Setelah mendengar keterangan dari saksi, akhirnya Jadi jaksa penuntut umum memutuskan untuk menuntut Mas Imam dengan hukuman maksimal delapan tahun penjara di tambah kasus kekerasan yang dia lakukan, di mana suamiku tak dapat mengelak karena bukti video merekam jelas perbuatannya.Namun itu baru tuntutan jaksa, Minggu depan kami baru akan menghadiri sidang putusan di mana keputusan vonis hakim akan diketuk.Sidang dibubarkan dan semua orang langsung bangkit dari tempat duduk mereka untuk keluar dari tempat itu.Aku dan kedua anakku keluar dari pintu samping, sementara tiba-tiba saja Sari dan Ibunya datang tiba-tiba menjambak rambutku dengan keras."Perbuatan kamu ya Andai kamu tidak banyak tingkah suamiku tidak akan dituntut sampai 8 tahun penjara," jadi tinggal sementara orang-orang terkejut dan langsung berusaha memisahkan Sari dariku."Dasar keluarga kriminal, kamu memang pantas berjodoh dengan Imam yang jahat itu, dia cocok denganmu yang mudah melakukan kekerasan pada orang lai
Bis yang akan kami tumpangi mulai menyalakan mesinnya, melihat isyarat kondektur aku dan kedua anakku bersiap naik dan berangkat."Ayo, Nak, kita pergi," ucapku sambil menggandeng anak bungsuku."Bund, aku merasa sedih," ucap Vito dengan wajah yag sudah menggambarkan segalanya."Sedih kenapa?""Ga tahu kenapa, hanya saja merasa rindu pada ayah," ucapnya."Itu hanya perasaan sesaat karena kita akan meninggalkan tempat ini," ucapku sambil menepuk bahunya.Anakku terlihat duduk kembali sambil menekan sudut mata dengan kedua jari. Aku paham perasaannya, terlebih ia pernah jadi anak bungsu tersayang, primadona keluarga kami. Dia yang paling dekat dan manja pada Mas Imam, jadi aku mengerti jika sesekali ia merindukan ayahnya.Sekali lagi panggilan kondektur meminta kaki untuk naik ke atas Bis."Ayo Nak, kita pergi," ucapku lembut."Bund, aku minta maaf, sebaiknya Bunda dan kakak saja yang pergi, aku di sini saja, aku akan menunggu ayah. Aku khawatir, setelah dipenjara ayah tak akan ada yan
Karena aku sudah mendapatkan keputusan terbaik dari pengadilan, maka kini aku bergegas untuk membereskan barang kami dan berencana untuk pindah ke suatu tempat. Sebuah pulau yang damai di bagian tengah Indonesia akan menjadi tujuan kami. Pulau yang tentram dan aman secara letak dan dari potensi bencana alam. Di sana seorang sepupuku menetap dan punya bisnis makanan, jadi aku akan mencoba peruntungan untuk pindah ke sana juga."Kita akan pindah ke Sumbawa, Bund?""Iya, insya Allah di sana aman, jauh dari hiruk pikuk dan ketidak-tenangan, ada Om Yudi dan Tante Rika yang mencoba bisnis bakso dan sukses. Jadi, Bunda pun ingin mencoba," jawabku selagi kami mengemas barang-barang."Berarti aku akan menempuh ujian akhir di sana?""Hmm ... iya, terlalu lama mengulur waktu bisa saja mengubah keadaan menjadi lebih sulit untuk kita," balasku sambil mengusap lengan anakku "Betul, Kak, keluarga ayah bisa saja datang untuk mencari cara dan mengambil kembali apa yang kita miliki.""Bunda setuju
Selepas kepergian wanita itu, tetangga-tetanggaku mendekat dan membantuku membereskan barang-barang yang berserakan di depan rumah."Ya ampun, Mbak Yanti, kasihan sekali Mbaknya," ucap seorang ibu sambil membantu membereskan barang."Terima kasih, Bu, sudah mau nanti beres-beres barang saya," jawabku.Para tetangga yang kebetulan melihat tumpukan barang yang sudah di-packing nampak heran dan bertanya."Lho, ibu Yanti mau kemana lagi?""Saya mau coba pindah, ke luar pulau saja, Bu, saya ingin pergi merantau," ucapku"Wah, apa ibu Yanti bisa, apa Ibu Yanti berani?" tanya seorang ibu yang menggendong anaknya."Ya, insya Allah, bumi Allah luas untuk mencar kedamaian dan penghidupan yang lebih baik, Mbak," jawabku."Ya Allah, ikut sedih dengan apa yang menimpa Ibu Yanti, semoga di tempat baru Ibu Yanti bisa bahagia. Kasihan sekali saya lihatnya karena sejak kemarin Ibu yanti selalu dirundung masalah.""Aamiin insya Allah Bu," jawabku sambil tersenyum.Beruntungnya para tetangga sangat baik
Bis yang akan kami tumpangi mulai menyalakan mesinnya, melihat isyarat kondektur aku dan kedua anakku bersiap naik dan berangkat."Ayo, Nak, kita pergi," ucapku sambil menggandeng anak bungsuku."Bund, aku merasa sedih," ucap Vito dengan wajah yag sudah menggambarkan segalanya."Sedih kenapa?""Ga tahu kenapa, hanya saja merasa rindu pada ayah," ucapnya."Itu hanya perasaan sesaat karena kita akan meninggalkan tempat ini," ucapku sambil menepuk bahunya.Anakku terlihat duduk kembali sambil menekan sudut mata dengan kedua jari. Aku paham perasaannya, terlebih ia pernah jadi anak bungsu tersayang, primadona keluarga kami. Dia yang paling dekat dan manja pada Mas Imam, jadi aku mengerti jika sesekali ia merindukan ayahnya.Sekali lagi panggilan kondektur meminta kaki untuk naik ke atas Bis."Ayo Nak, kita pergi," ucapku lembut."Bund, aku minta maaf, sebaiknya Bunda dan kakak saja yang pergi, aku di sini saja, aku akan menunggu ayah. Aku khawatir, setelah dipenjara ayah tak akan ada yan
Setelah 3 hari perjalanan yang panjang, dan Cukup melelahkan kami akhirnya tiba di terminal Sumer Payung kota Sumbawa. Kuedarkan pandangan, ada rasa canggung dan berbeda, ditambah tempat itu memang tidak begitu ramai seperti kota-kota besar. Hanya ada beberapa bis dan pengunjung terminal yang nampak menunggu kendaraan mereka berangkat."Permisi Pak, saya mau tanya, Saya ingin pergi ke komplek bumi Indah, bagaimana saya bisa sampai ke sana.""Dulu bisa menggunakan bemo tapi sekarang ... Maaf Bu, karena semua orang sudah punya kendaraan sendiri jadi kendaraan angkot sudah jarang beroperasi. Sebaiknya ibu naik ojek saja," jawab seorang pria yang nampak seperti petugas kebersihan terminal."Saya harus memilih jalan ke kanan atau ke kiri pak?""Katakan saja langsung komplek bumi Indah mereka akan mengantarkan Ibu ke jalan arah kanan yang menuju pusat kota, jangan khawatir kota ini aman dan bebas dari perampok atau begal," jawab Bapak itu tersenyum."Berapa ongkosnya Pak?""Hmm, sekitar du
BismillahKeesokan harinya, pagi-pagi sekali aku dan anak-anak naik taksi untuk mencari setiap perumahan yang ada di peta kota ini untuk menemukan adikku. Tapi baru saja kamu sampai di depan gerbang hotel, tiba-tiba Rika menelpon.Betapa bahagianya kami karena akhirnya, aku bisa menghubungi adik iparku itu."Halo, Mbak.""Iya, Alhamdulillah akhirnya aku bisa menelpon kamu. Tadinya aku pikir kami akan tersesat di kota ini, kanu di mana?""Lho, emangnya Mbak udah sampai?""Udah Dik, kami menginap di hotel Berlian.""Oh, jaraknya memang lumayan jauh, dan kebetulan aku dan Mas Yanto lagi ada di luar kota, karena ada satu kerabatku yang menikah," balasnya."Jadi, kami harus bagaimana Dik? Aku khawatir berlama-lama di tempat ini membuat kami kehabisan biaya," jawabku."Begini aja, Mbak ... Mbak cari kost-kostan aja dulu, bayar untuk seminggu, soalnya Kamis depan kami baru pulang, Mbak."Ah, agak resah aku mendengarnya, tak nyaman juga harus memberi tahu kabar ini pada Erwin dan Vito, ditam
Karena merasa ada firasat yang tidak enak aku tetap memaksa untuk ikut dan melakukan akad sewa, namun, setelah berkendara dan menemui pemilik lapak, ternyata oleh istrinya kami diberi tahu bahwa dia sedang tidak di rumah."Makanya, saya bilang besok aja, Mbak, tahunya saya bereskan semuanya," ucap Yanto."Hhm, kurasa iya, juga, Mbak juga lelah," balasku."Yuk, ah, pulang," ajaknya menjauh."Oh iya, Mbak, mulailah berbelanja bahan dan kebutuhan untuk jualan agar tidak terlalu banyak membuang waktu," usulnya."Baik, insya allah besok."Keesokan harinya.Ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi aku dan adikku berpencar. Anak-anak pergi ke sekolah mereka, sementara Yanto dan istrinya menemui pemilik lapak untuk menyerahkan uang.Aku sendiri pergi ke pasar untuk berbelanja dan melihat alat-alat dapur yang kubutuhkan. Sembari menentukan akan menjual menu apa saja.Hari bergulir beranjak siang lalu menuju petang, Yanto dan Rika belum juga pulang mungkin mereka langsung menjenguk anaknya. A
Mendengar ucapan Mas Hamdan yang sangat lugas tentu saja ibu mertua merasa tidak enak kepada calon menantunya yang kini menangis tersedu dan putus asa ibu mertua segera bangkit dan mencegah mas hamdan melanjutkan perkataannya sambil mendekati Haifa dan merangkul wanita itu."Cukup Hamdan, cukup!""Ibu, biarlah Haifa tahu kenyataan sebenarnya agar dia tersadarkan dan bisa membuka hatinya untuk cinta yang baru. Wanita itu adalah wanita yang cantik dan sukses, dia bisa dapatkan laki-laki manapun yang dia inginkan.""Sudah cukup Mas, Kamu sudah menikah jantungku dengan kalimat-kalimatmu ucap wanita itu sambil merangkum tangisannya yang melolong sedih kedua anak kami yang baru saja pulang sekolah juga kaget melihat drama yang terjadi di ruang tamu. Mereka memandang kami dengan kernyitan dahi yang begitu heran."Ada apa Bunda?""Pergilah ke dalam.""Gak bisa Bund, kami juga berhak tahu," jawab Erwin."Ini masalah kami berempat, pergilah ke dalam," tegasku.Setelah memastikan anak-anak be
“Mas, aku sungguh minta maaaf atas apa yang terjadi Mas, situasinya memanas, Yanti mulai melawan ibu dan menyerang mental beliau, Yanti mulai menunjukkan taring dan keberaniannya untuk mendominasi di dalam rumah ini. Aku sungguh tidak menyangkanya Mas," ujar Haifa yang segera saja ingin mendapatkan pembelaan, dengan panik dan memasang wajah polos dia berusaha untuk mendapatkan kepercayaan Mas Hamdan.Dia pikir suamiku akan percaya semudah itu padanya. "Aku dengar percakaan kalian dari luar.'“Tapi itu hanya sebagian kan Mas? kau pasti tidak dengar dengan detil dari awal?” ucap haifa yang terus be rusaha meracuni pikiran suamiku.Sekuat apapun dia berusaha untuk meyakinkan mas hamdan wanita itu tetap dijauhi, jangankan mau disentuh, dihampiri daja suamiku langsung menjauh menjaga jaraknya.“Mas kamu kok hindarin aku?”“Kita ini bukan mahram! jaga sikapmu, kau bersikap seperti anak kecil di hadapan ibu dan istriku, apa kautak sadar?”“Saya masih tunangannya Mas…" Ada bola bening yang t
"Apa?!"Kedua wanita itu kompak berteriak dengan mata terbelalak Haifa sendiri sampai berdiri dari tempat duduknya sambil menatapku dengan tatapan melotot.""Apa kau yang menghasut Hamdan untuk memutuskan semua ini, Yanti?""Sudah ku bilang aku tidak berminat ikut campur, tapi aku hanya akan berdiri sesuai dengan batasan dan tugasku. Aku mengikuti apa saja kehendak mertua dan suami .... tapi semenjak mengetahui bahwa suamiku sendiri tidak setuju dengan sandiwara yang kalian buat dan pernikahan settingan ini, aku jadi punya kekuatan untuk membela Mas Hamdan," jawabku."Kau pikir kau hebat? kau pikir pengaruhmu telah mengubah Hamdan sepenuhnya dan membuat dia tidak akan mendengarkan orang tuanya, hah?" Ibu berteriak, tapi setelahnya Dia terpaksa mendudukkan diri karena akhirnya wanita itu tersengal-sengal capek dengan emosinya sendiri.Sebenarnya aku sama sekali tidak mempengaruhi Mas Hamdan tapi prinsip dan kemampuan lelaki itulah yang membuat dia akhirnya mengambil keputusan untuk men
"Oh iya? sok jago sekali kamu ingin menunjukkan dominasi dan betapa hebatnya kau di rumah ini, padahal kamu hanya orang datangan yang tidak pernah tahu apa-apa," ucap Ibu Syaimah sambil mengacungkan jemarinya ke wajahku."Saya memang orang datang dengan ibu namun saya terikat secara emosional dan secara hukum dengan keluarga ibu. Hamdan adalah suamiku dan ibu adalah mertuaku di mana aku harus memperlakukannya dengan pantas sebagai orang tua. Jadi harusnya Ibu pun memperlakukan aku seperti anak.""Dirimu jadi anakku? Sejak kapan? Sejak kapan kau punya pemikiran seperti itu. Selama ini hanya aku yang bersikap baik padamu, sementara kau, acuh tak acuh saja, kadang aku melihat bahwa kau tidak pernah tulus dalam mengurusiku!"Astagfirullah, tega-teganya Ibu mengatakan hal demikian padahal aku selalu tulus mengurusnya, penuh cinta kasih menyiapkan makanannya dan selalu memberinya perhatian yang pantas ia dapatkan. Tega-teganya Ibu mengatakan itu di hadapan Haifa dan mempermalukanku."Jadi
"Saya pergi dulu, permisi ya Pak, Bu, saya minta maaf dan memohon perngertiannya."Klik.Akhirnya ponsel pun di matikan, dan aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku paham betul posisi mas Hamdan yang telah dengan sekuat tenaga mengumpulkan keberanian dan ketenangan dirinya untuk bicara pada keluarga yang emosional itu. Nampaknya mereka semua sangat tidak terima dengan keputusan Mas Hamdan dan merasa kecewa sekali serta tidak mampu menyembunyikan kemarahannya.Sekarang setelah suamiku mengumpulkan keberanian untuk menemui keluarga Haifa maka aku sendiri juga akan bertindak untuk menyelesaikan masalah yang ada di rumah ini. Masalah itu harus diperselesaikan bersama tidak boleh hanya di bebankan pada satu bahu saja.Segera kurapikan diriku dan jilbabku lalu turun ke ruang tamu di mana Ibu dan Haifa masih sibuk berbincang dan membicarakan masa depan mereka.Aku ketuk pintu sambil mengumpulkan nafas, aku tarik dalam-dalam nafas lalu membuangnya, kemudian mendorong pintu dan masuk
"Tapi Nak Hamdan, sudah terlanjur bahagia dengan pertunangan itu, semua keluarga juga sama, terutama Nenek Haifa yang kini sakit sakitan, kami khawatir mengetahuinya cucu dicampakkan Ibuku akan sangat syok dan kena serangan jantung.""Saya bisa memaklumi itu, tapi tidak bisa memaksakan keadaan, kalaupun saya tetap berpura-pura jadi tunangan Haifa maka itu akan melahirkan kebohongan demi kebohongan berikutnya. Saya bukan tipe orang yang suka berbohong dan bersandiwara."Tiba-tiba dari seberang sana aku bisa mendengar ibunda Haifa menangis terisak dengan kesedihannya. Di sisi lain di rumah ini Haikal dan ibu mertua sedang tertawa-tawa di ruang tamu khusus wanita. Mereka bersenda gurau layaknya ibu dan anak, sementara diri ini dan Mas Hamdan berada di tengah-tengah kegalauan dan kebingungan itu."Ibu tolong maafkan saya ya, saya mau pergi dulu," ucap Mas Hamdan."Baiklah, Nak Hamdan. Jika itu keputusanmu, maka kami akan pasrah, tapi tolong, jika ibumu mengharapkan Haifa jadi menantunya,
“Halo, Mas.”Tidak ada jawaban, tapi terdengar suara percakapan antara beberapa orang pria dan wanita. Sepertinya Mas Hamdan sengaja menghubungiku agar aku bisa mendengar percakapan mereka."Saya datang kemari untuk menjelaskan yang sebenarnya, bahwa saya dan Haifa tidak benar benar bertunangan,' ujar Mas hamdan memulai pembicaraaan. "Lho, kok bisa Nak Hamdan, tolong, kami tidak mengerti, bisa kamu jelaskan dari awal ?""Baiklah, awalnya, saya dan dia pergi untuk bertemu klien bisnis, usai deal kesepatakan, aku dan Haifa ngopi di sebuah cafe dan tiba tiba saya lupa segalanya. Aku sadar saat kutemukan diri ini di klinik. Tapi entah kenapa para perawat dan dokter yang ada di sana tidak memberi tahu apa yang terjadi. Pada akhirnya aku ingat semuanya, aku tidak meniduri Haifa, aku hanya kehilangan kesadaran dan tertidur. Belakangan aku tahu alamat klinik tempatku dirawat kemarin, dan setelah kutelusuri ternyata aku kelebihan obat tidur dan dosis obat perangsang.""Apa?""Ya, Haifa mela
'Gimana ini Mas, ibu bersikeras untuk menjadikan haifa menantunya, kita harus bagaimana?"Mas hamdan yang aku ajak bicara hanya terdim sambil menggengam erat kotak cincin yang ibu berikan. Kuguncang bahunya untuk menyadarkan dirinya, suamiku tersentak dan menatap diri ini dengan tatapan penuh makna, dia seakan memintaku untuk memberinya waktu.“Aku akan pergi sebentar,” ucapnya.“Kemana?”“Ke rumah keluarga Haifa, kau tunggu disini saja, aku akan membereskan kesalahpahaman ini, aku akan beritahu keluuarga Haifa bahwa pertunangan kami tempo hari hanya settingan, aku akan jelaskan semuanya bahwa haifa sudah menjebak diri ini agar mau menikah dengannya dengan cara apa saja,” balas Mas Hamdan sambil membuang napasnya.Kuantar suamiku ke depan pintu rumah, dia naik ke mobilnya sedang aku mengiringi kepergiannya dengan doa, berharap bahwa semua masalah ini akan selesai secepatnya. Kuharap suamiku bisa kembali ke pelukanku tanpa gangguan wanita lain.Aku kembali ke dalam rumah tepat saat s
"Hamdan, yang terjadi di belakang kami tidaklah penting karena yang diketahui orang lain adalah kalian sudah bertunangan dan sebentar lagi akan menikah. Yang diketahui orang adalah kau lelaki baik yang akan meminang Haifa sementara Haifa adalah wanita cantik berprestasi yang akan menjadi madu dari istrimu yang berhati mulia. Itu yang terlihat. Aku tidak mau citra yang kita bangun hancur dan mempermalukan semua orang, karena itu, aku ingin kalian melanjutkan pertunangan."Mendengar ucapan ibu tentu saja Mas Hamdan langsung berdiri dari tempat duduknya memandang dengan satu tarikan nafas dalam di dadanya. "Ibu, Kenapa Ibu tega mengambil keputusan sepihak seperti ini?""Membatalkan pertunangan tanpa persetujuan kedua belah pihak adalah perbuatan yang zalim Hamdan, lagi pula apakah kau tidak menimbang perasaan haifa yang kemudian akan mendapatkan penghakiman jika orang-orang tahu bahwa kau dan dia hanya bertunangan dengan palsu?!""Tapi apakah ibu tahu apa masalahnya, hingga aku memutus