Selepas kepergian wanita itu, tetangga-tetanggaku mendekat dan membantuku membereskan barang-barang yang berserakan di depan rumah."Ya ampun, Mbak Yanti, kasihan sekali Mbaknya," ucap seorang ibu sambil membantu membereskan barang."Terima kasih, Bu, sudah mau nanti beres-beres barang saya," jawabku.Para tetangga yang kebetulan melihat tumpukan barang yang sudah di-packing nampak heran dan bertanya."Lho, ibu Yanti mau kemana lagi?""Saya mau coba pindah, ke luar pulau saja, Bu, saya ingin pergi merantau," ucapku"Wah, apa ibu Yanti bisa, apa Ibu Yanti berani?" tanya seorang ibu yang menggendong anaknya."Ya, insya Allah, bumi Allah luas untuk mencar kedamaian dan penghidupan yang lebih baik, Mbak," jawabku."Ya Allah, ikut sedih dengan apa yang menimpa Ibu Yanti, semoga di tempat baru Ibu Yanti bisa bahagia. Kasihan sekali saya lihatnya karena sejak kemarin Ibu yanti selalu dirundung masalah.""Aamiin insya Allah Bu," jawabku sambil tersenyum.Beruntungnya para tetangga sangat baik
Bis yang akan kami tumpangi mulai menyalakan mesinnya, melihat isyarat kondektur aku dan kedua anakku bersiap naik dan berangkat."Ayo, Nak, kita pergi," ucapku sambil menggandeng anak bungsuku."Bund, aku merasa sedih," ucap Vito dengan wajah yag sudah menggambarkan segalanya."Sedih kenapa?""Ga tahu kenapa, hanya saja merasa rindu pada ayah," ucapnya."Itu hanya perasaan sesaat karena kita akan meninggalkan tempat ini," ucapku sambil menepuk bahunya.Anakku terlihat duduk kembali sambil menekan sudut mata dengan kedua jari. Aku paham perasaannya, terlebih ia pernah jadi anak bungsu tersayang, primadona keluarga kami. Dia yang paling dekat dan manja pada Mas Imam, jadi aku mengerti jika sesekali ia merindukan ayahnya.Sekali lagi panggilan kondektur meminta kaki untuk naik ke atas Bis."Ayo Nak, kita pergi," ucapku lembut."Bund, aku minta maaf, sebaiknya Bunda dan kakak saja yang pergi, aku di sini saja, aku akan menunggu ayah. Aku khawatir, setelah dipenjara ayah tak akan ada yan
Setelah 3 hari perjalanan yang panjang, dan Cukup melelahkan kami akhirnya tiba di terminal Sumer Payung kota Sumbawa. Kuedarkan pandangan, ada rasa canggung dan berbeda, ditambah tempat itu memang tidak begitu ramai seperti kota-kota besar. Hanya ada beberapa bis dan pengunjung terminal yang nampak menunggu kendaraan mereka berangkat."Permisi Pak, saya mau tanya, Saya ingin pergi ke komplek bumi Indah, bagaimana saya bisa sampai ke sana.""Dulu bisa menggunakan bemo tapi sekarang ... Maaf Bu, karena semua orang sudah punya kendaraan sendiri jadi kendaraan angkot sudah jarang beroperasi. Sebaiknya ibu naik ojek saja," jawab seorang pria yang nampak seperti petugas kebersihan terminal."Saya harus memilih jalan ke kanan atau ke kiri pak?""Katakan saja langsung komplek bumi Indah mereka akan mengantarkan Ibu ke jalan arah kanan yang menuju pusat kota, jangan khawatir kota ini aman dan bebas dari perampok atau begal," jawab Bapak itu tersenyum."Berapa ongkosnya Pak?""Hmm, sekitar du
BismillahKeesokan harinya, pagi-pagi sekali aku dan anak-anak naik taksi untuk mencari setiap perumahan yang ada di peta kota ini untuk menemukan adikku. Tapi baru saja kamu sampai di depan gerbang hotel, tiba-tiba Rika menelpon.Betapa bahagianya kami karena akhirnya, aku bisa menghubungi adik iparku itu."Halo, Mbak.""Iya, Alhamdulillah akhirnya aku bisa menelpon kamu. Tadinya aku pikir kami akan tersesat di kota ini, kanu di mana?""Lho, emangnya Mbak udah sampai?""Udah Dik, kami menginap di hotel Berlian.""Oh, jaraknya memang lumayan jauh, dan kebetulan aku dan Mas Yanto lagi ada di luar kota, karena ada satu kerabatku yang menikah," balasnya."Jadi, kami harus bagaimana Dik? Aku khawatir berlama-lama di tempat ini membuat kami kehabisan biaya," jawabku."Begini aja, Mbak ... Mbak cari kost-kostan aja dulu, bayar untuk seminggu, soalnya Kamis depan kami baru pulang, Mbak."Ah, agak resah aku mendengarnya, tak nyaman juga harus memberi tahu kabar ini pada Erwin dan Vito, ditam
Karena merasa ada firasat yang tidak enak aku tetap memaksa untuk ikut dan melakukan akad sewa, namun, setelah berkendara dan menemui pemilik lapak, ternyata oleh istrinya kami diberi tahu bahwa dia sedang tidak di rumah."Makanya, saya bilang besok aja, Mbak, tahunya saya bereskan semuanya," ucap Yanto."Hhm, kurasa iya, juga, Mbak juga lelah," balasku."Yuk, ah, pulang," ajaknya menjauh."Oh iya, Mbak, mulailah berbelanja bahan dan kebutuhan untuk jualan agar tidak terlalu banyak membuang waktu," usulnya."Baik, insya allah besok."Keesokan harinya.Ketika jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi aku dan adikku berpencar. Anak-anak pergi ke sekolah mereka, sementara Yanto dan istrinya menemui pemilik lapak untuk menyerahkan uang.Aku sendiri pergi ke pasar untuk berbelanja dan melihat alat-alat dapur yang kubutuhkan. Sembari menentukan akan menjual menu apa saja.Hari bergulir beranjak siang lalu menuju petang, Yanto dan Rika belum juga pulang mungkin mereka langsung menjenguk anaknya. A
Mungkin karena melihatku menangis dan berpelukan di pinggir jalan sebuah mobil berhenti dan pintunya terbuka. Seorang pria berpakaian putih dengan padua celana kain hitam turun dan menghampiri kami. Pria itu nampak baru saja pulang dari masjid."Permisi, assalamualaikum, apa terjadi sesuatu?"Mendapatkan perhatian dari orang asing membuat aku malu dan langsung mengusap air mata kemudian bangkit dan berpura-pura baik-baik saja."Tidak Pak, kami baik-baik saja," balasku."Hmm, ada apa dengan tasnya, Ibu mau kemana?" Tanya pria itu sambil memperhatikan anakku dan tas yang tadi ditendang oleh Vito."Kami mendapatkan musibah yang beruntun Pak," jawab Erwin.Aku memberinya kode agar dia tidak memberi tahu pria itu namun entah kenapa, Si bapak yang kutaksir masih muda dan berumur empat puluh tahunan itu tersenyum dan merangkul bahu anakku lalu mengajaknya duduk di bangku pinggir trotoar."Coba ceritakan pada saya dengan runut," ucapnya lembut.Dalam hati aku ingin mencegah karena perbuatan i
Sudah seminggu berlalu sejak pertama kali datang ke rumah ini dan bekerja dengan tekun sebagai seorang asisten rumah tangga. Tak butuh waktu lama untuk bisa dekat dengan anak Pak Hamdan yang bernama Nisa, gadis yang kini duduk di bangku kelas empat SD itu sudah dekat denganku. Begitu juga ibunya Pak Hamdan, dia mulai memberi kepercayaan dan suka dengan cara kerjaku yang rapi dan teratur, dia memberiku kepercayaan untuk belanja sendiri ke supermarket dan menyerahkan kunci pintu rumah untuk ditutup buka pada waktu tertentu."Saya percaya denganmu, mudah-mudahan kepercayaan saya tidak luntur," ucapnya."Insya Allah Bu, saya akan menjaganya," balasku. Begitu yang diucapkan ibunda Pak Hamdan ketika menyerahkan kunci. Benda yang kugenggam di tangan saat itu adalah titik balik yang harus kumanfaatkan sebisa mungkin. "Jika aku bisa mendapatkan kepercayaan ibu dan anaknya, maka aku harus bisa merebut hati pria itu. Hidupku sudah begitu lama menderita dan terus-menerus ditimpa kemalangan, kali
Percakapanku dengan Pak Hamdan terhenti ketika Mas Imam menelpon. Pak Hamdan yag sedikit tidak sudah mengetahui kisah hidupku, terlihat mundur ketika membaca nama Mas Imam di layar ponselku."Bu Yanti bicara aja dulu," ujarnya."Enggak, penting kok, silakan lanjutkan apa yang ingin Bapak katakan," ucapku yang hendak mendengar kembali ucapannya yang tertahan tadi."Gak ada, kok, saya tak mengatakan sesuatu yang penting."Aku hanya bisa tersenyum kecut kecewa karena sedikit lagi momen penting harus tertunda oleh panggilan telepon yang tak kuinginkan. "Bentar ya Pak, saya ingin bicara," ujarku dan dia pun mengangguk.Kualihkan diri pada ponsel dan menjawab panggilan yang terus berdering gencar. Andai berdekatan, ingin sekali kulempar gawai ini ke muka Mas Imam, betapa ia sudah sangat menyebalkan bagiku."Halo ....""Ya, Allah, akhirnya kamu jawab ponselku. Sudha satu bulan aku berusaha menghubungi kamu. Di mana kamu Bund?""Kenapa mencariku, kita tak punya hubungan apa apa lagi, Imam!