Share

Bab 13

Napas Melvin tercekat saat mendengar ini, "Apa maksudmu?"

Silvia berkata dengan tenang, "Mari kita bahas ulang tentang hak asuh anak."

Udara di sekitarnya tampak membeku.

Pria itu maju selangkah dan berdiri di depannya, wajah tampannya tertutup embun beku dan mata dinginnya yang tak berdasar tertuju pada Silvia, diam-diam memancarkan kekuatan yang menakutkan.

Silvia sudah menjadi istrinya selama lima tahun dan mengetahui emosinya saat ini lebih baik daripada orang lain.

Marah sampai pada tingkat depresi yang ekstrem.

Kalau itu adalah orang biasa, maka pasti akan takut dengan penampilannya.

Anak berusia enam tahun itu tidak ringan tapi tangan Silvia yang menggendong anak itu sangat mantap dan tidak rileks sama sekali.

Setelah memikirkannya, dia menjadi tenang ketika melihat ke arah Melvin.

"Di luar panas, anak-anak nggak tahan, mengobrol saja di dalam."

Silvia menggendong Cevin dan putrinya digendong Diana lalu mereka berdua berjalan menuju hotel.

Simon menghampiri dan meraih tangan Melvin lalu mengikuti mereka.

Vivi menggandeng tangan Simon yang lain tanpa berpikir panjang, berusaha menciptakan rasa hangat sebagai keluarga beranggotakan tiga orang.

Akibatnya, dia ditolak kali ini!

Ini pertama kalinya Simon melihat Cevin menangis tersedu-sedu. Karena hubungan mereka sebagai saudara kembar, mereka memiliki perasaan yang sama sejak kecil dan bisa merasakan emosi satu sama lain.

Kakaknya ... sangat sedih.

"Apa ini salah Tante Vivi? Apa aku terlalu dekat dengan Tante sebelumnya?" Simon berpikir dalam hati.

Saat itu, Vivi datang untuk menggandeng tangannya, tapi Simon ragu-ragu.

Wajah Vivi terlihat sangat sedih, jari-jarinya tergenggam erat di telapak tangannya.

Hotel tempat mereka menginap berada tepat di sebelah.

Prosedurnya cepat.

Kerabat dan teman yang diundang sepupu Diana semuanya ada di lingkaran Jaton.

Banyak orang pernah melihat si kembar kesayangan Keluarga Lint.

Melihat Cevin dipeluk erat dalam pelukan Silvia, mereka memandangnya dengan rasa ingin tahu.

Kecantikan Silvia tidak perlu diragukan lagi.

Setidaknya Diana tidak melihat wanita yang lebih cantik dari Silvia di industri hiburan tempat berkumpulnya wanita cantik dari segala gaya.

Ada pesona klasik dan elegan pada Silvia, seperti sepotong batu giok tanpa cacat. Hanya berdiri di sana saja bisa membuat orang tidak bisa mengalihkan pandangan mereka.

Di dalam lift menuju lantai atas, diam-diam Diana melirik Melvin dari sudut matanya.

Melvin adalah pria paling tampan yang pernah dilihatnya. Fitur wajahnya begitu sempurna sehingga tidak ada yang bisa menemukan kekurangan apa pun. Tapi, Melvin diliputi aura dingin dan berkesan asing.

Satu hal yang pasti.

Dari segi penampilan, Silvia dan Melvin sangat cocok!

Diana menunduk untuk melihat putri angkatnya yang harum dan lembut di pelukannya, dia tidak bisa menahan untuk tidak mencium pipi Nadine.

Meski Melvin adalah suami yang buruk, dia memiliki gen yang baik.

Baik si kembar maupun Nadine sama-sama rupawan.

Silvia bertemu Diana setelah perceraiannya. Meski belum lama saling kenal, mereka sangat mengenal kepribadian satu sama lain.

Melihatnya mengintip ke arah Melvin dan Nadine dalam pelukannya, Silvia segera mengerti maksudnya dan memperingatkannya untuk tidak berbicara omong kosong.

Diana memberinya tatapan meyakinkan.

Putri angkatnya sangat manis, dia tidak akan memberi tahu bajingan ini bahwa Nadine adalah putrinya.

Dia mencondongkan tubuh lebih dekat ke Silvia, mengedipkan mata dan berbisik, "Sayang, setelah kamu mendapatkan kembali hak asuh si kembar, bisakah aku juga menjadi ibu angkat mereka?"

Dia tidak bisa melahirkan tiga anak dengan wajah luar biasa, tapi dia bisa meminta mereka menjadi anak angkatnya.

Ibu angkat juga seorang ibu.

Silvia memandangnya tanpa daya, Cevin yang berbaring di bahunya juga memandangnya dengan rasa ingin tahu.

Lift berbunyi.

Silvia memimpin dan berjalan menuju kamarnya, diikuti oleh Diana yang menggendong anak.

Sebelum memasuki pintu, dia melihat ke arah Vivi yang masih mengikuti.

"Nona Vivi, ini adalah urusan kami sebagai orang tua dan anak. Bagaimanapun perkembangan hubungan kamu dan Melvin, nggak pantas kamu terlibat dalam hal ini , bukan?"

Vivi memandang Melvin dengan sedih.

Setelah mendengar dua kalimat terakhir Silvia, tanpa sadar Melvin mengerutkan kening dan memandangnya penuh arti.

Tapi, kali ini Silvia memang benar.

Ini masalah keluarga mereka.

Vivi tak mau melewatkan kesempatan ini. Saat hendak meraih lengan Melvin, pria itu sudah menarik Simon masuk ke dalam kamar.

Pintu di depannya tertutup. Dia sangat marah hingga dia hampir melupakan kepribadian lembut dan penyamarannya. Dia menatap tajam ke pintu di depannya lalu membawa kartu kamar ke kamarnya.

Diana mengatur kamar suite untuk Silvia dan kopernya sudah diantar ke kamar terlebih dahulu.

Silvia pertama-tama mengantar Cevin dan Nadine ke kamar tidur, lalu mengeluarkan mainan-mainan dari kotak yang merupakan model-model terbaru serta makanan ringan kesukaan anak-anak.

Dia menyentuh kepala Cevin dan berkata dengan nada lembut, "Cevin, bisakah kamu bermain dengan adik di sini sebentar? Ibu dan Ayah ingin membahas sesuatu, nanti Ibu datang menemani kalian, oke?"

Cevin mengangguk dengan patuh.

Silvia melihat kegelisahan di matanya dan memeluknya dengan sedih.

Meskipun tidak ingin berbicara mewakili Melvin, dia nggak ingin anaknya dilema seperti tadi.

Dia berharap mereka selalu bahagia.

Silvia menggendongnya ke kamar mandi, mengeluarkan handuk bersih dari koper, mencelupkannya ke dalam air panas, memerasnya dan menyeka air mata dari wajah anak itu.

"Ayahlah yang salah tadi. Ibu akan memarahinya."

"Cevin berkelakuan baik, bukan anak yang nggak sopan. Ibu tahu Cevin mendorong dia untuk melindungi adik. Cevin adalah kakak yang pemberani dan baik."

Cevin terhibur dengan kata-katanya, handuk di wajahnya terasa hangat, dia akhirnya berhenti menangis.

Setelah membujuk putranya, Silvia mulai membujuk putrinya lagi.

Bocah itu masih kecil dan pelupa.

Setelah dibujuk beberapa kali, tak butuh waktu lama dia sudah tersenyum dan mengajak kakaknya bermain dengan mainan barunya.

Simon menjulurkan kepalanya dari luar, dia memandang Kakak lalu memandang adik itu dan menghela napas lega setelah memastikan mereka tidak menangis.

Cevin pun melihatnya dan mengajaknya masuk untuk bermain bersama.

Simon segera melompat masuk.

Diana awalnya ingin tinggal dan mengasuh anak-anak, tapi itu tidak pantas, jadi dia akhirnya menyerahkan tempat itu kepada Silvia dan Melvin lalu kembali ke kamarnya.

Di ruang tamu.

Silvia duduk di salah satu ujung sofa dan mendongak untuk melihat ketiga anak itu.

Melvin duduk di hadapannya, bibir tipisnya terkatup rapat, konturnya sekuat pisau, memancarkan aura yang mulia dan acuh tak acuh, pakaian hitamnya membuatnya semakin dingin dan mulia.

Silvia mengambil inisiatif untuk memecahkan kebuntuan dan memandangnya dengan tenang, "Melvin, apakah kamu dan Vivi akan mengadakan pernikahan?"

Mata gelap pria itu sedingin es, "Aku bukan kamu, aku nggak akan memperlakukan cinta seperti kamu."

Dia menurunkan bulu matanya dan menarik napas dalam-dalam berulang kali, mengatakan pada dirinya bahwa dia tidak bisa marah pada Melvin, kalau dia membuat Melvin marah, bagaimana kalau Melvin menyembunyikan anaknya?

Yang terpenting saat ini adalah menegosiasikan hak asuh anak terlebih dahulu.

Silvia mendongak untuk melihatnya lagi, tapi menatap mata hitamnya dan sepertinya ada beberapa emosi yang tidak bisa Silvia paham yang bertabrakan di dalamnya.

Sebelum dia bisa melihat lebih dekat, Melvin sudah membuang muka.

Sikapnya seperti saat pertama kali bertemu, "Pak Melvin, aku tahu kamu dipaksa menikah denganku, jadi kamu nggak suka bertemu denganku selama ini."

"Selama kamu memberiku hak asuh atas kedua anakmu, aku akan membawa mereka ke luar negeri dan memastikan mereka menjauh darimu dan nggak melakukan kontak satu sama lain selama sisa hidup mereka."

"Kalau kamu menyukai anak-anak, kamu bisa melahirkan beberapa anak lagi dengan Vivi."

Silvia sudah memikirkannya, kalau Melvin dan Vivi bisa menikah dan mempunyai anak, meski Melvin tidak pilih kasih, Vivi belum tentu begitu.

Tidak bisa dipungkiri bahwa kedua anaknya akan dirugikan.

Ekspresi Melvin muram dan dia menggertakkan gigi sambil menegur dengan dingin, "Apakah menurutmu aku akan setuju untuk membiarkanmu membawa putraku untuk tinggal bersama suamimu saat ini?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status