“Ternyata di luar sana kau b*nal, Nggit!” hardik Dirga.“Ma-maksud om apa?” tanya Inggit terbata-bata.Beberapa menit yang lalu, Inggit sudah bersiap tidur, walaupun masih pukul 8 malam. Inggit kelelahan menangis semenjak pulang dari reuni s*alan tadi. Menyesal rasanya datang ke acara reuni yang membuatnya kini memiliki citra yang buruk.Banyak pesan yang masuk ke ponsel miliknya, tentu saja isinya menghujat dirinya dengan sebutan sugar baby, bahkan pelacur.Mental Inggit lemah, tidak sanggup menghadapi cemoohan dan hinaan yang ditujukan pada dirinya. Inggit merasa kerdil saat ini, impiannya menjadi wanita kaya tanpa harus bekerja keras harus berakhir hati ini. Dengan cara memalukan.Inggit semakin terkejut saat tiba-tiba saja Dirga datang dan mengatainya b*nal. Tahu dari siapa tentang semua itu?“Pura-pura tidak tahu kamu?” teriak Dirga, ia berjalan mendekati Inggit, lalu dengan cepat ia menarik rambut Inggit yang tergerai panjang.“Auh, sakit, Om,” rintih Inggit kesakitan. Ia memega
“S*alan!” teriak Dirga kesal, pagi ini ia baru saja pulang dari apartemen Aluna. Ia terkejut mendapati pjntu pagar telah terbuka, begitu juga dengan pintu rumah. Ditambah pintu gudang sudah rusak parah, Inggit tidak ada di dalam. Membuat daftar kekesalannya bertambah.“Siapa yang membantu gadis itu keluar?” Dirga terdiam, mencoba memikirkan kemungkinan yang terjadi.“Leon... “ Nama anaknya pelan ia sebut, Dirga ingat jika anaknya itu sama seperti dirinya, mencintai Inggit.Dirga yakin sekali jika Leon lah yang menyelamatkan Inggit.“Anak kurang aj*r! Beraninya dia melawan aku,” geram Dirga. Ia marah, anak semata wayang yang dulu selalu bisa ia kendalikan, kini mulai membangkang.Dirga belum sanggup kehilangan Inggit, gadis itu harus kembali padanya apa pun yang terjadi.Dirga berpikir, sepertinya ia harus mulai bersikap keras pada Inggit, pun dengan Leon. Jika gertakannya beberapa waktu yang lalu tidak mempan, ia harus berbuat kasar.Seperti inilah sifat Dirga yang asli, keras, tegas,
Inggit termenung, ia duduk sendirian di kursi yang berada di balkon. Matanya menatap lurus ke depan, tidak ada fokus di sana.Inggit lelah, rapuh, dan butuh sandaran. Batinnya bergejolak ingin lepas dari semua masalah yang mendera hidupnya. Sayang, Tuhan lebih menyayangi dirinya, Tuhan ingin melihat usaha Inggit. Tuhan ingin melihat sejauh mana Inggit berlari memecahkan masalah hidupnya.Hatinya terasa kosong, jiwanya seolah pergi berkelana entah ke mana.Dirga, laki-laki yang diharapkan bisa memberikan perubahan pada hidupnya, kini memperlakukan dirinya seperti binatang.Dirga tahu Inggit takut gelap, mengapa tega mengurungnya di gudang? Dirga tahu masa lalu Inggit, kenapa masih tidak percaya?“Makan, Nggit!” Leon datang membawakan sepiring nasi padang. Sebelum pulang dari kantor ia menyempatkan mampir membeli makanan untuk Inggit.Inggit bergeming, ia hanya melirik sekilas tanpa berminat menerima uluran piring dari Leon.Leon menghela napas, ia tahu Inggit kembali berada di titik te
Panik! Itulah yang dirasakan Leon saat ini. Berkali-kali ia menghubungi Inggit, tapi gagal. Saat ini ia berada di depan panti asuhan yang Inggit maksud.Sebelumnya Inggit menolak saat Leon berinisiatif mengantarkan, ia lebih memilih naik, lebih santai kata Inggit.Sampai pukul 9 malam, Inggit tak juga keluar Leon masuk ke dalam panti, menanyakan di mana Inggit. Begitu tahu Inggit sudah tidak ada di panti, Leon mulai gelisah, ia khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Mengingat Inggit menjadi incaran papanya.Leon tidak bisa berpikir jernih, seolah ada yang hilang di dalam sana begitu dirinya belum bisa menemukan di mana Inggit berada.Leon takut, Inggit ditemukan papanya. Akan menjadi seperti apa perempuan lemah itu jika kembali ke pelukan papanya. Leon yakin, kali ini adalah ulah papanya.Segera Leon menginjak pedal gas, mobil kembali melaju di jalanan dengan cepat. Leon tak peduli jika hubungan dengan papanya nanti kembali retak. Keselamatan Inggit lebih penting.Sementara i
“Haha... Akhirnya Om Dirga suka rela mendekat,” seru Aluna senang. Ia merebahkan diri di kamar dengan santai.Bagi Aluna hati ini adalah hari keberuntungan untuknya. Bagaimana tidak, baru saja Mami menelepon, mengatakan bahwa Mami sangat puas dengan Inggit yang berhasil dibawa Aluna ke rumah bordil.Sekarang, Dirga yang sempat menolaknya kembali menghubungi dirinya. Aluna menebak, Dirga curiga atas hilangnya Inggit.Tak apa! Aluna mampu menghadapi Dirga atau siapa pun yang mengganggu hidupnya. Aluna bersyukur dianugerahi otak cemerlang, sehingga mampu menghadapi situasi sesulit apa pun.“Balas atau tidak ya?” ucap Aluna.“Ah, tidak usah. Biar dia datang sendiri menemuiku. Giliran aku yang akan jual mahal, Om!”---“Inggit, Lo di panggil Mami ke ruangannya. Ayo aku antar.” Mery masuk ke kamar Inggit.“Untuk apa?” tanya Inggit heran.“Ck, jangan pura-pura lupa. Hari ini lo resmi jadi penghuni rumah bordil Mami. Ikuti kata Mami, kalau gak pengen disiksa.”Mendengar jawaban Mery, Inggit s
inggit menangis sesenggukan di pojok kamar, matanya membengkak karena terlalu lama menangis. beberapa bagian tubuhnya, membekas merah terkena cambukan darren. sesuai dugaan inggit, darren memiliki kelainan seks yang mengerikan. tulang-tulang inggit serasa patah serentak, bahkan hampir saja inggit kehilangan nyawa, karena darren sempat mencekik lehernya. air mata inggit terus mengalir deras di pipi. darren sudah keluar dari kamar, setelah memuaskan hasratnya, darren pergi begitu saja, membiarkan luka di tubuh inggit semakin menganga. sedih, kecewa, dan marah menjadi satu, siapa yang harus ia salahkan saat tuhan memberikan jalan hidup seperti ini? ceklek!datanglah darren membawa kotak p3k di tangan, wajahnya sudah lebih segar dari sebelumnya. “kemarilah, aku obati luka itu,” perintah darren, seorah kerbau dicucuk hidungnya, inggit menurut saja. ia menutupi tubuh polosnya menggunakan selimut tebal. inggit yakin ada sisi lain dari darren yang bisa dimanfaatkan. ia yakin, darren buk
“Papa g*la!” hardik Leon begitu sampai di kantor Dirga. Ia menatap papanya nyalang, seolah bertemu dengan musuh.“Maksudmu?” tanya Dirga tenang. Ia berpura-pura memeriksa berkas di mejanya.“Aluna! Apa maksud papa akan menikah dengan Aluna? Bukankah papa janji akan mencari Inggit bersama?” tanya Leon lirih.“Inggit? Ah, iya... kemarin papa memang berminat mencari Inggit. Tapi, sekarang tidak lagi. Kau carilah gadis itu sendiri. Bukankah kamu mencintai Inggit?” jawab Dirga tenang. Ia memang sudah menyiapkan jawaban dan mental jika Leon datang menemuinya untuk bertanya.“Kenapa papa berubah pikiran secepat itu?” tanya Leon tak percaya.“Inggit bukan siapa-siapa. Papa hanya butuh kenikmatan, dan bisa papa dapatkan dari Aluna. Salah?” dusta Dirga. Ya, sengaja ia berbohong pada Leon, agar anaknya itu tidak bertanya yang lain.Nama Inggit masih tersemat kuat di hati Dirga, ada harga yang harus Dirga bayar untuk mendapatkan Inggit kembali.“Kurang aj*r!”Bugh!Leon meninju perut papanya, mem
Brak!Leon membuka pintu ruangan Aluna kasar, membuat penghuni ruangan itu seketika menoleh ke arah pintu.“Katakan di mana Inggit?” cecar Leon tidak sabar, napasnya memburu. Ia berdiri tepat di depan meja kerja Aluna.Aluna tidak terkejut dengan kedatangan Leon, ia sudah memperkirakan ini semua. Aluna yakin, Dirga yang memberitahu anaknya ini untuk menemuinya jika bertanya tentang Inggit.Aluna tahu, jika Dirga belum sepenuhnya mencintai dan menerima dirinya, mungkin saja ada misi mencari tahu keberadaan Inggit. Terbukti bukan? Leon mendatangi dirinya begitu ia mempublikasikan pernikahannya dengan Dirga.Lantas, apakah Aluna benar-benar ingin menikah dengan Dirga? Jawabannya, iya! Ada banyak tujuan yang ingin Aluna raih dengan menikahi Dirga.“Apa maksudmu, Leon? Kau datang tanpa salam, lalu memaki. Apakah sopan?” ejek Aluna. Ia menghentikan aktivitasnya, lalu fokus menatap Dirga dengan pandangan menyebalkan. Jika saat ini Leon lepas kendali, ia tidak akan segan memukul gadis licik i
Plak! Plak! “Kurang ajar kamu!” Dirga kembali menampar pipi Inggit untuk ke sekian kali. Ia marah melihat Aleta yang kembali kambuh. “Seharusnya kamu tidak mengusik siapa pun di sini, Nggit!” hardik Dirga. Inggit tidak bisa berbuat apa pun. Ingin membalas pun rasanya percuma. Kekuatannya tidak sebanding. “Jangan pernah ganggu dia lagi!” teriak Dirga. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi wajah, dan mata melotot menatap Inggit yang duduk di atas ranjang sambil memegangi kedua pipi. Dirga mendekati Inggit, saat berada di dekat telinga, ia berbisik, “Inggit! Kamu tawananku. Jangan pernah berbuat ulah yang membuatku harus berbuat kasar padamu. Mengerti?” Inggit memilih diam lalu membuang wajah. Napas Dirga seolah bau beracun yang harus dihindari. Ia sangat membenci laki-laki yang tidak mempunyai perasaan. “Di mana Aleta sekarang?” tanya Inggit. “Cih, kamu tak perlu tahu. Bukan urusanmu!” “Lantas ucapan Aleta, apakah semua itu benar?” tanya Inggit lirih. Ia melirik Dirga yang
Inggit merenung di dalam kamar mencoba memikirkan jalan keluar dari rumah Dirga. Sepertinya laki-laki itu membeli rumah baru, buktinya beberapa furnitur masih tertutup plastik pembungkus.Inggit belum tahu seluk belum rumah ini. Sepertinya ia harus menuruti Dirga untuk beberapa waktu. Sekaligus mencari tahu bagaimana cara keluar dari rumah itu.Inggit mengelus perutnya yang masih rata. Apakah janin di saja selamat? Ia berdoa, semoga anaknya sehat dan kuat di dalam sana.Inggit segera mengenakan baju yang baru saja diantar pelayan. Baju itu sangat pas melekat di tubuhnya, rupanya Dirga masih ingat berapa ukuran bajunya.Inggit menghela napas. Ingin kembali mengeluh, rasanya tidak pantas. Percuma! Tuhan tidak akan mengubah hidup jika dia tidak berusaha sendiri.Selesai memakai baju, datang lagi pelayan yang datang membawa makanan. Inggit hanya melirik sekilas makanan yang diletakkan di atas nakas.Berusaha tidak menyentuh, nyatanya perutnya berkata lain. Lapar melanda. Ia tidak sempat s
“Kamu yakin akan melawan Papaku?” tanya Leon malam itu. Ia bersama Inggit sedang duduk di balkon apartemen Leon.“Tentu saja! Darren mati karena dia.” Setiap kata yang keluar dari mulut Inggit penuh tekanan. Ada emosi yang tertahan di sana.“Kau mempunyai bukti?” tanya Leon memastikan. Ia berada di posisi serba salah. Jika membela Inggit sama saja ia bermusuhan dengan sang Papa, tetapi jika ia membela papanya, Inggit belum tentu salah.“Ada,” jawab Inggit singkat. Ia menyesap wine yang baru saja dituang Leon ke dalam gelasnya. Rasa hangat menggelitik tenggorokannya.“Apa itu?” tanya Leon lagi.“Rahasia.” Jawaban singkat Inggit justru memancing rasa penasaran Leon, tetapi laki-laki itu masih bisa menahan. Karena memang seharusnya dia tidak ikut campur.“Baiklah. Hati-hati saja. Papa bisa melakukan apa pun yang kita tidak duga,” ucap Leon memperingatkan.“Hmm.” Inggit tidak peduli. Asal bisa menjebloskan Dirga ke penjara sudah cukup baginya.Inggit tertidur di sofa. Sebenarnya ia lelah
“Bagus, aku suka kerjaanmu. Yakin tidak ada yang tahu?” tanya Dirga pada Hendra, mantan asisten Aluna.“Yakin sekali, Bos. Saya sudah memeriksa, tidak ada CCTV di sana. Jadi aman.”“Baiklah, ini bayaranmu.” Dirga melempar segepok uang berwarna merah pada Hendra.“Terima kasih, Bos. Jika butuh bantuan lagi, saya siap membantu.”Licik sekali Hendra, ia telah menipu banyak orang. Saat bersama Aluna, ia mengambil semua uang perusahaan tanpa jejak, bersama Darren, ia berkhianat dengan merusak rem mobil atas permintaan Dirga. Entah siapa lagi yang akan ia tipu saat ini, mungkinkah Dirga? Entah.Hendra keluar dari ruangan Dirga sambil bersiul senang. Ia berencana menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di bar.Di saat yang bersamaan, Hendra berpapasan dengan Inggit. Istri dari mantan bosnya itu terlihat berbeda.Inggit hanya melirik saat berpapasan. Ia tahu siapa Hendra. Walaupun tidak pernah bertemu langsung, ia pernah melihat suaminya dulu berbincang berdua. Lantas mengapa laki-laki itu
“Maksudmu apa, Nggit?” tanya Darren tidak mengerti. Ia menatap istrinya intens.“Om Dirga merencanakan pembunuhan untukmu.” Inggit tidak bisa mengendalikan perasaannya. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Darren.“Membunuhku? Kau bercanda, Nggit?” Darren tidak percaya begitu saja dengan ucapan istrinya. Ia tahu betul bagaimana pamannya. Tak mungkin setega itu pada saudara.“Kamu tidak percaya?” tanya Inggit heran.Langkah Darren terhenti, belum sempat ia membuka pintu kamar, Inggit menghentikan langkah.“Begini, Sayang. Om Dirga pamanku, tidak mungkin setega itu pada aku, keponakannya,” jawab Darren percaya diri.“Bagaimana jika benar? Yang jelas aku tidak mau datang,” sungut Inggit kesal.Darren berpikir sejenak. Walaupun belum lama mengenal Inggit, selama ini gadis itu selalu jujur. Bagaimana jika ucapan Inggit benar? Tapi, kenapa istrinya berani memberitahunya?“Apakah Om Dirga tidak mengancammu jika aku tahu rencana itu?” tanya Darren setelah mereka berada di dalam kamar.“Justr
“Sayang, nanti malam jangan lupa ada acara lamaran sepupuku. Kamu siap-siap ya, beli gaun yang bagus, tapi jangan terlalu seksi.” Darren mewanti-wanti Inggit saat membeli baju, ia tidak suka tubuh istrinya dikonsumsi banyak orang. Cukup dirinya saja yang melihat.“Kalau begitu beliin aja,” usul Inggit. Sebenarnya ia malas keluar rumah, tubuhnya masih sedikit lemas setelah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.Darren menatap Inggit intens. “Kamu masih lemes?” tanya Darren.Inggit menganggukkan kepala, lalu kembali merebahkan diri di atas ranjang.“Yaudah, aku nanti pesenin ke butik langganan, biar dianter sekalian. Istirahat aja di rumah. Tapi nanti malam mau kan ikut? Biar kamu ketemu sama semua sodara aku.”“Boleh, asal cepet pulang.”“Siap, Tuan Putri.” Darren mengecup pucuk kepala, lalu turun mencium bibir Inggit.“Hati-hati di rumah, kalau mau apa-apa minta sama pelayan, oke?”Inggit kembali mengangguk. Matanya masih terlihat sayu, wajah sedikit pucat, bahkan tubuh Ingg
“Pak, makan dulu.” Elsa mengingatkan Leon yang masih fokus menatap layar.Leon melirik Elsa yang meletakkan sekotak nasi bekal ke atas meja. Ia menghentikan aktivitas, lalu menatap Elsa dan kotak makan bergantian.Leon menghela napas. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot-repot membawakan bekal, Sa.”“A-anu, Pak. Ini titipan Mama, beliau memaksa membawakan bekal untuk Bapak.” Elsa merasa tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi, jika ia tidak menyampaikan amanah, bisa dikutuk oleh mamanya. Elsa tidak mau, ia memilih menjadi anak penurut dan disayang.“Baiklah. Terima kasih.” Leon tidak bisa berkata-kata lagi, jika menyangkut orang tua, dirinya tidak berani menolak.Lama tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu, membuat Leon tidak tega menyakiti Mama Elsa.“Tolong dihabiskan. Tadi mama nitip pesan seperti itu.”Leon mengangguk pelan. Karena sudah tidak ada lagi yang mereka bicarakan, Elsa berpamitan.Leon mengacak rambut, ia tidak habis pikir dengan sikap mama Elsa. Sejak pert
“Goblok kalian semua! Bagaimana bisa tidak ada yang melihat ke mana Inggit pergi!” teriak Darren marah.Beberapa penjaga dan pelayan di rumah Darren hanya diam dan menunduk. Tidak ada salah satu pun yang berani menatap Darren. Mereka paham, saat marah, laki-laki itu akan berubah seperti monster.Prang!Darren menendang vas yang terlihat di depannya, membuat pecahan vas berserakan di lantai.“Siapa yang tadi terakhir bertemu Inggit?” tanya Darren.“Sa-saya, Tuan.” Salah seorang penjaga bersuara.Darren menatapnya nyalang seolah ingin membunuh.Bugh! Bugh!Darren meninju perut penjaga itu berkali-kali sampai akhirnya lemas dan terduduk di lantai.“Pergi kalian semua!” teriak Darren.Tinggallah Darren terduduk di sofa, tubuhnya lemas, tak sanggup ia membayangkan Inggit bertahan sendirian di luar sana.Apa yang harus dilakukan sekarang? Darren bingung. Pikirannya buntu. Jika mencari Inggit, ke mana harus melangkah?Darren meraih ponsel, lalu mencoba menghubungi Inggit. Terhubung, sayangny
Inggit tak berdaya melihat siaran TV yang menayangkan berita penggerebekan Darren di hotel. Tubuhnya seketika lemas, seolah nyawa sudah lepas dari raga.Inggit melihat dengan jelas, Darren tergesa-gesa mengenakan pakaiannya saat polisi datang. Bahkan laki-laki itu seolah tidak merasa bersalah saat memarahi wartawan dan polisi yang membawanya keluar dari kamar.Air mata tak lagi dapat Inggit bendung. Lagi-lagi ia dikhianati oleh sosok laki-laki, inilah alasan mengapa dia memiliki trauma dengan pernikahan. Takut disakiti.Segera Inggit mematikan TV, lalu masuk ke kamar. Hatinya sakit. Ia merasa dunia begitu tidak adil, hanya penderitaan yang didapatkan. Andai bisa memilih, ia ingin hidup normal tanpa bayangan lelaki.Inggit masih bisa bertahan saat Darren menyiksa fisiknya, tetapi kali ini tidak bisa diterima oleh hati kecilnya.“Aku harus pergi!” Inggit bergegas mengambil tas, ponsel, dan ATM yang Darren berikan.Inggit mengendap-endap keluar dari rumah Darren yang dijaga ketat oleh be