"Kamu bisa menjelaskan foto-foto ini, Noah?"
Pertanyaan tersebut mendapat decakan kesal dari si pemilik nama yang tengah menjadi topik terpanas pada pagi hari ini. Noah melirik Radu, Personal Manager yang baru bekerja padanya kurang lebih setengah tahun belakangan. Meskipun belum terlalu lama, nyatanya Radu telah menjadi saudara jauh yang senantiasa dipatuhi dan disegani oleh Noah.Bahkan saat ini, Noah seperti anak kecil yang baru saja ketahuan kakaknya lantaran mencuri pakaian milik tetangga. Noah mendengus kasar. Sarapan yang ditelannya tadi tak mempan untuk mengisi sudut-sudut otaknya."Bang, tapi itu beneran nggak seperti yang Abang pikirkan, atau seperti yang paparazzi itu tulis di artikel. Ada kisah di baliknya yang berguna sebagai keterangan lebih lanjut." Kilahnya. "Lagian ya, Bang! Mana sanggup aku pesen cewek di sini? Seleraku yang lokal, Bang. Bukan yang blasteran."Sebuah geplakan tertuju pada punggung Noah. Tentu saja berasal dari Radu, yang tidak habis pikir mengapa bisa memegang aktor semacam Noah yang bebalnya minta ampun."Kok malah ditimpuk, Bang? Salahku apa?""Jelaskan arti dari foto ini, Noah!""Ck! Yang fotoin itu nggak tau apa-apa, Bang! Gini nih! Ceritanya aku nyasar ke kamarnya orang lain, Bang. Sumpah ya, kami nggak ngapa-ngapain! Malah aku yang diusir!""Ya iyalah, katanya itu bukan kamarmu, wajar aja kalau kamu diusir." Sahut Radu, setengah kesal."Nah! Jadi Bang Radu udah percaya kan? Memang nggak ada apa-apa kok, Bang! Sumpah!"Radu memejamkan mata sejenak. Terlihat dari tatapan Noah, sepertinya pemuda itu tidak berbohong. Selama bekerja dengan Noah, Radu hampir mengenali bagaimana cara Noah berbohong atau berkata jujur. Sekarang, dia hanya perlu memikirkan kalimat yang akan diungkapkan ke media massa agar nama Noah bisa dikembalikan seperti sedia kala."Oke! Kalau gitu, jangan ke mana-mana sampai malam ini, Noah. Cuma sampai malam ini sebelum kita pulang ke negeri sendiri."Noah mengendikkan bahu, terlihat santai walaupun Radu telah menghunuskan tatapan tajamnya. Ketika Radu hendak mengomel lagi, laki-laki itu mendapatkan pesan dari atasan yang memintanya untuk bergegas menyelesaikan kesalahpahaman ini.Begitu Radu keluar, Noah menyandarkan dirinya pada kepala ranjang. Sejenak, dia memikirkan kemungkinan yang terjadi semalam. Bagaimana bisa dia memasuki kamar bernomorkan 707 yang ditempati oleh salah satu staf Hacer?Kamarnya saja berada di lantai 9. Kalau menyasar, seharusnya tidak sampai turun lantai. Lagi pula, dia bisa memasuki sebuah kamar hanya jika dirinya mempunyai kartu pas kamar tersebut kan? Lantas bagaimana bisa semalam dia memasuki kamar di lantai 7 itu?"Lah?" Noah berpikir keras. "Kalau dipikir-pikir, aku kan nggak bisa masuk kalau nggak ada yang membukakan kan? Apa jangan-jangan wanita itu memang mau menjebakku, tapi berlagak polos?"Noah beranjak, mondar-mandir seperti setrikaan. Mulai memunculkan asumsi buruknya mengenai penghuni kamar 707. "Ck! Mana aku nggak tau namanya pula!"Noah mencari ponselnya, hendak menghubungi salah satu rekan sesama aktor. Dia akan bertanya mengenai staf wanita yang tak diketahui namanya itu. Akan tetapi, dia menyadari satu hal; bahwa orang-orang Hacer akan berkumpul di ballroom untuk melangsungkan acara penutupan dari serangkaian kegiatan yang dilaksanakan oleh Hacer Ent. selama satu pekan itu.Namun, suasana hatinya telanjur berantakan. Tidak ada jalan lain, dia harus mencari kesenangan seperti biasanya. Secepat kilat, Noah menghubungi Radu yang tampaknya masih berada di lift."Bang!""Apaan sih, Noah? Kamu nggak tau kalau aku belum—""Carikan mangsa dong! Gatal nih, minta dimanja.""Astaga, menjijikkan!"•••••Noah tak peduli dengan klarifikasi yang akan mencuat. Yang penting, dia sudah memberitahu Radu bahwa tak terjadi sesuatu semalam. Sekarang, gilirannya yang membutuhkan hiburan. Sudah hampir 2 pekan lamanya dia tak bermain dengan para wanita panggilan. Satu-satunya sisi gelap Noah yang hanya diketahui oleh Radu, adalah dirinya merupakan seorang pemain kelas ulung.Noah sering menjejakkan dirinya di salah satu hotel, bersama Radu sebagai pengawas. Pihak agensi tak mengetahui kenakalannya yang satu ini. Serta yang membuat Noah menyukai Radu untuk menjadi PM-nya antara lain; pandai bersembunyi dari awak media. Radu seperti mengetahui berbagai jalan tikus yang ada di dunia. Katakan saja dia mau 'bermain' di mana, maka Radu akan menyalurkan jalan tikus paling aman.Seperti sekarang ini, biarpun Radu baru saja mengomel soal foto yang disebar oleh paparazzi, sekarang lelaki itu malah membantu Noah menuju hotel lain dan bertemu dengan wanita panggilan pilihan yang memiliki darah tanah airnya."Wow! Seperti yang diharapkan, Bang Radu bisa aja pilihin cewek yang seksi dan bohay begini." Puji Noah, yang enggan diterima oleh Radu. Sebab bukan pujian semacam itu yang diharapkan Radu atas diri sendiri."Satu jam, Noah." Peringat Radu, saat keduanya berhenti di tempat parkir bagian dalam hotel yang telah diatur olehnya.Radu mengecek arlojinya. Semestinya dia membersamai staf yang tengah menyunting artikel klarifikasi dari wartawan. Namun sialnya, dia lupa bahwa aktor yang dipegangnya merupakan jelmaan ular piton. Sukanya bergerak ke sana kemari mencari mangsa yang akan memberikan kenikmatan duniawi."Siap, Bang!"Noah mengenakan masker, tudung jaket, dan kacamata hitamnya. Walaupun berada di luar negeri, dia harus tetap menyembunyikan diri. Buktinya saja, paparazzi bisa mendapatkan fotonya yang berada di depan kamar 707."Ck! Seharusnya aku tanya soal staf perempuan di kamar 707 itu sama Bang Radu, dia pasti tau." Gumamnya selagi menaiki lift menuju lantai 3.Kamar 316 merupakan tujuan Noah saat ini. Menurut ucapan Radu, wanita panggilannya sudah ada di dalam lebih dulu. Noah mengetuk pintu, lantas dipersilakan masuk saat dia menyebutkan kode yang sengaja dibuat untuk memastikan pelanggan yang sebenarnya.Noah menyeringai. Wanita panggilan dengan nama samaran Sally itu tampil menggoda dalam balutan lingerie hitam. Tanpa perlu mendekat, Noah dapat mengenali bagian intim Sally yang mengundangnya untuk lekas bergerak itu.Sebagai sambutan, Sally mendudukkan Noah pada sebuah kursi yang berada di depan tempat tidur. Wanita itu menyuguhkan tontonan menarik yang membuat Noah kegirangan. Bahkan kausnya telah dilepas, disusul dengan celana jeans-nya.Menyadari afeksi yang terpancar dari wajah Sally, jelas sekali wanita itu menginginkannya. Noah tak mau melewatkan momentum yang telah terbangun itu. Diterimanya ciuman bertubi-tubi yang dilontarkan Sally. Membalasnya sama besar, dengan gairah yang menggebu-gebu.Akan tetapi, Sally menghentikan pangutannya saat menyadari sesuatu yang tak tergapai oleh tangan kanannya."Hey! What's wrong, babe?" tanya Noah keheranan.Sally menundukkan pandangan, begitu juga dengan Noah. Dalam beberapa detik mencerna situasi yang sedang terjadi, Noah membulatkan matanya. Bahkan pemuda itu berteriak heboh, sementara Sally segera mengenakan pakaiannya dan keluar."SIALAN! KENAPA TONGKATKU NGGAK BERDIRI?!"•••••Tara mengembuskan napas lelah. Akhirnya acara penutupan yang berisikan serangkaian kalimat terimakasih telah usai. Cell yang sedari tadi duduk di sampingnya sudah menguap, ingin kembali ke kamarnya. Namun mereka belum bisa benar-benar pergi sebelum berfoto bersama. Seperti manusia tanpa nyawa, keduanya berjalan lemas ke depan podium seperti yang lain."Akhirnya selesai," gumam Cell yang diangguki oleh Tara.Keduanya keluar dari ballroom paling belakang, mengingat yang lain sedang keluar dengan heboh, sebab diberi waktu luang berjalan-jalan sampai malam ini saja. Tara memandang gerombolan tersebut dengan malas. Seharusnya dia ikut, tetapi suasana hatinya sedang tidak baik."Tar, ternyata mukamu juga nggak kalah kusut dariku." Cetus Cell. "Gimana perkembangan hubunganmu sama laki-laki yang namanya Yohan itu?"Tara termenung selama beberapa saat. "Udah berakhir, Cell. Ternyata, dia terobsesi sama sahabatku, tapi saking bodohnya malah memilih buat mengakhiri dirinya gara-gara tau sahabatk
"Mau apa kamu? Mau ditendang lagi anunya?"Bukannya mundur, Noah makin menundukkan kepalanya mendekati wajah Tara. Ancaman wanita itu tak mempan sama sekali. Justru Noah bersemangat lantaran keperkasaannya telah berfungsi sebagaimana semestinya. "Mau tendang?" Noah menahan kedua kaki Reina di antara kakinya. Wanita itu tersentak, tak bisa bergerak sama sekali. "Kamu nggak bisa melakukan apa-apa, Tara.""Heh! Saya lebih tua dari kamu ya?! Yang sopan! Turun sana! Turun! Atau saya teriak nih!" Tara sudah bersiap untuk membuka mulutnya lebar-lebar, berteriak sekuat mungkin. Akan tetapi, pemuda tengil yang sedang menggagahinya itu langsung membungkam Tara dengan sebuah ciuman. Tara membulatkan matanya. Dipukulnya dada pemuda itu, lalu entah mendapatkan kekuatan dari mana, lututnya berhasil mengenai pusat tubuh Noah yang masih berdiri. "Aduh! Sial!"Sesegara saja wanita itu berdiri, menjauhi Noah yang terjungkal dari ranjang. Deru napas Tara seakan berpacu dengan detik jarum jam yang mem
"Apa-apaan?!"Seolah tak kasat mata, Radu dan Tara tak menggubris keberadaan Noah sama sekali. Justru keduanya sibuk bercakap-cakap, mengabaikan Noah yang berdiri terkejut di tempatnya. Setelah mengucapkan terima kasih untuk yang ketiga kali pada Radu, Tara melirik Noah. Tatapan wanita itu jelas merupakan sebuah tatapan permusuhan. Noah bergeming. Kenapa jadi dirinya yang takut ditatap seperti itu oleh Tara? Tak lama setelahnya, pintu kamar Tara tertutup. Kini menyisakan Radu yang senyam-senyum sendiri sambil menggaruk kepalanya, dan Noah yang melayangkan sebuah tanda tanya."Bang? Kamu kenal sama dia? Si Tara?" tanya Noah menyelidik.Radu menoleh sekilas, mengendikkan bahu sekadarnya seakan menjawab Noah tidak memberinya keuntungan apa pun. Mungkin pemuda itu adalah aktor yang berada dalam pegangannya, namun Radu tak memiliki kewajiban untuk melapor terkait siapa saja yang dikenalinya. "Bang? Gimana bisa kamu kenal sama Tara? Omong-omong, aku mau tanya sesuatu soal wanita itu, Aban
"Eh?"Noah terpaku. Aset berharganya benar-benar berfungsi hanya terhadap Tara saja. Entah dia harus bersyukur atau tidak, namun pemuda itu mulai menyadari sesuatu. Dipandanginya Tara yang mematung, membeliak di bawah kungkungannya. Selama beberapa detik, Noah memandangi sepasang iris kelam Tara yang berhasil menerjunkannya pada palung terdalam. Apa ini? Noah bertanya pada dirinya sendiri, sementara dia masih betah mengamati wajah cantik Tara yang baru disadari.Dalam kesempatan tersebut, Tara langsung membenturkan kepalanya ke kepala Noah. Noah berteriak kesakitan, merasakan adanya bintang-bintang yang memutari kepalanya bagaikan ibu peri. Selagi menjauh, Tara langsung menyambar cutter yang entah didapat dari mana."Mau apa tadi? Makan? Iya? Sini! Biar tubuhmu saya mutilasi, saya kasihkan makan ikan. Sekalian saja, aset berharga yang kamu bangga-banggakan itu saya jadikan makanan tikus di rumah." Ancam Tara, lebih mengerikan ketimbang ancaman pada percobaan sebelumnya.Mendengar anc
Entah peran macam apa yang Tara sanggul dalam kehidupan sebelumnya, dia tidak memahami mengapa takdir harus mempertemukannya dengan pemuda setengah waras yang isi otaknya hanya berupa kepuasan seksual saja. "Mau?"Tara menggeleng lelah. "Sepertinya kamu harus memeriksakan otakmu ke dokter dulu, Noah. Mau saya antarkan ke dokter terbaik yang ada di negara ini? Sekalian, biar besok saat pulang kamu bisa lebih waras dan nggak bikin susah satu agensi gara-gara tingkahmu ini."Senyum Noah meredup. "Masa kamu nggak tertarik sama saya sih, Tara? Saya Noah lho! Noah Alejandro yang jadi kejaran banyak perempuan di luar sana. Kamu nggak harus melakukan banyak hal, kamu cuma berperan sebagai Nona Pengaktif.""Wah! Makin kacau ternyata," Tara beranjak, menyingkirkan tangan kanan Noah yang dengan santai diletakkan pada pundaknya. Wanita muda itu menyambar ponsel yang berada di atas nakas. Noah memandangi pergerakan Tara lamat-lamat, entah apa yang sedang pemuda tengik itu pikirkan, Tara tidak mau
"Noah?"Noah tersentak. Kehadiran seseorang yang berada di belakangnya itu membuatnya kelimpungan. "Malam, Bu." Sapanya sembari tersenyum hambar, berbalik dengan tangan menyatu di depan tubuhnya.Seseorang yang berdiri di hadapannya adalah Bu Rosalie, istri dari Pak Heru—pemilik agensi, sekaligus bibi dari Noah yang selama ini selalu mengawasi pergerakan kemenakan menjengkelkannya itu. "Apa yang membawamu masuk ke kamar ini, Noah? Bukannya kamar kamu ada di lantai sembilan?""Ah, aku mampir ke kamarnya temannya Bang Radu, Tante. Kebetulan, dia punya komik Hunterxhunter sampai volume lengkap. Nah, makanya itu aku samperin dia, karena begitu balik besok, aku mau main ke rumahnya." Kilahnya.Noah meneguk ludahnya susah payah. Semoga wanita yang berada di hadapannya itu percaya. Selama ini, dia senantiasa kesulitan saat berusaha mengelabui Rosalie. Sebab hanya dengan memindai dirinya saja, wanita itu mampu mengenali adanya kebohongan atau tidak. Padahal Noah sudah menyembunyikan semua dus
Tara tidak bisa tidur, sehingga pada pagi harinya dia melangkah ke bandara disertai mata panda yang menyedihkan. Cell menyadari keanehan tersebut setelah menyodorkan sebuah es krim yang baru dibeli di bandara."Mukamu udah kayak panda, Tara. Bedanya, panda lucu dan imut, sedangkan kamu enggak sama sekali." Ujar Cell, yang langsung dihadiahi lirikan tajam dari teman dekatnya itu. "Ampun, Tar! Lagian, semalam ngapain aja sih? Kok bisa-bisanya gitu lho, kamu sampai nggak cukup tidur. Padahal, nanti malam kamu udah ada jadwal buat ketemu tamu penting dari Italia kan?"Tara mendengus lelah. "Singkatnya gini, Cell. Aku baru aja ketemu sama orang-orang sableng yang sudah melecehkanku.""Ha?" Cell menahan teriakannya. "Kamu dilecehkan? Sama siapa?""Sama bocil kematian yang punya banyak penggemar." Tara mau menangis. "Kenapa aku bisa berurusan sama bocil itu, astaga~""Duh! Tara! Siapa orangnya? Kasih tau aku! Biar aku potong tititnya!" Cell melipat ujung kemejanya, berlagak garang, padahal w
"Tara ada di Alaska.""Ha? Alaska?"Wanita muda berambut lurus yang tampak lelah itu mengangguk. Dialah Cell PD, salah satu produser lagu ternama yang didapatkan oleh Hacer dengan berbagai cara. Sebelum bertemu dengan Cell untuk menanyakan keberadaan Tara, Noah sempat menghubungi manajernya. [ Nomornya Tara nggak bisa dihubungi, Noah. Coba kamu tanya sama temannya, Cell PD. Jam segini, dia ada di studio 3 yang ada di lantai 4. ]Defisini pekerja keras bahkan setelah penerbangan yang tidak sebentar, Noah berhasil menemukan Cell di salah satu studio yang dimaksud oleh Radu. Studio Cell jelas merupakan milik wanita muda itu seorang. Maka dari itu, isinya pun terlihat lebih berwarna. Pada setiap sudut studio tersebut, terdapat tanaman artifisial dengan berbagai warna mencolok yang membuat Noah pusing."Kenapa? Matamu sakit? Ya jangan lihat bayi-bayiku dong!" Sahut Cell tak ramah.Berhubung Noah baru saja masuk dan belum mengungkapkan pertanyaannya, maka pemuda itu memilih untuk bersabar
Beberapa tahun kemudian;"Pancake buatan Mama, enak?""Enak, Ma!""Sedapnyeee~""Enak dong, Sayang!""Sayang?""Eh?"Noah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Akibat salah memanggil, sekarang pria itu mendapatkan tatapan maut dari sang istri lalu tatapan penasaran dari si kembar. Berdeham, Noah menatap kedua anaknya secara bergantian."Lupakan ya? Papa nggak tau Papa bilang apa barusan. Jadi, pancake buatannya Mama enak kan?" Si kembar menggangguk, lantas Noah melemparkan cengirannya pada Tara. "Enak, Ma. Kata Alva dan Vira, enak kok! Iya kan?"Tara menggeleng-gelengkan kepala, tetapi seutas senyum terbit pada wajah cantiknya. Waktu bergulir begitu cepat. Noah dan Tara yang terlihat baru menjadi orang tua, kini telah mendapati si kembar berada pada jenjang Taman Kanak-kanak.Selepas menghabiskan sarapan, si kembar diantar ke TK oleh baby sitter. Dikarenakan Noah dan Tara harus mengurus beberapa hal, maka dari itu hari ini tidak bisa pergi bersama anak-anak mereka. Tara sudah kembali
Tara mengabaikan makan malam yang telah dipersiapkan oleh pembantu barunya. Wanita itu tengah memandang rintik hujan melalui jendela kamar. Seperti tak mempunyai semangat hidup, Tara hanya bergerak saat Alvaro atau Alvira terbangun. Selebihnya, dia akan diam saja. Melamun bagaikan sesosok mayat hidup.Hingga malam harinya, Tara terlelap dengan sendiri selepas menidurkan si kembar. Kala itu pula, Noah memberanikan diri untuk menilik tiga manusia yang sangat disayanginya itu. Melihat Tara tidur dengan mata membengkak, mampu mengiris Noah tanpa tedeng aling-aling. Menyakitkan sekali melihat wanita yang disayanginya menangis karena ulanya sendiri—keteledoran yang bisa berakibat buruk bagi masa depan keluarga kecilnya bila tidak segera diselesaikan secepat mungkin.Setelah seharian berkomunikasi dengan Padre dan seseorang yang menjadi dalang dari kesalahpahaman meresahkan ini, baru detik ini Noah menampakkan dirinya di hadapan sang istri. Kedua anaknya pun tampak menggemaskan. Mereka terti
Dari luar, pasangan Noah dan Tara terlihat harmonis dan baik-baik saja. Tetapi dalam setiap rumah tangga, selalu ada yang namanya huru-hara. Rintangan entah kecil maupun besar, keduanya pasti menyambangi tiap bahtera rumah tangga yang berlayar.Pada tahun pertama rumah tangga pasangan tersebut, mereka mendapatkan rintangan terbaru. Didukung oleh lelahnya fisik setelah seharian menjaga si kembar, kemudian kali itu Noah tidak bisa memberikan sedikit sanggahan."Maaf ya, Sayang? Aku sudah menyuruh Mbak Maryam untuk menemani selama dua puluh empat jam kok! Setelah semua urusan selesai, aku bakalan langsung pulang ke pelukanmu." Tutur Noah dengan berat hati.Dikarenakan perkara bisnis yang tak bisa sembarangan ditinggalkan, Noah harus pergi bersama Federick ke luar kota lagi. Tara tidak bisa bermanja-manja dengan berkata bahwa dia enggan membiarkan Noah pergi. Pada kenyataannya, selama ini Noah tak pernah absen dalam menemaninya. Sekarang, dia tak berhak untuk terlalu mengekang pria muda i
Menjadi orang tua baru dari sepasang anak kembar tidaklah mudah. Baik Noah maupun Tara kekurangan tidur. Bahkan Noah harus mengurus beberapa pekerjaan dari rumah, lantaran dia tidak mau terlalu meninggalkan sang istri. Federick dan Elisabeth sudah menyarankan untuk menyewa baby sitter, tetapi pasangan tersebut menolak dengan alasan ingin memberi perhatian penuh selagi masih kecil. Mereka akan menyewa baby sitter saat si kembar sudah bisa berjalan, membantu Tara dalam kesehariannya."Sayang?" Noah menyembulkan kepala dari daun pintu."Ssstt! Mereka baru tidur, Sayang."Noah mengangguk, lantas berjalan mengendap-ngendap memasuki kamar. Mereka sudah berada di rumah sendiri, tapi keluarga besar betah mondar-mandir untuk menilik Alvaro dan Alvira. Meletakkan ponsel di atas nakas, Noah mendekati Tara yang berada di sisi lain ranjang. Pria muda itu memeluk Tara, yang kemudian dibalas dengan dengusan lelah pula. "Kamu hebat, Sayang. Kamu mau apa? Mau dipijit? Mau aku belikan sesuatu? Maaf ya
Tara tidak bisa ke mana-mana. Kenyataan itu membuatnya hanya mampu bergerak pada satu teritori saja; kediaman utama Alejandro. Sebetulnya dia ingin pulang ke rumah sendiri, tetapi mertuanya menolak dengan alasan tidak dapat membantu atau mengawasi Tara setiap saat.Bersama dua pengawal yang masih setia melindungi, seharusnya tidak masalah. Namun Elisabeth tak mau Tara kesusahan dalam keadaan hamil besar. Tara sendiri memang masih belum terbiasa atas perhatian berlimpah yang didapat dari keluarga mertuanya. Bahkan kehamilan yang dialami sampai detik ini pun setara mimpi indah baginya."Sayang! Ayo sini makan buah!"Pintu kamar menjeblak kencang, memperlihatkan sang suami yang membawa piring berisikan buah-buahan. Kalau dihitung, terdapat sekiranya lima buah yang sudah diiris. Tanpa sadar Tara menahan napas, takjub akan betapa banyak buah-buahan segar yang selalu tersedia di kediaman utama Alejandro ini.Menempatkan diri di samping Tara, Noah langsung menyuapi irisan buah kiwi yang tamp
Selepas kehamilan Tara yang membutuhkan perhatian lebih besar, Cell sering menghabiskan waktu di studionya tanpa mau keluar untuk sekadar ke kafetaria. Entahlah, dia jadi tidak bersemangat. Satu-satunya teman yang kerap mendampingi di segala situasi sedang membutuhkan istirahat tambahan, sehingga Cell mulai kesepian.Benar, dia tidak punya teman lain di Hacer selain Tara. Maka dari itu, saat ini dia tak peduli bila harus dikata sebagai penggila kerja. Mau mencari udara segar pun, dia akan tetap bertemankan kesendirian. Namun siang itu, tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintunya dan menyembulkan sekantung plastik besar makanan."Oh? Tara?""Bukan!""Eh?" Cell mengerjap-ngerjapkan mata. Dahinya berkerut heran, tak menduga akan kedatangan seseorang yang lama tak bersua. "Radu? Ngapain ke sini? Katanya Tara, Noah lagi dinas di luar kota kan? Memangnya kamu nggak ikut Noah?""Enggak dong! Kan aku bukan pembantunya. Dulu aku memang mengikuti dia ke mana-mana karena memang itu tugasku sebaga
Kedatangan Seno yang terlalu berani ke kediaman utama Alejandro malam-malam begini, mengundang gurat keheranan pada wajah Tara. Yang mengherankan, bagaimana bisa Elisabeth dan Rosalie membiarkan cecunguk yang satu itu masuk? Bukan berniat menyalahkan, tetapi dia tau sendiri betapa protektifnya dua wanita itu. Membiarkan Seno masuk pada waktu seperti ini, sepertinya mantan suaminya itu melakukan sesuatu yang berhasil menarik iba dari Elisabeth dan Rosalie.Seno mendongak saat mengetahui kehadirannya. Apalagi, Tara sudah telanjur menggunakan parfum yang luar biasa harum dan kini rasanya menguar memenuhi seisi ruang tamu. Tara jadi malu sendiri. Tau begini, dia akan memakai parfum nanti saat hendak tidur saja.Sebab lihatlah—Seno malah senyam-senyum seperti orang sinting, berpikir jika Tara menyambut kedatangannya dengan tampil cantik dan wangi. Padahal Tara berdandan cantik untuk Noah tadi."Cepat katakan, Seno! Apa yang mau kamu katakan kepada menantu saya ini?" Suara Elisabeth memecah
Demi mengakhiri segala urusan yang—disinyalir masih belum selesai—oleh Seno, Tara memutuskan untuk berbicara empat mata dengan Seno di salah satu stand foodcourt. Sebenarnya dia luar biasa malas. Berhadap-hadapan dengan Seno, yang ada malah menambah tekanan darah tingginya. Saat itu, salah satu pramusaji datang untuk menawarkan lembar menu. "Bapak dan Ibu, silakan pilih, mau pilih makanan apa?"Seno tersenyum lebar, "Kami kelihatan cocok nggak, Mbak?"Tara mengernyit kebingungan. Maksud dari pertanyaan tersebut apa? Kenapa Seno tidak berkaca dari kejadian sebelumnya sih? Sekarang, Tara menyesal sudah mengizinkan dirinya untuk menuruti ajakan Seno yang tidak jelas itu.Si pramusaji mengangguk lantaran tidak tau yang sebenarnya. "Seharusnya Bapak di sampingnya Ibu ini, soalnya ibunya sedang hamil. Bukannya kalau hamil membutuhkan bantuan dari pasangannya ya, Pak?""Ah, begitu? Oke, kalau be—"Tara bersiap melempar ponsel ke arah Seno. Pria itu urung meneruskan ucapannya, memilih untuk
Bugh!Saking kesalnya, bukan Tara yang didapat, tetapi tendangan susulan dari wanita hamil tersebut. Seno meringkuk kesakitan. Sedari dulu, kemampuan fisik Tara memang tak bisa diremehkan. Namun dalam kondisi hamil seperti ini, tentu saja Tara sudah dirundung kelelahan lebih cepat dari biasanya.Napas wanita muda itu terengah-engah, mundur perlahan dan terjatuh dalam dekapan hangat sang suami. Elisabeth dan Rosalie mendekat, hendak membantu menopang tubuh Tara yang harus beristirahat itu. Malahan, gelombang mual datang membanjiri tenggorokannya. Menepi, Tara memuntahkan sup tahu pedas yang baru dimakannya tadi."Pergilah!" Noah memberi gerakan mengusir yang langsung dijalankan oleh dua pengawal di sisi Seno. "Tara sudah tidak menaruh perasaan sedikit pun terhadapmu, Seno. Pergi! Pergilah selamanya dari hadapan kami! Kalau kamu memang mencintai Tara, ikhlaskan Tara dengan kehidupannya yang sekarang ini. Kalau ketahuan kamu datang untuk mengganggu kami lagi, maka aku tidak akan ragu unt