"A-apa yang mau Dokter katakan?" tanya Arika tergagap. Tubuhnya gemetar dan detak jantungnya semakin cepat. Arika mundur perlahan namun terhenti karena sandaran sisi sofa menghalangi dipunggung bawahnya.
"Aku nggak pernah seperti ini sebelumnya," Dokter Reinhard begitu dekat sampai Arika bisa merasakan napasnya yang harum mint berhembus di wajahnya. Arika kehilangan ritme napasnya yang terasa sedikit sesak."Tetapi aku baru menyadari belakangan ini," aku Dokter Reinhard menatap kuat ke dalam mata Arika. Darah terpompa keseluruh tubuh Arika ketika tangan dingin dan halus itu membelai dagu Arika lembut."Meskipun aku mencoba menyibukkan diri lebih dari biasanya, hasrat itu nggak bisa aku bendung. Karena itu aku memutuskan untuk menikah," jelas Dokter Rein berbisik."A..Apa...maksud anda?" hampir suaranya tak dapat keluar."Aku..." Dokter Rein merengkuh bibir Arika dengan bibirnya yang tipis. Seolah terhipnotis, tanpa penolakan Arika menyambut bibir itu. Matanya terpejam oleh kenikmatan.Tangan Dokter Reinhard menjelajah ke perbukitan Arika yang masih terjaga kain kemejanya. Meremasnya. Menyadari ada hal yang salah, Arika mendorong Dokter Reinhard sebelum mereka berbuat lebih jauh."Maaf...maafkan aku Arika!" desah Dokter Rein dalam nada penyesalan.Arika mengatur napasnya yang nggak karuan yang juga membuat dadanya kembang kempis oleh detak jantung yang berpacu."Nggak Dok, ini juga salah saya," Arika menjawab dengan napasnya yang tersendat-sendat."Itu yang ingin aku katakan kepadamu," Urai Dokter Reinhard. "Aku mulai mengalami libido s*x yang tinggi," akunya membuat Arika terkejut dan juga ngeri dalam waktu bersamaan."Untuk itu aku ingin menikah. Tetapi kalau kamu keberatan dengan keadaanku kamu boleh mundur. Dan maafkan aku karena berlaku kurang ajar di awal pertemuan kita.""Iya Dokter Reinhard," Arika bangkit dari duduknya. "Kalau begitu saya permisi. Aku akan mengabari melalui Bibi Delvi. Permisi!" pamit Arika."Aku akan mengantarmu!" Dokter Reinhard memimpin Arika keluar dari rumahnya.Kemudian di rumah Bibi Delvi,"Apa?....Kamu menolak dicium kan?" pekik Bibi Delvi, kaget. Matanya melotot seolah akan loncat keluar."Itu masalahnya. Aku nggak menolaknya. Habis bagaimana dia ganteng dan wangi aku jadi terhipnotis. Lagipula sudah lama juga aku nggak ciuman," kata Arika bernada murung diakhir.Sudah setahun Arika bercerai dengan suaminya. Waktu yang cukup lama bagi Arika untuk merindukan belaian seorang lelaki."Haduuuh...kamu ini Arika!" keluh Bibi Delvi menepuk dahinya. "Lalu sekarang bagaimana? Apa kamu mau menikah dengannya setelah kamu mengetahui hal itu?" tanya Bibi Delvi."Satu hal yang membuatku ingin mempertimbangkannya adalah kejujurannya. Dia nggak menutupi masalah itu di awal, berarti ada keseriusan dalam dirinya." jawab Arika."Begitukah? Jadi kamu akan menerima lamaran Dokter itu?" Bibi Delvi menyimpulkan."Belum tahu. Aku belum bisa memutuskan." raungnya terdengar hilang arah."Begini ya Arika. Kalau menurutku ini kesempatan emas. Kamu akan dinikahi seorang Dokter sukses dan terkenal. Hidupmu akan enak, hanya tinggal mengurus suamimu, sudah. Daripada kamu harus bekerja. sudah mencari pekerjaan susah sekarang ini, ya kan?" Bibi Delvi memberi pertimbangan untuk Arika.Arika mendengarkan Bibi Delvi dengan seksama dan mencoba memahaminya.**********Dua Minggu kemudian . . .Suara ketukan pintu mengejutkan Arika yang sedang mengajak putrinya, Armelia - umur tiga tahun, bermain balok di dalam rumah.Arika dan putrinya tinggal di rumah semi permanen berukuran empat kali lima meter yang dia kontrak dari uang hasil pembagian harta oleh suaminya. Dia bisa saja mengontrak rumah yang lebih baik dari uang yang tidak sedikit yang diberikan oleh mantan suaminya. Namun dia memilih menggunakan uang itu untuk keperluan hidup mereka sebelum dia mendapatkan kerja.Sambil menggendong Armelia, Arika membukakan pintu. Betapa terkejutnya dia melihat seorang pria yang mengenakan jaket parasut berwarna hitam dan blue jeans, berdiri di hadapannya sambil memegang map."Ini anakku, kamu nggak boleh mengambilnya dariku!" pekik Arika mengeratkan gendongannya."Ayah!" panggil Armelia.Pria itu adalah mantan suami Arika, Jay Jacob. Umur tigapuluh delapan tahun. Dia merupakan seorang Detektif di kepolisan kota. Banyak kasus yang dapat dia selesaikan hingga membuatnya menjadi Detektif yang sangat diperhitungkan di negara ini."Iya sayang," sahutnya tersenyum hangat kepada putri semata wayangnya. "Ini surat perintah dari pengadilan." Dia menyodorkan map berwarna biru ke depan Arika.Arika mengambil map tersebut dan membaca isi surat di dalamnya. Saat itu tanpa terduga Reinhard datang. Dokter Reinhard yang tampan mengenakan kemeja linen berwarna cream.Jay memandangi Dokter Reinhard yang berdiri di sisi Arika penuh tanda tanya. "Dia bukankah Dokter Gigi Reinhard? Sedang apa dia di sini?" Tanya Jay di dalam hati."Aku nggak akan menyerahkan anakku!" Jerit Arika histeris. Dokter Reinhard merangkul Arika untuk menenangkannya."Jangan mempersulit keadaanmu. Kalau kamu nggak menyerahkan Armelia sekarang, petugas pengadilan akan datang untuk menjemput paksa Armelia," ujar Jay."Itu benar. Kamu akan ditangkap kalau kamu nggak menyerahkan anakmu karena dianggap melawan hukum," jelas Dokter Reinhard.Jay mengambil paksa Armelia dan dengan berat hati Arika melepaskan Armelia."Mama...!" Rengek Armelia seraya mengulurkan tangannya.Jay membawa Armelia pergi. Arika menangis tersedu-sedu dalam pelukan Dokter Reinhard. Sudah lumayan jauh berjalan, Jay menoleh melihat keduanya."Secepat itukah kamu menemukan pengganti diriku?" Resah hati Jay meluruskan pandangannya kembali."Jangan khawatir. Kita bisa mengajukan banding kalau kamu mau," tawar Dokter Reinhard mengusap rambut Arika."Benarkah?" Arika menghapus air matanya dan melepaskan pelukannya."Iya. Aku bisa mencarikan pengacara untuk mengurus ini,""Masuklah dulu!" Arika mempersilahkan.Dokter Reinhard duduk di sofa berukuran satu meter berwarna hijau army sembari menanti Arika membuatkannya minuman.Arika datang dengan secangkir kopi dan menaruhnya di atas meja dihadapan Dokter Reinhard. Arika duduk di sebuah kursi di depan meja, bersebrangan dengan Dokter Reinhard."Apa benar aku bisa mengajukan banding untuk hak asuh anakku?" Tanya Arika menatap Dokter Reinhard lekat-lekat."Tentu. Aku akan membantumu untuk semua proses itu." Dengan gerakan yang elegant Dokter Reinhard mengangkat cangkir kopinya dan menyeruput kopi buatan Arika."Apakah biayanya mahal?""Jangan khawatirkan itu. Semuanya biar aku yang tanggung." Jawab Dokter Reinhard menaruh kembali cangkir kopinya."Terimakasih Dokter Reinhard." Mata Arika berkaca-kaca karena terharu."My pleasure." Sahut Dokter Reinhard tersenyum hangat."Eum..., ngomong-ngomong ada angin apa Dokter Reinhard datang ke rumahku?""Oh itu. Karena aku belum menerima jawaban darimu maka aku menelepon Bibi Delvi untuk memastikan. Ternyata dia bilang kamu belum menemui atau menghubungi dia lagi. Daripada merepotkan Bibi Delvi, aku inisiatif untuk datang ke sini.""Oh begitu.""Lalu...apakah aku bisa mendapatkan jawabannya sekarang?" Tanya Dokter Reinhard menatap Arika penasaran.****************"Kalau begitu saya permisi!" pamit Dokter Reinhard di depan rumah Arika."Iya Dok,"Dokter Reinhard berjalan pergi. Dengan berjalan memunggungi Arika, Dokter Reinhard menyeringai penuh misteri.************Sore hari setelah Dokter Reinhard pulang, Bibi Delvi pun menemui Arika di rumahnya."Jadi apa kamu menerima lamaran Dokter Rein?" Tanya Bibi Delvi dengan mulut penuh kacang yang masih dia jejalkan lagi ke dalam mulutnya.Arika memperhatikan Bibi Delvi yang duduk di sofa - bersebrangan dengannya - begitu semangat membuka kulit kacang kulit yang disuguhkan Arika."Aku belum menjawab. Aku masih meminta waktu." jawab Arika."Waktu untuk apa lagi?" Sungut Bibi Delvi dengan matanya yang semakin menyipit."Sudah terima saja. Ini tawaran bagus makanya aku memberikan kepadamu bukan kepada wanita lain. Dia itu dokter gigi terkenal di kota kita. Semua orang tahu tentang dia. Dokter muda, tampan, ahli dibidangnya, baik hati, kaya raya, dermawan dan juga ramah. Banyak pasien yang berobat kepada
"Apa kamu mau mengganti bajumu?" tanya Dokter Reinhard sudah memakai kaos hitamnya, berjalan menghampiri Arika."I-iya," Arika tergagap.Berbeda dengan tampilan yang selalu rapih memakai kemeja, Dokter Reinhard terlihat sexy mengenakan kaos hitam seperti itu."Bajumu masih di koper, di dalam lemari," infonya menunjuk satu pintu lemari.Setelah mengambil gaun tidur berwarna ungu Arika pergi ke kamar mandi untuk berganti baju. Tidak lama dia kembali keluar dan berjalan menghampiri Dokter Reinhard yang sedang membaca buku di sebuah kursi empuk dengan bingkai kayu berwarna emas, dan memakai kaca mata bacanya."Dokter bisa anda membantu saya?" tanya Arika dengan tangan berada di balik punggungnya. Dokter Reinhard membuka dan meletakkan kacamata di atas buka yang tergeletak di meja."Oh, apa itu Arika?" tanya Dokter Reinhard berdiri."Aku tidak bisa menjangkau resleting gaunku," katanya masih berusaha menjangkau resleting dibalik punggungnya."Oke," Dokter Reinhard berdiri di belakang Arika
"Wah jadi anda telah menikah Dokter Rein," sahut pasien Dokter Rain yang telah siap di kursi periksa gigi.Seorang wanita berusia 55 tahun. Berambut panjang tergerai.Suster, asisten Dokter Rein memakaikannya sarung tangan karet warna putih. Dokter Rein tersenyum.Dokter Rein mengenakan jas dokternya dengan kemeja warna merah muda tua di dalamnya dan juga kacamata minusnya."Iya, saya udah nggak muda lagi, saya butuh teman untuk menemani masa tua saya," jawabnya terdengar diplomasi."Anda masih muda Dokter Rein. Saya yakin banyak ibu-ibu dan para gadis di kota ini patah hati mendengar anda sudah menikah...hehehe..." gurau ibu itu terkekeh."Anda bisa saja. Kita mulai tindakannya," izin Dokter Rein memulai pemeriksaan gigi pasien.****************"Anda pulang cepat hari ini Dokter?" tanya seorang suster. Dokter menanggapinya hanya dengan senyum seraya membuka jas dokternya."Pasti anda rindu istri anda jadi ingin segera pulang,""Tentu." Dokter tersenyum. "Dokter Chris akan menggantik
Setelah makan malam, Arika merapihkan bekas makan mereka dan mencuci piring kotor kemudian. Selesai dengan semua tugasnya di dapur, Arika naik ke lantai dua. Pergi menuju ke kamarnya.Dia mendengar suara gemericik air dari shower di dalam kamar mandi. Dia tahu bahwa dokter Rein sedang mandi.Sementara menunggu Dokter Rein selesai mandi, pikira Arika tertuju kepada ruang bawah itu."Kalau itu hanya gudang, kenapa harus dikunci?" pikir Arika. "Ini terlalu mencurigakan. Aku akan mencari tahu lagi besok," sambungnya.Dokter Rein keluar dari kamar mandi dengan rambut basahnya dan badan yang hanya terlilit handuk putih dipinggangnya.Arika memandang pemandangan indah dihadapannya dan tanpa sadar menelan salivanya."Oh..., kamu sudah selesai di dapur?" serunya mengacak-ngacak rambutnya dengan handuk lain untuk mengeringkannya."Sudah," jawab Arika bergerak ke lemari untuk mengambilkan kaos untuk Dokter Rein gunakan."Terimakasih," ucap Dokter Rein tersenyum sambil mengambil kaosnya dari tan
Ada dua hal saat ini yang Arika takutkan dan cemaskan. Nasibnya malam ini harus melayani nafsu Dokter Rein dan juga kemungkinan manusia di dalam ruang bawah tanah itu.Sepanjang hari dia menuruti perintah Dokter Rein untuk tidak melakukan pekerjaan berat. Namun bukan karena dia ingin badannya fit, namun karena perasaannya yang terlalu resah memikirkan semua hal menakutkan itu.Sampai malam hari tiba, Dokter Rein pun kembali dari kliniknya. Arika menatap dari jendela ruang tamu ke arah luar saat mobil Rein berhenti dan terparkir di depan rumahnya.Jantungnya mulai bergemuruh. Sebisa mungkin Arika bersikap biasa untuk dapat menyambut Dokter Rein.Dokter Rein membuka pintu rumahnya. Arika memasang senyumnya. Terlalu berat untuk dilakukan bibirnya yang gemetar takut. Namun dia menyadari sesuatu, bila dia begini Dokter Rein bisa curiga. Dia mulai melupakan semua ketakutannya."Kamu pasti lelah," kata Arika mengambil tas kerja Dokter Rein."Yah. Harusnya aku bisa pulang lebih cepat dari ini
Malam pun datang, Arika duduk bersandar di headboard memperhatikan Dokter Rein yang sibuk di atas sofa dengan berkas-berkas yang dia keluarkan dari dalam tas.Krincing....Kumpulan kunci terjatuh saat Dokter menarik sebuah berkas lainnya."Itu kunci aslinya. Dia menaruhnya di tas." inner Arika."Itu berkas-berkas apa Dokter?" tanya Arika."Oh ini, ini dokumen untuk perpanjangan kontrak sewa gedung klinik dan izin prakteknya." jawab Dokter Rein membuka kacamata bacanya."Apa kamu masih sakit?" tanya Dokter Rein."Sedikit nyeri. Tapi aku sudah bisa beraktivitas. Jangan khawatir," jawab Arika menyunggingkan senyumannya."Jangan menungguku, masih ada yang harus aku kerjakan. Pergilah tidur duluan," kata Dokter Rein memasukkan kembali berkas-berkasnya."Baiklah, anda nggak keberatan aku tidur duluan?" tanya Arika."Nggak. Tidurlah dulu. Kamu pasti lelah kan setelah semalam," jawabnya menunjuk dari jauh area sensitif Arika dengan pandangannya. Wajah Arika bersemu merah.Dengan perlahan dia
Krinciiing....Krinciiing....Suara gemerincing dua buah kunci beradu terdengar dari ambang pintu. Mereka berdua terkejut. Mata mereka terbelalak, menoleh ke arah yang sama, ke pintu masuk ruang bawah tanah.Sebuah tangan panjang berbalut lengan kemeja, terjulur di mulut pintu memegang dua buah kunci di jemarinya. Dokter Rein menampakan dirinya. Tersenyum lebar dan mengerikan."Ck...," decak Dokter Rein memasang wajah kecewa memasuki ruangan.Jantung Arika berdegup kencang. Tubuhnya gemetar diliputi ketakutan. Begitupun wanita di kursi itu. Mata suram mereka berdua bertemu, memperlihatkan ketakutan yang sama."Kamu pikir aku tidak ingat untuk membawa kunci itu? Kamu salah, aku sengaja membiarkanmu membawanya." kata Dokter Rein tersenyum sinis sambil mencengkram dagu Arika."Kenapa ini harus ketahuan secepat ini?" tanya Dokter Rein kecewa."Aku masih ingin bermain dengan kalian," tambahnya beralih memandang wanita di atas kursi pasien.Merasa dalam bahaya, Arika mencoba lari kabur dari r
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, itu menjadi malam panjang dan mengerikan bagi Arika. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana seseorang mati dengan cara mengenaskan.Dengan tangan kaki terikat di kursi, dia tidak dapat melawan dan menolong ketika perlahan Dokter itu mencabut nyawa wanita di kursi pasien dengan kejam.Rintihan dan ratapan wanita itu terdengar memilukan di hatinya. Sesekali matanya terpejam tatkala Dokter Rein melakukan hal kejam kepada wanita itu. Namun dengan terpaksa dia harus membuka matanya atas ancaman Dokter Rein sebelumnya.Setelah meregang nyawa, Dokter Rein memasukan potongan tubuh wanita itu kedalam plastik sampah. Di dalam garasinya, dia memasukan kantung sampah itu ke dalam bagasi mobilnya. Lewat tengah malam dan keadaan sepi dia membawa mobilnya ke bukit jauh dari sana. Di sana dia mengubur begitu dalam mayat tersebut dalam tanah.Sementara masih di dalam ruangan bawah tanah. Menanti Dokter Rein datang,
"Arika...Arika...Aku tidak suka kehidupan yang lurus-lurus saja. Begitu juga dirimu. Jadi lupakan ide konyol mu itu." Dokter tersenyum penuh makna tersembunyi.Sejak saat itu, kata-kata Dokter Rein bahwa dirinya adalah seorang psikopat terus terngiang dalam benak Arika. Beberapa kali dia menampik itu sendiri. Perang batin pun dia alami. Membuat pikirannya terasa kacau dalam kebimbangan."Kenapa aku harus termakan ucapan psikopat itu? Aku masih punya perasaan. Aku menyayangi putriku, aku pernah jatuh cinta kepada Jay. Nggak ada yang salah dalam diriku. Iya itu benar. Aku normal." batin Arika."Tetapi lama-lama seperti ini bisa membuatku gila. Aku harus melakukan sesuatu. Tetapi apa?" pikir Arika mundar mandir di dalam kamar."Bila aku mencoba kabur sudah pasti aku dan putriku tidak akan selamat. Meminta bantuan Jay? Itu akan sia-sia, dia pasti akan tahu kalau aku menemui atau menghubungi Jay. Arrrgghhhh!!!!" Arika menarik rambutnya kebelakang dengan frustasi.****************"Aaahhhhh
Perasaan senang merasakan tangannya menancapkan pisau di tubuh Yuna menguasai dirinya. Matanya terpejam, sudut bibirnya terangkat bersamaan. Senyum kepuasaan yang begitu keji terlukis nyata diwajahnya yang riang.Bayangan masa lalu terputar dalam ingatannya."Dia itu hanya anak adopsi!" ejek seorang anak perempuan kepada Arika.Dia adalah Tiara, gadis famous di sekolah menengah pertama tempat Arika sekolah. Orang tuanya adalah orang kaya yang terpandang di kota itu. Dia pun pandai menyanyi dengan suaranya yang sangat bagus. Semua ketenaran melekat kepadanya.Namun sayangnya dia termasuk anak yang sombong. Dia dan genk nya suka menganggap rendah orang lain dan membully siswa siswi yang tidak mereka sukai. Akan tetapi tidak ada seorangpun yang berani melawan mereka."Bukankah begitu Arika?" tanyanya dengan sengaja.Arika hanya terdiam tak menjawab. Tetap fokus dengan makan siangnya.Pluuk...BruuugggMakanan di kotak bekalnya berhamburan, menyiprat ke wajahnya. Dengan sengaja mereka melem
"Kamu menikmatinya, bukan?" lontar Dokter Rein. Mengejutkan Arika.Dengan gerakan perlahan, Arika menatap Dokter Rein yang tengah menatapnya riang.Arika menggeleng cepat. "Perasaan gembira saat kamu menusuknya. Lagi dan lagi." bisik Dokter Rein tersenyum licik.Arika menutup telinganya. "Aku nggak seperti itu!" elak Arika."Ya kamu seperti itu Arika. Aku berhasil membangunkan monster di dalam dirimu." kekeh Dokter Rein terlihat sangat puas."Aku bukan monster seperti mu!" tampik Arika menjaga jarak dengan Dokter Rein."Tetapi kamu memang memiliki monster dalam dirimu." Dokter Rein mengangkat kedua alisnya, menatap Arika untuk meyakinkan nya."Nggak..." Arika menangis tersedu-sedu. Dokter Rein memeluknya erat."Nggak apa-apa Arika. Akui saja perasaan itu. Aku bahkan sudah melihatnya sejak kamu masih kecil dulu." ungkap Dokter Rein sangat mengejutkan Arika.Jantung Arika berdegup kencang. "Apa maksud anda sejak aku masih kecil?" tanya Arika yang penasaran.Senyum misterius terbentuk di
Siapa yang mau mengikuti Dokter Rein mengubur jasad hasil korban pembunuhan nya? Tentu bukan Arika. Arika lebih memilih untuk di rumah dan mengistirahatkan tubuh dan batinnya setelah melihat adegan nyata kasus pembunuhan di depan matanya sendiri.Apalagi pembunuhan itu menimpa orang yang sangat dia kenal. Bibinya. Walau mereka bukan keluarga dekat, tetapi kehadiran bibi yang selama ini menemani nya. Mengingat bibi bukan saja hal baik tentangnya, tetapi juga kemarahan nya yang bangkit saat mengingat bibinya yang membuat dirinya sekarang berada di sini. Dalam penyiksaan Dokter Rein.Dalam perjalanan Dokter Rein menuju gunung. Dia berpapasan dengan Polisi Yuna yang sedang melakukan pemeriksaan kepada pengguna jalan."Malam Dokter Rein!" sapa Polisi Yuna dari kaca jendela yang terbuka."Malam.""Kami akan melakukan sedikit pemeriksaan sebelum anda lewat. Bolehkah saya memeriksa mobil anda Dokter?" tanya Polisi Yuna dengan sopan."Tentu." jawab Dokter Rein dengan sikapnya yang tenang sepert
"Kamu mau membantahku Arika?" tanya Dokter Rein. Tatapannya mengancam."Kenapa aku merasa kalau ini bukan Dokter Rein. Dia bukan Dokter Rein yang biasa? Apa ini adalah sifat aslinya? Sebelumnya dia hanya berpura-pura?" pikir Arika penuh tanda tanya seraya memandang takut ke arah Dokter Rein.Arika melihat dari jendela ruang tamu. Istri tukang ledeng yang telah datang dan menatap rumah Dokter Rein dengan sedih."Apa dia mengganggumu? Apa aku perlu menyingkirkan nya juga?" tanya Dokter Rein ketus."Jangan! Jangan seperti itu. Biarkan dia. Dia kan tidak menggangu kita." Arika menyergahnya langsung. Tidak ingin melihat ada korban lagi."Dia jelas mengganggu dengan kehadirannya di sini." Mata Dokter Rein menatap ke arah wanita itu dengan tatapan bengis, seolah siap membunuhnya kapanpun. Arika gemetar saat salivanya terlalu sulit ditelan kerongkongannya."Aku harus pergi ke klinik. Ingat jangan macam-macam!" Dokter itu memperingatkan Arika dengan suaranya yang tegas."I-iya." Arika tergagap
Arika memandang nanar, "Kamu sengaja membuatku menikah dengan Dokter itu. Dan menerima uang yang banyak dari hasil menjebakku." ujar Arika."Semua orang tahu kalau Dokter itu orang yang baik. Jadi aku berpikir, memaksamu dan menghasutmu agar mau menerima pernikahan itu, apa salahnya? Toh kamu yang akan lebih untung." Bibi Delvi mencoba membela diri, membenarkan keputusannya saat memaksa Arika untuk menikah."Lalu kenapa kamu tidak memberitahuku tentang isi perjanjian yang membahas BDSM dalam pernikahan itu?" sungut Arika menaikan nada bicaranya. Bukan hanya nada suara, perkataan Arika lebih mengejutkan bagi Bibi Delvi.Dia yang tidak tahu dan tidak pernah menyangka ada pembahasan itu menjadi bingung sekaligus merasa bersalah.Ekspresi Bibi Delvi kelu, "Apa? Apakah itu dibahas disana?" "Ya. Itu tertera dengan jelas dan gamblang di sana. Apa kamu nggak tahu? Atau hanya pura-pura nggak tahu? Karena yang terpenting bagimu aku menikah dengannya dan kamu mendapatkan uangmu, iya kan?" Kata A
"Aku akan mengambilkan uangnya. Tunggu saja dulu." Dokter Rein berdiri dari duduknya.Arika pun datang membawa nampan berisi minuman yang telah dia buat dan cemilan. Senyum manis tergurat di wajahnya saat menaruh cangkir teh di atas meja.Bibi Delvi menggenggam tangan Arika, "Aku senang melihat kamu bahagia dengan pernikahan mu, Arika." ujarnya tanpa melepaskan senyumannya."Iya, bi." Arika menjawab dengan singkat dan mengambil duduk di sofa lain.Mereka saling berbincang sambil menunggu Dokter Rein datang. "Ada perlu apa bibi ke sini?" tanya Arika."Aku hanya ingin menengok kamu, Arika." dusta Bibi Delvi tanpa tahu kalau Arika sesungguhnya telah mendengarkan pembicaraan nya sebelumnya bersama Dokter Rein.Tak lama Dokter ganteng berkulit putih pucat itu datang dengan empat gepokan uang di tangannya. Melihat uang yang tak sedikit itu, mata Bibi membulat sempurna dengan binar-binar berpendar dari sana.Arika menatap bibi dengan dongkol yang tertutupi dan melihat kepada Dokter Rein. Mesk
"Semakin sedikit yang kamu tahu, semakin baik Arika." seringai Dokter Rein di hatinya."Aku akan membuat posisiku aman dengan melayanimu. Semoga ini berhasil," harap Arika berdoa di dalam hatinya.Tangannya mengalungi leher panjang Dokter Rein, wajah mereka begitu dekat. Dokter Rein mencium bibir Arika dengan tegas dan menuntut."Bibir mu selalu terasa begitu manis," bisik Dokter Rein ditengah percumbuan mereka."Aku ingin melakukan sesuatu kepadamu." kata-kata itu dan Dokter Rein yang mengucapkannya selalu berhasil membuat Arika bergidik ngeri. Apa lagi yang akan dia lakukan kepadaku? Dan seketika pertanyaan itu yang menggantung dalam pikirannya."Tetapi ini nggak akan berdarah seperti pisau waktu itu." ucapnya lagi."Walau aku tidak bisa berjanji." batin Dokter Rein tersenyum puas.Dia mendudukan Arika di atas tempat tidur. Dokter Rein menarik sebuah tali yang menjuntai di dekat lampu hias. Dari langit-langit kamar sebuah pintu kecil terbuat dari triplek terbuka. Dua buah rantai besi
"Aku tidak tahu, tetapi aku merasa beruntung walau memasuki kehidupan Dokter gila itu, aku menjadi orang yang dia percaya bukan menjadi korban seperti yang lain. Tetapi sampai kapan aku bisa bertahan di sisinya? Bagaimana kalau dia bosan dan menghabisi aku seperti yang lainnya?" pikir Arika tiba-tiba merasa sesak."Aku akan bersikap sebaik mungkin kepada Dokter itu. Dan memuaskan hasrat seksual nya. Ya, aku rasa itu kuncinya aku bisa terus bertahan." sambung pikirannya.Malam ini meski Arika merasa sudah sangat lelah namun Arika tidak dapat tidur. Arika terduduk dengan resah di kursi meja makan. Dia menyeruput kopi instan yang dia seduh beberapa saat yang lalu."Hufh...!" Dokter tampan itu memasuki dapur dengan kemeja dengan noda tanah. Rambut sisi depan yang panjang sedikit menjuntai menutupi matanya sebelum dia sibakkan kebelakang.Arika terkesiap, dia berdiri dengan tiba-tiba."Do-dok-ter telah kembali?" ucapnya terbata karena gugup."Yah...," jawabnya singkat seraya mengangkat cang