“Oke!”
Aku masih tetap siaga, kalau-kalau Ibu melayangkan tangannya kembali.“Mantu kurang ajar! Gak punya sopan santun!” Aku tersenyum sinis.
“Aku kayak gini karena sikap Ibu. Mertua matre, gak tau diri, kasar!”
Gigi Ibu bergemelutuk. Kedua tangannya mengepal.
“Benar kan?” tanyaku.
“Awas kamu! Ibu aduin ke Haris. Udah berani ngelawan!”
“Sana aduin. Laila gak takut.” Jawabku enteng.
Ibu keluar kamar. Langkah kakinya terhenti saat melihat Bi Inah sedang berdiri di sisi pintu.
“Oooh ... Ibu tau ... Pasti Pembantu ini kan yang ngadu sama kamu?”
Astaghfirullah ... Masih saja ngeselin. Aku menoleh.
“Eh, jangan pernah ikut campur urusan kami. Ngerti? Dasar Babu!!” Maki Ibu pada Bi Inah. Bi Inah hanya merunduk dalam.
“Masih mending Bi Inah jadi Babu, dari pada Ibu, jadi benalu,” Ucapku keras dari dalam kamar.
Ibu melotot. Bibirnya maju beberapa senti. Ibu tak menimpali, langsung pergi dengan wajah merengut
Aku duduk di tepian ranjang. Bi Inah mengetuk pintu, ijin masuk. Membawa segelas air putih.
“Duduk sini, Bi,” Kataku menepuk kasur. Bi Inah duduk, menyodorkan gelas. Aku pun mengambil gelas lalu meneguknya.
“Bibi jangan takut. Kalau Ibu macam-macam, bilang sama Laila.”
Bi Inah mengangguk. “Iya, Non.”
Aku menarik napas. Meneguk air yang sisa setengah.“Non, itu uangnya Bibi beresin dulu ya?”
“Iya, Bi.”
Ponselku berdering. Siska.
“Buset dah, lu lagi di mana sih?” Siska ngomel. Aku naik ke tempat tidur, menyandarkan pungggung sambil selonjoran.“Di rumah.”
“Ngapain? Ada masalah lagi?”
“Non, ini uangnya. Bibi balik ke dapur dulu,” ucap Bi Inah pamit.
“Iya, Bi. Makasih.”
“Woy! Jawab napa kalo ditanya!”
Aku mengembuskan napas.“Iya. Bawel ih! Tadi gue dapet telepon dari Bi Inah. Katanya Ibu masuk kamar. Pas gue balik, tuh mertua ngambil duit di laci meja rias gue.”
“Ebuseeet ... Makin berani tuh Nenek sihir! Lagian duit lu taro di laci?”
“Udah biasa gue taro situ. Biasanya dikunci, Cuma hari ini lupa. Dikunci sih, tapi kuncinya gak dicabut. Hahaha ....”
“Hm ... sama aja bohong!”
“Ada apa?” Aku bertanya.
“Itu si pelamar kenapa balik? Gak cocok?”
Bayangan Damar melintas. “Bukan gak cocok. Gue tadi lagi badmood. Suruh si Rano telepon dia, besok udah mulai kerja.”
“Lu yakin terima dia?”
“Yakin. Tadi pas gue test hasilnya bagus. Dah ya, gue mau istirahat. Cape nih mulut, dari tadi ngomong mulu! Bye!” Kumatikan sambungan telepon tanpa menunggu tanggapan Siska.
***
Waktu dzuhur aku bangun. Ke kamar mandi, wudhu, lalu salat.Usai salat, terdengar suara klakson mobil. Mungkin mobil Bang Haris. Aku bergegas keluar kamar.“Bi coba lihat ke depan. Mobil siapa?”
“Baik, Non.”
Bi Inah lari tergopoh-gopoh ke arahku.“Bukan Tuan Haris, Non. Nyonya besar pergi naik taksi.”
“Kemana dia?”
“Gak tau. Kayaknya buru-buru.”
“Bagus. Ini kesempatan kita cari surat itu.” Aku bergegas ke pintu kamar Ibu.“Sial! Dikunci!”
“Kan ada kunci cadangannya, Non.”“Oh iya, ya. Cepet, Bi bawa ke sini!” Titahku. Bi Inah setengah berlari mengambil cadangan kunci. Tak lama wanita yang sudah kuanggap saudara sendiri itu datang membawa beberapa kunci.“Coba, Non yang ini dulu.” Aku mengambil kunci yang disodorkan Bi Inah.
“Bukan. Yang lain.”
Bi Inah menyodorkan kunci lain. Gak bisa juga. Sampai kunci kelima tetap gak bisa. Aku hampir saja putus asa.“Sabar, Non. Kunci masih banyak. Coba yang ini.”
Menarik napas. Mengucap basmallah, kuputar kunci. “Alhamdulillah ....” Pintu terbuka. Aku dan Bi Inah tersenyum. Lalu bergegas masuk mencari surat-surat tersebut.Bi Inah mencari di area tempat tidur. Aku membuka lemari pakaian Ibu yang untungnya tidak dikunci. Mencari di tumpukan baju, tidak ada. Di laci lemari pakaian juga tak ada. Beralih ke meja rias Ibu. Di sana ada tiga laci. Ternyata semuanya tidak dikunci. Kubuka laci pertama, nihil. Saat membuka laci kedua, Bi Inah berteriak.
“Dapat, Non!” Wah hebat juga Bi Inah langsung menemukan surat itu. Padahal Bi Inah baru memeriksa area kasur.
“Bibi kok kayak yang tau surat ini di taro di situ?” Tanyaku penasaran seraya mengambil surat itu dari tangan Bi Inah. Bi Inah tersenyum.
“Biasanya ... orang kampung kalau nyimpen yang berharga di bawah kasur. Bibi kan orang kampung. Nyonya besar juga tadinya orang kampung. Maaf Non, bukan ngerendahin.” Pantas saja sewaktu beli tempat tidur, Ibu inginnya yang kasur dan ranjangnya terpisah. Jadi maksudnya untuk ini toh?
“Ooh gitu ... hebat nih Bibi. Bukan ngerendahin itu, Bi. Emang faktanya Ibu dari kampung.”
Kataku melihat-lihat surat tersebut. Bi Inah mengulum senyum.“Bener gak itu suratnya, Non?”
Aku mengangguk. “Iya, Bi bener. Ini surat waktu Laila tanda tangan. Tapi sertifikat atas nama Harisnya di mana ya?” Aku mengedarkan pandangan.“ Non tangan Bibi tadi kayak yang megang surat lain di bawahnya. Kita angkat aja kasurnya.”
“Bener, Bi?”
“Iya, Non.”
“Ya udah ayok! Kita angkat. Tapi ini berat. Tolong Bibi panggilin Mang Karman. Biar bisa bantu.” Mang Karman adalah suami Bi Inah. Ia adalah tukang kebun di rumah ini.
Bi Inah mengangguk, bergegas ke luar memanggil suaminya.“Ayok, Pak. Bantu angkat kasur Nyonya.” Titah Bi Inah.
“Ada apa emangnya?”
“Aduh Bapak ini. Jangan banyak tanya. Ayo bantuin!” Aku tersenyum melihat tingkah pasangan lansia itu.
“Sudah, biar Bapak saja yang angkat.”
“Emangnya Mang Karman kuat?” tanyaku keceplosan.
“Eh, maaf, Mang. Hehe ....”
“Meskipun Amang sudah tua, tapi tenaga masih kayak anak muda, Non.”“Si Bapak malah ngawur ngomongnya. Sudah cepetan angkat.”
“Iya, Bu, iya.”
Benar saja, Mang Karman bisa mengangkat kasur ukuran king size itu sendirian. Aku sampai menggelengkan kepala. Takjub.
“Tuh sudah. Lho itu apaan, Non?” Tanya Mang Karman membelalak. Aku dan Bi Inah pun terkejut melihat isi di bawah kasur Ibu.
#POV_Ibu_Mertua Namaku Sarnih, berasal dari kampung pinggiran kota. Perkampungan kumuh tepatnya. Tapi itu beberapa tahun silam. Sekarang aku sudah berganti nama menjadi Sahrini. Biar lebih keren. Karena aku bukan lagi Sarnih si penjual gorengan keliling, melainkan wanita sosialita. Memiliki teman arisan, dan pengoleksi perhiasan. Kastaku terangakat berkat kepiawaian anak semata wayangku dalam menaklukan Laila anak tunggal pemilik perkebunan teh terbesar di Negara ini. Yang aku dengar, teh yang dihasilkan dari perkebunan keluarga Laila akan diimpor ke luar negeri. Aduhaaaii ... bahasaku keren sekali. Udah kayak orang kaya sungguhan. Kasta, sosialita, impor, bahasa asing yang dulu tak pernah aku ucapkan. Sebenarnya Haris tipikal laki-laki playboy. Dulunya kerap kali bergonta ganti pacar. Kenapa aku bisa tahu? Ya karena aku ibunya. Haris selalu bercerita tentang wanita-wanita yang ia dekati. Tentu bukan karena cinta. Semua itu karena harta.
Benda apa itu? Kok seperti gulungan rambut? Kayaknya benar rambut. Kucoba menelisik benda persegi empat yang dibalut oleh helaian-helaian rambut yang sangat tebal.“Bi, coba ambil yang itu.” Perintahku, Bi Inah mengangguk. Mengambil benda persegi panjang tersebut.Bi Inah dan Mang Karman meneliti. Mengorek benda apa sebenarnya di balik balutan rambut.“Ini gepokan uang, Non!” seru Mang Karman. Gulungan rambut disingkirkan. Terpampang jelas setumpuk uang seratus ribu. Aku heran, kenapa uang sebanyak itu dililit dengan rambut sangat tebal?“Kok dililit sama rambut? Buat apa?” tanyaku heran. Menatap suami istri yang berdiri di depanku bergantian. Sejenak kami diam.“Bibi tau, Non.” Celetuk Bi Inah. Memecah keheningan. Aku dan Mang Karman menatap Bi inah seksama. Menunggu kelanjutan ucapannya.“Katanya, kalau uang kita dililit dengan rambut. Tuyul, babi ngepet, atau
“Jangan ngomong sembarangan, Laila!” Gertak Bang Haris. Ibu memegang lengan anaknya. Menenangkan. Aku sendiri bersikap tak peduli. Acuh tak acuh. Kenapa mesti takut dengan mereka? Wong ini rumahku sendiri.“Aku serius!” jawabku menatap mereka nyalang. Enak saja, mereka memberiku pilihan. Pilihan yang jsutru sangat merugikanku. Benar kata Siska, mereka berdua memang parasit!“Ya sudah kalau itu emang maumu. Tapi kamu yang harus biayai perceraiannya!” Ibu menyela. Sudah kuduga, pasti Ibu tidak mau rugi.“Gak masalah. Yang penting sekarang kalian keluar dari rumah ini!” ucapku tegas. Jari telunjuk menjuntai ke pintu luar. Mereka pikir aku akan mengemis untuk tidak ditinggalkan? Ah, no!! Meskipun sekarang kedua orang tuaku telah tiada, tapi aku masih punya orang-orang yang peduli. Orang-orang yang sayang padaku dengan tulus.“Oh gak bisa. Sebelum ketuk palu, kami masih berhak tinggal di sini.
“Ini kopinya,” Damar datang membawa kopi pesananku.“Makasih,” jawabku singkat.“Eh, ngapain duduk di sini?” Laki-laki itu tanpa permisi duduk di kursi samping kiri.“Temenin lo lah.” Kedua bola mata Damar menatapku intens. Aku salah tingkah. Membenarkan posisi duduk.“Gak perlu. Aku pengen sendiri.” Tolakku ketus. Lagian jadi orang sok akrab banget. Kenal juga baru tadi siang. Udah sok peduli. Aku melirik ke arahnya. Damar masih saja menatapku.“Eh! Jangan liatin aku kayak gitu!!” Aku melotot Jengah! Tapi Damar bergeming. Pandangannya tak beralih.“Lo lagi ada masalah?” tanyanya. Aku memalingkan muka.Kali ini aku pilih diam. Meniup uap kopi, lalu menyesapnya perlahan. Damar masih menunggu jawaban.“Ya elah, ditanya diam aja.” Aku tak peduli. Memainkan ponsel, membuka sosial media.“Oh iya, gue u
“I-Ibu?” Terbata-bata Bang Haris memanggil Ibu.“PULANG!!!” Teriak Ibu. Aku memijat pelipis. Pikiranku seharian ini benar-benar pusing.“Siapa sih, Maaaas?” Terdengar suara manja wanita itu lagi. Aku menggelengkan kepala. Tak menyangka, suami yang selama ini aku puja, yang selalu aku banggakan, tega berbuat hal keji dan menjijikan. Semakin bulat keputusanku untuk berpisah dengannya.Di saat seperti ini, aku bersyukur, karena belum dikaruniai buah hati. Benar, Allah lebih tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.“Ibu. Kamu diem dulu.” Bang Haris menjawab pada wanitanya.“Ibu bilang, pulang sekarang! Ada hal penting yang mau Ibu omongin!” sejak mendengar desahan wanitanya Bang Haris, Ibu sudah tidak menangis lagi.Syukurlah, setidaknya malam ini aku bisa tidur nyenyak. Tanpa mendengar tan
POV Haris (1)Aku adalah laki-laki yang amat sangat beruntung. Memiliki istri yang cantik, cerdas, royal, pengusaha sukses, dan yang paling penting, sangat kaya raya.Dia bernama Laila Hussein. Perempuan keturunan Arab yang memiliki kekayaan yang sangat berlimpah. Anak tunggal dari pengusaha perkebunan teh di Bogor.Setelah orang tuanya meninggal, otomatis aset kekayaan Abi dan Uminya jatuh di tangan Laila.Memiliki harta yang melimpah tidak lantas membuat Laila berpangku tangan. Dia dan sahabatnya membangun perusahaan yang bergerak di bidang periklanan.Bisa dibayangkan, berapa banyak uang dan aset yang Laila miliki. Tapi, itu semua tidak akan berlangsung lama, karena sebentar lagi, harta Laila akan berpindah ke tangan padaku.Diam-diam aku dan Ibu mengambil sertifikat rumah dan membuat surat kuasa pengalihan perkebunan serta mobil pribadi Laila menjadi milikku.Laila memang istri yang baik. Dia ju
PoV HarisAku tak menyangka si Meyla berani bicara seperti itu. Kenapa juga wanita ini bisa tau kalau kami ingin hartanya? Padahal kalau jalan bersamaku, dia yang aku yang traktir.“Hahaha ... Mana mungkin kami ingin harta kamu, Mey. Harta Haris juga sudah melimpah. Bukannya kamu udah tau kalau Haris punya perkebunan teh yang luas di Bogor? Buktinya lagi ya, kalau kamu jalan sama Haris gak pernah ngeluarin uang kan?” Ibu menyangkal dugaan Meyla. Pintar juga Ibu. Aku bahkan tidak sempat berpikir. Terlalu syok dengan pertanyaan Meyla.Meyla tersenyum tipis. Kepalanya manggut-manggut.“Tapi, maaf. Aku gak ingin menikah sekarang-sekarang. Kalau Mas Haris ingin menikah, silakan saja dengan wanita lain.” Aku sudah menduga Meyla akan bicara seperti itu. Wanita seperti dia, mana mau punya suami. Meyla Inginnya kebebasan. Bagi wanita macam Meyla, punya suami Cuma jadi penghalang untuk kariernya. Ibu saja yang ngeyel, maksa terus
Sayup adzan subuh terdengar. Aku menggeliat, menguap, menyibakkan selimut menuju kamar mandi.Dalam sujud kupanjatkan rasa syukur tiada henti atas nikmat sehat dan kemudahan rejeki yang Allah berikan. Tak lupa memohon perlindungan dari orang-orang yang hendak berbuat buruk padaku.Selesai munajat, keluar kamar menemui Bi Inah. Menanyakan Ibu dan Haris pergi jam berapa?Kedua mataku menangkap sosok Ibu yang sedang menata meja makan. Mempersiapkan sarapan seperti biasa. Aku mengucek mata. Memastikan apakah yang aku lihat beneran Ibu atau hanya halusinasi.“Ayo, Laila, sarapan! Ibu udah bikin roti bakar. Rotinya juga udah Ibu kasih mayonese kesukaan kamu.” Ternyata benar itu Ibu. Kenapa dia belum juga pergi?“Kok masih berdiri di situ? Sini sarapan dulu?”Aku berjalan pelan. Menarik kursi lalu duduk.Ibu meletakkan roti bakar di atas piring yang berada di
PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
PoV LailaSemalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris."Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat.Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan."Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.
PoV Bu SarnihLemas sudah persendianku. Berharap Mas Agung yang membayar semua makanan, justru aku yang membayarnya. Kalau tahu kaya gini, lebih baik aku pesan menu yang murah meriah saja. Semua ini gara-gara menu sialan! Mas Agung sih enak, makanannya sudah habis semua. Lah aku, masih ada dua menu yang belum aku cicipi.Kulambaikan pelayan, menyuruhnya membungkus sisa makanan lalu membayar semua pesananku dan pesananan Mas Agung. Apes sekali nasibku hari ini. Padahal sebelumnya aku sangat bahagia mendapat pujian dari Mas Agung.Keluar restoran dengan langkah gontai. Hampir enam juta aku membayar menu makanan tadi. Huh rugi sekali! Lain waktu aku akan membuat Mas Agung mengganti kerugian yang aku alami malam ini. Menghentikan taksi yang melintas, lalu masuk. Kuhempaskan bokong dengan malas. Pusing sekali, harus merelakan uang jutaanku keluar hanya karena makanan. Ah sial!"Bu, Ibu mau kemana?" Pertanyaan supir taksi mengalihkan kekesalanku. Aku meny
PoV Bu SarnihHahahha ... Hatiku sangat bahagia. Di dalam tas ini, uangku saaaaaangat banyak! Sekarang hidupku sudah banyak uang! Aku jadi orang kaya sungguhan. Hahahaha ....Menghempaskan tubuh ke atas kasur, merentangkan kedua tangan, menatap langit-langit kamar hotel.Mulai besok, aku akan mencari tempat tinggal baru. Tidak mungkin selamanya di hotel. Aku ingin mencari rumah yang dapat dicicil tiap bulan. Pembayaran tiap bulannya, aku akan mencari target-target bodoh seperti Nafisa dan Susi!Ngomong-ngomong soal Susi, sekarang dia sudah sadar belum ya? Aku tidak dapat membayangkan jika ia sudah terbangun seperti apa reaksinya. Apalagi wajahnya sangat merah, ditambah bintik-bintik. Iiih ... Menyeramkan! Belum lagi, jika Susi telah menyadari, barang-barang di rumahnya hilang! Dia pasti tambah terkejut dan frustasi. Ah ... Semoga saja si Susi jadi sakit jiwa! Hilang akal warasnya! Terus, dia masuk rumah sakit jiwa deh seperti aku dulu! Kalau mengingat tem
PoV Laila"Nafisa, sabar ya?" Kupegang pundak kanan Nafisa, menuntunnya duduk di sisi ranjang. Air mata sudah membasahi kedua pipinya."Kak! Ada apa?" Ria datang langsung bertanya, dia duduk di samping Nafisa. Meletakkan buku-buku di atas lantai. Tidak lama datang Erni. Adik ketiga Nafisa."Kak Laila, Kak Nafisa kenapa? Kenapa Kak Nafisa menangis?" Belum sempat aku menjawab, Nafisa menghambur dalam pelukan adiknya."Ria ... Maafkan Kakak ... Maafin Kakak ...." lirih Nafisa pada adiknya. Mungkin Nafisa merasa bersalah karena telah memasukkan Bu Sarnih ke rumah ini. Kasihan sekali Nafisa. Bu Sarnih benar-benar tidak berubah. Padahal dia sudah pernah mengalami gangguan kejiwaan. Ria melepaskan pelukan, menatap wajah Nafisa dengan lekat. Memegang kedua pundak Nafisa. Kakak kandung Haris itu hanya merunduk sambil terisak."Kak, ada apa? Kenapa Kakak menangis? Kak Laila kenapa Kak Nafisa menangis?"Tatapan Ria beralih padaku. Ia menu
PoV Bu Sarnih"Iya, Pak. Walaupun baru saya beli beberapa bulan lalu, tidak masalah kalau saya jual. Jadi total semuanya berapa?"Aku tidak mau mereka semua lebih lama di rumah Susi. Khawatir kalau Susi terbangun dan tetangga kanan kiri menaruh curiga. Bisa gawat kalau hal itu terjadi.Pak Kuto menyebutkan nominal hasil penjualan barang-barang elektronik milik si janda gatel. Lumayanlah, lebih dari sepuluh juta. Setelah menyerahkan sejumlah uang, anak buah Pak Kuto mengangkut barang-barang tersebut ke dalam mobil pick up."Terima kasih banyak, Bu. Kalau mau jual barang-barang elektronik lagi, jangan lupa hubungi saya," ujar Pak Kuto tersenyum. Aku hanya mengulum senyum, tidak menanggapi dengan kata-kata.Pak Kuto dan mobilnya pergi meninggalkan rumah Susi. Aku masuk ke dalam. Menyimpan uang ke dalam tas. Masuk ke kamar, melihat kondisi wajah si Susi. Ya ampun, wajah Susi seeprti Kepiting rebus. Merah merona. Terdapat bintik-bintik juga. Aku ber
PoV Bu SarnihAku harus menunggu Susi benar-benar terlelap. Sambil menunggu waktu, duduk di bangku meja rias. Kutatapi wajah Susi yang tenang. Sayang sekali, aku hanya memberinya dua pil obat tidur. Susi bodoh! Dia tidak dapat membedakan mana obat tidur, mana obat flu. Mungkin sudah menjadi takdirku, selalu dipermudah dalam segala urusan.Sudah sepuluh menit Susi terlelap. Sepertinya dia sudah tidur nyenyak. Aku berdiri, menyusuri pandangan ke seisi kamar. Tempat yang pertama kali aku geledah adalah lemari pakaian Susi. Sudah terbukti, kalau barang-barang berharga biasanya disimpan di sana. Contohnya Nafisa dan adiknya. Aku berjalan santai, membuka pintu lemari yang kuncinya memang tergantung.Pintu lemari sudah terbuka, senyumku langsung mengembang. Ada laci! Membuka laci tersebut, tidak ada perhiasan atau uang. Hanya terdapat kumpulan kertas mirip struk minimarket. Mengobrak-abrik, memeriksa kertas apa saja. Ya ampun, bukti tagihan listrik dan struk mi
PoV Bu SarnihDi dalam mobil, aku tak henti tersenyum. Memeluk tas dengan erat. Rasanya hatiku sangat bahagia. Mendapatkan uang dan barang-barang berharga hanya dalam waktu kurang lebih satu jam. Hahahaha ....Aku memberitahu supir taksi ke salah satu hotel. Sementara waktu aku tinggal di sana dulu. Besok baru akan mencari penginapan. Uang Nafisa cukup untuk beberapa hari ke depan. Setelah mendapatkan tempat tinggal yang layak, barulah aku jual semua perhiasan Nafisa. Kemudian hasil penjualan perhiasan, aku simpan di Bank.Tiba di hotel, aku langsung membooking selama dua hari.Di dalam kamar, menghempaskan tubuh ke atas kasur empuk. Gelak tawaku membahana, memenuhi kamar hotel. Mengambil tas, mengeluarkan kembali uang dan perhiasan. Menghitung jumlah uang dan mengenakan perhiasan. Mematut diri di depan cermin, alamak ... Aku masih terlihat cantik! Pakaian Halimah yang bagus, aku kenakan. Untunglah, tidak kebesaran dan kekecilan. Sepertinya pakaian
PoV Laila"Kamu jangan nakutin deh, La! Masa sih Ibu itu tega menggasak barang-barang di rumahku?" Nafisa mengelak, dia tidak percaya kalau ibu angkatnya Haris suka mengambil barang-barang berharga. Aku menghela napas panjang."Kalau di rumah kamu ada orang sih, mungkin enggak akan berani. Di rumah kamu ada siapa?""Ibu aku sama ... Naya. Erni dan Ria lagi pergi ke toko buku.""Bukankah ibu kamu tidak bisa bergerak? Cuma bisa melihat dan mendengar?" tanyaku memastikan kabar yang tempo hari Nafisa ceritakan sebelum pindah ke Indonesia."Iya. Kenapa?""Astaga, Nafisa! Mending sekarang kita lihat keadaan rumah kamu deh! Aku curiga Bu Sarnih memanfaatkan keadaan," ucapku berusaha meyakinkan Nafisa.Nafisa ceroboh sekali. Membiarkan Ibunya yang tidak bisa apa-apa dan Naya yang masih kecil ditinggal berdua sama Bu Sarnih di rumahnya! Bagaimana kalau dugaanku benar? Aku tidak yakin kalau ibu sepenuhnya berubah. Buktinya waktu dia kumat gila