Hari itu kurang lebih sebulan yang lalu. Di depan sekolah Nadhira. Nadhira sedang bersama dengan teman-temannya. Hari itu Nadhira masuk hanya untuk melihat pengumuman pembagian kelas saja. Oleh krena itu belumlah tengah hari, Nadhira sudah keluar kelas bersama teman-temannya dan sepakat untuk makan siang bersama di kafe terdekat.
“Nad!” suara yang sangat dikenali Nadhira. Arya yang sedang berdiri di samping mobil tengah melambaikan tangannya ke arah Nadhira.“Kak Arya!” Nadhira terkejut kemudian berlari menghampiri kakaknya dan memeluknya erat.Arya, kakak lelaki Nadhira satu-satunya yang sedang kuliah di ibu kota, baru saja sampai di kota kelahirannya dan bersemangat utuk menjalani liburan semesternya. Arya datang bersama Mama Nur dan Pak Hamzah, mama papa mereka.Terlihat seulas senyuman di bibir kedua orang tua itu yang tengah memperhatikan kedua anaknya yang sedang berpelukan mengungkapkan rasa rindu. Senyum mereka semakin merekah melihat Arya mengacak-acak rambut Nadhira dengan gemas. Namun tidak lama wajah mereka kembali berubah menjadi tanpa ekspresi.Teman-teman Nadhira mengikuti di belakang dan ramai menyapa mama papa dan kakak Nadhira. Nadhira mengamati wajah papanya yang tidak tampak begitu bahagia dengan kedatangan kakaknya. Begitu juga mamanya. Senyum yang tadi mengembang tiba-tiba saja hilang dan berganti raut wajah datar.Nadhira menduga semua ini ada kaitannya dengan apa yang seharusnya dia sampaikan tadi malam. Tiba-tiba saja rasa takut menyergap dirinya. Sepertinya hanya kakaknya yang belum mengerti persoalan besar apa yang sedang menunggu mereka.“Siang Om, Tante, Kak,” Sapa mereka antusias namun penuh tanda tanya. Satu-satu bersalaman dengan keluarga Nadhira.“Iya. Siang anak-anak. Pada mau kemana ini?” tanya Mama Nur datar.“Kami mau makan bareng tante. Sama Nadhira juga.” Ranti mewakili menjawab pertanyaan Mama Nur.“oh gitu. Hmm.. gimana yaa, ini Nadhira mau mama ajak pulang, karena ada urusan keluarga,” kata Mama Nur sambil merangkul Nadhira.Pak Hamzah lebih dulu masuk ke dalam mobil dan memilih kursi belakang, disusul Arya di belakang kemudi.“Maaf yaa anak-anak. Kami pamit dulu,” kata Mama Nur sedikit memaksa Nadhira untuk masuk ke dalam mobil di sebelah Arya.“Iya Tante, nggak apa-apa. Hati-hati Tante, Om, Kak,” Ranti melambai penuh tanda tanya ke arah Nadhira yang terdiam tak banyak bicara.Nadhira membalas lambaian tangan Ranti dan kawan-kawannya. Mungkin untuk terakhir kalinya. Nadhira sepertinya sudah menduga bahwa apa yang selama beberapa waktu ini menghantui pikirannya akan terjadi. Dia akan menggoreskan luka pada keluarganya. Luka yang tidak hanya menyakitkan tapi juga akan menjadi aib keluarganya.Nadhira diam penuh kepasrahan. Tidak dihiraukannya kakaknya yang mengajukan banyak pertanyaan padanya. Dia melihat sekilas raut terluka, dan gelisah dari wajah kedua orang tuanya yang kini menatap dalam diam pemandangan di luar mobil yang sedang membelah jalanan.Nadhira harus menguatkan hatinya. Ia masih tidak tahu takdir seperti apa yang harus dijalaninya. Dadanya berdebar kencang. Berkali-kali dia melatih dialog seperti apa yang akan dipakainya nanti.Kata-kata apa yang akan digunakannya agar kedua orang tuanya luluh, dan memaafkan perbuatannya yang salah. Namun mau tidak mau, suka tidak suka Nadhira harus mengungkapkan apa yang terjadi pada dirinya. Dia tidak akan bisa menghadapi persoalan ini sendirian.Waktu itu suasana di dalam mobil sangat tidak nyaman. Nadhira memilih diam meskipun ia ingin menyapa dan berbicara dengan kakaknya. Namun Arya sendiri juga masih penuh tanda tanya kenapa orang tuanya bersikeras menjemput dirinya di stasiun dan berlanjut menjemput adiknya.Namun bukan sambutan hangat yang diterima Arya sesampainya di kota kelahirannya ini. Papa dan mamanya tidak banyak bicara. Suasananya sungguh tidak enak dirasakan oleh Arya. Seperti ada kabut gelap menyelimuti mereka.Sesampainya di rumah papa mamanya masuk lebih dulu. Arya dan Nadhira menyusul sembari saling tatap. Nadhira hanya tertunduk tanpa kata mengikuti langkah mama dan papanya. Bingung Arya juga masuk setelah mengambil barang di bagasi mobil.Di dalam rumah. Mama Nur langsung sibuk menghangatkan makanan di dapur. Pak Hamzah duduk di meja makan sambil minum segelas air putih dengan wajah gusar.‘Apa yang sebenarnya tengah terjadi dalam keluarga ini?’ batin Arya penuh tanda tanya."Nad, duduk sini, Nak,” suara ayahnya yang dalam pertanda ada hal serius yang akan beliau bicarakan.“Iya Pa,” jawab Nadhira pelan sambil duduk di kursi meja makan.“Kamu juga Arya, duduk di sebelah Nadhira,” panggil Pak Hamzah pada putranya.“Iya Pa,” jawab Arya sambil duduk.Tak lama Mama Nur menyusul setelah meletakkan gelas minum di depan Arya dan Nadhira, berlanjut duduk di sebelah suaminya dan meletakkan gelas minuman di hadapannya sendiri.Tidak ada yang memulai pembicaraan. Semuanya larut dalam pikiran masing-masing. Papa mereka akan menggelar diskusi semacam ini saat ada hal yang amat serius terjadi dalam rumah tangga ini, namun hal itu sangat jarang terjadi.“Nadhira..,” Pak Hamzah memecah kesunyian di antara mereka dengan panggilan lembut pada anak perempuannya.“Nad tahu 'kan Mama dan Papa sayang sekali dengan kamu, Nak,” lanjut Pak Hamzah.Nadhira yang menjadi pusat perhatian mengangguk pelan. Wajahnya kian tertunduk dalam. Tangannya sibuk memainkan ujung bajunya.“Nad, apa ada yang ingin kamu sampaikan sama papa dan mama?” Pak Hamzah melihat ke arah putrinya dengan sorot mata terluka.***“Nad ada apa memangnya? Apa yang terjadi Nad, sampai Papa dan Mama mengadakan diskusi semacam ini?” Arya yang duduk di sebelah Nadhira memegang pundak adiknya itu. Dipandanginya dengan lekat wajah Nadhira mencari jawaban. Namun Nadhira hanya semakin mengatupkan bibirnya dan menunduk dalam, tak berani bersuara. Jari-jari tangannya bermain satu sama lain, terlihat gelisah dan gugup. “Nad..” Mama Nur mulai terisak. “Ada apa ini Ma, Pa?” Arya mencoba mencari jawaban atas apa yang sebenarnya sedang terjadi di rumah ini. “Mama tadi pagi bersihkan kamar kamu Nad, dan mama menemukan ini,” Mama Nur mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan meletakkannya di meja. Nadhira melirik sekilas. “Ini kan..,” Arya melihat benda itu dengan penuh kebingungan. Arya sedikit banyak tahu tentang alat apa itu. Ada tanda dua garis merah yang jelas terpampang pada alat berwarna biru putih itu. 'Apa mungkin Nadhira... .' batin Arya bergemuruh.“Apa maksudnya ini Ma, Pa?” Arya menatap satu persatu orang tua
“Bagaimana kondisi anak saya dok?” tanya Mama Nur pada wanita cantik berjilbab di hadapannya yang sedang mengetik di depan komputer. Wanita itu tersenyum penuh pengertian dan menatap Mama Nur dengan lembut. “Alhamdulillah, janinnya berkembang di dalam rahim. pertumbuhannya bagus,” jelas dokter Kartika dengan lembut. “Untuk Dek Nadhira, pastikan makan tepat waktu yaa dan gizinya juga dijaga. Mungkin trimester pertama memang tidak nyaman saat makan karena ada rasa mual dan muntah, tapi usahakan tetap mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang yaa. Nanti saya resepkan vitamin tambahan juga,” tamabh dokter Kartika pada Nadhira. “Iya Dok,” jawab Nadhira singkat. Mama Nur hanya diam mendengarkan. “Boleh Saya bicara sebentar dengan Ibu, berdua saja?” tanya Dokter cantik itu pada Mama Nur. “Iya dok,” jawab Mama Nur. Nadhira paham dan pamit menunggu di luar. Di ruang tunggu Arya sedang duduk dengan gelisah. Ia berdiri saat melihat Nadhira keluar dari ruang periksa dokter. “Mama?” tanya A
“Oh iya, Arya. Mama minta tolong ambilkan obat dan vitamin di apotik yang ada di dalam yaa. ini resepnya.. Mama dan Nadhira akan tunggu di mobil,” Mama Nur menyerahkan resep dari dokter dan sejumlah uang. Lalu Mama Nur segera masuk ke dalam mobil. “Baik ma,” jawab Arya. Ia pergi setelah memastikan mamanya duduk dengan nyaman. Ia menyalakan mobil agar udara dalam mobil bisa lebih dingin dan segar. Keheningan memenuhi udara di dalam mobil. Hanya suara kipas pendingin yang terdengar. Nadhira tidak berani mengatakan apa pun untuk memulai pembicaraan. Ia terlalu merasa bersalah pada kedua orang tuanya dan juga kakak laki-lakinya. Ia telah mengkhianati kepercayaan yang diberikan keluarga padanya. Kini Nadhira tidak dapat mewujudkan impiannya menjadi seorang diplomat. Karena dia sendiri yang telah merusak jalan menuju impian besarnya itu. Nadhira memutuskan tidak akan lagi pergi ke sekolah. Dan seolah tahu apa yang dipikirkan oleh putrinya Mama Nur memulai pembicaraan. “Lahirkan anak it
Arya masih kesal dengan adiknya karena tidak mau memberitahu siapa ayah dari bayi yang sedang dikandungnya. Nadhira begitu rapat menyimpan nama laki-laki itu. Seandainya Arya bisa mengorek keterangan dari teman-teman Nadhira, ia akan dengan senang hati melakukannya. Namun hal itu tidak mungkin ia lakukan karena itu sama saja dengan membuka aib keluarganya. Kemarin malam sehari setelah terbongkarnya kehamilan Nadhira, Arya menyita handphone milik Nadhira. Ia berharap mendapatkan data tentang siapa sosok yang disembunyikan identitasnya oleh adiknya ini. Namun seolah tahu apa yang akan dilakukannya, tidak ada data apa pun yang didapatnya. Sepertinya Nadhira telah menghapus semua kontak dan foto-foto yang ada. Nadhira hanya bisa menangis saat semalam ia melihat kakaknya mengobrak abrik meja belajarnya dan mengeluarkan isi tas sekolahnya. Berharap menemukan sesuatu tentang Zaki. Malam setelah mama dan papanya mengetahui kebenaran yang amat pahit itu, Nadhira telah merelakan dan menghap
Pak Hamzah terlihat memasuki rumah dengan langkah pelan dan wajah lelah. Nadhira yang sedang duduk di sofa ruang tengah segera berdiri dan menyambut dan mencium punggung tangannya. Biasanya Pak Hamzah akan mengelus dan mencium puncak kepala putrinya. Namun kali ini beliau seolah tidak berkenan melakukannya. Mama Nur menghampiri suaminya dan mengulurkan segelas teh hangat. Pak Hamzah segera meminum teh yang dibawakan oleh istrinya itu. Wajah Mama Nur penuh kekhawatiran melihat suaminya yang biasanya penuh senyum dan semangat, malam itu terlihat amat pucat dan lelah. Nadhira yang menyaksikan semua itu memilih diam. Ia tahu semua kesulitan yang papanya alami hari itu adalah akibat dari ulahnya. “Papa, mau mandi atau mau makan dulu?” tanya Mama Nur lembut pada suaminya. “Mama sempat masak?” tanya balik Pak Hamzah. “Mama ndak masak, tadi siang mama beli lauk padang kesukaan papa. Mau makan sekarang?” “Nanti saja. Mana Arya Ma?” tanya Pak Hamzah mencari anak sulungnya. “Ada di kamar.
Di meja makan Pak Hamzah ditemani oleh istrinya sedang menyantap nasi dan gulai tunjang favoritnya. Arya sudah lebih dulu kembali ke kamarnya. Malam itu tidak seperti biasanya Pak Hamzah tidak menikmati hidangan yang disajikan. Ia hanya mengambil sedikit nasi dan kuah saja. Mama Nur yang melihat itu merasa sangat khawatir dengan suaminya. “Pa, lauknya kok nggak dimakan?” Mama Nur menyodorkan mangkuk lauk ke depan suaminya. “Iya ma, ini Papa makan kok,” Pak Hamzah mengambil sedikit lauk dan menambahkan ke dalam piringnya. “Anak-anak sudah pada makan, Ma?” tanya Pak Hamzah lagi. “Sudah tadi Arya juga makan nasi padang. Nadhira hanya makan sedikit karena sudah minum juz alpukat,” jawab Mama Nur. “Jus Alpukat?! Tumben. Bukannya Nadhira nggak suka alpukat,” Pak Hamzah heran.“Bawaan bayi mungkin pa,” jawab Mama Nur getir. “Ah, iya bisa jadi. Coba besok aku carikan alpukat saat ke rumah ibu,” Pak Hamzah menanggapi perkataan istrinya dengan sedikit senyum. “Papa mau sampaikan berita
Pagi itu Arya memastikan mobil sudah bersih dan siap digunakan perjalanan jauh. Di bagasi sudah terangkut satu sak besar beras, empat kardus minyak, lima kardus mi, dua plastik besar gula dan satu keranjang besar parsel buah beraneka macam. Serta tak lupa satu kardus besar makanan khas dari kotanya. Setelah menyiapkan mobil, Arya kembali ke dalam untuk bersiap. Dilihatnya Pak Hamzah baru keluar kamar diiringi Mama Nur yang membawa tas. “Pa, Arya mandi dulu. Papa bisa sarapan dulu sambil nunggu Arya,” kata Arya pada Pak Hamzah “Iya, tidak usah buru-buru,” jawab Pak Hamzah sambil berjalan menuju meja makan. Arya bergegas mandi dan mempersiapkan diri. Memakai celana jeans dan kaos putih dengan kemeja kotak sebagai luaran. Tak lupa ia juga menyambar jaket bombernya sebelum keluar kamar. Ia melewati kamar Nadhira dan membuka pintunya. Dilihatnya adiknya masih tidur dengan mata sembab. Ia tahu Nadhira menangis semalaman. Dielusnya kepala Nadhira kemudian ia pergi keluar dan turun menemu
Sekitar pukul setengah sebelas mobil mulai memasuki gerbang desa. Pak Hamzah terbangun merasakan hentakan mobil di jalan yang tidak rata. Jalan desanya masih berupa tatanan batu kali yang kecil-kecil. Kebanyakan penduduknya adalah petani dan peternak. Deretan sawah dan ladang masih berjajar rapi di pinggir jalan. Sapi dan kambing dibiarkan berkeliaran di ladang luas memakan rerumputan.Tidak lama mereka sampai di rumah paling ujung desa. Bangunan bergaya lama yang nampak sederhana namun bersih terawat. Rumah yang cukup besar itu bercat putih dengan jendela besar, dindingnya terbuat dari bata merah. Ada buk atau tempat duduk yang menjadi batas teras rumah dan halaman. Ada Dua tiang dari besi yang menyangga plafon teras di masing-masing ujungnya.Pakde Agus tergopoh-gopoh keluar menyambut mereka.“Buuu, ini Hamzah datang!” Pakde Agus berteriak memanggil ibunya.Dari dalam seorang wanita tua berkulit putih keluar dengan seuntai senyum teduhnya. Bu Murti yang masih mengenakan mukena berja
Sorot mata yang penuh amarah Ana tujukan pada Nadhira."Ngapain kak Nad Nangis? Nyesel udah nikah sama ayahku dan tinggal di kampung seperti ini?" "Ana, kamu sudah pulang? Maaf aku nggak denger," ujar Nadhira sambil mengusap pipinya yang basah."Ngapain Kak Nad nangis?! Harusnya yang nangis itu aku sama Ani! Kak Nad sudah ngrebut ayah dan ibuk dari kami! Aku benci sama Kak Nad!" Teriak Ana."Maaf, Ana. Aku nggak bermaksud untuk merebut siapa pun dari kamu dan Ani. Ayah kamu cuman bantuin kak Nad," Nadhira mendekati Ana. Ana melangkah mundur menjaga jarak jari Nadhira. Matanya sudah merah menahan tangis dan amarah."Ini rumah Aku! Dan itu kamar Ibuk sama ayah!" Tunjuk Ana pada kamar yang tadi malam ditempati Nadhira."Iya, aku tahu. Maaf. Kalau kamu nggak suka kak Nad tidur di kamar itu, kak Nad akan tidur di ruangan lain," Nadhira menanggapi dengan tenang meski batinnya amat terluka."Kak Nad jahat, tahu nggak? Aku nggak suka ayah nikah lagi. Aku nggak mau ibu baru!" Mata Ana berkac
"Ya..," jawab Nadhira pelan. Pandangan Nadhira seperti berkabut. Ia tidak bisa melepas pandangannya pada Zaki. Ia tidak ingin Zaki berhenti menyentuhnya. Tangannya membelai lembut pipi dan leher Zaki.Aroma keringat bercampur parfum yang dipakai Zaki membuat Nadhira memejamkan matanya. Wangi aroma lembut shampoo yang dipakai Nadhira menyelusup ke hidungnya dan mulai menggoda Zaki. Mata Nadhira terpejam. Zaki perlahan mengecup lembut bibir merah muda Nadhira.Mendapatkan lampu hijau dari Nadhira, Zaki perlahan memulai aksinya. Diberikannya kecupan-kecupan lembut di bibir, pipi dan kening Nadhira. Jemarinya lembut membelai anak-anak rambut Nadhira. Perlahan turun menyentuh telinga dan lehernya.Kecupan manis Zaki masih berlanjut. Keduanya saling berpagut lembut. Jemari Zaki terulur ke belakang kepala Nadhira. Usapan lembut jemarinya berpadu dengan hangatnya kecupannya membuat Nadhira tanpa sadar melenguh nikmat. Nadhira begitu menikmati sentuhan Zaki.Kini tak hanya bibir Nadhira yang d
“Zaki, kamu merokok?” Nadhira menoleh ke arah Zaki dan menunjukkan sebungkus rokok yang hampir penuh.“Ah, kadang aja.. kalau lagi nulis lagu,” jawab Zaki sekenanya.“Sejak kapan?” tanya Nadhira masih sambil membolak balik rokok itu.“Hmm.. Sejak ngeband kayaknya,” tak acuh Zaki menjawab pertanyaan Nadhira.“Trus ini ?” desak Nadhira“itu bukan rokok aku. Punya anak-anak ketinggalan waktu main ke sini,” jawab Zaki sambil nyengir.“Aku nggak pernah tahu kamu suka ngerokok. Hmm.. baiknya sih dikurangin. Lebih baik lagi kalau berhenti. Kamu kan masih muda, masa depan masih panjang, jangan dirusak dengan barang kayak gini,” panjang lebar Nadhira mengomel“ahaha.. iya bu guru..” geli Zaki menimpali omelan Nadhira sambil tertawa.“Kamu ini kalau dibilangin yaa..” Nadhira berbalik kembali melihat-lihat koleksi yang ada di meja belajar Zaki.“Emang ngerokok enak?” penasaran Nadhira melemparkan pertanyaan itu. Ia tidak pernah tahu alasan kenapa orang suka banget ngerokok. Padahal Nadhira ngise
Subuh itu, Nadhira menyadari bahwa keberadaan dirinya di rumah itu ditentang keras oleh Ana dan Ani. Sejak kemarin Hanif memang tidak menceritakan apa pun padanya. Termasuk fakta bahwa Ana dan Ani menolak pernikahan Hanif dan Nadhira.Hanif mendapati Nadhira duduk di tempat tidur masih dengan menggunakan mukena. Mushaf kecil tergeletak begitu saja di sampingnya. Wajah Nadhira kentara habis menangis.“Ada apa, Nad?” tanya Hanif hati-hati.“Lik, Nad harus kemana kalau di sini pun ditolak? Nad sekarang nggak punya apa-apa,” keluh Nadhira.“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Hanif sambil duduk di hadapan istrinya.“Aku kayak nggak punya siapa-siapa lagi, Lik. Lik tahu sendiri Mama dan Kak Arya sudah tidak mau berhubungan lagi denganku. Sedangkan di sini pun begitu. Lantas aku harus pergi kemana?”Hanif menghela napas berat. Dia baru sadar bahwa Nadhira telah mendengar pembicaraannya dengan Ana barusan.“Kan kemarin sudah kita bicarakan baik-baik. Kenapa sekarang jadi ngomongin ini lagi?”H
“Kalau kamu belum nyaman satu kamar dengan aku. Ngak apa-apa biar Mas tidur di kamar lain, atau di ruang tamu,” kata Hanif yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Nadhira, mengagetkannya.“Nggak, Mas. Kalau ada yang harus tidur di luar ya aku. Kan ini rumahnya Mas. Jadi nggak apa kalauaku tidur di ruang tamu atau depan tv,” tolak Nadhira.“Hmm. Sekarang ini kamu bukan orang lain lagi di sini Nad. Ini rumah kamu juga. Kan kamu istrinya mas. Jadi kamar ini juga jadi kamar kamu. Tapi ya kalau kamu nggak keberatan alangkah baiknya kalau kita tidur bersama.Nadhira menatap ngeri ke arah Hanif“Nggak. Bukan tidur bersama itu. Maksud aku tidur bersama di kamar ini. Tidur dalam artian yang sebenarnya. Mas janji nggak akan memaksa kamu untuk melayani Mas. Kamu tenang aja,” hanif jadi salah tingkah.“Maaf Lik. Aku rasa aku belum bisa melayani lik sebagaimana layaknya istri melayani suami. Aku harap lik bersabar tentang itu.“Iya, insyaallah sabar. Tapi jangan panggil Lik lagi dong. Kan tadi u
“Iya, anak kita. Janin dalam kandunganmu itu anak kita. Kan kita sudah menikah. Meski kita belum punya buku nikah. Nanti secepatnya aku urus. Mas ingin kamu tenang, karena kita nikah sah secara agama dan negara,” kata Hanif dengan tersenyum.“Lik, apa Lik sudah yakin mau terima anak ini?” ragu Nadhira.“Kok masih ‘Lik’ manggilnya. Waktu itu kan sudah sepakat mau manggil ‘Mas’,” Hanif mengalihkan pembicaraan.“Eh, iya Lik, eh, Mas.” Nadhira tersenyum.“Nah gitu dong, kan jadi cantik istrinya Mas. Mau makan dulu sebelum pulang?” tanya Hanif sambi tersenyum.“Mas, jawab dulu pertanyaanku tadi,” cegah Nadhir saat Hanif akan beranjak dari duduknya.“Nad, Mas sudah janji sama papa kamu bahwa Mas akan jaga kamu dan anak dalam kandungan kamu. Kamu sudah Mas nikahi di depan papa, Mama dan keluarga besar kita. Jadi tentu saja, anak itu akan jadi anak kita. Yuk sekarang kita makan dulu,”Ada perasaan lega bercampur gelisah di dalam hati Nadhira. Namun untuk saat ini ia memilih untuk percaya dan
Nadhira dan Hanif meninggalkan rumah dan berjalan menuju jalan besar. Beberapa tetangga menyapa mereka, tapi Nadhira memilih menghindar. Di jalan besar Hanif menghentikan taksi yang lewan dan meminta diantar ke terminal kota.Perjalanan yang lumayan panjang hari itu Hanif jalani. Lelah perjalanan berangkat belum juga hilang. Namun dia harus melakukan perjalanan kembali bersama Nadhira. Di dalam taksi itu Nadhira hanya termenung menatap ke luar jendela.“Nad, nanti di terminal mampir mushola dulu ya, Mas belum sempat sholat dhuhur tadi,” pelan Hanif mengajak bicara Nadhira.Nadhira menengok ke arah Hanif.‘Mas? Ah, iya Lik Hanif saat ini adalah suamiku. Sudah sewajarnya aku memanggilnya Mas,’ batin Nadhira.“Iya. Maaf yaa, Lik.. eh, Mas. Tadi belum sempat istirahat malah langsung pergi lagi,” kata Nadhira.“Nggak apa-apa, nanti istirahatnya bisa di rumah. Kamu juga belum makan kan? Mau mampir dulu ke rumah makan kah?” tanya Hanif.“Makan di terminal aja nggak apa, Li.. eh, Mas,” jawab
“NADHIRA! Masih berani kamu berteriak pada Mama setelah semua yang kamu perbuat?! Apa kamu sadar keluarga kita ini hancur gara-gara kamu!” Arya dengan mata merah ikut menyalahkan Nadhira atas kehilangan yang mereka rasakan.“Kak, Nadhira tidak mau ikut Lik Hanif. Lebih baik Nadhira di sini saja. Nadhira malu, Kak,” jawab Nadhira dengan air mata yang masih mengair deras. Ditatapnya kakaknya dengan wajah memelas.“Kenapa baru sekarang malunya?! Saat kamu berbuat apa tidak terpikirkan akibatnya akan seperti ini, hah?!” dipegangnya tangan adiknya dengan kasar dan dihempaskannya.“Sakit, kak,” pekik Nadhira sambil memegang tangannya yang sakit.“Udahlah Nad, lebih baik kamu naik aja sekarang. Bereskan barang-barang kamu. Sebentar lagi Lik Hanif datang buat jemput kamu.” Arya mengakhiri pembicaraan meski masih dengan muka masam.Kesal, Nadhira segera beranjak dari duduknya dan pergi dari hadapan mama dan kakaknya yang masih tidak sudi melihat wajahnya.BRAAKKKDalam keadaan marah Nadhira me
“Kenapa kata-kata Mbak Halimah seolah menyudutkan Hanif dan Nadhira?” tuding Nur, kalap.“Sabar, Nur. Bukan begitu maksudku,” Halimah merasa kelabakan karena kedapatan mnggunjingkan Nadhira dan Hanif.“Mbak, nggak perlu membuat asumsi-asumsi yang menyudutkan seperti itu. kalau mbak penasaran, kan bisa tanya langsung sama saya. Kenapa harus bergunjing seperti ini?” keluh Nur.Halimah menggandeng lengan Nur ke arah dalam, karena merasa tidak enak dengan para pekerja Nur yang sedang menyiapkan makanan di dapur.“Maaf, Nur. Aku tidak bermaksud bergunjing. Kami juga mau mengatakan hal itu pada Ibu, tapi ibu masih belum selesai mengaji. Apa kam tahu, Hanif tadi malam ke kamar Nadhira? Apa kamu tidak curiga anak kamu diapa-apakan sama Hanif?”“Mbak, jangan menuduh yang bukan-bukan. Hanif itu laki-laki baik. Saya dan mas Hamzah punya hutang budi yang besar pada Hanif,” raut tidak suka tampak jelas di wajah Nur.“Apa maksud kamu Nur? kenapa kamu jadi punya hutang budi sama Hanif?” tanya Halima