Hampir 24 jam perjalanan udara, kini rombongan Aira sudah tiba di bandara John F. Kennedy, New York. Aira meletakkan Enzo di stroller, lalu mendorongnya menyusuri area terminal kedatangan. Sementara itu, Ibra sibuk dengan troli berisi barang-barangnya dan Aira. "Setelah ini, kita ke mana, Kak?" tanyanya pada sang kakak ipar. Belum sempat Aira menjawab, teriakan seseorang tiba-tiba mengalihkan perhatiannya. Ibra dan Aira spontan menoleh ke arah suara. Ternyata, suara cempreng itu adalah milik Catherine. "Aira!" serunya seraya menghambur ke pelukan sahabatnya itu. "Cat! Jadi kau yang menjemput?" balas Aira ceria. "Iya! Mr. Jati yang memberitahukan bahwa kalian semua akan datang hari ini, dan dia memintaku untuk menjemput kalian," papar Catherine. "Kok Jati bisa tahu kalau kita datang ke New York hari ini?" Mira memicingkan mata curiga. "Biasa ... Kak Wildan!" Aira memutar bola matanya malas. Siapa lagi yang dengan mudahnya membocorkan rahasia pada Jati jika bukan kakak ip
"Manggala sekarang kaya raya, ya. Dia bisa sewa penthouse sebesar ini," celetuk Mira, yang membuat semua orang memusatkan perhatian kepadanya. "Benar juga, ya," gumam Ibra. "Apa bisnis start upnya meningkat pesat?" terka pemuda tampan itu. Alex langsung menggeleng. "Saya belum bisa mengatakannya pada kalian, tapi Tuan Manggala mendapat dukungan dari banyak orang penting dan berpengaruh," ungkapnya. "Ah, syukurlah." Ibra mengempaskan napas lega. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?" "Untuk anda, bisa istirahat di sini sambil menjaga Tuan Muda Enzo, sedangkan saya dan Nyonya Aira akan menemui Tuan Clarks," timpal Alex. "Hah? Lalu, aku bagaimana?" Mira menunjuk hidung sendiri. "Anda temani Tuan Ibra saja, menjaga Tuan Muda Enzo," jawab Alex sambil tersenyum puas. Sayang, senyuman menawan itu tak berlangsung lama. Sebuah suara nyaring yang berasal dari interkom, memudarkan lengkungan bibirnya. Alex buru-buru menekan satu tombol pada benda persegi yang tertempel di di
Aira berbaring santai di kamar yang berada di lantai dua bersama Enzo yang tertidur pulas di sebelahnya. Lembut jemarinya membelai pucuk kepala putra semata wayang yang semakin tampan dari hari ke hari. Saat itu, Aira boleh bernapas lega karena pertemuannya dengan William dapat dikatakan berhasil. Pria itu bersedia datang ke Indonesia untuk bertemu dengan Sammy. Rencana selanjutnya adalah mempertemukan William dengan Cynthia. "Kak." Terdengar ketukan pelan dari arah pintu yang tak tertutup sempurna. Aira menoleh dan tersenyum mendapati Ibra berdiri dan bersandar di ambang pintu. "Hei," balasnya seraya beringsut turun dari ranjang. Aira berniat untuk menghampiri adik iparnya itu. "Kok belum tidur?" "Pengen jalan-jalan, mumpung di sini," jawab Ibra. "Seminggu lagi kita pulang, kan?" Aira mengangguk. Dirinya dan Mira memang berniat tinggal sedikit lebih lama di New York. Selain karena perjalanan menuju salah satu kota terbesar di dunia itu memakan waktu lama, sehingga tak ingin rugi
Ibra berkali-kali mengarahkan lensa kamera Aira ke arah kakak iparnya itu. Entah berapa banyak foto diam-diam yang dia ambil. Sesaat kemudian pemuda tampan itu tersenyum samar. Saat ini, mereka sedang berada di restoran kecil yang menyajikan berbagai macam menu seafood. Ibra dan Aira duduk berhadapan di sebuah meja yang terletak di dekat jendela. "Kak, lihat ini." Ibra menunjukkan hasil fotonya pada Aira. "Cantik, kan?" "Ya, ampun. Ibra! Kenapa kamu memotretku terus? Mana eksposurnya kurang pas pula. Aku jadi kelihatan jelek," sungut Aira. "Siapa bilang? Kak Aira cantik, kok! Mau pose apapun, dan dari sudut manapun, kakak tetap cantik," sanjung Ibra. Matanya berbinar, tanda dia bersungguh-sungguh dalam ucapannya. "Ah, gombal sekali kamu!" gerutu Aira. "Begitu katanya belum punya pacar." "Memang belum. Meskipun pacaran, aku tetap harus menyeleksi. Aku tidak mau sembarangan dekat dengan seseorang," jelasnya. "Seperti apa sih, kriteria cewek favoritmu?" pancing Aira. "Yang
Aira tak jadi berjalan-jalan. Dia memutuskan untuk langsung menjenguk Senja, istri Jati. Deretan rencana yang akan dia lakukan selama berada di New York harus dia batalkan sebab William sudah mendesak mereka supaya dapat terbang ke Indonesia secepatnya. Tak ada yang Aira lakukan selain menuruti permintaan pria yang dia harapkan untuk bisa menolong suaminya itu. "Biar Enzo sama aku, Ra," cetus Mira. "Saya yang menemani, jangan khawatir," timpal Alex. Sedangkan, Ibra tak terlihat. Hanya terdengar suaranya saja yang riang berceloteh. Ya, Ibra tengah asyik bermain bersama Enzo di lantai dua penthouse. "Aira pergi dulu, Tante," pamitnya seraya mencium pipi kiri dan kanan Mira. Keluar dari gedung apartemen mewah yang rencana awalnya akan ditempati selama sebulan, tapi kini harus ditinggalkan dalam waktu kurang dari seminggu saja, Aira dan Alex berjalan menghampiri sebuah kendaraan mewah yang disupiri oleh Fox. "Ke rumah sakit Metro," ucap Alex tanpa ditanya. Fox mengangguk, lalu mem
"Senja! Aku sudah menikah. Aku punya suami!" tegas Aira seraya menarik tangannya paksa. Tentu apa yang dia ucapkan itu membuat Senja dan Jati kebingungan. Terutama Jati yang mengira bahwa Aira masih belum bisa bangkit dari rasa kehilangannya."Ra, maaf. Bukannya aku menggurui, tapi kurasa hidup harus terus berjalan. Kamu harus bisa menatap ke depan, sesulit apapun. Kasihan anakmu," tutur Senja dengan nada bicara lemah. "Kalau kamu terpuruk seperti ini, aku akan semakin merasa bersalah," ujarnya.Aira terkesiap. Dia sadar jika dua orang di depannya ini sama sekali tak mengetahui perihal kematian palsu Manggala. Sementara untuk mengungkapkan kebenaran pada pasangan suami istri itu juga tak mungkin, sehingga Aira memutuskan untuk bersandiwara."Te-terima kasih nasihatnya, Senja. Tapi, aku memang benar-benar tak ingin berhubungan dengan lelaki manapun lagi. Bagiku, Manggala akan tetap hidup dalam hati dan pikiranku," tegas Aira.Mendengar hal itu, Jati langsung memalingkan muka. Entah me
Aira mengempaskan napas pelan. "Tenang saja, Tante. Aku yakin, Ibra anak yang baik. Dia tidak akan berani berbuat macam-macam. Terlebih, Ibra sangat menyayangi dan menghormati Manggala," tuturnya. "Tapi, tak ada salahnya berjaga-jaga." Mira bersikeras. "Iya." Aira mengangguk seraya tersenyum, sebagai isyarat jika dirinya tak ingin berdebat lagi. Mira pun akhirnya menyadari bahwa dia atak boleh terlalu dalam memaksakan kehendak serta mengatur Aira. "Ya, sudah. Kamu susul dulu Enzo di kamar Sinta," titahnya mengalihkan pembicaraan. "Tunggu. Aira mau melihat keadaan Sammy dulu," balasnya. Sejak kedatangannya dari New York beberapa jam lalu, Aira belum sempat menjenguk Sammy. Berdasarkan informasi dari Kartika, bocah kecil itu tengah asyik bermain bersama anak dari salah satu asisten rumah tangga di kediaman Kartika yang memiliki usia sama. "Den Sammy ada di halaman belakang, Non. Asyik memancing bersama Bagus," ujar salah satu pekerja di rumah itu. "Oh, oke. Terima kasih, Bi
William membeku. Matanya nanar menatap potret buram seorang pria tua yang baru saja ditunjukkan oleh Sammy. "Mark Thompson?" William bergumam pelan. "Anda mengenalnya?" tanya Aira hati-hati. William mengangguk lemah. "Dia salah satu orang kepercayaan ayahku. Dulu, aku mengenalnya dengan nama Uncle Samuel," ucapnya. Aira terkesiap. "Bagaimana bisa Sammy berada dalam lindungannya? Sementara Frederick Larson pernah bercerita kalau ...." "Apapun yang Frederick katakan tentangku, jangan percaya!" potong William. "Aku memutuskan hubunganku dengan Cynthia sebelum tahu jika dia mengandung anakku!" "Oh, ya?" Aira begitu terkejut mendengar fakta baru dari mulut William. "Tiga bulan setelah kami berpisah, Samuel alias Mark Thompson memberitahukan bahwa Cynthia dilarikan ke rumah sakit akibat pendarahan. Saat itulah aku mengetahui jika dirinya tengah hamil," beber William. "Lalu?" "Samuel atau Mark Thompson mengatakan bahwa Cynthia keguguran. Setelah itu, Samuel menghilang. Aku h
Aira menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan. Dia harus bisa mengenyahkan segala pikiran buruk. Mungkin itu semua adalah bagian dari rencana Manggala, batinnya. "Manggala tidak mungkin berkhianat. Tadi dia sudah meneleponku." Kalimat itu terus Aira ulang seperti mantra. "Sammy dan saya akan duduk di sebelah sana," pamit Alex dan ditanggapi dengan anggukan kepala oleh Aira. Sesaat kemudian, wanita cantik itu mengedarkan pandangan ke sekeliling lokasi pesta. Acara farewell party sekaligus first dance kedua mempelai diadakan di lahan kosong berupa padang rumput yang terletak di area selatan resort. Padang rumput tersebut berbatasan dengan tebing curam. Di bawah tebing, terdapat pemandangan indah berupa bibir pantai berbatu. Keindahan itu menjadi berkali lipat ketika di ujung horizon muncul semburat cahaya jingga yang menjadi penanda bahwa senja telah tiba. Tenda raksasa yang dilengkapi dengan dekorasi mewah nan elegan dan dihiasi ribuan bunga mawar putih, didirikan untuk m
"Aunty!" Teriakan Sammy membuat Aira terkejut. Konsentrasinya dalam mengambil foto-foto Cynthia pun buyar seketika. "Kenapa lagi, Nak?" tanyanya penuh kesabaran. "Ponselmu berbunyi," jawab Sammy seraya meraih sebuah telepon genggam dari dalam kopernya. "Ponsel siapa itu, Sammy?" Aira mengernyit waspada. "Itu bukan milikku " "Tapi, ayah tadi mengatakan jika ponsel ini berdering, maka aku harus memberikannya pada Aunty. Ayah tadi juga mengatakan kalau aku harus menunjukkan ponsel ini pada Aunty," jelas Sammy panjang lebar. Ragu-ragu, Aira mengulurkan tangan. Dia memutuskan untuk menerima ponsel yang disodorkan oleh Sammy. "Ha-halo?" sapa Aira terbata. "Sayang?" balas suara di seberang sana. Suara yang sudah sangat melekat dalam sanubari, bahkan alam bawah sadar Aira. "Ma-Manggala?" desisnya. "Iya, ini aku. Boleh aku minta tolong, Sayang?" tanya Manggala lembut. "Tentu! Ada apa, Ngga?" "Tolong kirim hasil foto-fotomu ke email yang akan kukirim sebentar lagi di nomor
William terdiam. Di satu sisi, dia merasa sedikit terdesak. Wiliam sendirian di tempat ini. Sengaja dia memutuskan untuk menjauhkan para pengawalnya dari Frederick beserta anak buah pria paruh baya itu, agar rencananya bersama Manggala bisa berhasil. Sebuah pilihan berbahaya, berisiko tinggi. Namun, dia yakin hasilnya akan sesuai dengan yang diharapkan. Keyakinan William itu akhirnya membuahkan hasil. Sebelum anak buah Frederick berhasil meringkusnya, tiba-tiba puluhan pria berambut cepak dengan kaos hitam berlari menghampiri. Pria-pria itu sigap meringkus anak buah Frederick. Mereka melumpuhkan pria-pria bersetelan rapi itu kurang dari lima menit. "Ayah!" Cynthia menunjukkan ketakutannya saat seorang pria asing menodongkan pistol ke pelipis Frederick. Ujung moncongnya membuat pria berambut putih itu menegang. Meskipun demikian, Frederick tetap berusaha untuk menekan rasa takutnya. "Kau pikir bisa menghancurkanku seperti ini, Will?" ejek Frederick dengan senyum meremehkan.
"Aunty! Ayah membawakanku banyak kue. Lihatlah!" Sammy menyeret koper berodanya, lalu meletakkan benda persegi itu di depan kaki Aira. "Wow! Kelihatannya enak-enak!" puji ibunda Enzo itu untuk menyenangkan hati Sammy. "Aunty boleh mengambil satu!" Sammy menyodorkan sebungkus roti keju pada Aira. "Nanti dulu ya, Sayang. Aunty harus bekerja," tolak Aira halus. Diusapnya rambut coklat keemasan itu seraya tersenyum lembut. "Ah, aku lupa pesan ayah," ujar Sammy sambil menggaruk-garuk kepalanya. "Aunty sedang bekerja, dan aku tidak boleh mengganggu," lanjutnya. "Anak pintar!" Aira tertawa geli. Gemas rasanya melihat Sammy yang semakin hari, tumbuh semakin cerdas. Kembali dia mengacak-acak rambut Sammy sebelum fokus pada kamera tele yang sedari tadi dia pegang. Aira mendudukkan diri di kursi. Tubuhnya menghadap ke dinding kaca tebal. Tatapannya tajam mengarah ke pemandangan di bawah sana, di dekat bibir pantai. Di bangku panjang yang diapit bebatuan pantai itu, telah datang wani
"Kaca gelap ini bisa Anda gunakan untuk kepentingan kita," tutur Alex yang membuat dahi Aira berkerut. "Maksudnya?" "Lihat sisi ini!" Alex mengarahkan telunjuknya ke sudut dinding kaca. Mau tak mau, Aira mengikuti arah pandang Alex. Saat itulah dirinya menyadari bahwa sudut dinding kaca tersebut memiliki warna yang berbeda. Aira memperkirakan bahwa bagian kaca yang berwarna tak terlalu gelap itu memiliki luas tak lebih dari tiga puluh senti. "Untuk apa sudut ini?" tanyanya heran. "Anda bisa mengambil foto dari sana," jawab Alex. "Foto?" ulang Aira tak mengerti. "Tuan Clarks meminta anda mengambil foto dalam jumlah sebanyak-banyaknya dari sisi itu," terang Alex. "Ya, ampun. Kata-kata anda terlalu membingungkan. Aku sama sekali tak paham," keluh Aira seraya menggaruk keningnya. "Begini ...." Alex menggoyangkan tangannya, sebagai isyarat agar Aira mendekat. "Jadi, nanti aku mengatur pertemuan antara Tuan Clarks dan Cynthia. Lokasinya ada di bawah sana," tunjuk Alex.
Baru beberapa menit yang lalu Aira menjejakkan kaki di bandara internasional Ngurah Rai, Bali. Bersama Alex, dia menaiki satu mobil khusus yang telah disewa menuju tempat resepsi yang akan digelar besok. "Kru kita masih sama dengan yang dulu," tutur Alex tanpa ditanya, dan Aira pun mengangguk. "Anda tidak apa-apa, kan? Berpisah sementara dengan Enzo?" tanya Alex memastikan. Aira langsung menggeleng dengan yakin. "Dia aman bersama Mama, Tante Mira dan kakak-kakakku," jawabnya. Mendengar nama Mira disebut, Alex langsung tersenyum lebar. "Ya, aku juga merasa begitu. Enzo pasti akan baik-baik saja," gumamnya. Tak terasa, dua jam perjalanan telah ditempuh. Kini, mereka sampai di sebuah resort pribadi di pesisir selatan pulau Bali. Alex langsung mengajak Aira untuk meeting bersama beberapa orang kru yang akan membantu pekerjaan Aira besok. Sejauh yang dia nilai, konsep pernikahan Brandon ini sangat mewah. Seperti acara resepsi a la barat pada umumnya. Ada beberapa tahapan yang
Manggala mengajak Aira memasuki sebuah kamar lain melalui pintu penghubung di kamar yang ditempati oleh Enzo. Pria tampan yang masih setia dengan rambut gondrongnya tersebut menuntun sang istri dengan sangat lembut dan penuh kehati-hatian. "Kamu makin cantik, Sayang," sanjung Manggala dengan tatapan lekat. Tak sedetik pun dirinya mengalihkan pandangan dari wajah cantik Aira yang sudah dipoles dengan make up elegan. "Syukurlah," desis Manggala kemudian. "Apa?" Aira menautkan alis tanda tak paham. "Gaun pilihanku sungguh sangat cocok dikenakan olehmu." Mata coklat tajam Manggala menyapu tubuh sang istri, mulai dari kepala hingga ujung kaki. Gaun hitam berbahan velvet dengan model A-line itu sungguh sempurna membingkai pinggang ramping Aira. "Ah, Sayang. Rasanya sudah berabad-abad aku tak menyentuhmu." Sorot mata Manggala semakin sayu. Satu tangannya sudah aktif bergerak. Sementara bibirnya, dia dekatkan ke bahu kanan Aira. Dengan satu gigitan, Manggala arahkan tali gaun seuk
"Kamu makin ganteng," sanjung Aira seraya tersipu malu. "Masih gondrong juga." Manggala terkekeh. "Kamu ingin aku potong rambut?" tanyanya lembut. Aira spontan menggeleng. "Kamu mau model rambut macam apapun, tidak pernah gagal terlihat tampan," sanjungnya lagi. Manggala salah tingkah. Pipinya bersemu merah, bagaikan remaja yang baru jatuh cinta. "Benarkah?" Tatapan mata pria itu tampak sayu, terarah pada Aira. "Papap ... papap!" Celotehan Enzo membuat Manggala tersadar. Ada bayi yang sangat dia rindukan dan tunggu kedatangannya. "Jagoan Papa," ucap Manggala. Dia meraih Enzo dari gendongan Aira, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara. "Papa sangat merindukanmu, Nak. Sangat rindu," ungkap Manggala dengan mata berkaca-kaca. Begitu pula Aira dengan perasaan campur aduk. "Sampai kapan kita akan seperti ini, Ngga? Aku mulai lelah," keluhnya. "Tolong, sabar sedikit, Sayang. Berjanjilah padaku untuk bertahan," pinta Manggala. Aira tak menjawab. Malah Enzo yang menanggapiny
Aira terlihat sangat bahagia menggandeng Enzo. Bocah menggemaskan itu terlihat sangat tampan dalam balutan tuksedo hitam. Senada dengan gaun malam Aira yang juga berwarna hitam. Enzo terus berceloteh dalam gendongan ibunya. Sementara tangan Aira yang lain tengah menyeret stroller. Wanita yang terlihat sangat cantik malam itu berjalan tergesa menuju teras. Aira patut terburu-buru, sebab saat itu suda menunggu sebuah mobil mewah sewaan yang terparkir gagah di halaman rumah Kartika. "Selamat malam, Nyonya." Seorang pria bersetelan hitam, keluar dari pintu pengemudi lau bergegas menghampiri Aira. Pria itu juga membungkuk hormat padanya. "Ini alamat yang akan saya tuju, Pak." Aira sedikit kesusahan mengoperasikan ponsel yang sedari tadi dia genggam sambil menggendong Enzo. "Saya sudah tahu, Nyonya. Klien saya sudah membagikan lokasinya," sahut sang sopir sopan. "Oh, baiklah. Terima kasih." Aira seakan tak sabar ingin bertemu dengan suami. Dirinya tak berpikir panjang untuk seger