"Mau apa kamu? Mau ditendang lagi anunya?"
Bukannya mundur, Noah makin menundukkan kepalanya mendekati wajah Tara. Ancaman wanita itu tak mempan sama sekali. Justru Noah bersemangat lantaran keperkasaannya telah berfungsi sebagaimana semestinya."Mau tendang?" Noah menahan kedua kaki Reina di antara kakinya. Wanita itu tersentak, tak bisa bergerak sama sekali. "Kamu nggak bisa melakukan apa-apa, Tara.""Heh! Saya lebih tua dari kamu ya?! Yang sopan! Turun sana! Turun! Atau saya teriak nih!" Tara sudah bersiap untuk membuka mulutnya lebar-lebar, berteriak sekuat mungkin. Akan tetapi, pemuda tengil yang sedang menggagahinya itu langsung membungkam Tara dengan sebuah ciuman.Tara membulatkan matanya. Dipukulnya dada pemuda itu, lalu entah mendapatkan kekuatan dari mana, lututnya berhasil mengenai pusat tubuh Noah yang masih berdiri."Aduh! Sial!"Sesegara saja wanita itu berdiri, menjauhi Noah yang terjungkal dari ranjang. Deru napas Tara seakan berpacu dengan detik jarum jam yang memenuhi seisi ruangannya, bukti bahwa usahanya tidak main-main agar terlepas dari kungkungan Noah. Tara menyilangkan tangan di depan dada, agak tak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya."Kamu mau memperkosa saya?! Akan saya tuntut dan adukan kamu ke Pak Heru atas dasar pelecehan seksual!" Seru Tara penuh keyakinan. Tadinya wanita itu percaya diri bahwa Noah akan berlari ketakutan. Akan tetapi, Noah masih saja bersikap santai dan tenang seolah-olah tengah menantikan kalimat Tara barusan."Mau tuntut? Oke! Saya juga akan menuntut balik kamu, Tara." Tara menyerngit, tak mengerti mengapa Noah bisa berpikiran seperti itu. Sebelum Tara melontarkan pertanyaan lagi, Noah melanjutkan. "Kamu nggak menyadari kesalahanmu, Tara?"Tara menggeleng. "Saya nggak ada salah apa pun sama kamu. Justru kamu yang salah di sini, mulai dari salah kamar sampai saat ini kamu mau memperkosa saya!""Cih! Hei! Kamu pikir, saya bisa masuk ke kamar kamu semalam pakai bantuan jin begitu? Kamu pasti salah satu bagian dari orang-orang yang mau menghancurkan karier saya kan? Nggak mungkin saya bisa masuk ke sini sementara kamar ini hanya bisa dibuka dengan kartu pas yang kamu bawa. Kamu pikir saya bisa mencurinya dalam keadaan setengah sadar dari kamu begitu?"Giliran Tara yang terdiam. Benar juga. Bagaimana bisa Noah tidur di kamarnya semalam sementara dirinya yang memegang kartu pas kamarnya ini. Oh tidak! Dia punya firasat buruk soal ini. Meskipun Tara bisa mengelak bahwa dia tak melakukan apa pun, tetapi manusia licik yang menyeringai di hadapannya itu pastinya mempunyai rencana lain."Nah! Kalau saya membawa perkara ini ke depan Pak Heru saja, sudah bisa dipastikan bahwa kamu yang akan disalahkan. Secara, saya ini aktor yang sedang hits! Banyak yang akan memercayai saya! Penggemar saya juga ada banyak! Kalau sampai ada media yang mencium masalah ini, kamu yang akan disalahkan! Kariermu akan hancur dalam sekejap."Oh tidak! Kedua tangan Tara melemas, apakah ini hari terburuknya? Bagaimana bisa dia berhadapan dengan situasi pelik semacam ini?"Atau ... agar menjaga karier kamu tetap berjalan lancar, bagaimana kalau kamu bekerja dengan saya sampai aset penting saya ini kembali normal?"Tara mati-matian menahan tawa. Tadinya dia sudah kebingungan. Tetapi mendengar ucapan Noah barusan, lucu juga. Membayangkan masa depan bocah tengik itu mengalami malfungsi, Tara turut prihatin."Heh! Kenapa nahan tawa?!"Tara mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Gawat! Dia kebingungan harus bereaksi seperti apa, sebab pemuda ingusan di depannya itu mempunyai rencana licik sekaligus terlihat menyedihkan di mata Tara."Masalahnya, Tuan Muda Noah, untuk apa saya bekerja dengan kamu, sementara pekerjaan saya nggak ada hubungan apa pun sama pekerjaan kamu?" Tara menggerakkan telapak tangannya ke kanan-kiri. "Jelas-jelas, kamu nggak akan mendapatkan apa pun dari saya, Noah.""Oh ya? Tapi saya punya kegiatan yang tampaknya akan lebih mudah kalau menggunakan jasa kamu, secara gratis." Timpal Noah."Ha? Rencananya saya akan dipekerjakan tanpa bayaran begitu? Memangnya buat apa sih?" gerutu Tara."Dijawab dulu, Nona Tara! Pilih pilihan yang mana? Kamu tetap melaporkan saya, tapi saya lapor balik. Atau, semua masalah kamar dan sesuatu yang kamu sebut pelecehan ini selesai sekarang dengan cara kamu bekerja dengan saya selama 100 hari. Pilih yang mana?"Dua-duanya terdengar seperti neraka dunia yang sedang tersaji begitu manis di hadapannya. Jelas-jelas sesuatu yang dilakukan Noah tadi merupakan sebuah pelecehan. Dia memang seorang janda, tetapi apakah dirinya serendah itu?Tara mengembuskan napas perlahan. Tatapannya menajam. "Saya nggak akan memilih keduanya.""Ha? Kenapa?""Pertama, yang kamu lakukan tadi memang sebuah pelecehan. Tapi urusan di kamar itu saya memang nggak tau apa-apa. Kedua, saya nggak mau bekerja dengan seseorang yang baru saja melakukan pelecehan tadi.""Astaga! Jadi, masih soal pelecehan?""Ketiga," nada bicara Tara terdengar rumpang dalam pendengaran Noah. "Saya nggak serendah itu sampai harus menuruti semua pilihan yang kamu berikan. Dari keduanya, saya nggak akan memilih! Baiklah kalau kamu memang punya alasan sebagai penuntut balik. Kalau begitu, saya akan mencoba melupakan tindak pelecehan kali ini. Dan saya harap, kamu nggak memunculkan wajah kamu di depan saya lagi."Tara bergerak cepat, menarik Noah dan mendorong pemuda itu untuk lekas keluar dari kamarnya. Noah kepayahan dalam mencerna situasi yang sedang terjadi inu. Kenapa jadi dia yang tersudut begini? Bukannya dia yang menguasai keadaan beberapa menit yang lalu?Bagaikan de javu, Noah keluar dari kamar Tara dengan paksa seperti tadi pagi. Pintu kamar Tara berdebum lebih kencang dari sebelumnya. Noah sempat berjingkat, tapi selanjutnya berdiam diri sambil memikirkan apa yang baru saja dilakukannya terhadap Tara tadi.Merasa usahanya sia-sia, Noah memutuskan untuk mencari Radu. Namun baru saja berbalik menuju lift, justru laki-laki yang dicarinya itu berada tepat di depannya."Bang Radu? Ngapain ke sini?" tanya Noah heran.Radu mengerjapkan matanya berulangkali. Seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tangan kiri Radu tampak menyembunyikan sesuatu di balik tubunya. Noah yang mempunyai mata setajam silet, keburu memutari Radu dan melihat tas kain yang dibawa oleh manajernya itu."Bolu? Ini buat siapa, Bang? Buat aku?"Sebelum Noah meraihnya, Radu memeluk tas kain tersebut. Sudah seperti anak kecil yang tak mau mainannya dicuri bocah lain."Lah? Santai dong! Kalau memang bukan buat aku, ya udah jangan tegang begitu mukanya!" Noah bersedekap. "Buat apa sih, Bang?""Ck!" Radu melirik Noah malas. "Kamu ngapain di sini? Bukannya tadi masih di hotel sama wanita panggilan yang Abang panggilkan?"Rahang Noah mengeras. Teringat dengan betapa lembek aset berharganya tadi, Noah jadi enggan membahas hal tersebut dengan Radu. "Malas, Bang! Kurang lihai.""Ya udahlah, suka-suka kamu aja.""Eh? Mau ke—Tok! Tok! Tok!Pintu kamar bernomorkan 707 terbuka lebar. Terlihatlah Tara yang tersenyum manis kepada Radu, sementara Radu menyerahkan tas kain berisikan bolu tersebut.Noah menganga."Apa-apaan?"•••••"Apa-apaan?!"Seolah tak kasat mata, Radu dan Tara tak menggubris keberadaan Noah sama sekali. Justru keduanya sibuk bercakap-cakap, mengabaikan Noah yang berdiri terkejut di tempatnya. Setelah mengucapkan terima kasih untuk yang ketiga kali pada Radu, Tara melirik Noah. Tatapan wanita itu jelas merupakan sebuah tatapan permusuhan. Noah bergeming. Kenapa jadi dirinya yang takut ditatap seperti itu oleh Tara? Tak lama setelahnya, pintu kamar Tara tertutup. Kini menyisakan Radu yang senyam-senyum sendiri sambil menggaruk kepalanya, dan Noah yang melayangkan sebuah tanda tanya."Bang? Kamu kenal sama dia? Si Tara?" tanya Noah menyelidik.Radu menoleh sekilas, mengendikkan bahu sekadarnya seakan menjawab Noah tidak memberinya keuntungan apa pun. Mungkin pemuda itu adalah aktor yang berada dalam pegangannya, namun Radu tak memiliki kewajiban untuk melapor terkait siapa saja yang dikenalinya. "Bang? Gimana bisa kamu kenal sama Tara? Omong-omong, aku mau tanya sesuatu soal wanita itu, Aban
"Eh?"Noah terpaku. Aset berharganya benar-benar berfungsi hanya terhadap Tara saja. Entah dia harus bersyukur atau tidak, namun pemuda itu mulai menyadari sesuatu. Dipandanginya Tara yang mematung, membeliak di bawah kungkungannya. Selama beberapa detik, Noah memandangi sepasang iris kelam Tara yang berhasil menerjunkannya pada palung terdalam. Apa ini? Noah bertanya pada dirinya sendiri, sementara dia masih betah mengamati wajah cantik Tara yang baru disadari.Dalam kesempatan tersebut, Tara langsung membenturkan kepalanya ke kepala Noah. Noah berteriak kesakitan, merasakan adanya bintang-bintang yang memutari kepalanya bagaikan ibu peri. Selagi menjauh, Tara langsung menyambar cutter yang entah didapat dari mana."Mau apa tadi? Makan? Iya? Sini! Biar tubuhmu saya mutilasi, saya kasihkan makan ikan. Sekalian saja, aset berharga yang kamu bangga-banggakan itu saya jadikan makanan tikus di rumah." Ancam Tara, lebih mengerikan ketimbang ancaman pada percobaan sebelumnya.Mendengar anc
Entah peran macam apa yang Tara sanggul dalam kehidupan sebelumnya, dia tidak memahami mengapa takdir harus mempertemukannya dengan pemuda setengah waras yang isi otaknya hanya berupa kepuasan seksual saja. "Mau?"Tara menggeleng lelah. "Sepertinya kamu harus memeriksakan otakmu ke dokter dulu, Noah. Mau saya antarkan ke dokter terbaik yang ada di negara ini? Sekalian, biar besok saat pulang kamu bisa lebih waras dan nggak bikin susah satu agensi gara-gara tingkahmu ini."Senyum Noah meredup. "Masa kamu nggak tertarik sama saya sih, Tara? Saya Noah lho! Noah Alejandro yang jadi kejaran banyak perempuan di luar sana. Kamu nggak harus melakukan banyak hal, kamu cuma berperan sebagai Nona Pengaktif.""Wah! Makin kacau ternyata," Tara beranjak, menyingkirkan tangan kanan Noah yang dengan santai diletakkan pada pundaknya. Wanita muda itu menyambar ponsel yang berada di atas nakas. Noah memandangi pergerakan Tara lamat-lamat, entah apa yang sedang pemuda tengik itu pikirkan, Tara tidak mau
"Noah?"Noah tersentak. Kehadiran seseorang yang berada di belakangnya itu membuatnya kelimpungan. "Malam, Bu." Sapanya sembari tersenyum hambar, berbalik dengan tangan menyatu di depan tubuhnya.Seseorang yang berdiri di hadapannya adalah Bu Rosalie, istri dari Pak Heru—pemilik agensi, sekaligus bibi dari Noah yang selama ini selalu mengawasi pergerakan kemenakan menjengkelkannya itu. "Apa yang membawamu masuk ke kamar ini, Noah? Bukannya kamar kamu ada di lantai sembilan?""Ah, aku mampir ke kamarnya temannya Bang Radu, Tante. Kebetulan, dia punya komik Hunterxhunter sampai volume lengkap. Nah, makanya itu aku samperin dia, karena begitu balik besok, aku mau main ke rumahnya." Kilahnya.Noah meneguk ludahnya susah payah. Semoga wanita yang berada di hadapannya itu percaya. Selama ini, dia senantiasa kesulitan saat berusaha mengelabui Rosalie. Sebab hanya dengan memindai dirinya saja, wanita itu mampu mengenali adanya kebohongan atau tidak. Padahal Noah sudah menyembunyikan semua dus
Tara tidak bisa tidur, sehingga pada pagi harinya dia melangkah ke bandara disertai mata panda yang menyedihkan. Cell menyadari keanehan tersebut setelah menyodorkan sebuah es krim yang baru dibeli di bandara."Mukamu udah kayak panda, Tara. Bedanya, panda lucu dan imut, sedangkan kamu enggak sama sekali." Ujar Cell, yang langsung dihadiahi lirikan tajam dari teman dekatnya itu. "Ampun, Tar! Lagian, semalam ngapain aja sih? Kok bisa-bisanya gitu lho, kamu sampai nggak cukup tidur. Padahal, nanti malam kamu udah ada jadwal buat ketemu tamu penting dari Italia kan?"Tara mendengus lelah. "Singkatnya gini, Cell. Aku baru aja ketemu sama orang-orang sableng yang sudah melecehkanku.""Ha?" Cell menahan teriakannya. "Kamu dilecehkan? Sama siapa?""Sama bocil kematian yang punya banyak penggemar." Tara mau menangis. "Kenapa aku bisa berurusan sama bocil itu, astaga~""Duh! Tara! Siapa orangnya? Kasih tau aku! Biar aku potong tititnya!" Cell melipat ujung kemejanya, berlagak garang, padahal w
"Tara ada di Alaska.""Ha? Alaska?"Wanita muda berambut lurus yang tampak lelah itu mengangguk. Dialah Cell PD, salah satu produser lagu ternama yang didapatkan oleh Hacer dengan berbagai cara. Sebelum bertemu dengan Cell untuk menanyakan keberadaan Tara, Noah sempat menghubungi manajernya. [ Nomornya Tara nggak bisa dihubungi, Noah. Coba kamu tanya sama temannya, Cell PD. Jam segini, dia ada di studio 3 yang ada di lantai 4. ]Defisini pekerja keras bahkan setelah penerbangan yang tidak sebentar, Noah berhasil menemukan Cell di salah satu studio yang dimaksud oleh Radu. Studio Cell jelas merupakan milik wanita muda itu seorang. Maka dari itu, isinya pun terlihat lebih berwarna. Pada setiap sudut studio tersebut, terdapat tanaman artifisial dengan berbagai warna mencolok yang membuat Noah pusing."Kenapa? Matamu sakit? Ya jangan lihat bayi-bayiku dong!" Sahut Cell tak ramah.Berhubung Noah baru saja masuk dan belum mengungkapkan pertanyaannya, maka pemuda itu memilih untuk bersabar
"Lari! Cepat!"Tara harus mendorong Noah agar pemuda itu tersadar dan meniti langkah seribu. Baru saja keluar dari kafe Alaska, terdapat segerombolan anak sekolah yang membawa seperangkat alat lukis. Tara terhenyak, dilepaskan jaket ungu muda yang dikenakannya untuk menutup wajah Noah."Weh! Apa-apaan!""Diam atau saya tendang lagi anumu, Noah!"Noah menurut. Keduanya langsung berlari berkeliling kota seperti berada dalam serial kartun Shinchan. Tentu saja yang menarik ialah Tara, sebab Noah sibuk menyembunyikan wajahnya di bawah naungan jaket milik wanita muda itu—sembari memastikan kedua matanya bisa melihat jalan.Setelah melalui beberapa belokan dan memasuki salah satu area perumahan yang dekat dari lokasi pertama berlari, keduanya baru merasa aman. Tara melepaskan genggaman tangannya pada pergelangan tangan Noah, lantas mendudukkan diri di bawah pohon besar. Wanita muda itu menilik sekitar. Area perumahan yang disambanginya ini cukup sepi."Aman."Tara mengembuskan napas lega. Di
"Lihat apa?!"Noah memalingkan muka. Baru saja dia mendapati potensi terpendam dalam diri Tara, wanita muda itu malah menamparnya dengan sahutan dingin yang menyebalkan. "Cih! Percaya diri banget! Memangnya aku ngelihatin kamu? Tapi ... ternyata boleh juga ....""Apanya yang boleh juga?! Mau kulempar pakai heels?!" Ancam Tara sembari melepas salah satu heels-nya.Noah terlonjak, cepat-cepat berlindung di balik sofa yang sebelumnya diduduki. Kemudian menyadari bahwa beberapa karyawan melihat ke arahnya. Tara tidak jadi melemparkan heels yang sudah dilepas tadi. Wanita muda itu malah tertawa pelan, merayakan satu kemenangan—remeh—lagi.Berdeham, Noah merapikan jasnya. Berpura-pura mencari cermin. Salah satu karyawan datang dan menyodorkan sebuah cermin bundar. Setelahnya, pemuda itu menatap Tara dengan dagu terangkat tinggi."Jangan salah, Tara! Aku nggak melihat kamu untuk mengagumi kamu atau apa pun itu, aku cuma sadar kalau kamu nggak ada apa-apanya sama artis-artis kenalanku di luar
Beberapa tahun kemudian;"Pancake buatan Mama, enak?""Enak, Ma!""Sedapnyeee~""Enak dong, Sayang!""Sayang?""Eh?"Noah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Akibat salah memanggil, sekarang pria itu mendapatkan tatapan maut dari sang istri lalu tatapan penasaran dari si kembar. Berdeham, Noah menatap kedua anaknya secara bergantian."Lupakan ya? Papa nggak tau Papa bilang apa barusan. Jadi, pancake buatannya Mama enak kan?" Si kembar menggangguk, lantas Noah melemparkan cengirannya pada Tara. "Enak, Ma. Kata Alva dan Vira, enak kok! Iya kan?"Tara menggeleng-gelengkan kepala, tetapi seutas senyum terbit pada wajah cantiknya. Waktu bergulir begitu cepat. Noah dan Tara yang terlihat baru menjadi orang tua, kini telah mendapati si kembar berada pada jenjang Taman Kanak-kanak.Selepas menghabiskan sarapan, si kembar diantar ke TK oleh baby sitter. Dikarenakan Noah dan Tara harus mengurus beberapa hal, maka dari itu hari ini tidak bisa pergi bersama anak-anak mereka. Tara sudah kembali
Tara mengabaikan makan malam yang telah dipersiapkan oleh pembantu barunya. Wanita itu tengah memandang rintik hujan melalui jendela kamar. Seperti tak mempunyai semangat hidup, Tara hanya bergerak saat Alvaro atau Alvira terbangun. Selebihnya, dia akan diam saja. Melamun bagaikan sesosok mayat hidup.Hingga malam harinya, Tara terlelap dengan sendiri selepas menidurkan si kembar. Kala itu pula, Noah memberanikan diri untuk menilik tiga manusia yang sangat disayanginya itu. Melihat Tara tidur dengan mata membengkak, mampu mengiris Noah tanpa tedeng aling-aling. Menyakitkan sekali melihat wanita yang disayanginya menangis karena ulanya sendiri—keteledoran yang bisa berakibat buruk bagi masa depan keluarga kecilnya bila tidak segera diselesaikan secepat mungkin.Setelah seharian berkomunikasi dengan Padre dan seseorang yang menjadi dalang dari kesalahpahaman meresahkan ini, baru detik ini Noah menampakkan dirinya di hadapan sang istri. Kedua anaknya pun tampak menggemaskan. Mereka terti
Dari luar, pasangan Noah dan Tara terlihat harmonis dan baik-baik saja. Tetapi dalam setiap rumah tangga, selalu ada yang namanya huru-hara. Rintangan entah kecil maupun besar, keduanya pasti menyambangi tiap bahtera rumah tangga yang berlayar.Pada tahun pertama rumah tangga pasangan tersebut, mereka mendapatkan rintangan terbaru. Didukung oleh lelahnya fisik setelah seharian menjaga si kembar, kemudian kali itu Noah tidak bisa memberikan sedikit sanggahan."Maaf ya, Sayang? Aku sudah menyuruh Mbak Maryam untuk menemani selama dua puluh empat jam kok! Setelah semua urusan selesai, aku bakalan langsung pulang ke pelukanmu." Tutur Noah dengan berat hati.Dikarenakan perkara bisnis yang tak bisa sembarangan ditinggalkan, Noah harus pergi bersama Federick ke luar kota lagi. Tara tidak bisa bermanja-manja dengan berkata bahwa dia enggan membiarkan Noah pergi. Pada kenyataannya, selama ini Noah tak pernah absen dalam menemaninya. Sekarang, dia tak berhak untuk terlalu mengekang pria muda i
Menjadi orang tua baru dari sepasang anak kembar tidaklah mudah. Baik Noah maupun Tara kekurangan tidur. Bahkan Noah harus mengurus beberapa pekerjaan dari rumah, lantaran dia tidak mau terlalu meninggalkan sang istri. Federick dan Elisabeth sudah menyarankan untuk menyewa baby sitter, tetapi pasangan tersebut menolak dengan alasan ingin memberi perhatian penuh selagi masih kecil. Mereka akan menyewa baby sitter saat si kembar sudah bisa berjalan, membantu Tara dalam kesehariannya."Sayang?" Noah menyembulkan kepala dari daun pintu."Ssstt! Mereka baru tidur, Sayang."Noah mengangguk, lantas berjalan mengendap-ngendap memasuki kamar. Mereka sudah berada di rumah sendiri, tapi keluarga besar betah mondar-mandir untuk menilik Alvaro dan Alvira. Meletakkan ponsel di atas nakas, Noah mendekati Tara yang berada di sisi lain ranjang. Pria muda itu memeluk Tara, yang kemudian dibalas dengan dengusan lelah pula. "Kamu hebat, Sayang. Kamu mau apa? Mau dipijit? Mau aku belikan sesuatu? Maaf ya
Tara tidak bisa ke mana-mana. Kenyataan itu membuatnya hanya mampu bergerak pada satu teritori saja; kediaman utama Alejandro. Sebetulnya dia ingin pulang ke rumah sendiri, tetapi mertuanya menolak dengan alasan tidak dapat membantu atau mengawasi Tara setiap saat.Bersama dua pengawal yang masih setia melindungi, seharusnya tidak masalah. Namun Elisabeth tak mau Tara kesusahan dalam keadaan hamil besar. Tara sendiri memang masih belum terbiasa atas perhatian berlimpah yang didapat dari keluarga mertuanya. Bahkan kehamilan yang dialami sampai detik ini pun setara mimpi indah baginya."Sayang! Ayo sini makan buah!"Pintu kamar menjeblak kencang, memperlihatkan sang suami yang membawa piring berisikan buah-buahan. Kalau dihitung, terdapat sekiranya lima buah yang sudah diiris. Tanpa sadar Tara menahan napas, takjub akan betapa banyak buah-buahan segar yang selalu tersedia di kediaman utama Alejandro ini.Menempatkan diri di samping Tara, Noah langsung menyuapi irisan buah kiwi yang tamp
Selepas kehamilan Tara yang membutuhkan perhatian lebih besar, Cell sering menghabiskan waktu di studionya tanpa mau keluar untuk sekadar ke kafetaria. Entahlah, dia jadi tidak bersemangat. Satu-satunya teman yang kerap mendampingi di segala situasi sedang membutuhkan istirahat tambahan, sehingga Cell mulai kesepian.Benar, dia tidak punya teman lain di Hacer selain Tara. Maka dari itu, saat ini dia tak peduli bila harus dikata sebagai penggila kerja. Mau mencari udara segar pun, dia akan tetap bertemankan kesendirian. Namun siang itu, tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintunya dan menyembulkan sekantung plastik besar makanan."Oh? Tara?""Bukan!""Eh?" Cell mengerjap-ngerjapkan mata. Dahinya berkerut heran, tak menduga akan kedatangan seseorang yang lama tak bersua. "Radu? Ngapain ke sini? Katanya Tara, Noah lagi dinas di luar kota kan? Memangnya kamu nggak ikut Noah?""Enggak dong! Kan aku bukan pembantunya. Dulu aku memang mengikuti dia ke mana-mana karena memang itu tugasku sebaga
Kedatangan Seno yang terlalu berani ke kediaman utama Alejandro malam-malam begini, mengundang gurat keheranan pada wajah Tara. Yang mengherankan, bagaimana bisa Elisabeth dan Rosalie membiarkan cecunguk yang satu itu masuk? Bukan berniat menyalahkan, tetapi dia tau sendiri betapa protektifnya dua wanita itu. Membiarkan Seno masuk pada waktu seperti ini, sepertinya mantan suaminya itu melakukan sesuatu yang berhasil menarik iba dari Elisabeth dan Rosalie.Seno mendongak saat mengetahui kehadirannya. Apalagi, Tara sudah telanjur menggunakan parfum yang luar biasa harum dan kini rasanya menguar memenuhi seisi ruang tamu. Tara jadi malu sendiri. Tau begini, dia akan memakai parfum nanti saat hendak tidur saja.Sebab lihatlah—Seno malah senyam-senyum seperti orang sinting, berpikir jika Tara menyambut kedatangannya dengan tampil cantik dan wangi. Padahal Tara berdandan cantik untuk Noah tadi."Cepat katakan, Seno! Apa yang mau kamu katakan kepada menantu saya ini?" Suara Elisabeth memecah
Demi mengakhiri segala urusan yang—disinyalir masih belum selesai—oleh Seno, Tara memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Seno di salah satu stand foodcourt. Sebenarnya dia luar biasa malas. Berhadap-hadapan dengan Seno, yang ada malah menambah tekanan darah tingginya. Saat itu, salah satu pramusaji datang untuk menawarkan lembar menu. "Bapak dan Ibu, silakan pilih, mau pilih makanan apa?"Seno tersenyum lebar, "Kami kelihatan cocok nggak, Mbak?"Tara mengernyit kebingungan. Maksud dari pertanyaan tersebut apa? Kenapa Seno tidak berkaca dari kejadian sebelumnya sih? Sekarang, Tara menyesal sudah mengizinkan dirinya untuk menuruti ajakan Seno yang tidak jelas itu.Si pramusaji mengangguk lantaran tidak tau yang sebenarnya. "Seharusnya Bapak di sampingnya Ibu ini, soalnya ibunya sedang hamil. Bukannya kalau hamil membutuhkan bantuan dari pasangannya ya, Pak?""Ah, begitu? Oke, kalau be—"Tara bersiap melempar ponsel ke arah Seno. Pria itu urung meneruskan ucapannya, memilih untuk
Bugh!Saking kesalnya, bukan Tara yang didapat, tetapi tendangan susulan dari wanita hamil tersebut. Seno meringkuk kesakitan. Sedari dulu, kemampuan fisik Tara memang tak bisa diremehkan. Namun dalam kondisi hamil seperti ini, tentu saja Tara sudah dirundung kelelahan lebih cepat dari biasanya.Napas wanita muda itu terengah-engah, mundur perlahan dan terjatuh dalam dekapan hangat sang suami. Elisabeth dan Rosalie mendekat, hendak membantu menopang tubuh Tara yang harus beristirahat itu. Malahan, gelombang mual datang membanjiri tenggorokannya. Menepi, Tara memuntahkan sup tahu pedas yang baru dimakannya tadi."Pergilah!" Noah memberi gerakan mengusir yang langsung dijalankan oleh dua pengawal di sisi Seno. "Tara sudah tidak menaruh perasaan sedikit pun terhadapmu, Seno. Pergi! Pergilah selamanya dari hadapan kami! Kalau kamu memang mencintai Tara, ikhlaskan Tara dengan kehidupannya yang sekarang ini. Kalau ketahuan kamu datang untuk mengganggu kami lagi, maka aku tidak akan ragu unt