“Bee!!!” Teriakan Akbi itu terdengar hingga ke ruangan sebelah di mana Bee sedang membuat pola di kain yang tadi siang dibelinya.“Apa Bi? Kamu enggak bisa enggak usah teriak-teriak gitu?” tegur Bee lembut setelah berada di hadapan Akbi.Perempuan itu sampai lari terbirit-birit ke kamar untuk menghampiri suaminya.“Kemana lo tadi pulang kuliah? Kenapa Verro enggak nganter lo? Gue ‘kan udah bilang kalau Verro harus nganter lo pulang atau lo dijemput Pak Wawan!” Setelah berucap demikian Bee menuang air ke dalam gelas kosong kemudian memberikannya kepada Akbi.“Gue enggak mau minum, jawab dulu semua pertantanyaan gue!” Akbi menyentak.Terlalu kesal karena sang istri tidak menurut.Kenapa juga istrinya gemar sekali memberikannya air minum ketika ia sedang marah sepulang kerja?“Tadi aku ke toko kain, aku udah minta jemput Pak Wawan tapi ternyata Pak Wawan lagi jemput Tante Diana ... Verro tadi ada rapat, dia anggota BEM tapi dia taunya aku pulang sama Pak Wawan jangan marah sama dia,” j
“Apa itu, Al?” Beni bertanya ketika sampai di rumah dan melihat mesin-mesin yang ia tidak mengerti.“Ini ada mesin obras dan mesin lainnya untuk membuat pakaian, Pak ... beberapa hari lalu Akbi meminta untuk di simpan di ruangan yang berada di samping kamarnya,” jawab Aldo menjelaskan.“Kata Akbi semua ini untuk Bee,” sambung Aldo dan seketika saja bibir Beni membentuk sebuah lengkung senyum.Beni menepuk lengan Aldo sambi tertawa, kemudian berkata, “Ayo cepat masukan ke ruangan Bee sebelum istri saya pulang.” Aldo ikut tersenyum kemudian mengangguk, setelah itu menginstruksikan kepada beberapa orang untuk membawa semua peralatan menjait itu ke lantai empat.Kebahagiaan yang tengah dirasakan Beni tentu saja menulari Aldo.Lelaki itu tau percis bagaimana buruknya perangai Akbi namun beberapa bulan terakhir, anak dari Bosnya nampak bertanggung jawab kepada perusahaan dan juga begitu perhatian kepada Bee.Keputusan besar untuk memberhentikan satu orang petinggi di perusahaan dan menghen
Bee terperangah, matanya melebar memancarkan sorot penuh takjub.Sama seperti mulut yang terbuka hingga ia harus menutupnya dengan kedua tangan ketika melihat ruangannya telah dipenuhi begitu lengkap oleh berbagai macam peralatan menjahit.Bahkan ada berbagai macam warna benang dan perlengkapan lainnya untuk membuat pakaian.Tapi siapa yang membelikannya peralatan menjahit ini?Apakah Akbi?Atau Papa mertuanya? Yang pasti Bee diliputi rasa bahagia juga rasa syukur yang teramat besar.Bee memindai berbagai macam benda-benda baru di ruangannya, begitu terpesona karena semua sudah tersedia di sana.Semua peralatan tersebut serba modern hingga Bee sedikit bingung bagaimana cara mengoperasikannya.Terdapat buku kecil di setiap mesin yang kemudian Bee baca dan ternyata berisi bagaimana cara mengoperasikan mesin tersebut.Bee harus segera berterimakasih kepada siapapun yang memberikan peralatan penyalur hobbynya itu.Yang Bee cari pertama kali adalah sang suami karena ia begitu takut bila
“Bangun Bee!!” Akbi berseru membuat Bee mengerjap.Lelaki itu keluar dari kamar mandi dengan handuk putih melilit di pinggang.Bergerak mendudukkan tubuh, Bee mengucek matanya.Apakah ia sedang bermimpi bertemu salah satu dewa Yunani.Rambut Akbi yang basah meneteskan buliran air dari ujung rambutnya, membasahi pundak kokoh berotot lalu turun ke dada.Dada bidang dengan otot sixpack di bagian perut itu selalu dapat memicu jantung Bee berdetak kencang.Jangan lupakan otot di lengan atas Akbi yang mampu mengalihkan dunia para wanita.Melirik ke samping menghindari godaan di pagi hari, Bee terkejut setelah menyadari dirinya berada di atas kasur milik Akbi.Bee memejamkan mata, menarik mundur ingatannya mencari jawaban mengapa dirinya bisa terdampar di sini.Bee baru ingat bila tadi malam setelah saling memanjakan dengan penyatuan bibir mereka, Akbi tidak membiarkannya turun dari pangkuan.Akbi bukan orang yang tepat untuk di bantah maka Bee pasrah, menenggelamkan kepala di pundak lelaki
Perjalanan panjang anggota club motor mewah tersebut melintasi kota dikawal oleh dua orang voorijder berpakaian seragam kepolisian hingga saat ini mereka tidak berada di kota lain.Pinggang Bee terasa pegal namun terbayar ketika tempat pemberhentian mereka sungguh menakjubkan.Udara sejuk juga pemandangan pegunungan dan kebun teh hijau yang luas sejauh mata memandang.Di tambah matahari dengan sinar indahnya yang nampak baru saja naik dari sela gunung seperti lukisan anak TK pada buku gambarnya.Nyaris Bee berjalan seperti simpanse ketika turun dari motor akibat ototnya tegang selama beberapa jam tidak bergerak dengan posisi sama.“Pegel, Bi? Baru pertama naik motor ya?” tanya Zidan yang memarkirkan motor di sebelahnya.Lelaki itu pun sama mendapat bantuan dari dua orang pria lain untuk menegakkan motor.Kini Bee tau, mereka selalu membawa orang bila menggunakan motor itu untuk touring ataupun balapan.Tadi saja Raka memilih ikut mobil orang suruhan Akbi karena katanya sangat melelah
Dari tiga lomba yang di adakan panitia, Akbi dan Bee menjadi pemenang dari dua lomba.Prestasi gemilang yang berhasil mereka raih sebagai pasangan selama hampir tiga bulan menikah sandiwara.Berbeda hal dengan kedua sahabat mereka, Raka dan Zidan yang menjuarai ketiga lomba katagori tanpa pasangan. Bahagianya bukan main, mereka sampai meledek Akbi berkali-kali seperti anak kecil karena lebih unggul dari sahabatnya itu.“Padahal biasanya Akbi menang terus, Bee ...,” celetuk Zidan membuat Bee tidak enak hati.“Oh ya? Maaf ya Akbi,” ucap Bee, menampilkan ekspresi bersalah.Padahal sebetulnya Akbi bahkan tidak pernah mengikuti lomba-lomba apapun yang diadakan panitia dalam setiap acara touring club motor.Akbi akan selalu duduk bersama para senior dan menikmati jalannya acara.Tadinya ia juga berniat tidak akan mengikuti lomba bersama Bee bila saja Renata tidak menghampirinya.Akbi menoleh sekilas membiarkan Bee larut dalam rasa bersalahnya.Raka dan Zidan tergelak melihat ekspresi Bee,
“Bi, kalau ada touring baksos lagi, aku ikut ya ... aku juga mau kaya Mbak Icha, Mbak Yuni sama Mbak Hanny ... aku mau menyumbangkan sesuatu,” celoteh Bee dengan suara kencang ketika mereka sudah dalam perjalan pulang.Sengaja Bee menaikan nada suara agar Akbi yang sedang mengemudikan motor bisa mendengar karena kepala lelaki tampan itu ditutupi helm.Akbi lalu membuka kaca helmnya. “Bee, enggak usah teriak-teriak ... helm gue udah canggih, bisa menangkap suara manusia yang gue bonceng jadi kalau lo teriak di deket telinga gue kaya gini, kenceng banget kedengerannya!” Akbi berseru memprotes.“Maaf,” balas Bee, menurunkan nada suara.“Memangnya lo mau nyumbang apa?” Akbi bertanya menyambung percakapan mereka tadi.“Baju,” jawab Bee mantap.“Aku mau buat baju rumahan untuk para ibu-ibu, tapi bukan daster ... jadi seperti stelan, atasannya bisa tangan panjang untuk yang berjilbab atau tangan pendek, lalu bawahan celana panjang dengan bahan kain yang dingin dan nyaman sehingga memungkinka
Suara isak tangis tertahan membuat Akbi membuka mata.Ia belum bisa terlelap meski sudah beberapa jam berbaring di atas ranjang.Seringkali ia mendengar Bee menangis bahkan hampir setiap malam.Kenyataan itu belum mampu menggerakkan hati Akbi untuk bertanya kepada Bee, apa sebenarnya yang membuatnya bersedih.Tetapi saat ini Akbi merasa sangat bersalah, ucapan Bee tadi sore di toilet restoran sungguh menyadarkannya namun Akbi terlalu egois untuk mengakui.Baru kali ini ia mendengar keluhan sang istri dan itu sungguh menohok hatinya. Akbi menyibak selimut kemudian menggantungkan kaki hendak turun namun keraguan membayanginya.Ia hanya duduk beberapa saat dengan kedua tangan di sisi kiri dan kanan menopang pada kasur kemudian menundukkan kepala.Apa ia harus meminta maaf kepada Bee?Akbi mengembuskan nafas kasar kemudian menyugar rambutnya kebelakang. Ia tidak mengerti mengapa perasaan bersalah ini begitu menyesakkan dadanya.Memutuskan turun, Akbi lalu melangkah ringan menuju walk in