Bom yang Darren lempar, hari ini meledak! Berita Aluna bertebaran di mana-mana, bahkan di semua sosial media. Berita yang beredar, memiliki judul yang hampir sama, Aluna mantan pelacur. Fredi melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.Sraakkk!Aluna membuang semua barang yang terlihat di depan matanya. Berkas, tas, babakan ponsel miliknya.Napasnya memburu, wajahnya merah, semerah magma. Marah, itu yang dirasakan Aluna. Ia tak menyangka, jika Darren serius dengan ucapannya. Dari mana Darren tahu rencana pernikahannya yang terus berjalan? Seingat Aluna hanya dirinya, pihak WO, dan Dirga yang tahu rencana Aluna.Aluna menyibakkan rambut panjangnya yang menutupi wajah. Lalu kedua tangan berada di pinggang.“Siapa? Siapa yang membocorkan rencana itu? Sialan! Pasti semua orang akan menghujatku habis-habisan.”Tubuh Aluna lemas, seolah tidak mampu berdiri, saat mengingat ia akan dibully dan dihujat jika keluar dari ruangan. Ia mendaratkan bokong ke atas kursi miliknya.Perlahan ia meraih te
Leon memacu mobil menuju kantor miliknya. Usaha yang ia rintis mati-matian sedang mengalami penurunan, akibat dirinya terlalu lama meratapi kepergian Inggit.Sebenarnya belum bisa dikatakan kantor, Leon membuka usaha dibidang makanan beku. Masih menggunakan produksi manual, baru ada beberapa puluh karyawan yang bekerja.Leon menyewa sebuah ruko yang lumayan luas sebagai tempat produksi barang, bahkan ia mulai mencicil beberapa alat produksi untuk memudahkan pekerja, lebih efektif dan efisien.Leon sadar, jika dirinya terus memikirkan Inggit, hidupnya tidak akan maju. Leon memikirkan kata-kata yang diucapkan papanya. Dirinya memang mencintai Inggit, tetapi bukan alasan untuk berdiam diri. Leon berjanji pada dirinya sendiri, akan mencari Inggit di sela-sela mengembangkan usahanya.Mobil Leon sudah terparkir di depan kantor, ia menatap sekeliling begitu keluar dari mobil. Beberapa motor karyawan sudah berjejer rapi.Leon melihat jam di tangan, masih pukul 7 pagi. Sengaja Leon datang 1 ja
“Kamu baik-baik saja?” tanya Darren pada Inggit khawatir.Darren meraba wajah dan tubuh Inggit, memeriksa apakah ada yang terluka, karena sejak kedatangan Dirga, Inggit menjadi pendiam.“Nggit, kamu baik-baik saja?” tanya Darren sekali lagi.Inggit mendongakkan kepala, terlihat mata Inggit bengkak karena terlalu lama menangis, rambut acak-acakan, dan air mata masih membasahi wajah.Darren segera memeluk Inggit yang terlihat sedang tidak baik-baik saja. Ia mengelus punggung gadis yang akan ia nikahi besok.“Katakan, ada apa?” tanya Darren pelan.“Om Dirga, kenapa Om Dirga bisa menemukan aku di sini? Aku benci dia, aku benci dia!” teriak Inggit histeris, air mata kembali mengalir deras.“Tenang, Nggit. Dia sudah pergi, dia gak akan ganggu kamu.” Darren mencoba menenangkan Inggit.Darren teringat cerita masa lalu Inggit, mungkinkah pamannya itu yang dimaksud? Bisa jadi, melihat reaksi Inggit, Darren yakin Dirga-lah yang membuat Inggit trauma seperti sekarang.“Aku benci dia!” Inggit sedi
Pernikahan Darren dan Inggit berlangsung meriah di salah satu hotel bintang lima. Tidak banyak undangan yang disebar, hanya untuk keluarga dan beberapa kolega Darren, Inggit yang meminta. Dirinya tidak mau lebih mempermalukan Darren, berita tentangnya kemarin sudah cukup membuat tertekan.“Apakah kamu gugup, Sayang?” bisik Darren pada Inggit yang berdiri di sampingnya. Mereka berdiri di atas panggung penuh dekorasi yang cantik. Pihak WO benar-benar menyulap panggung menjadi sangat cantik, Inggit seperti berada di negeri dongeng.“Eh, enggak. Aku hanya lelah.” Inggit sedikit mengangkat kakinya yang tertutup gaun, untuk meredakan linu kakinya. Belum pernah dirinya memakai high heels tinggi dalam waktu yang lama.“ Bersabarlah sebentar lagi, Sayang.” Darren mengelus punggung Inggit dengan lembut. Tatapan mata Darren lembut dan memancarkan cinta pada Inggit.Inggit tersenyum menanggapi ucapan Darren. Dirinya tidak menyangka akan secepat ini menikah, tidak ada keraguan dalam dirinya meneri
Blup!Leon melemparkan kerikil ke arah sungai. Saat ini ia sedang berada di taman kota, yang bersebelahan dengan sungai besar. Sengaja ia datang kemari setelah menghadiri pernikahan Inggit, untuk menenangkan hatinya yang patah.Leon mengutuk dirinya yang tidak mau berusaha mendapatkan Inggit, mengutuk kelemahannya yang terlalu menjaga Inggit, sampai akhirnya membuat dirinya sendiri terluka.Beberapa tahun menjaga jodoh orang, itulah kata yang pantas Leon dapatkan. Tidak ada keberanian dalam diri Leon untuk menyatakan cinta, ia lemah dalam hal itu.Jika saja Inggit bisa membuka mata dan mengerti setiap perhatian yang selalu diberikan Leon, mungkin saat ini mereka masih bersama, bahkan menikah. Sayang, Inggit bukanlah perempuan tegas dalam perasaan.Leon menyayangkan sikap Inggit yang murahan, urusan bersama Dirga belum selesai, urusan hati dengannya masih menggantung, kenapa memilih Darren?“Kenapa lu harus nikah sama dia, Nggit? Apakah tidak ada lagi orang lain yang kamu kenal? Kenapa
“Jadi, Nak Leon sudah menikah atau belum?” tanya Umi lagi, sepertinya beliau tidak mudah putus asa sebelum mendengar jawaban dari Leon langsung.“Belum,” jawab Leon singkat.“Wah, kebetulan sekali. Elsa juga belum punya pacar, bagaimana kalau kalian menikah saja?”Elsa dan Leon saling berpandangan dengan pikiran masing-masing.“Ma!” tegur Elsa, ia merasa tidak enak pada Leon. Diliriknya Leon yang membuang muka.Bagi Leon pernikahan adalah hal yang sakral, tidak semudah itu mengatakan ‘Iya, saya mau menikah.’ Bukan seperti itu! Harus ada proses yang panjang dilalui, yaitu pengenalan satu sama lain.“Ah, maaf nak Leon. Kebiasaan mulut saya suka tidak ada rem.” Umi, mama Elsa merasa tidak enak pada Leon yang mulai berubah, bahkan sepertinya tidak nyaman.“Tidak ada, Bu. Kalau begitu saya mohon pamit, maaf sudah membuat Elsa terluka. Permisi.” Leon berdiri lalu menyalami Umi, tak lupa ia mencium tangan wanita yang telah melahirkan Elsa itu.“Maafkan, Nak. Jika ada kata-kata yang salah. To
“Sayang, aku ke kantor dulu. Ada yang harus aku urus.” Darren berpamitan pada Inggit, ia meraih tubuh istrinya itu, lalu mencium pucuk kepala.“Kamu jaga diri di rumah, aku kayaknya bakal lembur.” Darren mengacak rambut Inggit pelan.“Hmm,” jawab Inggit singkat. Moodnya sedang tidak bagus, ingin sekali ia protes pada Darren. Jika tidak malu, ia ingin mengatakan di rumah saja menemani dirinya sepanjang hari. Sejak awal berkenalan, Darren sering meninggalkan Inggit di rumah. Pekerjaan kantor membuat Darren lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan.Semenjak ada Inggit, Darren sudah mengurangi sedikit, hanya sedikit. Yang awalnya pulang jam 11 malam, sekarang jam 9 malam sudah di rumah.Inggit tidak mengerti dengan perasaannya, saat tertentu, ia ingin Darren menemani ke mana pun ia pergi, tetapi di satu sisi saat berdekatan, mencium bau keringat Darren saja ia tidak suka.“Ingat, cepat pulang!” Inggit kembali mengingatkan Darren, sebelum laki-laki itu masuk mobil.“Apakah kamu aka
Inggit tak berdaya melihat siaran TV yang menayangkan berita penggerebekan Darren di hotel. Tubuhnya seketika lemas, seolah nyawa sudah lepas dari raga.Inggit melihat dengan jelas, Darren tergesa-gesa mengenakan pakaiannya saat polisi datang. Bahkan laki-laki itu seolah tidak merasa bersalah saat memarahi wartawan dan polisi yang membawanya keluar dari kamar.Air mata tak lagi dapat Inggit bendung. Lagi-lagi ia dikhianati oleh sosok laki-laki, inilah alasan mengapa dia memiliki trauma dengan pernikahan. Takut disakiti.Segera Inggit mematikan TV, lalu masuk ke kamar. Hatinya sakit. Ia merasa dunia begitu tidak adil, hanya penderitaan yang didapatkan. Andai bisa memilih, ia ingin hidup normal tanpa bayangan lelaki.Inggit masih bisa bertahan saat Darren menyiksa fisiknya, tetapi kali ini tidak bisa diterima oleh hati kecilnya.“Aku harus pergi!” Inggit bergegas mengambil tas, ponsel, dan ATM yang Darren berikan.Inggit mengendap-endap keluar dari rumah Darren yang dijaga ketat oleh be
Plak! Plak! “Kurang ajar kamu!” Dirga kembali menampar pipi Inggit untuk ke sekian kali. Ia marah melihat Aleta yang kembali kambuh. “Seharusnya kamu tidak mengusik siapa pun di sini, Nggit!” hardik Dirga. Inggit tidak bisa berbuat apa pun. Ingin membalas pun rasanya percuma. Kekuatannya tidak sebanding. “Jangan pernah ganggu dia lagi!” teriak Dirga. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi wajah, dan mata melotot menatap Inggit yang duduk di atas ranjang sambil memegangi kedua pipi. Dirga mendekati Inggit, saat berada di dekat telinga, ia berbisik, “Inggit! Kamu tawananku. Jangan pernah berbuat ulah yang membuatku harus berbuat kasar padamu. Mengerti?” Inggit memilih diam lalu membuang wajah. Napas Dirga seolah bau beracun yang harus dihindari. Ia sangat membenci laki-laki yang tidak mempunyai perasaan. “Di mana Aleta sekarang?” tanya Inggit. “Cih, kamu tak perlu tahu. Bukan urusanmu!” “Lantas ucapan Aleta, apakah semua itu benar?” tanya Inggit lirih. Ia melirik Dirga yang
Inggit merenung di dalam kamar mencoba memikirkan jalan keluar dari rumah Dirga. Sepertinya laki-laki itu membeli rumah baru, buktinya beberapa furnitur masih tertutup plastik pembungkus.Inggit belum tahu seluk belum rumah ini. Sepertinya ia harus menuruti Dirga untuk beberapa waktu. Sekaligus mencari tahu bagaimana cara keluar dari rumah itu.Inggit mengelus perutnya yang masih rata. Apakah janin di saja selamat? Ia berdoa, semoga anaknya sehat dan kuat di dalam sana.Inggit segera mengenakan baju yang baru saja diantar pelayan. Baju itu sangat pas melekat di tubuhnya, rupanya Dirga masih ingat berapa ukuran bajunya.Inggit menghela napas. Ingin kembali mengeluh, rasanya tidak pantas. Percuma! Tuhan tidak akan mengubah hidup jika dia tidak berusaha sendiri.Selesai memakai baju, datang lagi pelayan yang datang membawa makanan. Inggit hanya melirik sekilas makanan yang diletakkan di atas nakas.Berusaha tidak menyentuh, nyatanya perutnya berkata lain. Lapar melanda. Ia tidak sempat s
“Kamu yakin akan melawan Papaku?” tanya Leon malam itu. Ia bersama Inggit sedang duduk di balkon apartemen Leon.“Tentu saja! Darren mati karena dia.” Setiap kata yang keluar dari mulut Inggit penuh tekanan. Ada emosi yang tertahan di sana.“Kau mempunyai bukti?” tanya Leon memastikan. Ia berada di posisi serba salah. Jika membela Inggit sama saja ia bermusuhan dengan sang Papa, tetapi jika ia membela papanya, Inggit belum tentu salah.“Ada,” jawab Inggit singkat. Ia menyesap wine yang baru saja dituang Leon ke dalam gelasnya. Rasa hangat menggelitik tenggorokannya.“Apa itu?” tanya Leon lagi.“Rahasia.” Jawaban singkat Inggit justru memancing rasa penasaran Leon, tetapi laki-laki itu masih bisa menahan. Karena memang seharusnya dia tidak ikut campur.“Baiklah. Hati-hati saja. Papa bisa melakukan apa pun yang kita tidak duga,” ucap Leon memperingatkan.“Hmm.” Inggit tidak peduli. Asal bisa menjebloskan Dirga ke penjara sudah cukup baginya.Inggit tertidur di sofa. Sebenarnya ia lelah
“Bagus, aku suka kerjaanmu. Yakin tidak ada yang tahu?” tanya Dirga pada Hendra, mantan asisten Aluna.“Yakin sekali, Bos. Saya sudah memeriksa, tidak ada CCTV di sana. Jadi aman.”“Baiklah, ini bayaranmu.” Dirga melempar segepok uang berwarna merah pada Hendra.“Terima kasih, Bos. Jika butuh bantuan lagi, saya siap membantu.”Licik sekali Hendra, ia telah menipu banyak orang. Saat bersama Aluna, ia mengambil semua uang perusahaan tanpa jejak, bersama Darren, ia berkhianat dengan merusak rem mobil atas permintaan Dirga. Entah siapa lagi yang akan ia tipu saat ini, mungkinkah Dirga? Entah.Hendra keluar dari ruangan Dirga sambil bersiul senang. Ia berencana menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di bar.Di saat yang bersamaan, Hendra berpapasan dengan Inggit. Istri dari mantan bosnya itu terlihat berbeda.Inggit hanya melirik saat berpapasan. Ia tahu siapa Hendra. Walaupun tidak pernah bertemu langsung, ia pernah melihat suaminya dulu berbincang berdua. Lantas mengapa laki-laki itu
“Maksudmu apa, Nggit?” tanya Darren tidak mengerti. Ia menatap istrinya intens.“Om Dirga merencanakan pembunuhan untukmu.” Inggit tidak bisa mengendalikan perasaannya. Ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Darren.“Membunuhku? Kau bercanda, Nggit?” Darren tidak percaya begitu saja dengan ucapan istrinya. Ia tahu betul bagaimana pamannya. Tak mungkin setega itu pada saudara.“Kamu tidak percaya?” tanya Inggit heran.Langkah Darren terhenti, belum sempat ia membuka pintu kamar, Inggit menghentikan langkah.“Begini, Sayang. Om Dirga pamanku, tidak mungkin setega itu pada aku, keponakannya,” jawab Darren percaya diri.“Bagaimana jika benar? Yang jelas aku tidak mau datang,” sungut Inggit kesal.Darren berpikir sejenak. Walaupun belum lama mengenal Inggit, selama ini gadis itu selalu jujur. Bagaimana jika ucapan Inggit benar? Tapi, kenapa istrinya berani memberitahunya?“Apakah Om Dirga tidak mengancammu jika aku tahu rencana itu?” tanya Darren setelah mereka berada di dalam kamar.“Justr
“Sayang, nanti malam jangan lupa ada acara lamaran sepupuku. Kamu siap-siap ya, beli gaun yang bagus, tapi jangan terlalu seksi.” Darren mewanti-wanti Inggit saat membeli baju, ia tidak suka tubuh istrinya dikonsumsi banyak orang. Cukup dirinya saja yang melihat.“Kalau begitu beliin aja,” usul Inggit. Sebenarnya ia malas keluar rumah, tubuhnya masih sedikit lemas setelah keluar dari rumah sakit beberapa hari yang lalu.Darren menatap Inggit intens. “Kamu masih lemes?” tanya Darren.Inggit menganggukkan kepala, lalu kembali merebahkan diri di atas ranjang.“Yaudah, aku nanti pesenin ke butik langganan, biar dianter sekalian. Istirahat aja di rumah. Tapi nanti malam mau kan ikut? Biar kamu ketemu sama semua sodara aku.”“Boleh, asal cepet pulang.”“Siap, Tuan Putri.” Darren mengecup pucuk kepala, lalu turun mencium bibir Inggit.“Hati-hati di rumah, kalau mau apa-apa minta sama pelayan, oke?”Inggit kembali mengangguk. Matanya masih terlihat sayu, wajah sedikit pucat, bahkan tubuh Ingg
“Pak, makan dulu.” Elsa mengingatkan Leon yang masih fokus menatap layar.Leon melirik Elsa yang meletakkan sekotak nasi bekal ke atas meja. Ia menghentikan aktivitas, lalu menatap Elsa dan kotak makan bergantian.Leon menghela napas. “Terima kasih, lain kali tidak perlu repot-repot membawakan bekal, Sa.”“A-anu, Pak. Ini titipan Mama, beliau memaksa membawakan bekal untuk Bapak.” Elsa merasa tidak enak, tetapi mau bagaimana lagi, jika ia tidak menyampaikan amanah, bisa dikutuk oleh mamanya. Elsa tidak mau, ia memilih menjadi anak penurut dan disayang.“Baiklah. Terima kasih.” Leon tidak bisa berkata-kata lagi, jika menyangkut orang tua, dirinya tidak berani menolak.Lama tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang Ibu, membuat Leon tidak tega menyakiti Mama Elsa.“Tolong dihabiskan. Tadi mama nitip pesan seperti itu.”Leon mengangguk pelan. Karena sudah tidak ada lagi yang mereka bicarakan, Elsa berpamitan.Leon mengacak rambut, ia tidak habis pikir dengan sikap mama Elsa. Sejak pert
“Goblok kalian semua! Bagaimana bisa tidak ada yang melihat ke mana Inggit pergi!” teriak Darren marah.Beberapa penjaga dan pelayan di rumah Darren hanya diam dan menunduk. Tidak ada salah satu pun yang berani menatap Darren. Mereka paham, saat marah, laki-laki itu akan berubah seperti monster.Prang!Darren menendang vas yang terlihat di depannya, membuat pecahan vas berserakan di lantai.“Siapa yang tadi terakhir bertemu Inggit?” tanya Darren.“Sa-saya, Tuan.” Salah seorang penjaga bersuara.Darren menatapnya nyalang seolah ingin membunuh.Bugh! Bugh!Darren meninju perut penjaga itu berkali-kali sampai akhirnya lemas dan terduduk di lantai.“Pergi kalian semua!” teriak Darren.Tinggallah Darren terduduk di sofa, tubuhnya lemas, tak sanggup ia membayangkan Inggit bertahan sendirian di luar sana.Apa yang harus dilakukan sekarang? Darren bingung. Pikirannya buntu. Jika mencari Inggit, ke mana harus melangkah?Darren meraih ponsel, lalu mencoba menghubungi Inggit. Terhubung, sayangny
Inggit tak berdaya melihat siaran TV yang menayangkan berita penggerebekan Darren di hotel. Tubuhnya seketika lemas, seolah nyawa sudah lepas dari raga.Inggit melihat dengan jelas, Darren tergesa-gesa mengenakan pakaiannya saat polisi datang. Bahkan laki-laki itu seolah tidak merasa bersalah saat memarahi wartawan dan polisi yang membawanya keluar dari kamar.Air mata tak lagi dapat Inggit bendung. Lagi-lagi ia dikhianati oleh sosok laki-laki, inilah alasan mengapa dia memiliki trauma dengan pernikahan. Takut disakiti.Segera Inggit mematikan TV, lalu masuk ke kamar. Hatinya sakit. Ia merasa dunia begitu tidak adil, hanya penderitaan yang didapatkan. Andai bisa memilih, ia ingin hidup normal tanpa bayangan lelaki.Inggit masih bisa bertahan saat Darren menyiksa fisiknya, tetapi kali ini tidak bisa diterima oleh hati kecilnya.“Aku harus pergi!” Inggit bergegas mengambil tas, ponsel, dan ATM yang Darren berikan.Inggit mengendap-endap keluar dari rumah Darren yang dijaga ketat oleh be