“Kamu kelihatannya begitu nervous sekali Nona?” tegurnya secara halus padaku, sembari melontarkan senyum manisnya. Dia seperti mengetahui kesulitan yang sedang aku hadapi.
Dengar teguran halus tersebut langsung membuat wajahku semburat memerah. Aku menjadi malu diri, akibat kekonyolanku tadi. Aku tak menyadari di depanku sudah duduk seorang mahasiswa tampan dan mempesona. Padahal aku tidak mengetahui kalau cowok yang ada di depanku ini selalu mencuri pandang diriku. Cukup lama juga dia memperhatikan tingkah-lakuku. Ternyata dia pandai juga memanfaatkan momen untuk sekedar bertegur sapa denganku. Tanpa aku sadari juga, kelihatannya dia ada hati juga padaku. Dasar cowok…!
Kemudian lanjutnya, “Ada yang perlu saya bantu Nona?”
“Oh, tidak! Terima kasih,” jawabku singkat, tersipu-sipu. Aku semakin menunduk malu. Tapi sembari menunduk sempat juga aku lirik paras mahasiswa yang ada di depanku itu. Dadaku mendadak bergemuruh melihat wajah tampan yang ada dihadapanku ini. Wouuu… cakep sekali, batinku. Tubuhnya pun cukup atletis, seperti Anjas Asmara gitu loh! Melihat dirinya aku sampai lupa akan tugas yang harus aku selesaikan segera. Apalagi aku tau siapa dirinya ini. Aditya Jiwandono, seorang aktivis kampus dan selalu menjadi buah bibir para mahasiswi, itu loh… Setiap mahasiswi sekampusku tak henti-hentinya membicarakan Aditya Jiwandono ini saban harinya. Mereka selalu berharap ingin menjadi pacar sang aktivis yang kesohor akan intelektualitas dan kharismatiknya ini. Seorang mahasiswa yang cerdas dan selalu dihormati dan disegani, baik oleh kalangan mahasiswa maupun dosen loh… Kebetulan Aditya Jiwandono ini, satu angkatan dengan diriku dan sama-sama duduk pada semester VII. Bedanya, dirinya jurusan Kedokteran sedangkan diriku jurusan Psikologi.
“Benar Nona tak perlu bantuan, nih?” sambungnya lagi.
Ngotot juga nih orang, batinku. Akupun menjadi keki juga dan dadaku berdebar-debar. Namun aku kuatkan diriku untuk mengangkat wajahku, menatap wajahnya yang mempesona itu. Tanpa sengaja mataku sempat melirik buku yang ada di tangannya. Akupun langsung terkesima dan menjatuhkan mataku pada buku Cara Cerdas (Smart) Mengatasi Kesulitan Belajar karangan Drs. Hendra Surya yang ada ditangan pemuda itu. Wah, kebetulan juga nih, ada jalan bagiku untuk menyambut tawarannya.
“Oya, memang saya lagi butuh bantuan kamu, nih. Itupun, kalau kamu tidak keberatan. Boleh aku pinjam buku yang ada ditangan kamu itu?” sosorku dengan harap-harap cemas. Tak aku sangka buku yang aku cari ada ditangannya Aditya ini. Tapi dia tidak langsung memberi permintaanku, dia malah terus memandangiku dengan kagum. Sedangkan aku sangat menggantungkan harapan pada buku yang ada di tangan Aditya ini. “Tolong deh! Saya ada tugas mendesak nih…berkaitan dengan buku itu,” sambungku.
Tapi, Aditya malah menjatuhkan matanya pada tumpukan buku-buku yang ada di sisi kiri mejaku dan buku yang sedang aku baca. Lalu dia memandangku lagi dengan nada keheranan.
“Lho, bukankah dihadapan kamu sudah cukup banyak buku Psikologi Pendidikan?”
“Memang kamu benar. Namun semua buku ini, kurang detail bahasannya, khusus masalah kesulitan belajar dan problem solvingnya. Aku yakin dalam buku Cara Cerdas (Smart) Mengatasi Kesulitan Belajar itu pasti akan ketemukan apa yang aku cari. Boleh-tidak aku pinjam sebentar buku itu?”
Akhirnya Aditya memahami kesulitan yang sedang aku hadapi. Dia tidak ingin membiarkan diriku dalam kebingungan terus.
“Mengapa tidak Nona? Saya merasa senang kok, jika dapat membantu kamu. Silahkan nona pergunakan buku ini! Toh, aku sudah membaca secara menyeluruh isi buku ini.”
Lantas tanpa babibu lagi, maka langsung saja aku sambar buku yang disodorkan Aditya itu padaku. Lalu aku bolak-balik halaman demi halaman buku itu. Tak lama kemudian, aku merasa puas setelah apa yang aku cari ternyata dibahas dalam buku ini. Sementara Aditya terus memperhatikanku, sembari mempermainkan pennya. Lalu aku mengangkat wajahku kembali, memandang Aditya dengan wajah sumringah.
“Terima kasih Aditya!”
Tahu nggak? Aditya ini semakin terperangah melihat diriku begitu sumringah mendapatkan buku yang sangat berarti sekali dalam perjalanan perkuliahanku. Dia semakin terkagum-kagum pada pesona kecantikan diriku. Seolah-olah sukmanya tersedot oleh magnit yang aku miliki. Keinginannya untuk lebih mengenalkupun semakin kuat. Maka dengan hati-hati dia beranikan dirinya menanyakan namaku.
“Oya, boleh aku mengenal nama kamu?”
Aku menjadi merasa tersanjung, dengar Aditya ingin mengenal diriku. Sudah barang tentu tanpa diminta pun, aku dengan senang hati untuk memperkenalkan diri padanya. Siapa yang tidak bangga dapat berkenalan dengan Aditya, seorang kesohor gitu loh… Yang menjadi incaran para mahasiswi USU… Aku pun lantas mengumbar senyuman pemikatku.
“Namaku Mardiana, tapi panggil saja aku, Ana…”
“Ini suatu kehormatan bagiku dapat mengenal dirimu Ana…” sambutnya dengan halus dan polos tanpa ada kesan merayu. Hatiku semakin berdebar-debar. Ada gejolak perasaan menggebu-gebu menyelinap ke dalam relung hatiku, takkala Aditya berbicara padaku. Akupun langsung bereaksi spontan.
“Idiiih…Aku menjadi malu kamu buat Adit. Kamu terlalu merendahkan diri. Siapa yang tidak mengenal dirimu di antero kampus ini Adit. Aku bukan apa-apa dibandingkan dirimu. Jangan gitu ah!!!”
“Benar loh! Aku bicara sejujurnya. Siapa yang tidak bangga mengenal seorang gadis secantik dirimu? Kaupun asyik diajak ngobrol gitu,” pujinya.
“Ah kamu bisa saja, Adit,” sergahku, jengah mendengar pujian Aditya. Tapi dalam hati, aku merasa senang gitu loh…
“Emangnya kamu punya tugas apa Ana?” potong Aditya, mengalihkan pembicaraan.
Akupun menjadi semakin bersemangat untuk ngobrol dengannya. “Ini, aku sedang mendapat tugas membuat paper dengan topik masalah kesulitan belajar. Aku masih bingung menentukan sumber masalah dari kesulitan belajar itu sendiri. Apa karena tehnis atau ada hal lain yang menjadi sumber pemicunya?”
Adityapun langsung ambil hati nih…
“Memang benar Ana. Timbulnya masalah kesulitan belajar itu bisa jadi karena masalah teknik belajar maupun unsur lain yang menjadi tressornya, Ana.”
Entah karena cara bertutur atau karena fakta yang diungkapkan Aditya membuatku begitu tertarik untuk berlama-lama dengarkan Aditya. Sehingga ada keinginanku untuk tau lebih lanjut. “Lantas, pengelompokkan unsur-unsur lain yang menjadi sumber kesulitan belajar itu apa ya, Dit? Tentu kamu tidak keberatan membantuku memecahkan masalah yang sedang kubahas ini, bukan?”
Aditya pun semakin bersemangat juga untuk bertutur. Dia ingin membantuku memecahkan persoalan yang sedang aku bahas. Paling tidak kesempatan ini dipergunakannya untuk lebih mendekatkan dirinya padaku. Pdkt begitu loh…!
“Oh, tidak Ana. Aku merasa senang kok dapat berdiskusi denganmu. Yang dimaksud unsur-unsur lain itu, antara lain masalah yang timbul dari faktor eksternal maupun internal, Ana.”
“Sumber eksternal itu apa?”
“Lingkungan sekitar.”
“Kalau internal, Dit?”
Adityapun begitu antusias untuk membeberkan tahunya. Tahu nggak apa yang dikatakan…
“Fisik dan psikis. Fisik, seperti kondisi badan yang sakit, lapar dan sebagainya. Sedangkan Psikis bersumber dari kondisi kejiwaan kita sendiri yang menjadi penghambat, ketika melakukan proses belajar.”
“Maksudmu, Dit?” aku menjadi penasaran juga mendengar omongan Aditya.
“Ketika kita belajar, tetapi sesungguhnya kita tidak siap untuk belajar. Kita sulit memfokuskan pikiran karena pikiran kita tersita atau melayang memikirkan hal lain yang tidak ada hubungan dengan apa yang kita pelajari. Seperti apa yang kamu lakukan barusan, ada keinginanmu untuk belajar, tetapi pikiranmu larut dalam keresahan memikirkan hal lain. Alhasil belajar seperti melakukan hal sia-sia.”
“Ah, kamu bisa aja Dit ngeledek,”tukasku secara spontan, malu-malu.
“Bukankah apa yang kukatakan itu memang riil, Ana? Kita akan sulit konsentrasi belajar, jika dibenak pikiran kita terjadi duplikasi pikiran dan perasaan, seperti terus menerus terbayang tentang kekasih atau dalam kondisi perasaan marah, kesal, dendam, benci, sedih dan ketakutan.”
Benar juga fakta yang dikatakan Aditya ini. Aku langsung ngaca diri.
“Ya, aku akui apa yang kamu katakan itu memang benar sih, Dit. Setelah aku perhatikan sumber utama kesulitan belajarku selama ini ternyata tressornya problem psikisku sendiri rupanya. Aku baru sadar sekarang dan aku sungguh beruntung mendapat pencerahan darimu Dit.”
Mendengar ucapanku, Aditya menjadi tersenyum, tapi bukan bangga diri loh! “Bagus sekali Ana, jika kita mulai memahami hal yang paling hakiki dari problem kita itu.” Lalu tiba-tiba Aditya mengubah nada bicaranya padaku. ”Tapi ngomong-ngomong maaf ya Ana, kalau aku bersikap lancang terhadapmu!”
“Ah, tidak apa-apa Dit. Apa yang ingin kamu katakan, katakan saja Dit? Aku tidak tersinggung kok… Malah aku merasa senang dan berterima kasih sekali, jika kamu dapat memberi informasi lebih lanjut padaku,” ujarku, tanpa menghilangkan keseriusanku menyimak tutur kata Aditya. Aku tidak tau kemana arah pembicaraan Aditya. Tapi memang aku tertarik terhadap apa yang akan dikatakan Aditya padaku. Akupun semakin asyik ngobrol dengan Aditya. Apa karena tutur katanya yang menarik atau memang orangnya semakin mempesonaku? Kuperhatikan Aditya juga semakin asyik untuk ngobrol gitu.
“Setelah aku perhatikan, ternyata di balik matamu Ana, aku lihat sepintas ada kabut yang selalu menyelimuti hatimu dan menjadi beban hidupmu. Walaupun fisikmu berada di sini, tetapi kadang jiwamu berada jauh di awang-awang. Seperti ada yang hilang darimu, gitu. Mungkin, sesuatu yang sangat berarti sekali dalam hidupmu, hatimu pun menjadi penuh diselimuti keresahan, sehingga kamu tidak dapat fokus terhadap apa yang kamu hadapi.”
Deep!!!
Aku tersentak. Pernyataan Aditya langsung menyentuh perasaanku yang paling dalam. Tak aku duga Aditya mampu melongok isi lubuk hatiku. Dia seperti mampu meraba luka hatiku yang telah lama aku tutupi. Tanpa aku sadari airmataku mengalir membasahi pipiku, teringat akan masa laluku. Baru kali ini ada orang yang mampu menyentuh titik peka perasaanku.
Memang, sikap simpatik dan tutur kata Aditya, mengingatkanku pada Hermawan. Hermawan adalah cinta pertamaku sejak SMA dulu. Kesanku bersama dengan Hermawan sangat sulit aku lupakan. Rasanya sangat sulit bagiku untuk mencari pengganti dirinya. Hermawan jebolan Teknik elektro USU Medan dan dia menjabat sebagai manager operasional PT. BANGUN CIPTA MAKMUR Cabang Medan. Hermawan itu dulu selalu memperlakukan aku dengan hati-hati. Dia selalu memanjakanku, menuruti semua kemauanku, membimbingku dan sangat memperhatikan keadaanku. Kami telah sepakat setamat aku dari SMA dulu, kami akan menikah. Tetapi menjelang detik-detik pernikahan kami, peristiwa tragis menimpa Hermawan. Hermawan tewas dalam kecelakaan mobil di jalan tol Belmera Medan. Peristiwa itu menghancurkan semua impianku. Sampai kini aku sulit melupakan peristiwa tersebut dan aku sangat berharap Hermawan dapat hidup kembali mendampingiku.Sesaat kemudian aku sadar. Aku tak boleh bersikap melankolis dan membeb
Sementara itu, Andrew begitu kesal. Dia begitu gelisah, wajahnyapun menjadi berkerut masam. Sudah terlalu lama ia menanti di Coffe Shop Medan Plaza, namun orang yang dinanti-nanti tidak kunjung datang. Demi mengharap untuk dapat berduaan dengan diriku, dia sengaja membolos kuliah. Padahal, kuliahnya hampir rampung di jurusan Landscape UDA Medan itu. Kemudian dia coba menghubungi Hpku, namun ternyata Hpku tidak aktif. Memang aku sengaja aku matikan Hpku. Hal ini membuat dirinya semakin kesal.Apa maksud diriku, mengabaikan dirinya, gerutu Andrew. Andrew semakin sewot, ketika dia melihat di kanan-kirinya muda-mudi berpasangan asyik memadu kasih. Memang lokasi Coffe Shop Medan Plaza dikenal sebagai tempat kencan kawula muda Medan.Di sela-sela kekesalan Andrew, terpikirkan juga olehnya untuk menghubungi sahabatnya, Anton. Anton ini, sahabatnya yang selalu dia minta untuk mengawasi tingkah laku diriku di Kampus. Kebetulan Si Anton ini satu letting denganku di jurusan Psiko
Beberapa hari kemudian, baru saja aku mengijakkan kaki di depan pintu gerbang kampusku sudah ada yang berteriak memanggilku, mereka setengah mencemaskanku. Setengah berlari Widya dan Cinthya menghampiriku. Ternyata, mereka sudah lama menunggu kehadiranku. Demi ingin menemuiku, mereka bersedia datang lebih pagi dari biasanya.“Hai Ana… lama amat sih kamu datangnya. Aku dan Cinthya sudah tak sabar menungggumu dari tadi. Demi kamu, kami rela berdiri hampir satu jam di bawah pohon Akasia itu,” ujar Widya sesampainya dia di sisiku.“Iya Ana, sebel deh menunggumu. Pekerjaan menunggu itu paling tidak mengenakkan, menyebalkan tau…!” timpal Cinthya.“Eh, kalian saja yang datangnya kepagian kali. Emangnya ada apa yang membuat kalian rela menjadi satpam kampus begitu, hah?” sambutku bercanda.Widya maupun Cinthya tidak hiraukan gurauanku. Mereka serius ingin menyampaikan kabar buruk padaku.“Gawat, Na! K
“Apa kan yang aku bilang Ana? Mereka begitu penasaran padamu,” ujar Widya dengan nada kecut.“Iya Na… mereka bukan main-main,” bisik Cinthya.“Sudahlah kamu tenang saja, Wid…Cinthya… Akan aku hadapi mereka apapun maunya,” sahutku ringan.“Hai, perempuan gatal aku peringatkan padamu ya. Jangan coba-coba kamu merayu Aditya, ngerti!!!” hardik Dea, sembari menjatuhkan telunjuknya ke depan keningku.Melihat sikap pongah Dea dkk, membuat darahku mendidih juga. Langsung saja aku tepis tangan Dea yang hampir menyentuh keningku itu. Aku sebenarnya tak sudi dihina sedemikian rupa. Jika aku tidak mampu mengontrol emosiku, jadi apa bedanya aku dengan Dea ini. Maka aku segera berdiri dan bersikap setenang mungkin menghadapi perilaku tidak bersahabat Dea, Anggi dan Donna.“Eh, kalau ada masalah bicara dengan baik-baik secara elegan dan terhormat. Bukan begini caranya! Kalau orang lihat, s
Bayang-bayang keindahan yang aku raih bersama Hermawan seolah-olah kembali berada di pelupuk mata. Saat itu seperti biasanya pada hari Sabtu, Hermawan ditemani Harley Davidsonnya selalu menantiku sepulang sekolah di persimpangan jalan Kartini dan Teuku Cik Ditiro, tak jauh dari sekolahku SMA1. Kebetulan juga, setiap hari Sabtu Hermawan memang libur kerja, sehingga waktu luang tersebut selalu dipergunakan untuk menjemputku.Perkenalanku pun dengan Hermawan bermula oleh faktor kebetulan juga. Saat itu, aku berusia 16 tahun lebih dan duduk di kelas II SMA 1 dan tepatnya pada tahun 1999. Kebetulan saat itu, Hermawan lagi kebingungan di tepi jalan, tepatnya di persimpangan jalan yang sama saat dia rutinitas menungguku. Dia kebingungan menanti dengan harap-harap cemas. Dia menanti adiknya Viola dan kebetulan juga, viola ini temanku sekelas. Saat itu, Viola sudah pergi terlebih dahulu bersama Hendri, pacarnya dengan mencoba mengendarai mobil barunya, mobil Cadilac. Mereka pergi dala
Hermawan masih menyumbar senyumnya, sembari menanyakan kembali kesediaanku. “ Bagaimana Ana?”Aku pun membalas senyuman Hermawan, sembari menganggukkan kepala, setuju atas tawaran yang dia berikan padaku. Hermawan pun langsung menyalakan motor Harley Davidsonnya dan menyerahkan helm padaku. Aku pun tanpa canggung lagi langsung naik di boncengan Harley Davidsonnya Hermawan. Rasanya nyaman sekali duduk di boncengan motor gede ini.Semenjak hari Sabtu itu, maka secara rutin Hermawan menjemputku. Hari-hariku pun aku lalui dengan keceriaan selalu. Hubunganku dengan Hermawan semakin dalam, apalagi mendapat dukungan dari sahabatku sekelas, Viola. Begitu juga, keluarga Hermawan sangat baik padaku. Mereka tidak menghalangi hubunganku dengan Hermawan. Bahkan mereka semua sangat merestui hubunganku dengan Hermawan.Begitu juga, bibiku sangat senang sekali tau aku menjalin hubungan dengan Hermawan yang notabene adalah atasannya di kantor. Bibikulah yang me
“Aku mengerti kekuatiran kalian. Tetapi biarkan saja Gilang ikut. Aku jamin dia tidak berani macam-macam nantinya. Keinginannya untuk ikut serta ini tentu karena didorong kesertaanku juga…Yakinlah Gilang itu sangat menyeganiku,” paparku meyakinkan teman-temanku.“Tapi…,” seru Anjar.“Sudahlah jangan pakai tapi lagi, Anjar… Ingat, jika Gilang tidak kita ikut sertakan, maka bisa saja dia akan menyulitkan pekerjaan ortu kita nantinya. Nah, kita kan menjadi serba salah. Kita tidak punya pilihan, bukan? Oleh karena itu, serahkan semua urusan padaku,” potongku. Aku mengerti Anjar mengkuatirkanku akan diperdaya oleh Gilang. “Yakinlah aku bisa jaga diri kok.”Akhirnya teman-temanku dapat menerima keputusanku, walaupun di hati kecil mereka timbul perasaan was-was. Demi menyenangkan diriku mereka tidak membantahku lagi. Begitu juga, kami tidak menolak tawaran Gilang untuk mempergunakan mobil milikn
Gilang langsung bereaksi menahan langkahku. Entah dia tau atau tidak kalau aku sebenarnya sedang bercanda. “Bukan begitu maksudku Na. Please…! Oke, aku akui aku salah…Aku minta maaf!”“Huuu…” sahutku. Senang juga hatiku dapat mempermainkan Gilang.“Ana maukan kamu berbaikan denganku?”“Oke, aku terima maafmu, tetapi dengan syarat!”“Baik Ana, apapun syarat yang kamu ajukan akan kupenuhi… Tapi jangan yang berat-berat ya…” Gilang melucu.Aku tak kuasa menahan geli mendengar suara Gilang dan mimik wajahnya memelas minta belas kasihan, sehingga aku tertawa. Tak pelak lagi aku menutupi mulutku untuk menahan rasa geliku itu. Memang konyol juga, Gilang ini.“Oke…, oke…, syaratnya kamu tidak boleh macam-macam padaku. Jangan samakan aku dengan gadis-gadis yang telah kamu takhlukkan. Kamu harus dapat menghormatiku. Kalau tidak, aku
Jum’at pagi. Aku pun berkemas-kemas untuk persiapan mengikuti acara family gathering yang diadakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Safira pun bantu aku menyiapkan kebutuhanku untuk mengikuti acara family gathering.“Fira, aku minta kamu ya yang mengurus segala kebutuhan Aditya,” godaku pada Safira, sambil melemparkan pantatku ke sisi tempat tidur. Aku pun memandang Safira yang sedang menata pakaianku ke dalam koper. “Selama aku pergi. Aku serahkan sepenuhnya hak atas Aditya padamu…”“Iya, iya…aku yang melayani Aditya. Semuanya ditanggung beres deh soal itu. Puas kamu?” balas Safira. Dia pun berkacak pinggang, sambil menatapku. Senyum simpul pun menghias wajahnya. Yeah, aku lihat sorot matanya, balas menggodaku. Aku tau apa yang ada di benak Safira. Apalagi kalau bukan keinginannya untuk main enjot-enjotan dengan Aditya.“Ih, itu maumu, bukan?” aku kembali menggodanya, sambil mencekal lengannya
“Ah, sial…!” umpatku dalam perjalanan pulang dari kantor. Pikiranku terus terganggu oleh penampakan batang tongkat Cano tadi. Pemandangan mesum tadi pagi terus menghiasi benak pikiranku. “Memang gila Cano itu, Ah!” gumamku kembali. Jantungku berdetak kencang, hingga arus sirkulasi darahku pun jadi tak terkendali. Kepalaku pun jadi pusing. Apalagi, munculnya kedutan di tengah selangkanganku. Yeah…! Aku tahu berahiku bangkit. Makanya aku ingin cepat sampai di rumah. Aku minta Aditya juga buru-buru pulang. Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin Aditya menetralisir darahku yang bergejolak deras dan sudah memenuhi batang otakku. Dalam perjalanan pun tanganku jadi nakal. Berulang kali, tanganku menyentuh area sensitifku. Aku ingin pelepasan. Untungnya ada suara klakson mobil menyadarkanku, akan bahaya di depanku telah mengintaiku. Aku berusaha menepis pikiran mesum dari benak pikiranku dan fokus menyetir mobil. Sebagai teman perjalanan, aku setel radio F
Wow, ada penampakan…! Bola mataku langsung terbelalak lebar, gitu lihat pemandangan yang luarbiasa ada di hadapanku. Aku pun segera menutup mulutku yang terbuka lebar. Mulutku pun jadi terkunci dan tak bisa berkata sepatah katapun. Malah hatiku tergelitik ingin tahu. Mataku terus ingin lihat pemandangan yang menggetarkan jiwaku itu. Aku lihat tubuh Annya begitu putih mulus dan sempurna bagi seorang cewek. Aku lihat juga Annya begitu menikmati goyangannya. Tangannya pun meremas-remas bukit kembarnya sendiri di antara desah dan deru nafasnya yang meluncur bebas dari bibirnya. Sementara, Cano terus menyemangati Annya untuk terus menggerakkan pinggulnya. Darahku berdesir. Aku pun jadi hanyut ingin menikmati pemandangan yang mengusik berahiku juga. Wajahku jadi merona merah lihat permainan Cano dan Annya. Tubuhku pun jadi panas-dingin. Selangkanganku terasa berdenyut juga. Apalagi aku lihat batang tongkat Cano yang panjang dan besar yang menantang itu. Aku lihat berbeda dengan mil
Cano sudah memperhitungkan salah satu cara untuk bisa dekat dengan Ana. Untuk itu dia bungkus dengan logika yang wajar. Sebagai pimpinan perusahaan yang baru tentu butuh chemistry dengan organisasi perusahaannya. Cano pun ingin menunjukkan bentuk apresiasi kebersamaan dalam perusahaan terhadap para karyawan dan keluarga, maka PT. Camerro Investment Solutions akan mengadakan family gathering. Gathering juga merupakan suatu cara untuk bersama-sama rileks sejenak dari kepadatan rutinitas kerja dan menjalin keakraban satu sama lain sehingga terbangun suasana yang kondusif untuk perusahaan.Untuk mewujudkan rencananya, Cano suruh Annya untuk buat proposal acara Family Gathering. Annya senang hatinya dengar Cano akan mengadakan acara family gathering keluarga besar perusahaan. Artinya, mereka akan bersenang-senang dan dia akan lebih dekat lagi dengan Cano. Annya pun dengan cekatan menyusun proposal yang diminta dengan petunjuk Cano itu sendiri. Tak butuh waktu lama, proposal itu te
Malam itu, Pak Leo Candra dinner di rumah. Dia di dampingi oleh anak dan isterinya untuk menyantap makan malamnya. Momen ini dimanfaatkan oleh Jesica untuk menyampaikan nota protesnya. Sementara, Robert memilih diam dan tidak ikut campur masalah perusahaan. Dia memang awam dengan urusan perusahaan. Bukan passion dia soal perusahaan investasi.“Ayah! Mengapa Mardiana itu ayah bagi saham segala? 7,5 persen itu gak sedikit, Ayah…” seru Jesica “Aku sebagai anak ayah sangat keberatan soal itu.”“Iya Ayah! Aku pun jadi bingung lihat cara ayah memberi apresiasi. Ada apa sebenarnya, Ayah?” celetuk isterinya Pak Leo Candra, sembari makan.“Kalian tau apa tentang perusahaan?!” tukas Pak Leo Candra dengan dingin. “Asal kalian tau, pencapaian perusahaan sampai saat ini. Itu semua atas dedikasi kerja dia yang all out.”“Tapi yang bekerja kan bukan dia saja, Ayah. Banyak yang memberi andil…
Yeah…! Siang itu, ada yang merasa bersalah, setelah mengayuh biduk kenikmatan. Aditya dan Safira sudah kembali ke rumah. Aku menyambut kedatangan mereka berdua. Aku langsung memeluk Safira, sambil mencubit pinggangnya. Aditya pun membiarkan aku dan Safira saling berpelukan.“Gimana, seru gak tadi malam?!” bisikku menggoda.Tentu Safira tahu, kalau aku menggodanya telah melewatkan malam pertamanya itu. Wajahnya merona merah. Safira pun melontarkan senyum bahagianya dan memelukku erat-erat. Dia ciuminya pipiku.“Dahsyat! Makasih ya Ana,” bisik balik Safira. “Kamu telah membuatnya serba indah. Aku suka itu.”Aditya tersenyum kecut, curi dengar gurauanku. Dia jengah juga dengan godaanku. Apalagi dia terbayang apa yang telah dia dan Safira lakukan untuk melewatkan malam pertamanya itu. Siapa gak jengah, kalau kedua isteri sendiri yang bahas soal kehebohan senggama dirinya.“Ehem…enak dikau, tegang
Bagi orang yang menikah, tentu yang dinanti-nantikan adalah soal malam pertama. Malam pertama itu begitu sakral. Gimana pengantin baru melewati malam pertamanya? Apakah biasa-biasa saja, atau ingin dapat moment indah yang dapat dikenang seumur hidup? Sudah tentu, aku tidak biarkan Aditya dan Safira melewatkan malam pertamanya dengan biasa-biasa saja dan berlalu tanpa kesan. Aku sudah siapkan tempat istimewa buat mereka. Untuk itu, aku telah booking kamar unique suite di Putri Duyung Resort. Aku minta pihak wedding organizer untuk mempersiapkan segalanya, termasuk dekorasi tata ruang interior dan eksterior cottage tempat menginap. Aku ingin buat suasana yang berkesan romantis buat Aditya dan Safira. Pilihanku tepat di Putri Duyung Resort. Land scape Putri Duyung Resort begitu mempesona dan menarik sekali. Apalagi posisi tepat antara pemandangan hutan tropis yang teduh dan nyaman di tepi pantai teluk Jakarta yang eksotis dan di pinggir danau Kawasan Taman Impian Jaya Ancol. So pasti,
Sabtu siang itu, aku cukup puas lihat aula kantor urusan agama ramai oleh pengunjung yang diundang khusus menghadari akad nikah Aditya dan Safira, termasuk para tetangga di komplek perumahan tempatku tinggal. Tidak sedikit di antaranya yang menggeleng-gelengkan kepala dan salut padaku. Mereka sangat memuji tindakan dan ketulusanku membiarkan suami nikah lagi untuk yang kedua kalinya atas prakarsaku. Mana ada cewek di dunia yang rela dan tulus berbagi ranjang dengan cewek lain. Apalagi calon mempelai wanitanya itu pilihan isteri pertama itu sendiri. Aku dan dibantu panitia yang telah dipersiapkan oleh WO yang aku sewa dengan gembira menyambut para undangan di depan pintu masuk aula.
Pagi itu, suasana kantor sungguh hening, lain dari biasanya. Biasanya suasana kantor penuh dengan keceriaan. Maklum perubahan pimpinan biasanya membawa suasana baru juga. Karyawan pada menahan diri, wait and see. Walau mereka sebenarnya tidak ingin mengubah suasana kekeluargaan yang sudah terbangun selama ini. Mereka sudah terbiasa dengan etos kerja kekeluargaan, di mana mereka sudah merasa perusahaan merupakan bagian kehidupannya. Rasa memiliki mereka begitu kuat, hingga perusahaan bisa besar seperti sekarang ini. Mereka tidak ingin suasana kantor jadi kaku dan membosankan. Mereka tidak ingin dijadikan seperti robot, diperah saat dibutuhkan dan dibuang setelah tak produktif lagi.Mereka sedikit kuatir, karena mereka tahu pimpinan baru merupakan jebolan Singapura. Mereka pun takut pola kerja yang dibawa, sama dengan pola kerja yang berkembang di Singapura. Pekerja dipandang seperti robot, hingga kehilangan a sense of humanity. Apakah Cano sebagai direktur