Memang, sikap simpatik dan tutur kata Aditya, mengingatkanku pada Hermawan. Hermawan adalah cinta pertamaku sejak SMA dulu. Kesanku bersama dengan Hermawan sangat sulit aku lupakan. Rasanya sangat sulit bagiku untuk mencari pengganti dirinya. Hermawan jebolan Teknik elektro USU Medan dan dia menjabat sebagai manager operasional PT. BANGUN CIPTA MAKMUR Cabang Medan. Hermawan itu dulu selalu memperlakukan aku dengan hati-hati. Dia selalu memanjakanku, menuruti semua kemauanku, membimbingku dan sangat memperhatikan keadaanku. Kami telah sepakat setamat aku dari SMA dulu, kami akan menikah. Tetapi menjelang detik-detik pernikahan kami, peristiwa tragis menimpa Hermawan. Hermawan tewas dalam kecelakaan mobil di jalan tol Belmera Medan. Peristiwa itu menghancurkan semua impianku. Sampai kini aku sulit melupakan peristiwa tersebut dan aku sangat berharap Hermawan dapat hidup kembali mendampingiku.
Sesaat kemudian aku sadar. Aku tak boleh bersikap melankolis dan membeberkan masalah masa laluku ini, walau terhadap Aditya sekalipun. Biarlah masalah itu menjadi rahasia pribadiku dan tak seorangpun boleh tau akan hal itu. Aku tak ingin membuat Aditya menjadi bayang-bayang personifikasi Hermawan. Aditya tidak boleh tau itu, nanti dia menjadi tersinggung. Aku berusaha untuk mengembangkan senyumku dan menatap mata Aditya, sembari menerima kertas tissu pemberian Aditya untuk menyeka airmata yang membasahi pipiku.
“Terima kasih Aditya. Maaf, aku sedikit melankolis dan terharu menyambut perkataanmu tadi Aditya.”
“Saya maklum kok, Ana. Setiap manusia tentu selalu punya masalah pribadi dan kadangkala masalah itu terus menjadi beban dan membelenggu. Sehingga di saat-saat tertentu, jika ada yang mengungkit atau menyentuh masalah tersebut, maka perasaan kita menjadi sangat sensitif. Tanpa kita sadari, air mata kita pun langsung mengalir sebagai ungkapan jiwa kita yang sedang mengalami goncangan.”
Akupun menjadi tertarik juga untuk tau melepas kesedihan hati ini.
“Jika benar pendapatmu, Dit. Lantas untuk melepaskan diri dari masalah tersebut, bagaimana kita harus bersikap?”
Adityapun melanjutkan penjelasannya. “Jalan keluar untuk membebaskan diri dari tekanan psikis tersebut, kita harus dapat menerima realita secara ikhlas atas apa yang terjadi atau yang akan terjadi.”
Aku mengernyitkan keningku. “Kita harus siap menerima secara ikhlas terhadap suatu kejadian atau sesuatu yang akan terjadi menimpa kita! Itu kan sangat sulit dan berat, Dit?”
Aditya memahami kesulitanku, lalu dia lanjutkan paparannya. “Ya, memang sih sangat sulit dan berat, Ana. Karena setiap kejadian telah direncanakan oleh Allah dan mungkin Allah pun punya maksud lain dengan kejadian tersebut terhadap kita. Tapi yakinlah Allah tidak akan memberi cobaan pada seseorang diluar kemampuan orang tersebut. Oleh karena itu, kita harus berusaha, agar diri kita tidak terbebani dan hanyut dalam penghayatan keresahan dan ketidakrelaan. Waktu kitapun habis hanya disibukkan oleh keresahan yang tidak merubah keadaan menjadi seperti sedia kala.”
“Oh, Lantas?”
“Waktu sangat berharga, Ana. Makanya jangan biarkan jiwa dan raga kita hanyut dalam mimpi dan berharap ada keajaiban atau mengharapkan datangnya dewa penolong untuk mengeluarkan kita dari masalah. Yang jelas, diri kita sendirilah yang dapat menolong kita. Ingat jangan biarkan masalah yang terpendam itu menjadi borok dalam hati dan menghancurkan kita secara perlahan-lahan. Cara mengatasinya, kita harus berani mengambil keputusan menentukan sikap maupun perbuatan sesegera mungkin. Jika kita telah dapat menerima realita secara ikhlas, maka tentu akan terbuka pikiran untuk mencari jalan keluar untuk mengatasi masalah yang timbul. Begitu juga, ketika kita dalam proses belajar, masalah tekanan psikis yang selalu menjadi pengganggu tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu, Ana…”
Aku menjadi begitu terpana dengar tuturan Aditya yang cukup jelas dan riil. Pertemuanku dengan Aditya memang membawa keberuntungan ganda bagiku. Selama ini untuk mengatasi rasa sedihku selalu kuselesaikan dengan cara mencari kompensasi. Namun apa yang aku lakukan itu sifatnya hanya mampu melepaskan diriku dari himpitan masalah sesaat saja. Kali ini aku benar-benar menyadari dan terbimbing untuk mendapatkan problem solving atas masalah pribadiku plus bahan paperku secara komplit dari Aditya. Semakin kagum diriku terhadap luasnya wawasan Aditya, membuat hatiku benar-benar terpana dibuatnya.
“Terima kasih banyak ya, Aditya atas bantuanmu. Aku benar-benar sangat terbantu oleh pandangan-pandanganmu tadi. Tugasku pun menjadi semakin ringan dan mudah untuk aku selesaikan nanti,” ujarku, sembari menyodorkan tangan untuk mengucapkan terima kasih.
“Sama-sama Ana. Toh, sudah kewajiban kita untuk saling membantu, bukan? Mungkin lain waktu, giliranku mohon bantuan dari dirimu,” jawab Aditya, sambil menjabat tanganku erat-erat. Aditya tidak ingin melepaskan pandangannya dari wajahku. Seolah-olah dirinya tidak ingin berpisah lagi denganku. Kamipun saling pandang dan saling senyum.
Kemudian, akupun melontarkan pertanyaan padanya, “Tapi kamu tidak keberatan kan Dit, jika sewaktu-waktu aku membutuhkan bantuanmu lagi?” Lalu aku meringkas buku-buku yang hendak aku pinjam dari Perpustakaan Kampus.
“Oh tentu, Ana. Aku siap dan senang dapat menjadi teman diskusimu. Oke, nanti kita ketemu lagi ya,” janji Aditya, begitu dilihatnya aku meringkas buku-buku yang hendak kupinjam. Diapun memahami kalau aku hendak mengikuti perkuliahan berikutnya. Sementara itu, hatiku berdegup, berbunga-bunga menyambut pernyataan janji Aditya itu. Apalagi sorot mata Aditya itu emh, emh, emh… tersirat menyatakan sesuatu loh! So pasti, aku tidak akan menolak untuk bertemu kembali dengan Aditya. Memang itu yang sangat aku harapkan. Akhirnya, kami bersama-sama keluar dari perpustakaan menuju kelas masing-masing untuk mengikuti perkuliahan. Sebelum berpisah, sesaat kami saling pandang kembali dan saling tersenyum.
“Eh, jangan Grrr gitulah kamu, Ana! Belum tentu Aditya itu tertarik pada dirimu. Toh, wajar kan dia menunjukkan sikap penuh perhatian. Aku yakin kepada setiap orang dia akan berlaku sama. Kalau nggak begitu, bukan aktivis namanya,” komentar Ratna sinis.
“Eh, kamu kok sirik begitu Ratna? Dari tadi nada bicaramu sinis terus, atau kamu cemburu kali, aku dekat dengan Aditya?”
“Mengapa aku harus cemburu padamu? Aku hanya kasihan saja sama kamu. Nanti kamu patah hati lagi dibuat Aditya. Aditya itu beda banget dengan Andrew atau Gilang. Aditya itu milik publiknya kampus USU, loh!” balas Ratna, sembari memonyongkan bibirnya.
“Tidaklahyaouuu… Coba lihat saja nanti. Ana gitu loh,” sahutku, sembari berkacak pinggang dan memicingkan mataku, menggoda Ratna. Aku tau Ratna begitu kesal, jika aku berbicara soal cowok karena dia masih menjomblo terus. Padahal paras Ratna cukup cantik, namun hanya badannya saja yang bongsor.
“Huuu…! Entar kamu kena batunya, baru kamu rasa,” dengus Ratna, sambil membalikkan badannya dan mengambil kembali novelnya.
Belum lama Ratna berkata, tiba-tiba di depan pintu kamar pemondokanku muncul induk semangku, sembari menyeletuk.
“ He… Ana, jangan kamu lupa temui cucuku di Medan Plaza ya!”
“Ya, Amang…kalau aku sempat nanti,” jawabku singkat. Tanpa menoleh, aku langsung menghidupkan komputer untuk memulai mengerjakan tugasku. Dalam hati, aku menggerutu juga melihat sikap induk semangku itu. Emangnya sekarang masih zaman Siti Nurbaya, kaum tua selalu memaksakan kehendaknya tanpa mau tau gejolak perasaan yang muda.
“Apa kamu bilang, kalau kamu sempat nanti? Jangan begitu kamu Ana. Cucuku kurang apa lagi dia? Bukankah dia sudah sangat baik padamu? Dia itu sangat pantas menjadi pendampingmu, tau!”hardik induk semangku.
Dengan terpaksa aku menoleh menatap induk semangku yang berdiri di depan pintu kamar pemondokanku. Aku berusaha tersenyum dan membujuknya, agar dia mau mengerti dan tidak memaksakan kehendaknya semata. “Bukan begitu maksudku Amang. Aku banyak pekerjaan. Hari ini aku harus menyelesaikan tugas membuat paper. Paper ini harus aku serahkan besok pagi Amang. Kalau tidak, alamatlah mata kuliah psikologiku gagal, Amang. Itu kan berarti, aku menyia-nyiakan waktuku Amang. Amang tentu tidak ingin melihat aku gagal kuliah kan?”
“Ah, jangan banyak alasanlah kamu. Aku tak mau tau, yang penting kamu senangkanlah hati cucuku itu,” gerutu induk semangku, sembari mengibaskan tangannya. Diapun cepat berbalik, lalu cepat-cepat dia meninggalkanku.
Aku terdiam dan tersenyum kecut melihat reaksi negatif induk semangku itu. Rasanya sia-sia saja aku menjelaskan pada induk semangku ini. Dia terlalu egois sama percis, seperti cucunya itu. Tak mau menghargai orang lain. Emangnya aku ini cewek apaan. Huuu enaknya saja dia main perintah. Rada harus dituruti segala perintahnya lagi. Tak usah yeee…
“Rasain kamu, Ana. Baru kamu tau rasa, bukan? Jangan macam-macam lagi lah kamu. Kamu itu seperti sudah diikatnya, ibaratnya kamu itu sudah seperti kerbau dicucuk hidungnya, tau…” ejek Ratna, sembari ketawa kecekikikan melihat aku menjadi keki dibuat induk semangku. Lanjutnya, “ Salah dirimu sendiri sih… Memberi peluang sama si Andrew itu.”
“Sompret kamu…! Emangnya aku pikiri!!!”lengusku. Kemudian aku pun menyibukkan diri untuk mempersiapkan paperku.
Sementara itu, Andrew begitu kesal. Dia begitu gelisah, wajahnyapun menjadi berkerut masam. Sudah terlalu lama ia menanti di Coffe Shop Medan Plaza, namun orang yang dinanti-nanti tidak kunjung datang. Demi mengharap untuk dapat berduaan dengan diriku, dia sengaja membolos kuliah. Padahal, kuliahnya hampir rampung di jurusan Landscape UDA Medan itu. Kemudian dia coba menghubungi Hpku, namun ternyata Hpku tidak aktif. Memang aku sengaja aku matikan Hpku. Hal ini membuat dirinya semakin kesal.Apa maksud diriku, mengabaikan dirinya, gerutu Andrew. Andrew semakin sewot, ketika dia melihat di kanan-kirinya muda-mudi berpasangan asyik memadu kasih. Memang lokasi Coffe Shop Medan Plaza dikenal sebagai tempat kencan kawula muda Medan.Di sela-sela kekesalan Andrew, terpikirkan juga olehnya untuk menghubungi sahabatnya, Anton. Anton ini, sahabatnya yang selalu dia minta untuk mengawasi tingkah laku diriku di Kampus. Kebetulan Si Anton ini satu letting denganku di jurusan Psiko
Beberapa hari kemudian, baru saja aku mengijakkan kaki di depan pintu gerbang kampusku sudah ada yang berteriak memanggilku, mereka setengah mencemaskanku. Setengah berlari Widya dan Cinthya menghampiriku. Ternyata, mereka sudah lama menunggu kehadiranku. Demi ingin menemuiku, mereka bersedia datang lebih pagi dari biasanya.“Hai Ana… lama amat sih kamu datangnya. Aku dan Cinthya sudah tak sabar menungggumu dari tadi. Demi kamu, kami rela berdiri hampir satu jam di bawah pohon Akasia itu,” ujar Widya sesampainya dia di sisiku.“Iya Ana, sebel deh menunggumu. Pekerjaan menunggu itu paling tidak mengenakkan, menyebalkan tau…!” timpal Cinthya.“Eh, kalian saja yang datangnya kepagian kali. Emangnya ada apa yang membuat kalian rela menjadi satpam kampus begitu, hah?” sambutku bercanda.Widya maupun Cinthya tidak hiraukan gurauanku. Mereka serius ingin menyampaikan kabar buruk padaku.“Gawat, Na! K
“Apa kan yang aku bilang Ana? Mereka begitu penasaran padamu,” ujar Widya dengan nada kecut.“Iya Na… mereka bukan main-main,” bisik Cinthya.“Sudahlah kamu tenang saja, Wid…Cinthya… Akan aku hadapi mereka apapun maunya,” sahutku ringan.“Hai, perempuan gatal aku peringatkan padamu ya. Jangan coba-coba kamu merayu Aditya, ngerti!!!” hardik Dea, sembari menjatuhkan telunjuknya ke depan keningku.Melihat sikap pongah Dea dkk, membuat darahku mendidih juga. Langsung saja aku tepis tangan Dea yang hampir menyentuh keningku itu. Aku sebenarnya tak sudi dihina sedemikian rupa. Jika aku tidak mampu mengontrol emosiku, jadi apa bedanya aku dengan Dea ini. Maka aku segera berdiri dan bersikap setenang mungkin menghadapi perilaku tidak bersahabat Dea, Anggi dan Donna.“Eh, kalau ada masalah bicara dengan baik-baik secara elegan dan terhormat. Bukan begini caranya! Kalau orang lihat, s
Bayang-bayang keindahan yang aku raih bersama Hermawan seolah-olah kembali berada di pelupuk mata. Saat itu seperti biasanya pada hari Sabtu, Hermawan ditemani Harley Davidsonnya selalu menantiku sepulang sekolah di persimpangan jalan Kartini dan Teuku Cik Ditiro, tak jauh dari sekolahku SMA1. Kebetulan juga, setiap hari Sabtu Hermawan memang libur kerja, sehingga waktu luang tersebut selalu dipergunakan untuk menjemputku.Perkenalanku pun dengan Hermawan bermula oleh faktor kebetulan juga. Saat itu, aku berusia 16 tahun lebih dan duduk di kelas II SMA 1 dan tepatnya pada tahun 1999. Kebetulan saat itu, Hermawan lagi kebingungan di tepi jalan, tepatnya di persimpangan jalan yang sama saat dia rutinitas menungguku. Dia kebingungan menanti dengan harap-harap cemas. Dia menanti adiknya Viola dan kebetulan juga, viola ini temanku sekelas. Saat itu, Viola sudah pergi terlebih dahulu bersama Hendri, pacarnya dengan mencoba mengendarai mobil barunya, mobil Cadilac. Mereka pergi dala
Hermawan masih menyumbar senyumnya, sembari menanyakan kembali kesediaanku. “ Bagaimana Ana?”Aku pun membalas senyuman Hermawan, sembari menganggukkan kepala, setuju atas tawaran yang dia berikan padaku. Hermawan pun langsung menyalakan motor Harley Davidsonnya dan menyerahkan helm padaku. Aku pun tanpa canggung lagi langsung naik di boncengan Harley Davidsonnya Hermawan. Rasanya nyaman sekali duduk di boncengan motor gede ini.Semenjak hari Sabtu itu, maka secara rutin Hermawan menjemputku. Hari-hariku pun aku lalui dengan keceriaan selalu. Hubunganku dengan Hermawan semakin dalam, apalagi mendapat dukungan dari sahabatku sekelas, Viola. Begitu juga, keluarga Hermawan sangat baik padaku. Mereka tidak menghalangi hubunganku dengan Hermawan. Bahkan mereka semua sangat merestui hubunganku dengan Hermawan.Begitu juga, bibiku sangat senang sekali tau aku menjalin hubungan dengan Hermawan yang notabene adalah atasannya di kantor. Bibikulah yang me
“Aku mengerti kekuatiran kalian. Tetapi biarkan saja Gilang ikut. Aku jamin dia tidak berani macam-macam nantinya. Keinginannya untuk ikut serta ini tentu karena didorong kesertaanku juga…Yakinlah Gilang itu sangat menyeganiku,” paparku meyakinkan teman-temanku.“Tapi…,” seru Anjar.“Sudahlah jangan pakai tapi lagi, Anjar… Ingat, jika Gilang tidak kita ikut sertakan, maka bisa saja dia akan menyulitkan pekerjaan ortu kita nantinya. Nah, kita kan menjadi serba salah. Kita tidak punya pilihan, bukan? Oleh karena itu, serahkan semua urusan padaku,” potongku. Aku mengerti Anjar mengkuatirkanku akan diperdaya oleh Gilang. “Yakinlah aku bisa jaga diri kok.”Akhirnya teman-temanku dapat menerima keputusanku, walaupun di hati kecil mereka timbul perasaan was-was. Demi menyenangkan diriku mereka tidak membantahku lagi. Begitu juga, kami tidak menolak tawaran Gilang untuk mempergunakan mobil milikn
Gilang langsung bereaksi menahan langkahku. Entah dia tau atau tidak kalau aku sebenarnya sedang bercanda. “Bukan begitu maksudku Na. Please…! Oke, aku akui aku salah…Aku minta maaf!”“Huuu…” sahutku. Senang juga hatiku dapat mempermainkan Gilang.“Ana maukan kamu berbaikan denganku?”“Oke, aku terima maafmu, tetapi dengan syarat!”“Baik Ana, apapun syarat yang kamu ajukan akan kupenuhi… Tapi jangan yang berat-berat ya…” Gilang melucu.Aku tak kuasa menahan geli mendengar suara Gilang dan mimik wajahnya memelas minta belas kasihan, sehingga aku tertawa. Tak pelak lagi aku menutupi mulutku untuk menahan rasa geliku itu. Memang konyol juga, Gilang ini.“Oke…, oke…, syaratnya kamu tidak boleh macam-macam padaku. Jangan samakan aku dengan gadis-gadis yang telah kamu takhlukkan. Kamu harus dapat menghormatiku. Kalau tidak, aku
“Selamat ya Ana! Kamu lulus menjadi mahasiswi Psikologi USU,” ujarnya, sembari langsung mencengkram jari-jemari tanganku.“Ah masa Gie… Kamu jangan bercanda, ah… nggak lucu tau,” sergahku, sembari cemberut.“Eh, lihat ini nomor 10142 dan namamu Mardiana tertera dengan jelas, berikut jurusannya PSIKOLOGI di lembar pengumuman di koran Kompas ini,” tukas Gilang, sembari mempertunjukkan lembar pengumuman padaku.“Tapi di lembar pengumuman resmi yang dikeluarkan Panitia Seleksi USU ini, namaku tidak tercantum Gie…”“Coba diselusuri namamu sekali lagi dengan teliti,” suruh Gilang. “Ya, terang saja kamu tidak menemukan namamu, pengumuman ini cacat. Bagian yang menerangkan namamu tidak tertera dengan jelas begini. Tapi yang jelas kamu lulus Ana, lihat nomor seleksimu 10142 masih bisa terbaca.”“Oh, syukurlah Gie. Aku tadi sempat frustrasi.&r
Jum’at pagi. Aku pun berkemas-kemas untuk persiapan mengikuti acara family gathering yang diadakan oleh perusahaan tempatku bekerja. Safira pun bantu aku menyiapkan kebutuhanku untuk mengikuti acara family gathering.“Fira, aku minta kamu ya yang mengurus segala kebutuhan Aditya,” godaku pada Safira, sambil melemparkan pantatku ke sisi tempat tidur. Aku pun memandang Safira yang sedang menata pakaianku ke dalam koper. “Selama aku pergi. Aku serahkan sepenuhnya hak atas Aditya padamu…”“Iya, iya…aku yang melayani Aditya. Semuanya ditanggung beres deh soal itu. Puas kamu?” balas Safira. Dia pun berkacak pinggang, sambil menatapku. Senyum simpul pun menghias wajahnya. Yeah, aku lihat sorot matanya, balas menggodaku. Aku tau apa yang ada di benak Safira. Apalagi kalau bukan keinginannya untuk main enjot-enjotan dengan Aditya.“Ih, itu maumu, bukan?” aku kembali menggodanya, sambil mencekal lengannya
“Ah, sial…!” umpatku dalam perjalanan pulang dari kantor. Pikiranku terus terganggu oleh penampakan batang tongkat Cano tadi. Pemandangan mesum tadi pagi terus menghiasi benak pikiranku. “Memang gila Cano itu, Ah!” gumamku kembali. Jantungku berdetak kencang, hingga arus sirkulasi darahku pun jadi tak terkendali. Kepalaku pun jadi pusing. Apalagi, munculnya kedutan di tengah selangkanganku. Yeah…! Aku tahu berahiku bangkit. Makanya aku ingin cepat sampai di rumah. Aku minta Aditya juga buru-buru pulang. Aku sudah tak tahan lagi. Aku ingin Aditya menetralisir darahku yang bergejolak deras dan sudah memenuhi batang otakku. Dalam perjalanan pun tanganku jadi nakal. Berulang kali, tanganku menyentuh area sensitifku. Aku ingin pelepasan. Untungnya ada suara klakson mobil menyadarkanku, akan bahaya di depanku telah mengintaiku. Aku berusaha menepis pikiran mesum dari benak pikiranku dan fokus menyetir mobil. Sebagai teman perjalanan, aku setel radio F
Wow, ada penampakan…! Bola mataku langsung terbelalak lebar, gitu lihat pemandangan yang luarbiasa ada di hadapanku. Aku pun segera menutup mulutku yang terbuka lebar. Mulutku pun jadi terkunci dan tak bisa berkata sepatah katapun. Malah hatiku tergelitik ingin tahu. Mataku terus ingin lihat pemandangan yang menggetarkan jiwaku itu. Aku lihat tubuh Annya begitu putih mulus dan sempurna bagi seorang cewek. Aku lihat juga Annya begitu menikmati goyangannya. Tangannya pun meremas-remas bukit kembarnya sendiri di antara desah dan deru nafasnya yang meluncur bebas dari bibirnya. Sementara, Cano terus menyemangati Annya untuk terus menggerakkan pinggulnya. Darahku berdesir. Aku pun jadi hanyut ingin menikmati pemandangan yang mengusik berahiku juga. Wajahku jadi merona merah lihat permainan Cano dan Annya. Tubuhku pun jadi panas-dingin. Selangkanganku terasa berdenyut juga. Apalagi aku lihat batang tongkat Cano yang panjang dan besar yang menantang itu. Aku lihat berbeda dengan mil
Cano sudah memperhitungkan salah satu cara untuk bisa dekat dengan Ana. Untuk itu dia bungkus dengan logika yang wajar. Sebagai pimpinan perusahaan yang baru tentu butuh chemistry dengan organisasi perusahaannya. Cano pun ingin menunjukkan bentuk apresiasi kebersamaan dalam perusahaan terhadap para karyawan dan keluarga, maka PT. Camerro Investment Solutions akan mengadakan family gathering. Gathering juga merupakan suatu cara untuk bersama-sama rileks sejenak dari kepadatan rutinitas kerja dan menjalin keakraban satu sama lain sehingga terbangun suasana yang kondusif untuk perusahaan.Untuk mewujudkan rencananya, Cano suruh Annya untuk buat proposal acara Family Gathering. Annya senang hatinya dengar Cano akan mengadakan acara family gathering keluarga besar perusahaan. Artinya, mereka akan bersenang-senang dan dia akan lebih dekat lagi dengan Cano. Annya pun dengan cekatan menyusun proposal yang diminta dengan petunjuk Cano itu sendiri. Tak butuh waktu lama, proposal itu te
Malam itu, Pak Leo Candra dinner di rumah. Dia di dampingi oleh anak dan isterinya untuk menyantap makan malamnya. Momen ini dimanfaatkan oleh Jesica untuk menyampaikan nota protesnya. Sementara, Robert memilih diam dan tidak ikut campur masalah perusahaan. Dia memang awam dengan urusan perusahaan. Bukan passion dia soal perusahaan investasi.“Ayah! Mengapa Mardiana itu ayah bagi saham segala? 7,5 persen itu gak sedikit, Ayah…” seru Jesica “Aku sebagai anak ayah sangat keberatan soal itu.”“Iya Ayah! Aku pun jadi bingung lihat cara ayah memberi apresiasi. Ada apa sebenarnya, Ayah?” celetuk isterinya Pak Leo Candra, sembari makan.“Kalian tau apa tentang perusahaan?!” tukas Pak Leo Candra dengan dingin. “Asal kalian tau, pencapaian perusahaan sampai saat ini. Itu semua atas dedikasi kerja dia yang all out.”“Tapi yang bekerja kan bukan dia saja, Ayah. Banyak yang memberi andil…
Yeah…! Siang itu, ada yang merasa bersalah, setelah mengayuh biduk kenikmatan. Aditya dan Safira sudah kembali ke rumah. Aku menyambut kedatangan mereka berdua. Aku langsung memeluk Safira, sambil mencubit pinggangnya. Aditya pun membiarkan aku dan Safira saling berpelukan.“Gimana, seru gak tadi malam?!” bisikku menggoda.Tentu Safira tahu, kalau aku menggodanya telah melewatkan malam pertamanya itu. Wajahnya merona merah. Safira pun melontarkan senyum bahagianya dan memelukku erat-erat. Dia ciuminya pipiku.“Dahsyat! Makasih ya Ana,” bisik balik Safira. “Kamu telah membuatnya serba indah. Aku suka itu.”Aditya tersenyum kecut, curi dengar gurauanku. Dia jengah juga dengan godaanku. Apalagi dia terbayang apa yang telah dia dan Safira lakukan untuk melewatkan malam pertamanya itu. Siapa gak jengah, kalau kedua isteri sendiri yang bahas soal kehebohan senggama dirinya.“Ehem…enak dikau, tegang
Bagi orang yang menikah, tentu yang dinanti-nantikan adalah soal malam pertama. Malam pertama itu begitu sakral. Gimana pengantin baru melewati malam pertamanya? Apakah biasa-biasa saja, atau ingin dapat moment indah yang dapat dikenang seumur hidup? Sudah tentu, aku tidak biarkan Aditya dan Safira melewatkan malam pertamanya dengan biasa-biasa saja dan berlalu tanpa kesan. Aku sudah siapkan tempat istimewa buat mereka. Untuk itu, aku telah booking kamar unique suite di Putri Duyung Resort. Aku minta pihak wedding organizer untuk mempersiapkan segalanya, termasuk dekorasi tata ruang interior dan eksterior cottage tempat menginap. Aku ingin buat suasana yang berkesan romantis buat Aditya dan Safira. Pilihanku tepat di Putri Duyung Resort. Land scape Putri Duyung Resort begitu mempesona dan menarik sekali. Apalagi posisi tepat antara pemandangan hutan tropis yang teduh dan nyaman di tepi pantai teluk Jakarta yang eksotis dan di pinggir danau Kawasan Taman Impian Jaya Ancol. So pasti,
Sabtu siang itu, aku cukup puas lihat aula kantor urusan agama ramai oleh pengunjung yang diundang khusus menghadari akad nikah Aditya dan Safira, termasuk para tetangga di komplek perumahan tempatku tinggal. Tidak sedikit di antaranya yang menggeleng-gelengkan kepala dan salut padaku. Mereka sangat memuji tindakan dan ketulusanku membiarkan suami nikah lagi untuk yang kedua kalinya atas prakarsaku. Mana ada cewek di dunia yang rela dan tulus berbagi ranjang dengan cewek lain. Apalagi calon mempelai wanitanya itu pilihan isteri pertama itu sendiri. Aku dan dibantu panitia yang telah dipersiapkan oleh WO yang aku sewa dengan gembira menyambut para undangan di depan pintu masuk aula.
Pagi itu, suasana kantor sungguh hening, lain dari biasanya. Biasanya suasana kantor penuh dengan keceriaan. Maklum perubahan pimpinan biasanya membawa suasana baru juga. Karyawan pada menahan diri, wait and see. Walau mereka sebenarnya tidak ingin mengubah suasana kekeluargaan yang sudah terbangun selama ini. Mereka sudah terbiasa dengan etos kerja kekeluargaan, di mana mereka sudah merasa perusahaan merupakan bagian kehidupannya. Rasa memiliki mereka begitu kuat, hingga perusahaan bisa besar seperti sekarang ini. Mereka tidak ingin suasana kantor jadi kaku dan membosankan. Mereka tidak ingin dijadikan seperti robot, diperah saat dibutuhkan dan dibuang setelah tak produktif lagi.Mereka sedikit kuatir, karena mereka tahu pimpinan baru merupakan jebolan Singapura. Mereka pun takut pola kerja yang dibawa, sama dengan pola kerja yang berkembang di Singapura. Pekerja dipandang seperti robot, hingga kehilangan a sense of humanity. Apakah Cano sebagai direktur