Agam gercep pemirsa. Orang ganteng memang susah dilupakan!
Memilin jariku gugup, kucoba memberanikan diri menatapnya. Mata tajamnya dibingkai alis tebal itu tidak menakutkan. Akan tetapi ada ketegasan dari sorotnya yang terkadang teduh.Aku baru menyadari dia benar-benar mancung dengan hidung bangirnya. Rahangnya kokoh dan dicukur bersih. Tidak seperti dulu terlihat ada bakal rambut di sekitar pipi dan dagunya.Aku tersentak, menyadari ketidakwarasanku mengagumi pria asing. Apa yang sudah merasukiku sampai bertingkah seperti ini? Ya ampun, aku ini memalukan! Merutuk diri, apalagi yang bisa kulakukan selain beristigfar? "Ada apa? Kamu takut sama saya?" Aku menggeleng karena jujur saya aku tidak takut. Hanya saja lebih pada rasa penasaran."Om Iwan dali mana?" tanya Agam yang membuat kami sontak menoleh pada si kecil.Pria yang selalu disebut Om Baik oleh Agam ini sesaat mengernyit lalu terkekeh. "Bukan Om Iwan, tapi Om Riswan. Riswan!" Agam menepuk jidatnya dengan telapak tangan kirinya sendiri lalu berkata, "Agam cuma inat wan, Om. Waktu it
Suara denting sendok menjadi irama yang khas di ruangan ini. Di meja lain sudah tampak ramai karena memang sudah waktunya berbuka puasa. Sejak beberapa menit lalu, kami makan dengan diam.Lama aku berpikir, menimbang beberapa hal, akhirnya kuputuskan untuk bertanya. Aku tidak ingin berada terlalu lama di sini. Aku belum sempat mengajak Agam bermain dan membeli robot yang diinginkannya."Pak Riswan, maaf, saya minta mau minta tolong keluar sebentar. Anda masih bisa menunggu beberapa menit, 'kan?" Aku menunggu anggukannya."Mau ke toilet?" tebaknya.Aku menggeleng dan beralasan ingin membeli sesuatu sebelum kehabisan. Pria itu menatapku sejenak lalu menggeleng. "Tidak perlu ke ATM."Aku terhenyak dengan mata membelalak. Apakah dia dukun yang punya ilmu membaca pikiran orang lain? Sekali lagi ia mengulum senyum. "Kamu benar-benar ingin bayar hutang?""Saya tidak bisa tenang kalau tidak bayar hutang!" jawabku tegas agar ia paham maksudku. Ia kemudian mengulurkan ponselnya. "Ketik saja no
Sahur kali ini lebih berisik dari sebelum-sebelumnya. Bagaimana tidak, mahasiswi imut dan bocah menggemaskan itu malah sibuk bercerita dan menanggapi satu sama lain.Meski sibuk menyiapkan makan sahur, telingaku juga fokus mendengar mereka. Entah kenapa aku malah ikut penasaran dengan cerita Agam. Yang barusan disebutnya adalah hal yang tidak kuketahui."Jadi Agam ke musholah sama Om Baik itu?" tanya Tita ketika selesai meletakkan piring dan gelas.Agam yang sedari tadi memainkan robot barunya mengangguk. "Agam dibantu pipis dulu, balu belwudu. Telus solat sama-sama. Om Liswan bilang, Agam tetap di sampingnya om ya. Jangan ke mana-mana, om mau kasih tahu lahasia.""Rahasia apa?" Aku dan Tita terdengar kompak karena penasaran."Om Liswan bilang, nda boleh kasih tahu ibu." Agam melirikku lalu kembali menatap Tita yang menarik bahunya.Sekarang entah apa yang mereka bisikkan satu sama lain. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Kuletakkan mangkok kosong sedikit kasar lalu berkacak pinggang."A
Kulirik Agam yang serius menonton tayangan kartunnya. Tita sendiri kembali beranjak karena ada pengunjung toko. Tadinya aku ingin membantu, namun gadis itu menggeleng sembari melirik Agam.Kupahami maksud isyaratnya. Akan tetapi, di sini aku juga mati kutu. Agam diam saja sambil sesekali melirik ponselku. Dia masih menanti.Telpon tidak ya? Kalau aku telpon duluan, nanti pria itu geer. Tidak! Jangan lakukan itu Carisa!Batinku terus berperang, antara ego dan keresahan Agam. Sampai akhirnya tayangan kartun itu berakhir, Agam menoleh menatapku. Oh tidak, kedipan matanya membuatku membatu."Agam! Lanjut dong!" seru Tita yang kembali bergabung bersama kami."Lanjut apa? Agam sudah kenyang."Suara decakan malas disertai bibir manyunnya membuat Agam tertawa. "Tadi Agam cerita waktu Agam sama omnya selesai shalat, Om Riswan bantu pakaikan sepatunya Agam. Terus, setelah itu, omnya bilang apa lagi?""Om Liswan tanya, ayah atau papanya Agam nanti jemput Agam sama ibu? Agam bilang tidak. Agam kas
Entah sudah berapa kali tubuh ini bolak-balik ke kanan kiri. Seperti apa pun posisi tidurku tetap saja tidak nyaman. Bukan karena kasurnya yang tidak empuk, tapi isi pesan itu mengusikku.Beranjak meninggalkan tempat tidur, aku ke dapur untuk mengisi botol air minumku. Perutku juga merasa lapar. Berpikir terus membuatku kehabisan energi.Aku aktifkan kembali ponsel yang telah kuiisi daya. Langkah kakiku berhenti melihat sebuah pesan dari nomor asing. Melihat barisan pertama dalam pesan itu, aku sudah bisa menebak siapa pengirimnya. +6285123955xxx:Assalamualaikum, Maaf Carisa. Apa Agam bilang rindu?Saya ingin bicara.Kapan boleh saya telpon?Kubaca sekali lagi pesan itu. Apa dia punya indra keenam atau ilmu batin? Bagaimana bisa dia menebak kalau Agam juga mengaku rindu? Tidak mungkin mereka punya ikatan batin.+6285123955xxx:Akhirnya kamu online juga.Kamu marah?Maafkan saya.Kugaruk kepalaku yang pusing ini. Apa dia menunggu? Mengapa aku merasa seperti menyakiti dia dan Agam? M
Ajakan itu terdengar begitu lugas. Aku hanya mampu menunduk ketika ditatap banyak pasang mata. Karyawan-karyawan resto ini ada yang tersenyum dan ada juga yang cemberut."Ada apa?" Aku hanya mampu menggeleng."Ibu mau digendong juga?" Sontak aku menoleh menatap Agam yang sedang digendong. Ya ampun posesif sekali dia memeluk om baiknya.Mbak Gia dan karyawan lain cekikikan menahan tawa. "Agam turun dong, Nak! Agam kan sudah besar, berat juga. Kasihan omnya capek gendong kamu." "Tidak masalah.""Tapi saya tidak ingin dia manja!" tegasku.Mbak Gia berdeham lalu berkata, "Tidak perlu ngambek, kan mau diajak jalan-jalan."Aku menggeleng dan mengatakan jika kami tidak punya janji. Tapi kesialan berpihak padaku saat Agam mengatakan jika sudah mengajak Riswan juga untuk beli baju lebaran. Selain itu, hari ini mereka ingin berfoto."Lain kali saja, ya?" tanyaku pada Agam. "Saya tidak sibuk. Saya balik ke sini cuma mau ambil charger ponsel sebelum pulang. Saya beruntung ketemu kalian di sini."
"Mau kabur pun percuma, Wan." Pria berkacamata yang menghampiri kami kian mendesak."Agam sama Om Liswan beli baju lebalan, Om," ucap Agam yang membuat pria itu justru tersenyum lebar. Sesaat kemudian ia menutup mulut dengan kepalan tangannya. Tampak begitu terkejut seolah tidak menduga ketika Riswan mengangguk. Yang tak kuduga adalah ia langsung merogoh saku dan mengeluarkan ponselnya. "Kita selfie dulu Agam."Ajakan pria itu sama sekali tidak ditolak oleh Agam maupun Riswan. Mereka bertiga malah tersenyum lebar ke arah kamera. Aku semakin heran melihat pria itu mencium kening Agam dan mengusap sayang kepalanya. "Om dari dulu mau ketemu kamu Agam. Sahabat om ini, selalu cerita kalau dia rindu sama kamu. Kamu kenapa tidak cerita sih Wan, kalau kamu sudah ketemu Agam?" protesnya diiringi decakan kesal.Tatapan pria itu kini mengarah padaku. Riswan kemudian memperkenalkanku dengan sahabatnya ini yang bernama Wira. Ternyata pria berkacamata tersebut adalah seorang pengacara. Dari perte
Keesokan harinya, Agam dijemput Riswan untuk menghadiri acara ulang tahun anak kembar pria yang berprofesi sebagai pengacara itu. Mereka berangkat bersama Tita karena aku menolak.Daganganku kujadikan alasan untuk tidak ikut. Aku sengaja menghindar mengingat reaksi pria bernama Wira. Bukannya geer, namun dari yang kutebak, mereka sepertinya pernah membicarakanku. Terlihat jelas dari reaksinya saat bertemu aku dan Agam di toko pakaian pria saat itu.Aku termenung memikirkan tebakan Tita kemarin. Agam benar-benar kepikiran karena aku tidak menanggapi undangan ulang tahun itu. Ia ingin sekali ikut, namun tidak mengatakannya karena takut aku marah.Begitu aku tanya apakah dia ingin pergi bersama Riswan ke acara ulang tahun itu? Agam langsung bangun dari tempat tidurnya. Dia duduk memelukku sambil mengangguk.Aku kalah. Dengan sabar aku kembali membujuknya makan bubur dan minum obat. Jika masih sakit, dia tidak bisa ikut dengan Riswan. Aku dan Tita hanya bisa meringis melihatnya begitu bers