“Bagaimana? Kamu puas?” tanya Om Dirga padaku yang berada dalam dekapannya. Dialah tambang uang dan pemuas nafsuku, pria dewasa berumur 45 tahun.
“Hmmm... “ Semakin kusurukkan kepala ke dalam dada Om Dirga yang bidang. Aroma maskulin tercium oleh indra penciumanku.
Om Dirga bergerak membenarkan posisinya yang lebih nyaman. Lalu mengelus rambut hitam yang tergerai menutupi wajahku sedikit.
Kulihat senyum om Dirga sangat menawan, kumis tipis, bibirnya yang merah bebas nikotin, dan yang paling membuatku suka adalah brewok om Dirga.
“Tidurlah kalau kau mengantuk, aku akan terus menemanimu sampai tertidur.”
Mendengar itu, seketika kupejamkan mata, lalu tidur. Membiarkan om Dirga terus membelai rambut, dan sesekali mengelus punggung polosku.
Pertempuran yang baru saja terjadi, bukanlah yang pertama bagiku. Sejak SMA, aku sudah kehilangan keperawanan karena ulah seseorang yang kurang ajar memaksaku memuaskan nafsunya. Pak Wendi, kepala sekolahku sendiri yang sudah menodai dan merusak masa depanku.
Dulu aku sempat menjadi kebanggaan sekolah, karena mampu memenangkan setiap perlombaan yang kuikuti. Namun, semua berubah sejak saat itu, saat di mana Pak Wendi dengan beringas menindih tubuh kecilku di dalam ruangannya.
Dengan alasan memberikan uang hasil lomba, beliau berhasil membawaku ke dalam ruangannya, lalu terjadilah sesuatu yang tidak kuinginkan. Sesuatu yang kujaga mati-matian, hilang percuma oleh kepala sekolahku.
Itulah titik balik yang menjadikan diriku seperti sekarang, menjelajahi pria berumur dan banyak uang tentunya, untuk memuaskan nafsu sekaligus mendapatkan uang.
Om Dirga adalah laki-laki kedua yang menjadi targetku. Dia loyal, apa pun yang kuinginkan akan selalu dituruti, termasuk rumah yang kutempati sekarang.
Aku menikmati hidupku sekarang, banyak uang tanpa harus bekerja, ditambah bisa menikmati surga dunia tanpa harus terikat dengan ikatan pernikahan.
Jangan dikira aku pelakor, jangan! Aku hanya mau dengan laki-laki yang tidak memiliki istri. Risiko terlalu besar jika berhubungan dengan lelaki beristri. Aku belum siap dilabrak istri sah seperti di sinetron ikan terbang.
---
“Kamu sudah bangun?” sapa Om Dirga saat aku sampai di dapur. Kulihat om Dirga sangat cekatan memasak di dapur, menggoreng ayam, ia mampu membuat kue, bahkan camilan. Beruntung sekali aku mendapatkan om Dirga.
“Sudah, Om. Kenapa gak bangunin aku sih?” kupeluk Om Dirga dari belakang, bau sabun tercium dari tubuhnya.
“Kamu nyenyak sekali, Nggit. Mana tega Om bangunin kamu.” Om Dirga terus memasak tanpa menghiraukan pelukanku.
“Inggit ingin Om,” rajukku manja. Sengaja kubelai perut Om Dirga, dan sesekali mencubitnya.
“Jangan goda aku, Nggit. Om ada kerjaan pagi ini, harus ke kantor.” Segera kulepas pelukanku, sengaja kaki kuhentak dengan keras, agar Om Dirga tahu, bahwa aku kesal dengan ucapannya.
“Om gak mau lagi sama Inggit?” tanyaku kesal.
Kulihat Om Dirga menghela napas, “ Maaf, Nggit. Om banyak kerjaan, tapi om janji, nanti akan cepet pulang.”
“Baiklah, baiklah, Inggit paham, Om.”
Aku duduk di kursi, mengamati setiap gerakan Om Dirga. Kuamati wajahnya yang masih terlihat tampan di usianya yang sudah banyak. Aku jadi penasaran, seperti apa wajahnya saat masih muda, pasti ganteng.
Om Dirga pernah bercerita, bahwa ia mempunyai anak laki-laki yang hampir seumuran denganku.
“Jangan liatin Om terus, nanti jatuh cinta.”
Suara Om Dirga mengejutkanku, membuyarkan lamunanku tentangnya.
“Udah cinta, kan?” sahutku asal.
“Mana ada cinta, diajak nikah gak mau.”
Jleb!
Memang aku tidak ingin menikah, tidak mau terikat, apalagi harus bertemu dengan orang yang sama setiap hari, bosan.
“Jangan mancing-mancing deh, Om.”
“Beneran kan? Om ingin hidup bersamamu, tapi kamu menolak.”
“Inggit lebih senang seperti ini saja Om.”
Om Dirga menghentikan tangannya yang sedang menata ayam di atas piring. Ia menatapku tajam, segera kualihkan pandangan, agar Om Dirga tidak melihat kebohongan di wajahku.
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku merasa nyaman bersama Om Dirga, dia sangat mengayomi, bahkan bisa mengerti keadaanku. Berbeda dengan kedua orang tuaku yang sekarang saja aku tidak tahu mereka di mana. Aku dibuang begitu saja ke panti asuhan saat aku masih membutuhkan mereka. Masih teringat jelas wajah ibu dan ayah saat meninggalkanku di panti, tanpa air mata, dan rasa bersalah sedikit pun.
“Jawab Om, Nggit. Kamu nyaman kan bersama Om?” tanya Om Dirga sambil berlutut di depanku. Kedua tangannya menggenggam tanganku erat.
Mataku berkaca-kaca, ingin menjawab tapi bibirku kelu. Bagaimana ini Tuhan? Aku cinta Om Dirga.
Kugelengkan kepalaku berkali-kali, aku tidak mau Om Dirga menerimaku yang hina ini. Ia pantas mendapatkan yang lebih dariku.
“Kalau Om tanya itu lagi, lebih baik kita putus saja, Om.” Akhirnya keluar dari mulutmu kata-kata itu.
Perlahan Om Dirga melepas genggamannya. Lalu kembali menyiapkan sarapan. Ini kali pertama kami makan dengan diam. Mungkin Om Dirga marah dengan ucapanku, tapi memang benar, aku merasa hina bersama dirinya. Om Dirga orang yang baik, ia pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dariku.
Om Dirga berangkat bekerja tanpa pamit, wajahnya kembali seperti es seperti awal kami bertemu di salah satu hotel bintang lima. Dia baru saja selesai rapat, dan aku baru saja melayani seseorang yang menginginkan jasaku. Waktu itu kami sama-sama terjebak di dalam lift yang entah kenapa tiba-tiba berhenti. Aku yang memiliki phobia, tentu saja sangat takut, sampai menangis waktu itu. Namun, Om Dirga dengan cepat memelukku erat, dan membisikkan kata yang menenangkan, sehingga membuatku bisa bertahan sampai akhirnya lift terbuka. Sejak saat itulah aku selalu mengejar Om Dirga.
---
Aku merenung menatap pintu, berharap Om Dirga segera pulang dari bekerja. Namun, nihil, pintu tetap tertutup sampai 8 malam. Sudah dipastikan Om Dirga pulang ke rumah aslinya, bukan kemari.
Dengan lemas, segera kukunci pintu dan jendela, lalu menutup gorden.
Dengan langkah lunglai aku kembali ke kamar. Wangi tubuh Om Dirga masih tercium okeh hidungku. Wangi khas yang hanya dimiliki oleh Om Dirga.
Kuambil kemeja milik Om Dirga yang berada di keranjang baju kotor, lalu menciumnya perlahan. Menikmati setiap wangi tubuh Om Dirga yang tertinggal.
Apakah aku sudah jatuh cinta pada pria berumur itu? Gila! Aku tidak boleh menikah. Menikah hanya akan membuatku terkekang, oke?
Berkali-kali aku mensugestikan diriku bahwa aku tidak boleh menikah, menikah hanya akan membuatku tidak bebas lagi.
Selesai menghirup bau tubuh Om Dirga yang tertinggal di baju miliknya, kuambil ponsel di atas nakas. Tidak ada pesan dari Om Dirga sama sekali. Apakah dia benar-benar marah padaku?
Ah, tiba-tiba saja aku merindukannya. Merindukan sentuhan lembutnya, dan semua hal tentang Om Dirga, aku rindu. Sialan!
Mengirimkan pesan duluan tidak mungkin, gengsi! Telepon minta ditemani lagi? Malu! Ah sudahlah, lebih baik aku tidur. Siapa tahu besok Om Dirga sudi datang menemuiku.
Segera kurebahkan tubuhku ke atas ranjang, lalu memejamkan mata. Berharap hari esok lebih baik lagi.
---
Kubuka mata perlahan, menoleh ke sekeliling, tidak ada siapapun. Tiba-tiba saja hati ini kecewa, karena Om Dirga tidak bersamaku seperti biasanya.
Tiba-tiba rindu datang dan memporak-porandakan hatiku. Ya Tuhan, bagaimana ini? Kenapa rasanya sepi dan hampa tanpa Om Dirga?
Kulirik jam di dinding, sudah jam 7 pagi. Tiba-tiba saja sebuah ide datang. Segera aku menuju kamar mandi, dan bersiap keluar.
Setelah yakin semua oke, segera aku keluar dan naik ke dalam taksi online yang sudah ku pesan.
Selama perjalanan, terus kuserukan doa, agar hati Om Dirga luluh.
Sesampainya di kantor Om Dirga, segera aku menuju ruangannya, tak kepedulikan tatapan tidak suka dari beberapa orang yang melihatku. Untung saja, Om Dirga pernah mengajakku sekali ke kantornya, sehingga aku tahu di mana ruangannya.
Ceklek!
Mataku terbelalak saat melihat Om Dirga sedang berciuman dengan seorang perempuan cantik.
Saat melihatku datang, Om Dirga segera melepas pelukannya dan sedikit mendorong tubuh perempuan itu.
“Inggit, kenapa kemari?” tanya Om Dirga salah tingkah. Kulihat ia memberikan isyarat pada perempuan itu untuk keluar.
Setelah yakin perempuan itu keluar, Om Dirga segera memelukku erat.
Pelukan Om Dirga sangat erat, membuatku kelelahan meronta ingin dilepaskan.
“Siapa perempuan tadi, Om?” tanyaku pelan.
“Dia... Dia Weni, sekretarisku.”
“Om cinta dia?”
“Ah, itu... Sebenarnya tidak.”
“Lalu kenapa Om mencium dia?” hardikku keras.
“Karena Om menginginkan dan kamu tidak ada, Inggit! Kamu tahu sendiri Om tidak bisa sebentar saja menahan diri, tapi kamu menolak permintaan Om.”
“Inggit belum siap, Om. Inggit ingin seperti ini saja.”
“Sampai kapan, Nggit?” tanya Om Dirga pelan di dekat telingaku.
“Sampai Inggit siap, Om.”
“Kapan, Nggit?” tanya Om Dirga putus asa.
“Kalau Om ingin kenikmatan, Inggit bisa berikan. Namun, kalau pernikahan, jangan nikahi Inggit, Om!”
“Kapan, Nggit?” tanya Om Dirga putus asa.“Kalau Om ingin kenikmatan, Inggit bisa berikan. Namun, kalau pernikahan, jangan nikahi Inggit, Om!”Mata Om Dirga membelalak mendengar ucapanku, ia menautkan alisnya lalu menggeleng.“Ada apa, Nggit?” tanya Om Dirga pelan. Ia melepas pelukannya dengan kasar, seolah tidak Terima dengan ucapanku.“Om tidak perlu tahu apa alasannya!”“Om harus tahu, karena kamu menjadi tanggung jawab Om sekarang.”“Kita hanya sebatas saling menguntungkan, Om. Aku dapat uang, dan om dapat kenikmatan, itu saja!” Sakit, sungguh sakit saat aku mengatakan kalimat itu, bukan hanya uang, aku mendapatkan apa yang aku inginkan, sesuatu yang selama ini aku harapkan, yaitu kasih sayang. Namun, aku tidak mau Om Dirga tahu bagaimana perasaanku.“Jadi, kamu memandang Om hanya sebatas itu, Nggit?” tanya Om Dirga tak percaya.“Iya, lebih baik kita putus saja, Om!” Setelah mengucapkan itu, aku segera berbalik pergi meninggalkan ruangan Om Dirga. Aku tak peduli dengan teriakan Om
Pov AuthorSepeninggal Inggit, Dirga mengusap wajahnya kasar, ia tidak habis pikir dengan Inggit, selalu mengancam putus saat ia mengungkapkan keinginannya, yaitu pernikahan.“Apa yang sebenarnya terjadi pada Inggit? Kenapa dia begitu takut menikah?” gumam Dirga.Salahnya sendiri tadi tidak bisa menjaga nafsunya, begitu Weni menggoda ia mau-maunya mengikuti permainan Weni.“Sialan!” Umpat Dirga kesal.Dirga meletakkan bokongnya di atas kursi, salah satu tangannya memijit pelipisnya yang terasa sakit. Memikirkan Inggit membuatnya sakit, andaikan gadis muda itu mau diajak menikah, mungkin Dirga tidak akan seperti ini. Melepaskan Inggit-pun Dirga tidak rela, belum pernah ia bertemu gadis muda seperti Inggit sebelumnya.“Ah, sebaiknya aku mengajaknya dinner seperti biasa, agar ia mau memaafkanku.”Segera Dirga meraih ponselnya, lalu menelepon Inggit.Gagal! Inggit tidak mengangkatnya.Dirga mencoba menelepon kembali, sayangnya sampai panggilan ke tujuh, Inggit tidak mengangkat telepon dar
Inggit berdandan secantik mungkin, mini dress model rok A-line berwarna nude yang pas di tubuhnya membuat keseluruhan pada diri Inggit sangat menarik. Tak lupa ia poleskan sedikit lipmatte warna senada.Untuk acara diner malam ini, sengaja sebelumnya ia pergi ke salon untuk menata dan mengecat rambutnya, agar lebih fresh dilihat.“Cantik!”Setelah memastikan semua oke, segera inggit keluar dari rumah dan masuk ke dalam ojek mobil online yang sudah menunggu di depan pagar.“Sesuai aplikasi ya, Mbak!”“Hmm... “ Inggit fokus menatap jalanan, ia malas ramah pada orang yang baru saja bertemu.Suasana malam ini lumayan ramai, sabtu malam menjadi hari yang paling di tunggu. Inggit melihat sebuah motor menyalip mobil yang ia naiki dengan kecepatan sedang, sepertinya mengejar waktu, karena beberapa kali pengendara itu melihat jam di tangannya. Tiba-tiba saja ia teringat saat masih SMA, di mana ia sering jalan kaki, karena jarang memiliki uang hanya untuk sekedar naik angkot ke sekolah.Ibu Ais
Brugh!Aluna menabrak seseorang hingga dirinya terjatuh, isi tasnya berhamburan ke lantai. Sebelumnya ia tidak melihat jalan, karena sibuk mencari kunci mobil.“Kalau jalan hati-hati dong!” tegur Aluna dengan kesal pada seseorang yang ia tabrak.“Harusnya kamu yang hati-hati, siapa yang duluan menabrak?” balas seseorang yang ditabrak Aluna.Aluna mendongak menatap seseorang yang ia tabrak, seketika ia membelalak, tidak percaya dengan penglihatannya. Setelah isi tasnya kembali masuk ke dalam tas, ia berdiri.Entah ini musibah atau keberuntungan untuk dirinya. Dirga! Seseorang yang Aluna tabrak adalah Dirga. Di saat ia bingung mencari cara berdekatan dengan Dirga, kini Tuhan menakdirkan mereka bertemu.Baru saja Aluna bertemu klien di privat room yang disediakan oleh pihak hotel, karena sudah selesai, Aluna berencana langsung kembali ke kantor, ada beberapa hal yang ingin ia pastikan.Dirga melotot melihat siapa yang ia tabrak, Aluna. Pesaing bisnisnya.“Senang bisa bertemu Anda di sini
Aluna berjalan anggun menuju ruangan Dirga, berbeda dengan kemarin, kali ini ia memiliki ide lain, yaitu menghasut Dirga.Aluna tahu perbuatannya salah, tapi rasa cemburu sudah membutakan hati dan pikirannya. Tujuannya kali ini menghancurkan Dirga, dan juga menyakiti hati Inggit.Perusahaan miliknya selama masih aman, ia biarkan berjalan seperti biasa, karena menurutnya, selama terus berada di dekat Dirga, tidak mungkin laki-laki itu tega menghancurkan bisnisnya.Beberapa pasang mata menatap Aluna dengan pandangan kagum, bahkan beberapa mata jelalatan melihat bagian tubuh tertentu miliknya yang sengaja ia pamerkan.Aluna melotot saat salah seorang karyawan yang sengaja menyenggol lengannya. Sedangkan karyawan itu hanya nyengir tidak merasa bersalah.Kini Aluna sudah di depan ruangan Dirga, dengan santai ia membuka tanpa mengetuk pintu. Pemandangan di dalam sana membuat kepala Alu
Ceklek!Mata Inggit terbelalak melihat siapa yang datang ke rumahnya.“Leon... “ Suara Inggit tertahan karena tak percaya melihat sahabatnya yang sudah lama tidak ada kabar, berada di depannya saat ini.Mata Inggit berbinar bahagia, baginya Leon adalah keluarga kedua setelah Bu Aisyah.Tanpa berkata apa pun, Leon merentangkan kedua tangan, wajahnya menyiratkan kerinduan. Senyumnya merekah bahagia. Laki-laki berperawakan tinggi semampai dan berbadan atletis ini terus menampakkan giginya yang berderet rapi.Inggit menutup mulutnya tak percaya, dengan cepat ia masuk ke dalam pelukan Leon,“Aku kangen,” bisik Inggit.Leon mengelus rambut Inggit, kemudian turun mengelus punggungnya.“Aku tahu.”“Ke mana aja, Lo?” tanya Inggit mendongakkan kepala. Mata ted
“Siapa laki-laki itu, Nggit?” tanya Dirga pelan, dari nada suaranya, Dirga sedang menahan emosi.Inggit yang baru saja mandi, terkejut melihat Dirga sudah duduk di atas ranjang kamarnya. Seperti biasa Dirga selalu datang dan masuk begitu saja tanpa kabar dan suara.“Maksud Om yang tadi?” tanya Inggit pura-pura lupa. Dengan cuek ia mengeringkan rambutnya di depan cermin.“Tentu saja, siapa lagi!” balas Dirga kesal.“Oh, dia temenku.”“Bohong! Benar yang dikatakan Aluna?”“Apa?” Inggit mengernyit, apalagi yang dikatakan Aluna pada Dirga?“Kamu masih menjajakan dirimu pada laki-laki lain?” tanya Dirga sarkas.“Jaga mulut om Dirga! Inggit tidak seperti itu, bukankah justru Om yang tidak setia? Sudah memiliki Inggit, tapi masih tergoda dengan Aluna.”Dirga mulai gelisah, ia tidak mengira Inggit berani membalas ucapannya.“Mana mungkin om bisa diam, Nggit. Aluna sangat agresif menggoda,” sanggah Dirga, ia tidak mau serta merta disalahkan. “Om laki-laki normal,” imbuh Dirga.“Itu dia, Inggit
“Mohon perhatiannya, acara akan dimulai. Sebelumnya, mari kita sambut donatur untuk acara hari ini.” Suara pembawa acara menggema memenuhi ruangan. Seketika Inggit menatap podium, ia sangat penasaran Siapakah gerangan yang rela mengeluarkan banyak uang untuk acara reuni ini.“Tepuk tangan yang meriah untuk... Aluna Seza Arlington, alumni IPS 5.”Seketika tubuh Inggit membeku, Aluna? Aluna yang sudah merayu Dirga?Mata Inggit tak lepas dari podium, ia ingin memastikan apakah itu Aluna yang ia kenal atau bukan.Detak jantungnya tak karuan saat melihat sosok Aluna yang ia kenal naik ke atas podium dan memberi sambutan.Kaki Inggit gemetaran, seolah kakinya tak lagi berpijak, tubuhnya oleng. Untung saja Leon sigap menyangga tubuhnya.“Ada apa, Nggit?” tanya Leon panik. Ia membimbing Inggit untuk duduk di kursi yang berada di belakang.“Dia... Aluna?” tanya Inggit terbata, bukan bertanya, ia memastikan apa yang dilihatnya benar-benar Aluna, perempuan yang sudah menggoda Dirga.“Iya, ada ap
Plak! Plak! “Kurang ajar kamu!” Dirga kembali menampar pipi Inggit untuk ke sekian kali. Ia marah melihat Aleta yang kembali kambuh. “Seharusnya kamu tidak mengusik siapa pun di sini, Nggit!” hardik Dirga. Inggit tidak bisa berbuat apa pun. Ingin membalas pun rasanya percuma. Kekuatannya tidak sebanding. “Jangan pernah ganggu dia lagi!” teriak Dirga. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi wajah, dan mata melotot menatap Inggit yang duduk di atas ranjang sambil memegangi kedua pipi. Dirga mendekati Inggit, saat berada di dekat telinga, ia berbisik, “Inggit! Kamu tawananku. Jangan pernah berbuat ulah yang membuatku harus berbuat kasar padamu. Mengerti?” Inggit memilih diam lalu membuang wajah. Napas Dirga seolah bau beracun yang harus dihindari. Ia sangat membenci laki-laki yang tidak mempunyai perasaan. “Di mana Aleta sekarang?” tanya Inggit. “Cih, kamu tak perlu tahu. Bukan urusanmu!” “Lantas ucapan Aleta, apakah semua itu benar?” tanya Inggit lirih. Ia melirik Dirga yang
Inggit merenung di dalam kamar mencoba memikirkan jalan keluar dari rumah Dirga. Sepertinya laki-laki itu membeli rumah baru, buktinya beberapa furnitur masih tertutup plastik pembungkus.Inggit belum tahu seluk belum rumah ini. Sepertinya ia harus menuruti Dirga untuk beberapa waktu. Sekaligus mencari tahu bagaimana cara keluar dari rumah itu.Inggit mengelus perutnya yang masih rata. Apakah janin di saja selamat? Ia berdoa, semoga anaknya sehat dan kuat di dalam sana.Inggit segera mengenakan baju yang baru saja diantar pelayan. Baju itu sangat pas melekat di tubuhnya, rupanya Dirga masih ingat berapa ukuran bajunya.Inggit menghela napas. Ingin kembali mengeluh, rasanya tidak pantas. Percuma! Tuhan tidak akan mengubah hidup jika dia tidak berusaha sendiri.Selesai memakai baju, datang lagi pelayan yang datang membawa makanan. Inggit hanya melirik sekilas makanan yang diletakkan di atas nakas.Berusaha tidak menyentuh, nyatanya perutnya berkata lain. Lapar melanda. Ia tidak sempat s
“Kamu yakin akan melawan Papaku?” tanya Leon malam itu. Ia bersama Inggit sedang duduk di balkon apartemen Leon.“Tentu saja! Darren mati karena dia.” Setiap kata yang keluar dari mulut Inggit penuh tekanan. Ada emosi yang tertahan di sana.“Kau mempunyai bukti?” tanya Leon memastikan. Ia berada di posisi serba salah. Jika membela Inggit sama saja ia bermusuhan dengan sang Papa, tetapi jika ia membela papanya, Inggit belum tentu salah.“Ada,” jawab Inggit singkat. Ia menyesap wine yang baru saja dituang Leon ke dalam gelasnya. Rasa hangat menggelitik tenggorokannya.“Apa itu?” tanya Leon lagi.“Rahasia.” Jawaban singkat Inggit justru memancing rasa penasaran Leon, tetapi laki-laki itu masih bisa menahan. Karena memang seharusnya dia tidak ikut campur.“Baiklah. Hati-hati saja. Papa bisa melakukan apa pun yang kita tidak duga,” ucap Leon memperingatkan.“Hmm.” Inggit tidak peduli. Asal bisa menjebloskan Dirga ke penjara sudah cukup baginya.Inggit tertidur di sofa. Sebenarnya ia lelah
“Bagus, aku suka kerjaanmu. Yakin tidak ada yang tahu?” tanya Dirga pada Hendra, mantan asisten Aluna.“Yakin sekali, Bos. Saya sudah memeriksa, tidak ada CCTV di sana. Jadi aman.”“Baiklah, ini bayaranmu.” Dirga melempar segepok uang berwarna merah pada Hendra.“Terima kasih, Bos. Jika butuh bantuan lagi, saya siap membantu.”Licik sekali Hendra, ia telah menipu banyak orang. Saat bersama Aluna, ia mengambil semua uang perusahaan tanpa jejak, bersama Darren, ia berkhianat dengan merusak rem mobil atas permintaan Dirga. Entah siapa lagi yang akan ia tipu saat ini, mungkinkah Dirga? Entah.Hendra keluar dari ruangan Dirga sambil bersiul senang. Ia berencana menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di bar.Di saat yang bersamaan, Hendra berpapasan dengan Inggit. Istri dari mantan bosnya itu terlihat berbeda.Inggit hanya melirik saat berpapasan. Ia tahu siapa Hendra. Walaupun tidak pernah bertemu langsung, ia pernah melihat suaminya dulu berbincang berdua. Lantas mengapa laki-laki itu
“Maksudmu apa, Nggit?” tanya Darren tidak mengerti. Ia menatap istrinya intens.“Om Dirga merencanakan pembunuhan untukmu.” Inggit tidak bisa mengendalikan perasaannya. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Darren.“Membunuhku? Kau bercanda, Nggit?” Darren tidak percaya begitu saja dengan ucapan istrinya. Ia tahu betul bagaimana pamannya. Tak mungkin setega itu pada saudara.“Kamu tidak percaya?” tanya Inggit heran.Langkah Darren terhenti, belum sempat ia membuka pintu kamar, Inggit menghentikan langkah.“Begini, Sayang. Om Dirga pamanku, tidak mungkin setega itu pada aku, keponakannya,” jawab Darren percaya diri.“Bagaimana jika benar? Yang jelas aku tidak mau datang,” sungut Inggit kesal.Darren berpikir sejenak. Walaupun belum lama mengenal Inggit, selama ini gadis itu selalu jujur. Bagaimana jika ucapan Inggit benar? Tapi, kenapa istrinya berani memberitahunya?“Apakah Om Dirga tidak mengancammu jika aku tahu rencana itu?” tanya Darren setelah mereka berada di dalam kamar.“Justr
“Sayang, nanti malam jangan lupa ada acara lamaran sepupuku. Kamu siap-siap ya, beli gaun yang bagus, tapi jangan terlalu seksi.” Darren mewanti-wanti Inggit saat membeli baju, ia tidak suka tubuh istrinya dikonsumsi banyak orang. Cukup dirinya saja yang melihat.“Kalau begitu beliin aja,” usul Inggit. Sebenarnya ia malas keluar rumah, tubuhnya masih sedikit lemas setelah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.Darren menatap Inggit intens. “Kamu masih lemes?” tanya Darren.Inggit menganggukkan kepala, lalu kembali merebahkan diri di atas ranjang.“Yaudah, aku nanti pesenin ke butik langganan, biar dianter sekalian. Istirahat aja di rumah. Tapi nanti malam mau kan ikut? Biar kamu ketemu sama semua sodara aku.”“Boleh, asal cepet pulang.”“Siap, Tuan Putri.” Darren mengecup pucuk kepala, lalu turun mencium bibir Inggit.“Hati-hati di rumah, kalau mau apa-apa minta sama pelayan, oke?”Inggit kembali mengangguk. Matanya masih terlihat sayu, wajah sedikit pucat, bahkan tubuh Ingg
“Pak, makan dulu.” Elsa mengingatkan Leon yang masih fokus menatap layar.Leon melirik Elsa yang meletakkan sekotak nasi bekal ke atas meja. Ia menghentikan aktivitas, lalu menatap Elsa dan kotak makan bergantian.Leon menghela napas. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot-repot membawakan bekal, Sa.”“A-anu, Pak. Ini titipan Mama, beliau memaksa membawakan bekal untuk Bapak.” Elsa merasa tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi, jika ia tidak menyampaikan amanah, bisa dikutuk oleh mamanya. Elsa tidak mau, ia memilih menjadi anak penurut dan disayang.“Baiklah. Terima kasih.” Leon tidak bisa berkata-kata lagi, jika menyangkut orang tua, dirinya tidak berani menolak.Lama tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu, membuat Leon tidak tega menyakiti Mama Elsa.“Tolong dihabiskan. Tadi mama nitip pesan seperti itu.”Leon mengangguk pelan. Karena sudah tidak ada lagi yang mereka bicarakan, Elsa berpamitan.Leon mengacak rambut, ia tidak habis pikir dengan sikap mama Elsa. Sejak pert
“Goblok kalian semua! Bagaimana bisa tidak ada yang melihat ke mana Inggit pergi!” teriak Darren marah.Beberapa penjaga dan pelayan di rumah Darren hanya diam dan menunduk. Tidak ada salah satu pun yang berani menatap Darren. Mereka paham, saat marah, laki-laki itu akan berubah seperti monster.Prang!Darren menendang vas yang terlihat di depannya, membuat pecahan vas berserakan di lantai.“Siapa yang tadi terakhir bertemu Inggit?” tanya Darren.“Sa-saya, Tuan.” Salah seorang penjaga bersuara.Darren menatapnya nyalang seolah ingin membunuh.Bugh! Bugh!Darren meninju perut penjaga itu berkali-kali sampai akhirnya lemas dan terduduk di lantai.“Pergi kalian semua!” teriak Darren.Tinggallah Darren terduduk di sofa, tubuhnya lemas, tak sanggup ia membayangkan Inggit bertahan sendirian di luar sana.Apa yang harus dilakukan sekarang? Darren bingung. Pikirannya buntu. Jika mencari Inggit, ke mana harus melangkah?Darren meraih ponsel, lalu mencoba menghubungi Inggit. Terhubung, sayangny
Inggit tak berdaya melihat siaran TV yang menayangkan berita penggerebekan Darren di hotel. Tubuhnya seketika lemas, seolah nyawa sudah lepas dari raga.Inggit melihat dengan jelas, Darren tergesa-gesa mengenakan pakaiannya saat polisi datang. Bahkan laki-laki itu seolah tidak merasa bersalah saat memarahi wartawan dan polisi yang membawanya keluar dari kamar.Air mata tak lagi dapat Inggit bendung. Lagi-lagi ia dikhianati oleh sosok laki-laki, inilah alasan mengapa dia memiliki trauma dengan pernikahan. Takut disakiti.Segera Inggit mematikan TV, lalu masuk ke kamar. Hatinya sakit. Ia merasa dunia begitu tidak adil, hanya penderitaan yang didapatkan. Andai bisa memilih, ia ingin hidup normal tanpa bayangan lelaki.Inggit masih bisa bertahan saat Darren menyiksa fisiknya, tetapi kali ini tidak bisa diterima oleh hati kecilnya.“Aku harus pergi!” Inggit bergegas mengambil tas, ponsel, dan ATM yang Darren berikan.Inggit mengendap-endap keluar dari rumah Darren yang dijaga ketat oleh be