"Bulan madu? Harus—eh?" Tara cepat-cepat meralat pertanyaannya sendiri. "Maksudku, apakah perlu? Kita kan udah melakukan 'itu' di berbagai kamar bolak-balik, Noah."Salah satu keunggulan mempunyai istri yang sudah berpengalaman, bisa menempatkan diri di setiap situasi dengan baik. Terkadang, Tara bersikap tegas dan dewasa. Lalu pada beberapa kesempatan, wanita muda itu akan merengek bagaikan bocah perempuan yang meminta bimbingan. Apalagi kalau soal urusan ranjang—walah! Noah sampai kewalahan.Noah berdeham, menghabiskan suapan terakhir yang disodorkan oleh Tara. Iya, dia sedang bermanja-manja dengan sang istri. Selepas pergumulan menguras emosi yang terjadi semalam, keduanya makin lengket entah karena apa. Sebetulnya Federick sudah bertanya mengenai ketersediaan mereka untuk sarapan di bawah, tetapi Noah terlalu malas menjawabnya. Tentu saja, pastinya sang ayah mengetahui keadaannya saat ini. Terlebih, Noah ingin bersama dengan Tara setiap detiknya. Dia ingin memastikan dengan mata
Pagi itu, mobil yang Noah tumpangi baru saja meninggalkan kediaman baru mereka yang dekat dengan kantor yang suaminya kelola. Mereka telah memutuskan, rumah kecil yang Noah dan Tara miliki akan dikontrakkan saja. Walaupun Tara harus melepas rumah penuh kenangan yang dimilikinya tersebut dengan berat hati, tetapi keputusan yang mereka tempuh saat ini memang sudah benar.Tara akan pergi ke Hacer belakangan, sebab Cell sudah berjanji untuk menjemputnya. Rencananya mereka akan mampir ke rumah Reina untuk memberi sarapan yang ibu hamil itu idamkan. Sahabatnya itu menginginkan makanan buatannya.Setelah mempersiapkan diri dan memastikan rumah dalam kondisi bersih, Tara menunggu Cell di teras. Tidak lama kemudian, mobil si produser mungil itu terlihat di depan pagar rumah barunya. "Maaf lama, Tar!" Ucap Cell. "Aku harus cari coretan lirik yang semalam ikutan kebuang.""Nggak apa-apa kok! Yang pen—" Tara menghentikan perkataannya, lalu tangan kanan membekap mulutnya sendiri. "Cell? Ini bau p
"Tara!"Noah berangsur memeluk Tara begitu memasuki ruangan yang berisikan oleh sang istri beserta keluarganya. Usai mendengar berita kehamilan Tara, Noah mengendarai mobil seperti pembalap. Dia tak sabar untuk bertemu sang terkasih dan mengungkapkan kebahagiaan yang akan meledak-ledak itu.Mengabaikan eksistensi keluarganya, Noah langsung memberondongi Tara dengan kecupan bertubi-tubi. Tara menepuk bibir sang suami dengan pipi memerah menahan malu. "Noah! Ada banyak orang kok kamu malah nyosor terus sih?!"Noah meringis, "Ini karena aku terlalu senang, Sayang. Astaga, rasanya aku mau teriak ke seluruh dunia, kasih tau kalau istri kesayanganku ini hamil.""Alay kamu ya?""Biarin! Alay-alay begini, suami kamu lho!" Noah mendekat, berbisik tepat di telinga kiri Tara. "Terus alay-alay macam gini, nyatanya sukses menghamili kamu juga lho!""Minta ditimpuk beneran ya kamu, Noah!" Tara sudah bersiap untuk memukul Noah menggunakan ponselnya, tetapi suaminya itu cepat-cepat bersembunyi di bal
Sejak hari itu, Noah kerap pulang lebih awal untuk menjemput sang istri di Hacer. Iya, dia enggan membawakan mobil untuk Tara. Khawatir apabila sewaktu-waktu dilanda pusing sedemikian hebatnya yang bisa membahayakan keamanan wanita muda itu.Mau tak mau, Tara memilih untuk menurut. Daripada tidak bisa ke Hacer sama sekali, yang ada dia malah kelimpungan soal pekerjaan terakhir yang dipegangnya itu. Malam harinya selepas dari rumah sakit, Reina dan Cell kompak mendatangi Tara untuk memberi ucapan selamat. Bahkan setelahnya, Elisabeth dan Rosalie menyambangi Tara secara bergantian. Kini dalam perjalanan pulang, Tara tertawa sendiri saat mengingat betapa hebohnya kedua wanita tersebut."Kenapa kamu ketawa sendiri, Sayang?" tanya Noah keheranan. "Nggak lagi kesambet apa-apa kan?"Tara memberi lirikan tajam yang membuat Noah mengatupkan bibir secepat kilat. "Eherm, mau beli sesuatu nggak? Mumpung kita masih di luar.""Memangnya kalau nanti di rumah, kamu nggak mau membelikan, Noah?" samba
Konser yang dinanti-nanti sebagai proyek besar terakhir Tara pun telah berakhir dan terlaksana dengan baik. Sesuai janji yang diutarakan kepada keluarga Alejandro, Tara langsung mengistirahatkan dirinya. Sejujurnya dia sendiri merasa sangat lemah, padahal nafsu makannya menggebu-gebu.Memasuki bulan ke-3 masa kehamilan, Tara merasa bahwa perutnya dua kali lebih besar dari perempuan hamil lain yang terjamah pandangan. Entah hanya firasatnya saja atau bukan, maka dari itu Noah menemani Tara untuk melakukan kontrol di dokter kandungan yang cukup dekat dengan keluarganya. "Kamu beneran nggak ada rapat atau pekerjaan penting lainnya, Noah?" tanya Tara, memastikan ketersediaan sang suami untuk mengantarnya ke rumah sakit hari ini."Aduh, Sayang. Kamu ini kenapa sih? Kan aku juga mau melihat bagaimana keadaan anak kita di dalam sana. Masa nggak boleh? Masa papanya sendiri nggak boleh lihat-lihat?" timpal Noah.Tara tertawa pelan. "Kamu pikir apaan? Lihat-lihat? Memangnya anak kita ini baran
Bukannya berlalu ke rumah sendiri, justru Noah memberhentikan mobil di kediaman utama Alejandro. Pria muda itu langsung memberitahukan yang sebenarnya mengenai kejadian mengerikan di mana mereka bertemu dengan Seno beserta drama rumah tangga yang tersuguh di rumah sakit tadi. Mendengarnya, Elisabeth sudah tidak sabaran hendak mendatangi rumah Sari. Dia ingin memberi mereka pelajaran, yang entah berupa apa.Tara meringis, merasa tak enak hati sudah menambah pikiran mertuanya itu. Di sampingnya, Rosalie duduk sembari menyodorkan segelas air jeruk nipis yang belakangan sangat disukai oleh Tara. "Makasih, Tante."Rosalie mengangguk, kemudian mengelus pundak Tara penuh kelembutan. Sedangkan saudaranya masih mencak-mencak, ditahan oleh Noah yang kelimpungan seorang diri. Federick tidak ada di rumah, telah pergi ke luar kota untuk mengurus beberapa pekerjaan penting. Maka dari itu, kediaman utama hanya diisi oleh sepasang saudara perempuan yang sama-sama menyayangi Tara tersebut."Jadi, kali
Bugh!Saking kesalnya, bukan Tara yang didapat, tetapi tendangan susulan dari wanita hamil tersebut. Seno meringkuk kesakitan. Sedari dulu, kemampuan fisik Tara memang tak bisa diremehkan. Namun dalam kondisi hamil seperti ini, tentu saja Tara sudah dirundung kelelahan lebih cepat dari biasanya.Napas wanita muda itu terengah-engah, mundur perlahan dan terjatuh dalam dekapan hangat sang suami. Elisabeth dan Rosalie mendekat, hendak membantu menopang tubuh Tara yang harus beristirahat itu. Malahan, gelombang mual datang membanjiri tenggorokannya. Menepi, Tara memuntahkan sup tahu pedas yang baru dimakannya tadi."Pergilah!" Noah memberi gerakan mengusir yang langsung dijalankan oleh dua pengawal di sisi Seno. "Tara sudah tidak menaruh perasaan sedikit pun terhadapmu, Seno. Pergi! Pergilah selamanya dari hadapan kami! Kalau kamu memang mencintai Tara, ikhlaskan Tara dengan kehidupannya yang sekarang ini. Kalau ketahuan kamu datang untuk mengganggu kami lagi, maka aku tidak akan ragu unt
Demi mengakhiri segala urusan yang—disinyalir masih belum selesai—oleh Seno, Tara memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Seno di salah satu stand foodcourt. Sebenarnya dia luar biasa malas. Berhadap-hadapan dengan Seno, yang ada malah menambah tekanan darah tingginya. Saat itu, salah satu pramusaji datang untuk menawarkan lembar menu. "Bapak dan Ibu, silakan pilih, mau pilih makanan apa?"Seno tersenyum lebar, "Kami kelihatan cocok nggak, Mbak?"Tara mengernyit kebingungan. Maksud dari pertanyaan tersebut apa? Kenapa Seno tidak berkaca dari kejadian sebelumnya sih? Sekarang, Tara menyesal sudah mengizinkan dirinya untuk menuruti ajakan Seno yang tidak jelas itu.Si pramusaji mengangguk lantaran tidak tau yang sebenarnya. "Seharusnya Bapak di sampingnya Ibu ini, soalnya ibunya sedang hamil. Bukannya kalau hamil membutuhkan bantuan dari pasangannya ya, Pak?""Ah, begitu? Oke, kalau be—"Tara bersiap melempar ponsel ke arah Seno. Pria itu urung meneruskan ucapannya, memilih untuk