Tiba di ruang meeting, semua mata menatapku. Mungkin merasa aneh, kenapa kali ini aku telat. Biasanya datang lebih dulu atau tepat waktu. Semua ini gara-gara membahas omongan ibu mertua semalam. Aku mengatur napas, mengembuskan, lalu berdehem.
“Maaf saya terlambat tujuh menit. Silakan meetingnya dimulai,” ucapku melirik arloji. Menyimpan tas, Kemudian duduk.
Seperti biasa, Siska mengawali pembahasan. Wanita seumuran denganku itu menceritakan tentang pertemuannya kemarin dengan salah satu pengusaha pabrik Mie Instan untuk mengiklankan produknya. Alhamdulillah, perusahaan itu mempercayakan produknya pada perusahaan Advertising kami.
Aku mendirikan perusahaan Advertising atau periklanan bekerja sama dengan Siska. Dia adalah sahabat karib sejak sekolah menengah dahulu. Sampai kuliah kami tetap bersama.
“Masalahnya kita belum punya pengganti Merry yang cuti melahirkan. Jadi, siapa yang akan gantiin Merry di bidang kreatif?” tanya Siska, bimbang.
“Kenapa gak buka lowongan kerja? Gimana sih kalian?” tanyaku kecewa. Tujuh karyawanku saling pandang.
“Sudah, Bu. Tiga hari yang lalu.” Sahut Rano yang bekerja di bagian Riset Pemasaran.
“Sudah ada yang melamar?”
“Baru satu orang. Tapi baru diwisuda tahun ini. Belum ada pengalaman.”
“Ah, ribet. Cari yang sudah berpengalaman.” Tolakku langsung. Kalau menerima karyawan yang belum berpengalaman, bakal menyita waktu lama. Khawatir mengecewakan Klien.
“Gak keburu, Laila.” Jawab Siska dengan suara lemah. Dia memang aku larang memanggil dengan panggilan formal. Bahkan perusahaan ini pun dapat berdiri atas kerjasama dengannya. Hanya saja, aku dan kedua orangtuaku yang lebih banyak menanam saham.
“Klien minta dalam seminggu iklannya sudah bisa tayang. Jadi tiga hari lagi kita harus presentasi. Apalagi perusahaan itu udah ngasih uang dimuka setengah dari harga yang disepakati.” Lanjut Siska menyerahkan cek ke hadapanku. Aku mengambil cek tersebut dan melihat nominal tersebut.
“Astaghfirullah ....” Aku mendesah frustasi. Menyandarkan kepala pada sandaran kursi yang aku duduki. Bukan tidak bersyukur, tapi aku takut mengecewakan klien. Apalagi bagian kreatifnya orang baru. Tapi kalau menunggu pelamar lainnya, bisa rusak reputasi perusahaan ini karena tidak profesional.
“Ya sudah, panggil saja pelamar itu. Besok aku sendiri yang mengujinya. Ada lagi yang mau disampaikan?” tanyaku memandang satu persatu mereka.
“Kayaknya udah selesai. Nanti meeting lagi pas bagian kreatifnya sudah ada.” Sahut Siska mewakili yang lain. Aku mengangguk, mengucapkan salam, kemudian keluar ruang meeting menuju ruang kerjaku.
“Laila!” seru Siska.
“Napa?” sahutku sembari membuka pintu. Siska mengekor saat aku masuk ruangan. Wanita itu duduk di kursi yang bersebrangan dengan meja kerja.
Aku pun duduk, menyimpan tas di atas meja, kemudian menutup wajah. Pikiranku penat luar biasa. Kalau soal pekerjaan sudah biasa menghadapinya tapi kalau soal rumah tangga sangat menyita pikiran.
Selama hampir tujuh tahun berumah tangga, jarang sekali dilanda masalah apalagi masalah yang rumit. Meskipun rumah tangga sudah tidak terlalu harmonis karena kesibukan masing-masing tapi aku dan Bang Haris tetap menjaga komunikasi. Setidaknya saat kami sedang di rumah.
“Lu lagi ada masalah?” Siska bertanya, seolah tahu apa yang sedang kualami. Aku menghela napas berat. Menyandarkan punggung di kursi.
“Soal ibunya Bang Haris.” Jawabku malas.
“Kenapa lagi dia? Minta dibeliin perhiasan? Mobil baru?” cecar Siska yang sudah tahu watak ibu mertuaku yang sangat matre.
Aku menggeleng.“Kalau soal itu gue gak sepaneng kayak sekarang.”
“Udahlah ... jangan lu manjain mertua matre kayak gitu. Ngelunjak tau! Lama-lama dia bakal minta lu buat dipoligami.” Aku melebarkan mata mendengar ucapan Siska.
Tahu dari mana dia? Aku kan belum cerita. Kalau Bang Haris atau ibunya yang cerita gak mungkin. Karena dua manusia itu dari dulu tidak suka aku dekat-dekat dengan Siska. Mereka bilang, takut ketularan tomboy.
Siska memang agak tomboy. Selama kenal dengannya belum pernah satu kali pun melihat dia mengenakan rok. Mungkin Cuma sewaktu wisuda saja.
“Lu tau dari mana?” tanyaku penasaran.
“Tau apaan?”
“Kalau ibunya Bang Haris nyuruh gue milih dipoligami atau dicerai.” Siska terlonjak. Dia hampir terjatuh dari tempat duduk.
“Hah?? Serius nenek sihir bilang gitu?!” tanya Siska. Bola matanya membulat seketika.
“Jadi bener, tadi lu Cuma nebak?”
“Hooh! Gimana ceritanya dia berani bilang gitu? Halah gak tau diri amat sih? Udah numpang, dikasih makan, laki dikasih kerjaan, apa-apa lu turutin. Sekarang nyuruh lu milih dicerai apa dipoligami! Sarap dua orang itu!! Makanya Laila ... dari dulu gue sering bilang ke lu, jangan terlalu manjain dua manusia itu!!” Omel Siska panjang lebar. Napasnya memburu. Matanya melirik ke arahku. Lalu menumpu kedua tangan di atas meja.
“Sorry gue emosi. Sekarang lu cerita dah dari awal. Gedein dulu tuh AC, mendadak panas nih hati gue. Rasanya pengen banget makan orang pake sambel geprek!” pungkasnya.
“Ngaco, Lu!” Kuraih remote AC, lalu menuruti permintaan sahabatku, Siska.
“Udah, segitu. Sekarang lu mulai cerita dah!”
“Semalam pas gue baru balik kerja, tuh mertua tiba-tiba bilang, ‘kau pilih dicerai atau dipoligami’, edan kan?”
“Idih amit-amit jabang orok. Ya Tuhan ... tolong jauhkan hamba dari mertua macam mertuanya Laila. Aamiin. Terus-terus?”
Aku pun menceritakan semua yang terjadi malam itu hingga kejadian tadi pagi sebelum berangkat ke kantor.
“Dasar parasit! Dugaan lu kemungkinan besar bener! Tuh nenek sihir pasti udah nemuin cewek yang lebih tajir dari lu. Soal anak, itu mah alesan mereka doang.” Siska menanggapi dengan yakin. Sebelah kakinya ia naikan ke atas kursi.
“Turunin kaki. Cewek gak pantes kayak gitu!”
“Elah ... yang beginian lu urusin. Lanjut dah ceritanya.”
Aku memutar bola mata malas.
“Masalahnya gue belum tau siapa cewek itu.”“Gampang! Kita punya anak buah banyak. Ngapain pusing? Tinggal suruh, beres!”
Aku menimang perkataan Siska. “Gak segampang itu kali, Sis!”
Siska menghadapku intens. “Terus lu mau pilih yang mana? Dicerai? Apa dipoligami?”
“Ngapain lu nanya? Jelaslah gue pilih cerai!”
“Bagus. Biar nyaho tuh bekas laki ama bekas mertua lu! Gembel-gembel dah! Hidup Cuma numpang aja banyak tingkah!” Gerutu Siska.
“Tapi, Sis ... gue ngeri juga kalau sampe jadi janda.” Mataku menerawang. Membayangkan ada orang yang bilang.
“Janda Laila. Oh, Ya Allah ....” Cetusku bergidik. Menutup wajah dengan kedua tangan.
“Mending dibilang Janda Laila. Dari pada lu diomongin, ya Allah ... si Laila jadi istri tua.” Siska mulai mengejek. Kutimpuk ia dengan pulpen. Sue banget punya temen.
“Tau ah. Gue pusing! Lu keluar deh! Keluar!” Aku mengusir Siska, mengibas-ibaskan tangan agar ia segera keluar dari ruanganku.
“Iya-iya! Cuma saran gue sebagai sahabat, jangan sampe lu mau dipoligami! Mending lu tendang dua parasit itu!” Siska sudah keluar ruangan. Pikiranku kembali membayangkan, bagaimana nasibku setelah menyandang status Janda Laila?
Napasku memburu mengetahui info terakhir yang Bi Inah sampaikan. Tak menyangka mereka tega berbuat licik padaku. Padahal selama ini, apa yang mereka inginkan selalu aku penuhi.
Tidak tahu diri! Dikasih hati minta jantung. Sudah dikasih jantung, minta empedu. Lama-lama nyawaku juga bisa diminta. Dasar parasit!!
Aku harus mencari surat sertifikat itu, mengambilnya kembali. Takutnya sertifikat perkebunan teh sudah atas nama Bang Haris juga. Tidak boleh terjadi, aku harus bertindak cepat.
“Tenang, Non ... tenang ... Bibi yakin Non Laila pasti bisa menemukan surat itu.” Bi Inah menenangkanku. Mungkin di rumah ini, Cuma Bi Inah yang dapat aku percaya.
“Kira-kira Bibi tau gak, surat itu disimpan di mana?”
Bi Inah tampak berpikir sejenak. Mungkin ia sedang menduga atau mengingat-ingat sesuatu.
“Kayaknya di kamar Nyonya besar,”cetusnya kemudian.
“Ya sudah nanti coba Laila periksa kamarnya. Tapi, kita harus menunggu Ibu dan Bang Haris gak ada di rumah. Supaya lebih leluasa nyari suratnya.” Wanita yang telah lama mengabdi di rumahku itu mengangguk.
“Iya, Non. Kalau Non perlu bantuan Bibi, bicara aja. Insya Allah Bibi akan bantu.” Aku tersenyum melihat ketulusan Bi Inah.
“Iya, Bi terima kasih. Kalau gitu Laila keluar dulu. Takut mereka curiga. Makasih banyak ya, Bi.”
“Iya, Non.”
Aku beranjak membuka kunci pintu. Melihat ke kanan kiri. Memastikan kalau kedua manusia itu tidak melihatku masuk kamar Bi Inah.
Kuatur napas, dan berjalan setenang mungkin. Bang Haris dan Ibu masih duduk di ruang televisi. Keduanya sedang berbicara serius. Namun obrolannya terhenti saat menyadari kedatanganku.
“Kamu sudah memutuskan pilihan, Laila?” tanya Ibu mertua tidak sabar. Aku duduk menyilangkan kaki. Menyandarkan bahu, bersidekap, menatap Ibu dan Bang Haris bergantian.
“Sudah.”
“Apa keputusanmu?” Kedua mata Ibu berbinar. Aku diam sejenak.
Kalau aku putuskan sekarang, berarti besok mereka harus keluar. Tidak! Aku harus menunda keputusan ini sampai menemukan surat pemindahalihan milik perkebunan.
“Aku gak bisa putuskan malam ini. Mungkin Minggu depan setelah proyek iklan yang aku garap sudah tayang.” Aku sengaja mengundur waktu, supaya kesempatan mencari tahu sertifikat tersebut lebih lama.
“Perusahaan kamu menang tender lagi?” tanya Ibu mertua. Aku mengangguk.
“Oh gak apa-apa. Cuma seminggu kami masih bisa menunggu kok. Ya kan, Har?” Bang Haris hanya mengangguk.
Dasar anak Mami! Bisanya Cuma mengangguk dan menggeleng saja!
“Syukurlah kalau Ibu mau sabar.” Kataku seraya berdiri hendak ke kamar.
“Ibu harap kamu gak lupa transfer uang 10 persen dari hasil proyek,” ucapan Ibu Bang Haris mengurungkan langkahku. Membalikkan badan, menatap intens dua makhluk sedarah itu.
“Maksud Ibu?” tanyaku memicingkan mata. Ingin tahu, apakah dugaanku salah atau benar?
“Kok maksud Ibu? Emang udah biasa kan, setiap perusahaan kamu menang tender, kamu selalu transfer ke rekening ibu 10 persen.” Aku tersenyum kecut melipat tangan ke dada. Ternyata benar dugaanku, Ibu masih mengharapkan bagian sepuluh persen dari kemenangan temder. Kalau kemarin-marin sih memang selalu aku turuti, tapi sekarang? Sorry! Dasar gak tau malu!
“Maaf, Bu. Mulai hari ini, aku gak akan pernah transfer uang ke rekening Ibu lagi.” Kataku tegas. Memberi penekanan pada tiap kata yang aku ucapkan. Aku berbalik melanjutkan langkah.
“Eh, Laila, Laila. Gak bisa begitu? Enak saja! Ibu ini masih mertua kamu!” Katanya setengah berteriak. Lalu Ibu menghalangi jalanku.
“Kalau Ibu masih mertuaku, harusnya Ibu tidak memberiku pilihan seperti itu!!” Aku mulai geram menghadapi wanita tua yang super duper matre.
“Ya gak bisa. Kamu harus tetap memilih dan harus tetap transfer uang sepuluh persen!” ucapnya berapi-api.
Gak tahu malu! Egois! Gak punya hati!!
Aku menghela napas, berusaha tenang.
“Terserah!” Balasku menatap tajam wanita yang telah melahirkan Bang Haris itu.
Enak saja, nyuruh aku memilih dicerai atau dipoligami, sedangkan ia tanpa tahu malu masih saja meminta uang. Benar kata Siska, mereka berdua parasit!
Kalau bukan karena surat pemindahan kepemilikan perkebunan, tentu sudah aku depak dua manusia gak tau diri itu!
***
Esok harinya, seperti biasa pergi ke kantor. Kali ini aku sarapan lebih dahulu, tidak menunggu Bang Haris dan Ibunya. Aku sedang malas bertemu dengan mereka.
Setelah sarapan, bergegas pergi ke kantor. Aku berharap, karyawan baru yang direkrut sudah datang ke kantor.
Membuka pintu ruangan, rupanya di sana sudah ada Siska yang duduk, menungguku.
“Ngapain lu pagi-pagi udah nongkrong di ruangan gue?” tanyaku begitu melewati Siska yang sedang duduk memainkan ponsel.
“Ya elah, masuk ruangan bukannya ngucapin salam. Maen masuk aja!” Aku terkekeh mendengar ucapan Siska.
“Serah gue lah. Ruang-ruangan gue. Lagian mana gue tahu ada ku di mari.” Sahutku cuek. Menyimpan tas di atas meja, menarik kursi dan membuka laptop.
“Tuh si pelamar udah dateng!” Lapor Siska.
“Rajin amat? Si Rano nyuruh dateng jam segini?” tanyaku tanpa menatap Siska. Fokus ke beberapa email yang masuk.
Siska mengedikkan bahu. “Mau dipanggil sekarang apa ntar aja?”
“Ntar ajalah.” Kulihat arloji, “Jam sembilan lima belas menit. Gak boleh telat, gak boleh cepat! Bilang gitu.” Kataku memberi peringatan tegas.
“Wokeh! Gue keluar dulu dah,” ucap Siska. Aku mengangguk. Kemudian sahabatku itu keluar ruangan, membiarkanku berkutat dengan pekerjaan yang sudah menunggu.
***
Tepat pukul sembilan lima belas menit, pintu ruang kerjaku diketuk. Aku pun mempersilahkan masuk.
Pintu terbuka, terlihat sosok laki-laki berkemeja biru salur putih, celana bahan hitam dan sepatu sport.
“Pagi menjelang siang, Bu ....” sapanya cengengesan.
“Pagi. Silakan duduk.”
Aku mengambil CV lamaran yang Siska letakkan di atas meja.
Membuka selembar kertas, membacanya.
“Nama kamu, Baginda Damar Sakti?” tanyaku sembari membuka lembaran tersebut.
“Iya, Bu. Nama saya Baginda Damar Sakti, berat badan 59 kg, tinggi badan 178 cm, size sepatu 42.” Aku mengerutkan kening.
“Gak nanya!”
“Cuma ngasih tau, Bu. Kali aja pas saya ulang tahun Ibu mau ngasih kado sepatu. Hahahah.”
Dih! Apes bener sih nasib aku! Sekalinya menguji calon karyawan, eh dapetnya tengil begini.
“Sekarang, coba perlihatkan kemampuan kreatifitas kamu. Pake laptop ini!” titahku menyodorkan laptop padanya.
“Misalnya iklan apa, Bu?” tanya laki-laki itu sambil mengoprasikan laptop. Aku berpikir sejenak. Aha, calon karyawan tengil ini harus aku kerjain.
“Aku kasih waktu dua puluh menit, buat kamu bikin iklan produk celana dalam laki-laki dan perempuan!” Lelaki itu mendongak, menautkan alisnya.
“Kenapa? Gak bisa? Udah pulang sana!!!”
“Enggak. Bukan gitu. Hm ... Apa gak ada contoh produk lain?” Aku menarik napas panjang. Enak saja pake tawar-tawar segala. Dia pikir apaan?
“Gak ada! Keluar sana! Saya tidak butuh orang yang suka menawar perintah saya!!!”
“Oke. Saya kerjakan.”
Aku menahan senyum geli. Sukurin, emang enak gue kerjain!
Aku menunggu Damar yang sedang serius di depan laptop selama lima belas menit.Menghela napas, beranjak menuju jendela kaca. Melihat panorama jalan raya di pagi hari.Pikiranku tiba-tiba mengawang pada pertemuan pertama dengan Bang Haris.Bugh!!Saat itu, tanpa sengaja menabrak tubuh Bang Haris di koridor kampus. Tidak ada kemarahan dari wajahnya. Ia justru tersenyum dan membantuku berdiri serta mengambil buku-buku yang berserakan.“Maaf,” ucapku membungkuk. Lagi, laki-laki berkulit putih yang berdiri di hadapanku tersenyum.“Gak apa-apa,” sahutnya. Kemudian ia berlalu. Aku pun melanjutkan langkah menuju ke perpustakaan.Tak disangka, di perpusatakaan bertemu kembali dengannya. Di sana, kami pun berkenalan.Sejak kejadian itu, aku mengetahui siapa Bang Haris. Ternyata Bang Haris kakak tingkat.
Ibu menatapku dengan bengis. Kedua matanya memerah, menahan amarah.“Lepasin tangan, Ibu! Lepasin!”“Oke!”Aku masih tetap siaga, kalau-kalau Ibu melayangkan tangannya kembali.“Mantu kurang ajar! Gak punya sopan santun!” Aku tersenyum sinis.“Aku kayak gini karena sikap Ibu. Mertua matre, gak tau diri, kasar!”Gigi Ibu bergemelutuk. Kedua tangannya mengepal.“Benar kan?” tanyaku.“Awas kamu! Ibu aduin ke Haris. Udah berani ngelawan!”“Sana aduin. Laila gak takut.” Jawabku enteng.Ibu keluar kamar. Langkah kakinya terhenti saat melihat Bi Inah sedang berdiri di sisi pintu.“Oooh ... Ibu tau ... Pasti Pembantu ini kan yang ngadu sama kamu?”Astaghfirullah ... Masih saja ngeselin. Aku menoleh.“Eh, jangan pernah ikut campur urusan kami. Ngerti? Dasar Babu!!” Maki
#POV_Ibu_Mertua Namaku Sarnih, berasal dari kampung pinggiran kota. Perkampungan kumuh tepatnya. Tapi itu beberapa tahun silam. Sekarang aku sudah berganti nama menjadi Sahrini. Biar lebih keren. Karena aku bukan lagi Sarnih si penjual gorengan keliling, melainkan wanita sosialita. Memiliki teman arisan, dan pengoleksi perhiasan. Kastaku terangakat berkat kepiawaian anak semata wayangku dalam menaklukan Laila anak tunggal pemilik perkebunan teh terbesar di Negara ini. Yang aku dengar, teh yang dihasilkan dari perkebunan keluarga Laila akan diimpor ke luar negeri. Aduhaaaii ... bahasaku keren sekali. Udah kayak orang kaya sungguhan. Kasta, sosialita, impor, bahasa asing yang dulu tak pernah aku ucapkan. Sebenarnya Haris tipikal laki-laki playboy. Dulunya kerap kali bergonta ganti pacar. Kenapa aku bisa tahu? Ya karena aku ibunya. Haris selalu bercerita tentang wanita-wanita yang ia dekati. Tentu bukan karena cinta. Semua itu karena harta.
Benda apa itu? Kok seperti gulungan rambut? Kayaknya benar rambut. Kucoba menelisik benda persegi empat yang dibalut oleh helaian-helaian rambut yang sangat tebal.“Bi, coba ambil yang itu.” Perintahku, Bi Inah mengangguk. Mengambil benda persegi panjang tersebut.Bi Inah dan Mang Karman meneliti. Mengorek benda apa sebenarnya di balik balutan rambut.“Ini gepokan uang, Non!” seru Mang Karman. Gulungan rambut disingkirkan. Terpampang jelas setumpuk uang seratus ribu. Aku heran, kenapa uang sebanyak itu dililit dengan rambut sangat tebal?“Kok dililit sama rambut? Buat apa?” tanyaku heran. Menatap suami istri yang berdiri di depanku bergantian. Sejenak kami diam.“Bibi tau, Non.” Celetuk Bi Inah. Memecah keheningan. Aku dan Mang Karman menatap Bi inah seksama. Menunggu kelanjutan ucapannya.“Katanya, kalau uang kita dililit dengan rambut. Tuyul, babi ngepet, atau
“Jangan ngomong sembarangan, Laila!” Gertak Bang Haris. Ibu memegang lengan anaknya. Menenangkan. Aku sendiri bersikap tak peduli. Acuh tak acuh. Kenapa mesti takut dengan mereka? Wong ini rumahku sendiri.“Aku serius!” jawabku menatap mereka nyalang. Enak saja, mereka memberiku pilihan. Pilihan yang jsutru sangat merugikanku. Benar kata Siska, mereka berdua memang parasit!“Ya sudah kalau itu emang maumu. Tapi kamu yang harus biayai perceraiannya!” Ibu menyela. Sudah kuduga, pasti Ibu tidak mau rugi.“Gak masalah. Yang penting sekarang kalian keluar dari rumah ini!” ucapku tegas. Jari telunjuk menjuntai ke pintu luar. Mereka pikir aku akan mengemis untuk tidak ditinggalkan? Ah, no!! Meskipun sekarang kedua orang tuaku telah tiada, tapi aku masih punya orang-orang yang peduli. Orang-orang yang sayang padaku dengan tulus.“Oh gak bisa. Sebelum ketuk palu, kami masih berhak tinggal di sini.
“Ini kopinya,” Damar datang membawa kopi pesananku.“Makasih,” jawabku singkat.“Eh, ngapain duduk di sini?” Laki-laki itu tanpa permisi duduk di kursi samping kiri.“Temenin lo lah.” Kedua bola mata Damar menatapku intens. Aku salah tingkah. Membenarkan posisi duduk.“Gak perlu. Aku pengen sendiri.” Tolakku ketus. Lagian jadi orang sok akrab banget. Kenal juga baru tadi siang. Udah sok peduli. Aku melirik ke arahnya. Damar masih saja menatapku.“Eh! Jangan liatin aku kayak gitu!!” Aku melotot Jengah! Tapi Damar bergeming. Pandangannya tak beralih.“Lo lagi ada masalah?” tanyanya. Aku memalingkan muka.Kali ini aku pilih diam. Meniup uap kopi, lalu menyesapnya perlahan. Damar masih menunggu jawaban.“Ya elah, ditanya diam aja.” Aku tak peduli. Memainkan ponsel, membuka sosial media.“Oh iya, gue u
“I-Ibu?” Terbata-bata Bang Haris memanggil Ibu.“PULANG!!!” Teriak Ibu. Aku memijat pelipis. Pikiranku seharian ini benar-benar pusing.“Siapa sih, Maaaas?” Terdengar suara manja wanita itu lagi. Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka, suami yang selama ini aku puja, yang selalu aku banggakan, tega berbuat hal keji dan menjijikan. Semakin bulat keputusanku untuk berpisah dengannya.Di saat seperti ini, aku bersyukur, karena belum dikaruniai buah hati. Benar, Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.“Ibu. Kamu diem dulu.” Bang Haris menjawab pada wanitanya.“Ibu bilang, pulang sekarang! Ada hal penting yang mau Ibu omongin!” sejak mendengar desahan wanitanya Bang Haris, Ibu sudah tidak menangis lagi.Syukurlah, setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak. Tanpa mendengar tan
POV Haris (1)Aku adalah laki-laki yang amat sangat beruntung. Memiliki istri yang cantik, cerdas, royal, pengusaha sukses, dan yang paling penting, sangat kaya raya.Dia bernama Laila Hussein. Perempuan keturunan Arab yang memiliki kekayaan yang sangat berlimpah. Anak tunggal dari pengusaha perkebunan teh di Bogor.Setelah orang tuanya meninggal, otomatis aset kekayaan Abi dan Uminya jatuh di tangan Laila.Memiliki harta yang melimpah tidak lantas membuat Laila berpangku tangan. Dia dan sahabatnya membangun perusahaan yang bergerak di bidang periklanan.Bisa dibayangkan, berapa banyak uang dan aset yang Laila miliki. Tapi, itu semua tidak akan berlangsung lama, karena sebentar lagi, harta Laila akan berpindah ke tangan padaku.Diam-diam aku dan Ibu mengambil sertifikat rumah dan membuat surat kuasa pengalihan perkebunan serta mobil pribadi Laila menjadi milikku.Laila memang istri yang baik. Dia ju
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber
PoV Bu SarnihAku harus menunggu Susi benar-benar terlelap. Sambil menunggu waktu, duduk di bangku meja rias. Kutatapi wajah Susi yang tenang. Sayang sekali, aku hanya memberinya dua pil obat tidur. Susi bodoh! Dia tidak dapat membedakan mana obat tidur, mana obat flu. Mungkin sudah menjadi takdirku, selalu dipermudah dalam segala urusan.Sudah sepuluh menit Susi terlelap. Sepertinya dia sudah tidur nyenyak. Aku berdiri, menyusuri pandangan ke seisi kamar. Tempat yang pertama kali aku geledah adalah lemari pakaian Susi. Sudah terbukti, kalau barang-barang berharga biasanya disimpan di sana. Contohnya Nafisa dan adiknya. Aku berjalan santai, membuka pintu lemari yang kuncinya memang tergantung.Pintu lemari sudah terbuka, senyumku langsung mengembang. Ada laci! Membuka laci tersebut, tidak ada perhiasan atau uang. Hanya terdapat kumpulan kertas mirip struk minimarket. Mengobrak-abrik, memeriksa kertas apa saja. Ya ampun, bukti tagihan listrik dan struk mi
PoV Bu SarnihDi dalam mobil, aku tak henti tersenyum. Memeluk tas dengan erat. Rasanya hatiku sangat bahagia. Mendapatkan uang dan barang-barang berharga hanya dalam waktu kurang lebih satu jam. Hahahaha ....Aku memberitahu supir taksi ke salah satu hotel. Sementara waktu aku tinggal di sana dulu. Besok baru akan mencari penginapan. Uang Nafisa cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelah mendapatkan tempat tinggal yang layak, barulah aku jual semua perhiasan Nafisa. Kemudian hasil penjualan perhiasan, aku simpan di Bank.Tiba di hotel, aku langsung membooking selama dua hari.Di dalam kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk. Gelak tawaku membahana, memenuhi kamar hotel. Mengambil tas, mengeluarkan kembali uang dan perhiasan. Menghitung jumlah uang dan mengenakan perhiasan. Mematut diri di depan cermin, alamak ... Aku masih terlihat cantik! Pakaian Halimah yang bagus, aku kenakan. Untunglah, tidak kebesaran dan kekecilan. Sepertinya pakaian
PoV Laila"Kamu jangan nakutin deh, La! Masa sih Ibu itu tega menggasak barang-barang di rumahku?" Nafisa mengelak, dia tidak percaya kalau ibu angkatnya Haris suka mengambil barang-barang berharga. Aku menghela napas panjang."Kalau di rumah kamu ada orang sih, mungkin enggak akan berani. Di rumah kamu ada siapa?""Ibu aku sama ... Naya. Erni dan Ria lagi pergi ke toko buku.""Bukankah ibu kamu tidak bisa bergerak? Cuma bisa melihat dan mendengar?" tanyaku memastikan kabar yang tempo hari Nafisa ceritakan sebelum pindah ke Indonesia."Iya. Kenapa?""Astaga, Nafisa! Mending sekarang kita lihat keadaan rumah kamu deh! Aku curiga Bu Sarnih memanfaatkan keadaan," ucapku berusaha meyakinkan Nafisa.Nafisa ceroboh sekali. Membiarkan Ibunya yang tidak bisa apa-apa dan Naya yang masih kecil ditinggal berdua sama Bu Sarnih di rumahnya! Bagaimana kalau dugaanku benar? Aku tidak yakin kalau ibu sepenuhnya berubah. Buktinya waktu dia kumat gila