai seni bergaul.”
“Sesimpel itu Na?” timpal Cinthya.
“Ya, iyalah… Apa lagi? Yang penting kita harus yakin, Wid…Cinthya.”
“Oke Ana, aku akan berusaha mempelajari petunjukmu ini Ana. Tapi awas kalau petunjukmu ini malah menyesatkanku!” Sahut Widya, sembari tersenyum. Tapi tiba-tiba dia mengernyitkan keningnya kembali. Dia ingin menguji kebenaran dari pernyataanku, ”Oya Na, apa memang benar ketiga resep ini yang kamu gunakan untuk mendapatkan simpati Aditya?”
“Apa betul resepmu itu Ana? Kalau aku perhatikan dirimu memang sangat ideal, cantik dan gaul, sehingga para cowok mudah jatuh hati padamu,” sambung Cinthya tidak mau kalah untuk berargumentasi.
Aku pun menjadi menggeleng-gelengkan kepala kembali dan tersenyum melihat Widya maupun Cinthya. “Aditya…Aditya lagi yang ada dibenakmu Wid. Apa tidak ada hal lain yang lebih menarik lagi untuk dibicarakan Widya? Begitu juga denganmu Cinthya, mengapa dirimu tidak PD juga. Percuma kalian menjadi anak Psikologi…”
“Alaa jangan kamu bawa-bawalah masalah jurusan kita segala. Toh, pengetahuan praktis begini kan tidak didapat diperkuliahan, Na…” potong Widya. Lalu lanjutnya,“ Mengapa kamu tidak jujur saja Ana pada kami?”
“Oke Widya, Cinthya aku katakan sejujurnya, sebagai wanita aku tidak ingin menjatuhkan harga diriku hanya untuk mengejar cowok. Walau terhadap Aditya sekalipun. Memang aku akui Aditya itu figur mahasiswa ideal, sehingga banyak mahasiswi tergila-gila olehnya. Walaupun demikian aku tetap berprinsip biarkan cowok yang mendekati kita karena ada pesona dan kekuatan yang menonjol muncul dari diri kita. Dengan demikian harga diri kita cukup terpelihara dengan baik, sehingga kita selalu dihargai dan dihormati. Kalau kita yang pertama tertarik padanya, maka kita boleh mendekatinya, tapi jangan tampilkan sikap seolah-olah kita yang mengejar-ngejarnya. ”
“Jadi kamu tidak tertarik dengan Aditya itu Ana?” sambung Cinthya.
“Masalah tertarik atau tidak, hanya hatiku saja yang tau Cinthya. Aku akan tetap bersikap yang sama dengan semua cowok. Biarkan waktu nanti yang bicara Cinthya, Widya…” Aku sengaja menyembunyikan perasaanku yang sesungguhnya terhadap Aditya. Jika aku ungkapkan kepada semua orang isi hatiku ini, bisa rusak reputasiku dan bisa jadi bahan gosip sungguhan lagi.
Ketika aku, Cinthya dan Widya asyik mengobrol, tiba-tiba muncul mobil Nissan Terrano warna coklat metalik berdenyit berhenti di hadapan kami. Dengan arogannya pengemudi mobil itu keluar. Mereka sungguh angkuh. Ternyata mereka adalah Dea, Anggi dan Donna. Mereka langsung menghampiri kami dengan pongahnya. Terutama Dea, sang primadona mereka.
“Apa kan yang aku bilang Ana? Mereka begitu penasaran padamu,” ujar Widya dengan nada kecut.“Iya Na… mereka bukan main-main,” bisik Cinthya.“Sudahlah kamu tenang saja, Wid…Cinthya… Akan aku hadapi mereka apapun maunya,” sahutku ringan.“Hai, perempuan gatal aku peringatkan padamu ya. Jangan coba-coba kamu merayu Aditya, ngerti!!!” hardik Dea, sembari menjatuhkan telunjuknya ke depan keningku.Melihat sikap pongah Dea dkk, membuat darahku mendidih juga. Langsung saja aku tepis tangan Dea yang hampir menyentuh keningku itu. Aku sebenarnya tak sudi dihina sedemikian rupa. Jika aku tidak mampu mengontrol emosiku, jadi apa bedanya aku dengan Dea ini. Maka aku segera berdiri dan bersikap setenang mungkin menghadapi perilaku tidak bersahabat Dea, Anggi dan Donna.“Eh, kalau ada masalah bicara dengan baik-baik secara elegan dan terhormat. Bukan begini caranya! Kalau orang lihat, s
Bayang-bayang keindahan yang aku raih bersama Hermawan seolah-olah kembali berada di pelupuk mata. Saat itu seperti biasanya pada hari Sabtu, Hermawan ditemani Harley Davidsonnya selalu menantiku sepulang sekolah di persimpangan jalan Kartini dan Teuku Cik Ditiro, tak jauh dari sekolahku SMA1. Kebetulan juga, setiap hari Sabtu Hermawan memang libur kerja, sehingga waktu luang tersebut selalu dipergunakan untuk menjemputku.Perkenalanku pun dengan Hermawan bermula oleh faktor kebetulan juga. Saat itu, aku berusia 16 tahun lebih dan duduk di kelas II SMA 1 dan tepatnya pada tahun 1999. Kebetulan saat itu, Hermawan lagi kebingungan di tepi jalan, tepatnya di persimpangan jalan yang sama saat dia rutinitas menungguku. Dia kebingungan menanti dengan harap-harap cemas. Dia menanti adiknya Viola dan kebetulan juga, viola ini temanku sekelas. Saat itu, Viola sudah pergi terlebih dahulu bersama Hendri, pacarnya dengan mencoba mengendarai mobil barunya, mobil Cadilac. Mereka pergi dala
Hermawan masih menyumbar senyumnya, sembari menanyakan kembali kesediaanku. “ Bagaimana Ana?”Aku pun membalas senyuman Hermawan, sembari menganggukkan kepala, setuju atas tawaran yang dia berikan padaku. Hermawan pun langsung menyalakan motor Harley Davidsonnya dan menyerahkan helm padaku. Aku pun tanpa canggung lagi langsung naik di boncengan Harley Davidsonnya Hermawan. Rasanya nyaman sekali duduk di boncengan motor gede ini.Semenjak hari Sabtu itu, maka secara rutin Hermawan menjemputku. Hari-hariku pun aku lalui dengan keceriaan selalu. Hubunganku dengan Hermawan semakin dalam, apalagi mendapat dukungan dari sahabatku sekelas, Viola. Begitu juga, keluarga Hermawan sangat baik padaku. Mereka tidak menghalangi hubunganku dengan Hermawan. Bahkan mereka semua sangat merestui hubunganku dengan Hermawan.Begitu juga, bibiku sangat senang sekali tau aku menjalin hubungan dengan Hermawan yang notabene adalah atasannya di kantor. Bibikulah yang me
“Aku mengerti kekuatiran kalian. Tetapi biarkan saja Gilang ikut. Aku jamin dia tidak berani macam-macam nantinya. Keinginannya untuk ikut serta ini tentu karena didorong kesertaanku juga…Yakinlah Gilang itu sangat menyeganiku,” paparku meyakinkan teman-temanku.“Tapi…,” seru Anjar.“Sudahlah jangan pakai tapi lagi, Anjar… Ingat, jika Gilang tidak kita ikut sertakan, maka bisa saja dia akan menyulitkan pekerjaan ortu kita nantinya. Nah, kita kan menjadi serba salah. Kita tidak punya pilihan, bukan? Oleh karena itu, serahkan semua urusan padaku,” potongku. Aku mengerti Anjar mengkuatirkanku akan diperdaya oleh Gilang. “Yakinlah aku bisa jaga diri kok.”Akhirnya teman-temanku dapat menerima keputusanku, walaupun di hati kecil mereka timbul perasaan was-was. Demi menyenangkan diriku mereka tidak membantahku lagi. Begitu juga, kami tidak menolak tawaran Gilang untuk mempergunakan mobil milikn
Gilang langsung bereaksi menahan langkahku. Entah dia tau atau tidak kalau aku sebenarnya sedang bercanda. “Bukan begitu maksudku Na. Please…! Oke, aku akui aku salah…Aku minta maaf!”“Huuu…” sahutku. Senang juga hatiku dapat mempermainkan Gilang.“Ana maukan kamu berbaikan denganku?”“Oke, aku terima maafmu, tetapi dengan syarat!”“Baik Ana, apapun syarat yang kamu ajukan akan kupenuhi… Tapi jangan yang berat-berat ya…” Gilang melucu.Aku tak kuasa menahan geli mendengar suara Gilang dan mimik wajahnya memelas minta belas kasihan, sehingga aku tertawa. Tak pelak lagi aku menutupi mulutku untuk menahan rasa geliku itu. Memang konyol juga, Gilang ini.“Oke…, oke…, syaratnya kamu tidak boleh macam-macam padaku. Jangan samakan aku dengan gadis-gadis yang telah kamu takhlukkan. Kamu harus dapat menghormatiku. Kalau tidak, aku
“Selamat ya Ana! Kamu lulus menjadi mahasiswi Psikologi USU,” ujarnya, sembari langsung mencengkram jari-jemari tanganku.“Ah masa Gie… Kamu jangan bercanda, ah… nggak lucu tau,” sergahku, sembari cemberut.“Eh, lihat ini nomor 10142 dan namamu Mardiana tertera dengan jelas, berikut jurusannya PSIKOLOGI di lembar pengumuman di koran Kompas ini,” tukas Gilang, sembari mempertunjukkan lembar pengumuman padaku.“Tapi di lembar pengumuman resmi yang dikeluarkan Panitia Seleksi USU ini, namaku tidak tercantum Gie…”“Coba diselusuri namamu sekali lagi dengan teliti,” suruh Gilang. “Ya, terang saja kamu tidak menemukan namamu, pengumuman ini cacat. Bagian yang menerangkan namamu tidak tertera dengan jelas begini. Tapi yang jelas kamu lulus Ana, lihat nomor seleksimu 10142 masih bisa terbaca.”“Oh, syukurlah Gie. Aku tadi sempat frustrasi.&r
Sementara itu di tempat pemondokanku. Pada saat aku sedang bete, maka aku menyibukkan diri dengan membantu Amang boru, induk semangku berberes-beres di dapur. Karena begitu seringnya aku membantu dirinya, sehingga dia sangat menyukai dan menyayangiku. Hal yang tidak aku duga, di saat kami bercanda dia langsung menyodorkan tawaran untuk menjodohkan cucunya dengan diriku.“Ana, sebelum aku mati. Tentu aku akan sangat bahagia sekali, jika dapat melihat dirimu menjadi isteri cucuku yang aku sayangi.”Aku menganggap ucapan induk semangku itu hanya sekedar bercanda, maka akupun menjawabnya secara bercanda juga. “Boleh juga itu Amang boru, kebetulan akupun lagi jomblo ini.”“Apa kamu bilang? Jomblo? Apa pula itu jomblo, aku tidak mengerti apa yang kamu maksud itu, Ana?” tegur induk semangku, sembari mengernyitkan dahi yang memang sudah keriput itu. Dia menjadi penasaran mendengar istilah anak muda zaman sekarang.&
“Hai Rat, tumben kamu pulang kemalaman nih? Habis jalan ya, pedekate dengan Freddy?” godaku, sembari mencubit pinggangnya, saat aku membukakan pintu kamar pemondokan untuknya.“Ya, iyalah… Macam kamu tidak mengerti saja Na. Mumpung masih muda, sekali tiga pulau harus dapat kita lalui, ya-nggak Na? Jangan buku melulu, entar udah tua baru nyesal,” sahut Ratna, sembari bercanda. Lalu Ratna meletakkan buku-bukunya di atas meja belajarnya.“Ya, iyalah… kamu yang bahagia. Tapi aku,” ucapku, sembari menutup daun pintu kamarku.“Eh, emangnya ada apa denganmu Na?” selidik Ratna begitu dengar nada bicaraku agak menurun.“Kamu tau nggak, aku tadi sebel banget dibuat oleh Amangboru.”“Emangnya kenapa?”“ Itu tadi siang, Amang boru kenalkan aku dengan cucunya itu, si Andrew.”“Asyik dong, diperkenalkan dengan calon suami.”“As
Jum’at pagi. Aku pun berkemas-kemas untuk persiapan mengikuti acara family gathering yang diadakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Safira pun bantu aku menyiapkan kebutuhanku untuk mengikuti acara family gathering.“Fira, aku minta kamu ya yang mengurus segala kebutuhan Aditya,” godaku pada Safira, sambil melemparkan pantatku ke sisi tempat tidur. Aku pun memandang Safira yang sedang menata pakaianku ke dalam koper. “Selama aku pergi. Aku serahkan sepenuhnya hak atas Aditya padamu…”“Iya, iya…aku yang melayani Aditya. Semuanya ditanggung beres deh soal itu. Puas kamu?” balas Safira. Dia pun berkacak pinggang, sambil menatapku. Senyum simpul pun menghias wajahnya. Yeah, aku lihat sorot matanya, balas menggodaku. Aku tau apa yang ada di benak Safira. Apalagi kalau bukan keinginannya untuk main enjot-enjotan dengan Aditya.“Ih, itu maumu, bukan?” aku kembali menggodanya, sambil mencekal lengannya
“Ah, sial…!” umpatku dalam perjalanan pulang dari kantor. Pikiranku terus terganggu oleh penampakan batang tongkat Cano tadi. Pemandangan mesum tadi pagi terus menghiasi benak pikiranku. “Memang gila Cano itu, Ah!” gumamku kembali. Jantungku berdetak kencang, hingga arus sirkulasi darahku pun jadi tak terkendali. Kepalaku pun jadi pusing. Apalagi, munculnya kedutan di tengah selangkanganku. Yeah…! Aku tahu berahiku bangkit. Makanya aku ingin cepat sampai di rumah. Aku minta Aditya juga buru-buru pulang. Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin Aditya menetralisir darahku yang bergejolak deras dan sudah memenuhi batang otakku. Dalam perjalanan pun tanganku jadi nakal. Berulang kali, tanganku menyentuh area sensitifku. Aku ingin pelepasan. Untungnya ada suara klakson mobil menyadarkanku, akan bahaya di depanku telah mengintaiku. Aku berusaha menepis pikiran mesum dari benak pikiranku dan fokus menyetir mobil. Sebagai teman perjalanan, aku setel radio F
Wow, ada penampakan…! Bola mataku langsung terbelalak lebar, gitu lihat pemandangan yang luarbiasa ada di hadapanku. Aku pun segera menutup mulutku yang terbuka lebar. Mulutku pun jadi terkunci dan tak bisa berkata sepatah katapun. Malah hatiku tergelitik ingin tahu. Mataku terus ingin lihat pemandangan yang menggetarkan jiwaku itu. Aku lihat tubuh Annya begitu putih mulus dan sempurna bagi seorang cewek. Aku lihat juga Annya begitu menikmati goyangannya. Tangannya pun meremas-remas bukit kembarnya sendiri di antara desah dan deru nafasnya yang meluncur bebas dari bibirnya. Sementara, Cano terus menyemangati Annya untuk terus menggerakkan pinggulnya. Darahku berdesir. Aku pun jadi hanyut ingin menikmati pemandangan yang mengusik berahiku juga. Wajahku jadi merona merah lihat permainan Cano dan Annya. Tubuhku pun jadi panas-dingin. Selangkanganku terasa berdenyut juga. Apalagi aku lihat batang tongkat Cano yang panjang dan besar yang menantang itu. Aku lihat berbeda dengan mil
Cano sudah memperhitungkan salah satu cara untuk bisa dekat dengan Ana. Untuk itu dia bungkus dengan logika yang wajar. Sebagai pimpinan perusahaan yang baru tentu butuh chemistry dengan organisasi perusahaannya. Cano pun ingin menunjukkan bentuk apresiasi kebersamaan dalam perusahaan terhadap para karyawan dan keluarga, maka PT. Camerro Investment Solutions akan mengadakan family gathering. Gathering juga merupakan suatu cara untuk bersama-sama rileks sejenak dari kepadatan rutinitas kerja dan menjalin keakraban satu sama lain sehingga terbangun suasana yang kondusif untuk perusahaan.Untuk mewujudkan rencananya, Cano suruh Annya untuk buat proposal acara Family Gathering. Annya senang hatinya dengar Cano akan mengadakan acara family gathering keluarga besar perusahaan. Artinya, mereka akan bersenang-senang dan dia akan lebih dekat lagi dengan Cano. Annya pun dengan cekatan menyusun proposal yang diminta dengan petunjuk Cano itu sendiri. Tak butuh waktu lama, proposal itu te
Malam itu, Pak Leo Candra dinner di rumah. Dia di dampingi oleh anak dan isterinya untuk menyantap makan malamnya. Momen ini dimanfaatkan oleh Jesica untuk menyampaikan nota protesnya. Sementara, Robert memilih diam dan tidak ikut campur masalah perusahaan. Dia memang awam dengan urusan perusahaan. Bukan passion dia soal perusahaan investasi.“Ayah! Mengapa Mardiana itu ayah bagi saham segala? 7,5 persen itu gak sedikit, Ayah…” seru Jesica “Aku sebagai anak ayah sangat keberatan soal itu.”“Iya Ayah! Aku pun jadi bingung lihat cara ayah memberi apresiasi. Ada apa sebenarnya, Ayah?” celetuk isterinya Pak Leo Candra, sembari makan.“Kalian tau apa tentang perusahaan?!” tukas Pak Leo Candra dengan dingin. “Asal kalian tau, pencapaian perusahaan sampai saat ini. Itu semua atas dedikasi kerja dia yang all out.”“Tapi yang bekerja kan bukan dia saja, Ayah. Banyak yang memberi andil…
Yeah…! Siang itu, ada yang merasa bersalah, setelah mengayuh biduk kenikmatan. Aditya dan Safira sudah kembali ke rumah. Aku menyambut kedatangan mereka berdua. Aku langsung memeluk Safira, sambil mencubit pinggangnya. Aditya pun membiarkan aku dan Safira saling berpelukan.“Gimana, seru gak tadi malam?!” bisikku menggoda.Tentu Safira tahu, kalau aku menggodanya telah melewatkan malam pertamanya itu. Wajahnya merona merah. Safira pun melontarkan senyum bahagianya dan memelukku erat-erat. Dia ciuminya pipiku.“Dahsyat! Makasih ya Ana,” bisik balik Safira. “Kamu telah membuatnya serba indah. Aku suka itu.”Aditya tersenyum kecut, curi dengar gurauanku. Dia jengah juga dengan godaanku. Apalagi dia terbayang apa yang telah dia dan Safira lakukan untuk melewatkan malam pertamanya itu. Siapa gak jengah, kalau kedua isteri sendiri yang bahas soal kehebohan senggama dirinya.“Ehem…enak dikau, tegang
Bagi orang yang menikah, tentu yang dinanti-nantikan adalah soal malam pertama. Malam pertama itu begitu sakral. Gimana pengantin baru melewati malam pertamanya? Apakah biasa-biasa saja, atau ingin dapat moment indah yang dapat dikenang seumur hidup? Sudah tentu, aku tidak biarkan Aditya dan Safira melewatkan malam pertamanya dengan biasa-biasa saja dan berlalu tanpa kesan. Aku sudah siapkan tempat istimewa buat mereka. Untuk itu, aku telah booking kamar unique suite di Putri Duyung Resort. Aku minta pihak wedding organizer untuk mempersiapkan segalanya, termasuk dekorasi tata ruang interior dan eksterior cottage tempat menginap. Aku ingin buat suasana yang berkesan romantis buat Aditya dan Safira. Pilihanku tepat di Putri Duyung Resort. Land scape Putri Duyung Resort begitu mempesona dan menarik sekali. Apalagi posisi tepat antara pemandangan hutan tropis yang teduh dan nyaman di tepi pantai teluk Jakarta yang eksotis dan di pinggir danau Kawasan Taman Impian Jaya Ancol. So pasti,
Sabtu siang itu, aku cukup puas lihat aula kantor urusan agama ramai oleh pengunjung yang diundang khusus menghadari akad nikah Aditya dan Safira, termasuk para tetangga di komplek perumahan tempatku tinggal. Tidak sedikit di antaranya yang menggeleng-gelengkan kepala dan salut padaku. Mereka sangat memuji tindakan dan ketulusanku membiarkan suami nikah lagi untuk yang kedua kalinya atas prakarsaku. Mana ada cewek di dunia yang rela dan tulus berbagi ranjang dengan cewek lain. Apalagi calon mempelai wanitanya itu pilihan isteri pertama itu sendiri. Aku dan dibantu panitia yang telah dipersiapkan oleh WO yang aku sewa dengan gembira menyambut para undangan di depan pintu masuk aula.
Pagi itu, suasana kantor sungguh hening, lain dari biasanya. Biasanya suasana kantor penuh dengan keceriaan. Maklum perubahan pimpinan biasanya membawa suasana baru juga. Karyawan pada menahan diri, wait and see. Walau mereka sebenarnya tidak ingin mengubah suasana kekeluargaan yang sudah terbangun selama ini. Mereka sudah terbiasa dengan etos kerja kekeluargaan, di mana mereka sudah merasa perusahaan merupakan bagian kehidupannya. Rasa memiliki mereka begitu kuat, hingga perusahaan bisa besar seperti sekarang ini. Mereka tidak ingin suasana kantor jadi kaku dan membosankan. Mereka tidak ingin dijadikan seperti robot, diperah saat dibutuhkan dan dibuang setelah tak produktif lagi.Mereka sedikit kuatir, karena mereka tahu pimpinan baru merupakan jebolan Singapura. Mereka pun takut pola kerja yang dibawa, sama dengan pola kerja yang berkembang di Singapura. Pekerja dipandang seperti robot, hingga kehilangan a sense of humanity. Apakah Cano sebagai direktur