“Kapan, Nggit?” tanya Om Dirga putus asa.
“Kalau Om ingin kenikmatan, Inggit bisa berikan. Namun, kalau pernikahan, jangan nikahi Inggit, Om!”
Mata Om Dirga membelalak mendengar ucapanku, ia menautkan alisnya lalu menggeleng.
“Ada apa, Nggit?” tanya Om Dirga pelan. Ia melepas pelukannya dengan kasar, seolah tidak Terima dengan ucapanku.
“Om tidak perlu tahu apa alasannya!”
“Om harus tahu, karena kamu menjadi tanggung jawab Om sekarang.”
“Kita hanya sebatas saling menguntungkan, Om. Aku dapat uang, dan om dapat kenikmatan, itu saja!” Sakit, sungguh sakit saat aku mengatakan kalimat itu, bukan hanya uang, aku mendapatkan apa yang aku inginkan, sesuatu yang selama ini aku harapkan, yaitu kasih sayang. Namun, aku tidak mau Om Dirga tahu bagaimana perasaanku.
“Jadi, kamu memandang Om hanya sebatas itu, Nggit?” tanya Om Dirga tak percaya.
“Iya, lebih baik kita putus saja, Om!” Setelah mengucapkan itu, aku segera berbalik pergi meninggalkan ruangan Om Dirga. Aku tak peduli dengan teriakan Om Dirga yang memanggilku.
Lari! Pergi dari kehidupan Om Dirga! Hanya itu yang ada dalam pikiranku saat ini. Air mata mulai menetes di pipiku.
Andaikan Om Dirga menuruti keinginanku, berhubungan tanpa ikatan, mungkin aku akan lega. Karena bagiku pernikahan adalah bayangan hitam, mencekam, dan melelahkan yang harus dihindari.
Tiba-tiba saja aku teringat dengan masa lalumu, saat itu aku masih kecil, tapi aku mengerti bahwa ayah dan ibu sedang tidak baik-baik saja. Ayah seorang pemabuk, setiap pulang selalu memukul ibu apabila tidak ada makanan atau uang lagi. Aku tidak tahu apa alasan Ibu hanya diam diperlakukan Ayah semena-mena, dan kejadian itu berlangsung sampai akhirnya aku mendengar ayah berteriak bahwa aku bukanlah anak kandungnya. Ayah mengatai ibu selingkuh. Esok harinya yang aku tahu, panti asuhan kasih bunda menjadi tempat berlindungku sampai SMA.
Entah apa yang mereka rundingkan malam itu, sehingga tega membuangku ke panti. Terpaksa aku harus menjalani kehidupan yang serba terbatas, bukan berarti sebelumnya semua yang aku mau tersedia.
Di panti asuhan, makanan harus berbagi dengan anak yang lain, antre untuk mandi, ke sekolah jalan kaki, bahkan kami yang sudah besar harus mau membantu Bu Fatma, pemilik panti asuhan, masak dan membersihkan panti.
Sungguh melelahkan.
Bugh!
Tiba-tiba saja aku menabrak seseorang, membuatku seketika terjatuh.
“Gimana sih? Kalau jalan pake mata dong!” hardikku pada seseorang yang sudah menabrak dengan kesal.
“Di sini ada saksi, siapa di antara kita yang tidak melihat jalan.”
Suara itu, segera aku mendongak menatap pemilik suara yang menurutku sangat familiar.
“Kamu!” ucap kami berbarengan.
‘Sial! Kenapa harus bertemu dia di sini?’ batinku kesal.
Aku menatap sekeliling, banyak karyawan Om Dirga yang menatapku dengan pandangan entah.
“Dunia itu sempit ya, Inggit?” ejek Satya sambil menyunggingkan sebelah bibirnya seolah mengejekku, sial!
Satya, dia adalah mantan pacarku sebelum bertemu dengan Om Dirga. Kami putus karena dia dijodohkan oleh orang tuanya dengan sesama pebisnis.
Segera aku mencoba berdiri, tak lupa aku mengelap bekas air mata yang membasahi pipi.
“Diam kamu!”
“Bagaimana kabarmu? Sudah berapa om-om yang kau singgahi?” ejek Satya.
“Tutup mulutmu!”
Tanpa berpamitan aku segera beranjak meninggalkan Satya dengan kesal. Sayangnya, sebuah tangan mencekal lenganku dengan kuat. Mau tak mau membuatku terpaksa berhenti.
“Mau ke mana? Ikut aku!”
Tanpa menunggu jawabanku, Satya menyeretku masuk ke dalam salah satu ruang rapat yang kosong. Setelah menutup pintu dan menguncinya, Satya menatapku tajam.
“Kamu ada perlu apa ke mari?” tanya Satya, ia menahan kedua tanganku di tembok.
Tiba-tiba saja tubuhku menegang, takut. Mata Satya merah, sepertinya ia menahan marah. Entah kenapa, padahal dulu dialah yang memutuskan hubungan kami.
“Bukan urusanmu!” jawabku tak acuh. Kupalingkan wajahku ke arah kanan, aku takut tidak mampu menahan diri.
“Aku merindukanmu, Nggit.”
Satya menyurukkan kepalanya ke dalam leherku, lalu mencium, sesekali ia menggigit kecil, membuat tubuhku tiba-tiba saja merasa geli.
“Hentikan, Satya!” erangku pelan. Tahan, aku harus menahan diri agar tidak lepas kendali.
“Kenapa? Bukankah dulu kau sangat liar? Kau selalu menggodaku, bahkan nikmatnya tubuhmu, aku masih ingat, Nggit.”
“Lepaskan, atau aku akan berteriak!” hardikku kesal.
Satya menghentikan aktivitasnya, ia menatapku tajam.
Bibir seksi itu, dulu yang selalu aku banggakan dari sosok Satya. Bibir yang selalu menggoda dan membuatku tidak mampu menolak.
Namun, sekarang aku masih bersama Om Dirga, walaupun aku mengatakan putus, biasanya Om Dirga akan kekeh merayu dan meminta maaf padaku. Aku yakin itu!
“Katakan, bersama siapa kamu sekarang?”
“Kenapa bertanya? Harusnya kamu sadar diri, Satya! Kamu yang meninggalkanku, dan menerima perjodohan gila keluargamu!” teriakku kesal.
Perlahan, Satya mengendurkan cekalannya. Wajahnya menatapku dengan pandangan entah.
Setelah cekalan Satya benar-benar terlepas, aku segera menjauh darinya. Jika saja saat ini aku masih sendiri, mungkin aku akan mau menjalin hubungan lagi dengan Satya, walaupun harus menjadi istri kedua. Terserah mereka yang memberi cap pelakor, aku tidak peduli, Satya sungguh menggoda.
Sayangnya, saat ini Om Dirga masih menjadi raja di hati, walaupun dia datang dengan permintaan agungnya, menikah.
“A-aku gak bisa menolak itu, Nggit. Orang tuaku mengancam akan menghapus namaku dari daftar waris, jadi aku gak berani menentang mereka.”
“Makanya, jangan dekati aku lagi, Satya!”
“Tapi, Nggit, aku masih sayang sama kamu.”
“Bullshit, Satya! Sudahlah, kita kembali jalani kehidupan masing-masing dan lupakan pertemuan ini. Aku tidak mau bertemu lagi denganmu!”
Aku menyentak cekalan Satya, lalu membuka kunci pintu dan keluar dari ruang rapat terkutuk itu. Tak ku pedulikan tatapan sinis mereka yang melihatku keluar dari ruang rapat bersama Satya.
Karena tidak melihat taksi, aku putuskan untuk berjalan kaki. Pikiranku kacau, hubunganku dengan Om Dirga tidak tentu, dan baru saja bertemu Satya. Ingin sekali aku menghilang dari bumi, agar tidak ada yang mencari dan membuatku sakit kepala.
Tak terasa, langkah kaki membawaku berbelok masuk ke dalam sebuah cafe. Cafe Ayodia, mengusung tema rustic, cafe ini menjadi favorit bagi kebanyakan remaja dan pemburu foto sosmed.
Kupilih duduk di dalam gazebo yang berada di ujung ruangan. Setelah meletakkan tas, kurogoh ponsel di dalamnya.
Ada banyak pesan dan panggilan dari Om Dirga, isi pesannya bertanya aku di mana. Kenapa hanya bertanya? Kenapa tidak menyusulku tadi?
“Oh iya, kenapa Satya bisa ada di kantor Om Dirga? Ada hubungan apa? Setahuku Satya bukan karyawan, karena dia pernah bercerita keluarganya pemilik perusahaan.”
“Apa jangan-jangan dia anak Om Dirga? Wajahnya mirip sih. Oh no! Semoga saja bukan, semoga saja dia hanya Klien di sana.”
[Sayang, bales pesanku.]
Pesan dari Om Dirga kembali masuk, Sayang? Jadi dia tidak marah lagi?
[Nanti malam kita diner, kamu siap-siap. Udah Om transfer uang untuk belanja.]
Hatiku berlonjak kegirangan, inilah yang menyukai Om Dirga, dan tidak ingin melepasnya. Om Dirga sangat tahu bagaimana meluluhkan hatiku.
[Siap, Om ❤]
Sengaja kusematkan tanda hati di belakang pesan yang kukirimkan, agar Om Dirga tahu, aku sudah tidak marah lagi.
Jika ada yang bertanya, mengapa aku begitu mudah memaafkan Om Dirga, jawabannya adalah karena dia tidak pelit mengirimkan uang padaku. Seperti inilah kami biasanya, sudah sering pula aku memergoki Om Dirga mencium wanita lain, tapi aku tidak pernah terlalu dalam mempermasalahkan hal itu. Karena sejauh apa pun petualangan Om Dirga, hanya akulah tempat ia kembali.
“Kamu Inggit?” tanya seorang pelayan membuyarkan lamunanku.
Kudongakkan kepala, menatap siapa yang bertanya. Dahulu mengernyit mencoba mengingat siapa gerangan.
“Siapa ya?” tanyaku pelan.
Perempuan itu tertawa lebar, lalu kulihat name tag yang berada di dadanya. Aluna!
“Kamu lupa? Aku Aluna, teman sekelas waktu SMA.”
Seketika aku menutup mulutku, oh tidak! Kenapa aku bertemu satu orang lagi yang tidak kusukai?
“Oh, kamu... “ Sengaja kupasang wajah datar, tidak terlalu respect dengan pertemuan ini.
Aluna, adalah ketua geng di sekolah yang sangat ditakuti. Beberapa kali dia mengerjaiku, salah satunya, Aluna iseng mengunci pintu toilet saat sedang kugunakan. Sialan memang! Membuatku harus bermalam di sekolah, karena itulah aku menjadi phobia.
“Gimana kabarmu? Sepertinya sekarang bukan lagi orang jalanan ya?” ejek Aluna.
Apakah dia tidak mempunyai cermin? Bukankah saat ini dialah yang menjadi anak jalanan? Baru jadi pelayan, belagu sekali dia. Di sini akulah yang menjadi raja, dia hanyalah pelayan.
“Jelaslah, aku sudah berusaha keras.” Sengaja aku berkata begitu padanya, aku tidak mau dia terlalu menghinaku.
Aluna tersenyum kecil, “Baiklah, selamat menikmati menu di cafe ini.”
Tanpa menunggu jawabanku, Aluna berbalik dan kembali ke dalam. Kalau diperhatikan, dandanan Aluna tadi terlalu cantik jika dibandingkan dengan pelayan lainnya. Apakah ia di spesialkan?
Ah, entahlah! Kenapa juga aku yang repot memikirkan Aluna. Dia hanyalah pengganggu, dan selamanya menjadi pengganggu.
Pov AuthorSepeninggal Inggit, Dirga mengusap wajahnya kasar, ia tidak habis pikir dengan Inggit, selalu mengancam putus saat ia mengungkapkan keinginannya, yaitu pernikahan.“Apa yang sebenarnya terjadi pada Inggit? Kenapa dia begitu takut menikah?” gumam Dirga.Salahnya sendiri tadi tidak bisa menjaga nafsunya, begitu Weni menggoda ia mau-maunya mengikuti permainan Weni.“Sialan!” Umpat Dirga kesal.Dirga meletakkan bokongnya di atas kursi, salah satu tangannya memijit pelipisnya yang terasa sakit. Memikirkan Inggit membuatnya sakit, andaikan gadis muda itu mau diajak menikah, mungkin Dirga tidak akan seperti ini. Melepaskan Inggit-pun Dirga tidak rela, belum pernah ia bertemu gadis muda seperti Inggit sebelumnya.“Ah, sebaiknya aku mengajaknya dinner seperti biasa, agar ia mau memaafkanku.”Segera Dirga meraih ponselnya, lalu menelepon Inggit.Gagal! Inggit tidak mengangkatnya.Dirga mencoba menelepon kembali, sayangnya sampai panggilan ke tujuh, Inggit tidak mengangkat telepon dar
Inggit berdandan secantik mungkin, mini dress model rok A-line berwarna nude yang pas di tubuhnya membuat keseluruhan pada diri Inggit sangat menarik. Tak lupa ia poleskan sedikit lipmatte warna senada.Untuk acara diner malam ini, sengaja sebelumnya ia pergi ke salon untuk menata dan mengecat rambutnya, agar lebih fresh dilihat.“Cantik!”Setelah memastikan semua oke, segera inggit keluar dari rumah dan masuk ke dalam ojek mobil online yang sudah menunggu di depan pagar.“Sesuai aplikasi ya, Mbak!”“Hmm... “ Inggit fokus menatap jalanan, ia malas ramah pada orang yang baru saja bertemu.Suasana malam ini lumayan ramai, sabtu malam menjadi hari yang paling di tunggu. Inggit melihat sebuah motor menyalip mobil yang ia naiki dengan kecepatan sedang, sepertinya mengejar waktu, karena beberapa kali pengendara itu melihat jam di tangannya. Tiba-tiba saja ia teringat saat masih SMA, di mana ia sering jalan kaki, karena jarang memiliki uang hanya untuk sekedar naik angkot ke sekolah.Ibu Ais
Brugh!Aluna menabrak seseorang hingga dirinya terjatuh, isi tasnya berhamburan ke lantai. Sebelumnya ia tidak melihat jalan, karena sibuk mencari kunci mobil.“Kalau jalan hati-hati dong!” tegur Aluna dengan kesal pada seseorang yang ia tabrak.“Harusnya kamu yang hati-hati, siapa yang duluan menabrak?” balas seseorang yang ditabrak Aluna.Aluna mendongak menatap seseorang yang ia tabrak, seketika ia membelalak, tidak percaya dengan penglihatannya. Setelah isi tasnya kembali masuk ke dalam tas, ia berdiri.Entah ini musibah atau keberuntungan untuk dirinya. Dirga! Seseorang yang Aluna tabrak adalah Dirga. Di saat ia bingung mencari cara berdekatan dengan Dirga, kini Tuhan menakdirkan mereka bertemu.Baru saja Aluna bertemu klien di privat room yang disediakan oleh pihak hotel, karena sudah selesai, Aluna berencana langsung kembali ke kantor, ada beberapa hal yang ingin ia pastikan.Dirga melotot melihat siapa yang ia tabrak, Aluna. Pesaing bisnisnya.“Senang bisa bertemu Anda di sini
Aluna berjalan anggun menuju ruangan Dirga, berbeda dengan kemarin, kali ini ia memiliki ide lain, yaitu menghasut Dirga.Aluna tahu perbuatannya salah, tapi rasa cemburu sudah membutakan hati dan pikirannya. Tujuannya kali ini menghancurkan Dirga, dan juga menyakiti hati Inggit.Perusahaan miliknya selama masih aman, ia biarkan berjalan seperti biasa, karena menurutnya, selama terus berada di dekat Dirga, tidak mungkin laki-laki itu tega menghancurkan bisnisnya.Beberapa pasang mata menatap Aluna dengan pandangan kagum, bahkan beberapa mata jelalatan melihat bagian tubuh tertentu miliknya yang sengaja ia pamerkan.Aluna melotot saat salah seorang karyawan yang sengaja menyenggol lengannya. Sedangkan karyawan itu hanya nyengir tidak merasa bersalah.Kini Aluna sudah di depan ruangan Dirga, dengan santai ia membuka tanpa mengetuk pintu. Pemandangan di dalam sana membuat kepala Alu
Ceklek!Mata Inggit terbelalak melihat siapa yang datang ke rumahnya.“Leon... “ Suara Inggit tertahan karena tak percaya melihat sahabatnya yang sudah lama tidak ada kabar, berada di depannya saat ini.Mata Inggit berbinar bahagia, baginya Leon adalah keluarga kedua setelah Bu Aisyah.Tanpa berkata apa pun, Leon merentangkan kedua tangan, wajahnya menyiratkan kerinduan. Senyumnya merekah bahagia. Laki-laki berperawakan tinggi semampai dan berbadan atletis ini terus menampakkan giginya yang berderet rapi.Inggit menutup mulutnya tak percaya, dengan cepat ia masuk ke dalam pelukan Leon,“Aku kangen,” bisik Inggit.Leon mengelus rambut Inggit, kemudian turun mengelus punggungnya.“Aku tahu.”“Ke mana aja, Lo?” tanya Inggit mendongakkan kepala. Mata ted
“Siapa laki-laki itu, Nggit?” tanya Dirga pelan, dari nada suaranya, Dirga sedang menahan emosi.Inggit yang baru saja mandi, terkejut melihat Dirga sudah duduk di atas ranjang kamarnya. Seperti biasa Dirga selalu datang dan masuk begitu saja tanpa kabar dan suara.“Maksud Om yang tadi?” tanya Inggit pura-pura lupa. Dengan cuek ia mengeringkan rambutnya di depan cermin.“Tentu saja, siapa lagi!” balas Dirga kesal.“Oh, dia temenku.”“Bohong! Benar yang dikatakan Aluna?”“Apa?” Inggit mengernyit, apalagi yang dikatakan Aluna pada Dirga?“Kamu masih menjajakan dirimu pada laki-laki lain?” tanya Dirga sarkas.“Jaga mulut om Dirga! Inggit tidak seperti itu, bukankah justru Om yang tidak setia? Sudah memiliki Inggit, tapi masih tergoda dengan Aluna.”Dirga mulai gelisah, ia tidak mengira Inggit berani membalas ucapannya.“Mana mungkin om bisa diam, Nggit. Aluna sangat agresif menggoda,” sanggah Dirga, ia tidak mau serta merta disalahkan. “Om laki-laki normal,” imbuh Dirga.“Itu dia, Inggit
“Mohon perhatiannya, acara akan dimulai. Sebelumnya, mari kita sambut donatur untuk acara hari ini.” Suara pembawa acara menggema memenuhi ruangan. Seketika Inggit menatap podium, ia sangat penasaran Siapakah gerangan yang rela mengeluarkan banyak uang untuk acara reuni ini.“Tepuk tangan yang meriah untuk... Aluna Seza Arlington, alumni IPS 5.”Seketika tubuh Inggit membeku, Aluna? Aluna yang sudah merayu Dirga?Mata Inggit tak lepas dari podium, ia ingin memastikan apakah itu Aluna yang ia kenal atau bukan.Detak jantungnya tak karuan saat melihat sosok Aluna yang ia kenal naik ke atas podium dan memberi sambutan.Kaki Inggit gemetaran, seolah kakinya tak lagi berpijak, tubuhnya oleng. Untung saja Leon sigap menyangga tubuhnya.“Ada apa, Nggit?” tanya Leon panik. Ia membimbing Inggit untuk duduk di kursi yang berada di belakang.“Dia... Aluna?” tanya Inggit terbata, bukan bertanya, ia memastikan apa yang dilihatnya benar-benar Aluna, perempuan yang sudah menggoda Dirga.“Iya, ada ap
“Ternyata di luar sana kau b*nal, Nggit!” hardik Dirga.“Ma-maksud om apa?” tanya Inggit terbata-bata.Beberapa menit yang lalu, Inggit sudah bersiap tidur, walaupun masih pukul 8 malam. Inggit kelelahan menangis semenjak pulang dari reuni s*alan tadi. Menyesal rasanya datang ke acara reuni yang membuatnya kini memiliki citra yang buruk.Banyak pesan yang masuk ke ponsel miliknya, tentu saja isinya menghujat dirinya dengan sebutan sugar baby, bahkan pelacur.Mental Inggit lemah, tidak sanggup menghadapi cemoohan dan hinaan yang ditujukan pada dirinya. Inggit merasa kerdil saat ini, impiannya menjadi wanita kaya tanpa harus bekerja keras harus berakhir hati ini. Dengan cara memalukan.Inggit semakin terkejut saat tiba-tiba saja Dirga datang dan mengatainya b*nal. Tahu dari siapa tentang semua itu?“Pura-pura tidak tahu kamu?” teriak Dirga, ia berjalan mendekati Inggit, lalu dengan cepat ia menarik rambut Inggit yang tergerai panjang.“Auh, sakit, Om,” rintih Inggit kesakitan. Ia memega
Plak! Plak! “Kurang ajar kamu!” Dirga kembali menampar pipi Inggit untuk ke sekian kali. Ia marah melihat Aleta yang kembali kambuh. “Seharusnya kamu tidak mengusik siapa pun di sini, Nggit!” hardik Dirga. Inggit tidak bisa berbuat apa pun. Ingin membalas pun rasanya percuma. Kekuatannya tidak sebanding. “Jangan pernah ganggu dia lagi!” teriak Dirga. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi wajah, dan mata melotot menatap Inggit yang duduk di atas ranjang sambil memegangi kedua pipi. Dirga mendekati Inggit, saat berada di dekat telinga, ia berbisik, “Inggit! Kamu tawananku. Jangan pernah berbuat ulah yang membuatku harus berbuat kasar padamu. Mengerti?” Inggit memilih diam lalu membuang wajah. Napas Dirga seolah bau beracun yang harus dihindari. Ia sangat membenci laki-laki yang tidak mempunyai perasaan. “Di mana Aleta sekarang?” tanya Inggit. “Cih, kamu tak perlu tahu. Bukan urusanmu!” “Lantas ucapan Aleta, apakah semua itu benar?” tanya Inggit lirih. Ia melirik Dirga yang
Inggit merenung di dalam kamar mencoba memikirkan jalan keluar dari rumah Dirga. Sepertinya laki-laki itu membeli rumah baru, buktinya beberapa furnitur masih tertutup plastik pembungkus.Inggit belum tahu seluk belum rumah ini. Sepertinya ia harus menuruti Dirga untuk beberapa waktu. Sekaligus mencari tahu bagaimana cara keluar dari rumah itu.Inggit mengelus perutnya yang masih rata. Apakah janin di saja selamat? Ia berdoa, semoga anaknya sehat dan kuat di dalam sana.Inggit segera mengenakan baju yang baru saja diantar pelayan. Baju itu sangat pas melekat di tubuhnya, rupanya Dirga masih ingat berapa ukuran bajunya.Inggit menghela napas. Ingin kembali mengeluh, rasanya tidak pantas. Percuma! Tuhan tidak akan mengubah hidup jika dia tidak berusaha sendiri.Selesai memakai baju, datang lagi pelayan yang datang membawa makanan. Inggit hanya melirik sekilas makanan yang diletakkan di atas nakas.Berusaha tidak menyentuh, nyatanya perutnya berkata lain. Lapar melanda. Ia tidak sempat s
“Kamu yakin akan melawan Papaku?” tanya Leon malam itu. Ia bersama Inggit sedang duduk di balkon apartemen Leon.“Tentu saja! Darren mati karena dia.” Setiap kata yang keluar dari mulut Inggit penuh tekanan. Ada emosi yang tertahan di sana.“Kau mempunyai bukti?” tanya Leon memastikan. Ia berada di posisi serba salah. Jika membela Inggit sama saja ia bermusuhan dengan sang Papa, tetapi jika ia membela papanya, Inggit belum tentu salah.“Ada,” jawab Inggit singkat. Ia menyesap wine yang baru saja dituang Leon ke dalam gelasnya. Rasa hangat menggelitik tenggorokannya.“Apa itu?” tanya Leon lagi.“Rahasia.” Jawaban singkat Inggit justru memancing rasa penasaran Leon, tetapi laki-laki itu masih bisa menahan. Karena memang seharusnya dia tidak ikut campur.“Baiklah. Hati-hati saja. Papa bisa melakukan apa pun yang kita tidak duga,” ucap Leon memperingatkan.“Hmm.” Inggit tidak peduli. Asal bisa menjebloskan Dirga ke penjara sudah cukup baginya.Inggit tertidur di sofa. Sebenarnya ia lelah
“Bagus, aku suka kerjaanmu. Yakin tidak ada yang tahu?” tanya Dirga pada Hendra, mantan asisten Aluna.“Yakin sekali, Bos. Saya sudah memeriksa, tidak ada CCTV di sana. Jadi aman.”“Baiklah, ini bayaranmu.” Dirga melempar segepok uang berwarna merah pada Hendra.“Terima kasih, Bos. Jika butuh bantuan lagi, saya siap membantu.”Licik sekali Hendra, ia telah menipu banyak orang. Saat bersama Aluna, ia mengambil semua uang perusahaan tanpa jejak, bersama Darren, ia berkhianat dengan merusak rem mobil atas permintaan Dirga. Entah siapa lagi yang akan ia tipu saat ini, mungkinkah Dirga? Entah.Hendra keluar dari ruangan Dirga sambil bersiul senang. Ia berencana menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di bar.Di saat yang bersamaan, Hendra berpapasan dengan Inggit. Istri dari mantan bosnya itu terlihat berbeda.Inggit hanya melirik saat berpapasan. Ia tahu siapa Hendra. Walaupun tidak pernah bertemu langsung, ia pernah melihat suaminya dulu berbincang berdua. Lantas mengapa laki-laki itu
“Maksudmu apa, Nggit?” tanya Darren tidak mengerti. Ia menatap istrinya intens.“Om Dirga merencanakan pembunuhan untukmu.” Inggit tidak bisa mengendalikan perasaannya. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Darren.“Membunuhku? Kau bercanda, Nggit?” Darren tidak percaya begitu saja dengan ucapan istrinya. Ia tahu betul bagaimana pamannya. Tak mungkin setega itu pada saudara.“Kamu tidak percaya?” tanya Inggit heran.Langkah Darren terhenti, belum sempat ia membuka pintu kamar, Inggit menghentikan langkah.“Begini, Sayang. Om Dirga pamanku, tidak mungkin setega itu pada aku, keponakannya,” jawab Darren percaya diri.“Bagaimana jika benar? Yang jelas aku tidak mau datang,” sungut Inggit kesal.Darren berpikir sejenak. Walaupun belum lama mengenal Inggit, selama ini gadis itu selalu jujur. Bagaimana jika ucapan Inggit benar? Tapi, kenapa istrinya berani memberitahunya?“Apakah Om Dirga tidak mengancammu jika aku tahu rencana itu?” tanya Darren setelah mereka berada di dalam kamar.“Justr
“Sayang, nanti malam jangan lupa ada acara lamaran sepupuku. Kamu siap-siap ya, beli gaun yang bagus, tapi jangan terlalu seksi.” Darren mewanti-wanti Inggit saat membeli baju, ia tidak suka tubuh istrinya dikonsumsi banyak orang. Cukup dirinya saja yang melihat.“Kalau begitu beliin aja,” usul Inggit. Sebenarnya ia malas keluar rumah, tubuhnya masih sedikit lemas setelah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.Darren menatap Inggit intens. “Kamu masih lemes?” tanya Darren.Inggit menganggukkan kepala, lalu kembali merebahkan diri di atas ranjang.“Yaudah, aku nanti pesenin ke butik langganan, biar dianter sekalian. Istirahat aja di rumah. Tapi nanti malam mau kan ikut? Biar kamu ketemu sama semua sodara aku.”“Boleh, asal cepet pulang.”“Siap, Tuan Putri.” Darren mengecup pucuk kepala, lalu turun mencium bibir Inggit.“Hati-hati di rumah, kalau mau apa-apa minta sama pelayan, oke?”Inggit kembali mengangguk. Matanya masih terlihat sayu, wajah sedikit pucat, bahkan tubuh Ingg
“Pak, makan dulu.” Elsa mengingatkan Leon yang masih fokus menatap layar.Leon melirik Elsa yang meletakkan sekotak nasi bekal ke atas meja. Ia menghentikan aktivitas, lalu menatap Elsa dan kotak makan bergantian.Leon menghela napas. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot-repot membawakan bekal, Sa.”“A-anu, Pak. Ini titipan Mama, beliau memaksa membawakan bekal untuk Bapak.” Elsa merasa tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi, jika ia tidak menyampaikan amanah, bisa dikutuk oleh mamanya. Elsa tidak mau, ia memilih menjadi anak penurut dan disayang.“Baiklah. Terima kasih.” Leon tidak bisa berkata-kata lagi, jika menyangkut orang tua, dirinya tidak berani menolak.Lama tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu, membuat Leon tidak tega menyakiti Mama Elsa.“Tolong dihabiskan. Tadi mama nitip pesan seperti itu.”Leon mengangguk pelan. Karena sudah tidak ada lagi yang mereka bicarakan, Elsa berpamitan.Leon mengacak rambut, ia tidak habis pikir dengan sikap mama Elsa. Sejak pert
“Goblok kalian semua! Bagaimana bisa tidak ada yang melihat ke mana Inggit pergi!” teriak Darren marah.Beberapa penjaga dan pelayan di rumah Darren hanya diam dan menunduk. Tidak ada salah satu pun yang berani menatap Darren. Mereka paham, saat marah, laki-laki itu akan berubah seperti monster.Prang!Darren menendang vas yang terlihat di depannya, membuat pecahan vas berserakan di lantai.“Siapa yang tadi terakhir bertemu Inggit?” tanya Darren.“Sa-saya, Tuan.” Salah seorang penjaga bersuara.Darren menatapnya nyalang seolah ingin membunuh.Bugh! Bugh!Darren meninju perut penjaga itu berkali-kali sampai akhirnya lemas dan terduduk di lantai.“Pergi kalian semua!” teriak Darren.Tinggallah Darren terduduk di sofa, tubuhnya lemas, tak sanggup ia membayangkan Inggit bertahan sendirian di luar sana.Apa yang harus dilakukan sekarang? Darren bingung. Pikirannya buntu. Jika mencari Inggit, ke mana harus melangkah?Darren meraih ponsel, lalu mencoba menghubungi Inggit. Terhubung, sayangny
Inggit tak berdaya melihat siaran TV yang menayangkan berita penggerebekan Darren di hotel. Tubuhnya seketika lemas, seolah nyawa sudah lepas dari raga.Inggit melihat dengan jelas, Darren tergesa-gesa mengenakan pakaiannya saat polisi datang. Bahkan laki-laki itu seolah tidak merasa bersalah saat memarahi wartawan dan polisi yang membawanya keluar dari kamar.Air mata tak lagi dapat Inggit bendung. Lagi-lagi ia dikhianati oleh sosok laki-laki, inilah alasan mengapa dia memiliki trauma dengan pernikahan. Takut disakiti.Segera Inggit mematikan TV, lalu masuk ke kamar. Hatinya sakit. Ia merasa dunia begitu tidak adil, hanya penderitaan yang didapatkan. Andai bisa memilih, ia ingin hidup normal tanpa bayangan lelaki.Inggit masih bisa bertahan saat Darren menyiksa fisiknya, tetapi kali ini tidak bisa diterima oleh hati kecilnya.“Aku harus pergi!” Inggit bergegas mengambil tas, ponsel, dan ATM yang Darren berikan.Inggit mengendap-endap keluar dari rumah Darren yang dijaga ketat oleh be