Terima kasih untuk Pembaca yang sudah sampai di bab ini. Ini karya pertama Bu Dhe. Mohon disub, dibintang5, dikomen, dan dishare yaa^^v. Dukungan kalian akan sangat berarti buat Bu Dhe agar dapat up cerita ini secara berkala. Terima kasih<3
Sekitar pukul setengah sebelas mobil mulai memasuki gerbang desa. Pak Hamzah terbangun merasakan hentakan mobil di jalan yang tidak rata. Jalan desanya masih berupa tatanan batu kali yang kecil-kecil. Kebanyakan penduduknya adalah petani dan peternak. Deretan sawah dan ladang masih berjajar rapi di pinggir jalan. Sapi dan kambing dibiarkan berkeliaran di ladang luas memakan rerumputan.Tidak lama mereka sampai di rumah paling ujung desa. Bangunan bergaya lama yang nampak sederhana namun bersih terawat. Rumah yang cukup besar itu bercat putih dengan jendela besar, dindingnya terbuat dari bata merah. Ada buk atau tempat duduk yang menjadi batas teras rumah dan halaman. Ada Dua tiang dari besi yang menyangga plafon teras di masing-masing ujungnya.Pakde Agus tergopoh-gopoh keluar menyambut mereka.“Buuu, ini Hamzah datang!” Pakde Agus berteriak memanggil ibunya.Dari dalam seorang wanita tua berkulit putih keluar dengan seuntai senyum teduhnya. Bu Murti yang masih mengenakan mukena berja
Pak Hamzah berlutut dan bersimpuh di hadapan ibunya. Keningnya menyentuh lutut wanita tua itu. Dan tangannya merangkul kaki ibunya. Bu Murti terkejut dengan apa yang dilakukan anaknya. Pak Hamzah menangis tergugu di depan ibunya sambil terus meminta maaf.“Hamzah, ini ada apa tho, Le?”Bu Murti tak kuasa mengangkat anaknya Hamzah agar kembali duduk di sampingnya. Namun apalah daya wanita tua hanya bisa mengelus-elus kepala anaknya Hamzah.“Iya Hamzah. Ibu memaafkan semua kesalahan anak-anak ibu bahkan sebelum kalian meminta maaf,” kata Bu Murti sambil terus mengusap kepala anaknya.Pak Hamzah masih menangis seolah belum lega mengeluarkan beban perasaannya.“Maafkan Hamzah Bu, Maafkan Nur, Maafkan Arya juga Nadhira yaa, Bu. Mohon maafkan keluarga kami, Bu,” tangis Pak Hamzah kembali pecah.Bu Murti merasakan kepiluan yang dalam dari suara tangis anaknya. Tak pernah sekalipun Pak Hamzah menangis seperti ini. Bahkan saat Bapaknya meninggal, Hamzah yang paling tegar di antara semua anakny
Siang itu Pak Hamzah berbaring di kamar miliknya dulu. Dulu kamar ini ia tinggali bersama dengan adiknya, Amin. Kini kamar ini hanya dibiarkan kosong, tapi tetap dirawat baik oleh ibunya. Saat keluarga Pak Hamzah datang berkunjung kamar inilah yang akan dipakai istirahat istri dan anaknya.Pak Hamzah belum sempat meminta izin pada ibunya agar Nadhira dibolehkan untuk tinggal di sini sampai melahirkan nanti. Mungkin dengan berada di desa ini Nadhira bisa banyak merenung akan kesalahan yang sudah ia perbuat.Untuk anak Nadhira ia belum tahu akan diapakan nantinya. Mama Nur sudah menyanggupi untuk memasukkan anak tesebut ke dalam kartu keluarga sebagai anak Pak Hamzah dan istrinya. Karena bagaimana pun juga anak itu adalah cucunya.Mama NUr sendiri tidak tega jika harus meninggalkan anak itu pada orang lain, atau diserahkan ke panti asuhan. Pak Hamzah sendiri lebih ingin mencarikan suami untuk Nadhira. Ia tida
Mendiang ayah Pak Hamzah adalah orang yang cukup disegani, meski hanya marbot mushola. Ia mengajar ngaji anak-anak di desa ini tanpa imbalan apa pun. Almarhum juga mengajar di pondok pesantren yang ada pinggiran kota juga tanpa dibayar. Untuk menyekolahkan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan sehari-hari pekerjaan apa pun beliau lakukan, dari ngarit sampai menjadi buruh pabrik.Begitu juga dengan Bu Murti, beliau adalah salah satu warga yang disegani di kampung ini. Namun kini ada persoalan yang harus di selesaikan Bu Murti. Cucunya Nadhira hamil di luar nikah. Sebuah aib untuk keluarga besar yang terkenal alim di desa ini. Jika suaminya masih hidup tentulah Hamzah sudah habis dipukuli oleh bapaknya.Karena Almarhum sebagai guru ngaji tentunya memegang prinsip agama yang sangat kuat. Bu Murti tak habis pikir dengan model pergaulan anak muda jaman sekarang yang sangat bebas tak terkendali.Ia melihat sendiri anak-anak di d
“Saya mas?” bersamaan dengan Pak Hamzah, Hanif juga terkejut atas ide kakak iparnya itu.“Iya kamu Nif. Kamu nggak ada hubungan darah sama Nadhira. Jadi kamu bisa nikahin dia meskipun kamu pernah nikah sama adekku,” Pakde Agus memperbaiki duduknya dan dengan semangat memberi alasan pada Hanif.Bu Murti hanya menyimak apa yang dibicarakan anak-anak dan menantunya. Arya sendiri juga masih tidak percaya akan apa yang didengarnya. Nadhira dan Ana juga Ani, anak Hanif, adalah sepupu. Jika Nadhira dan Hanif menikah Nadhira akan menjadi ibu sambung mereka. Apa mereka akan menerimanya.Hanif hanya terdiam. Ia sudah menjadi duda selama lima tahun. Sampai detik itu ia sendiri belum terpikirkan untuk menikah lagi. Ia bisa merawat putri-putrinya meski harus dbantu oleh ibu mertuanya.Sebenarnya Bu Murti sudah mengijinkan jika Hanif mau kembali ke kampung halamannya dan menikah lagi dengan
Esok harinya Pak Hamzah dan Arya pamit pulang kembali ke kota. Pak Hamzah pamit kepada ibunya dan mengucapkan maaf berulang kali atas persoalan yang dibawanya pulang. Tak lupa ia menyerahkan amplop coklat yang berisi uang kepada ibunya. “Ini apa, Hamzah, kok banyak sekali. Ibu tidak kekurangan uang, Nak. Hasil selepan sudah cukup untuk makan sehari-hari,” tolak Bu Murti halus. Pasalnya uang yang diterimanya ini dua ikat uang lembaran biru masing-masing bernilai lima juta. “Maafkan Hamzah, Bu, yang belum bisa menjadi anak yang berbakti. Di usia yang sekarang ini Hamzah masih merepotkan ibu dengan permasalahan keluarga. Hamzah benar-benar minta maaf, Bu.” Pak Hamzah bersimpuh di sebelah dipan Bu Murti. Bu Murti yang masih belum pulih hanya bisa duduk bersandar di atas kasur. “Semoga Allaah berikan kemudahan pada keluarga kamu, keluarga kita, dalam me
Sudah dua hari ini Nadhira hanya berada di kamar. Ia tidak keluar kamar kecuali untuk makan atau ke kamar mandi. Sejak kemarin pagi Papa dan kakaknya belum kembali dari rumah Mbah Utinya di desa hingga hari ini.Rupanya Papa dan kakaknya menginap satu malam di sana. Nadhira hanya berbaring di kasur menghabiskan harinya. Tidak banyak yang bisa dilakukan di dalam kamar karena gawainya sudah disita.Sesekali Nadhira membuka-buka buku bersampul pink yang ia terima saat pemeriksaan ke klinik kandungan beberapa hari lalu. Pandangannya selalu berakhir pada foto usg rahimnya. Masih terngiang di telinganya suara detak jantung janin yang dikandungnya.Ia menahan tangis kala itu. Buah cintanya dengan Zaki yang sempat terpikir akan ia gugurkan. Tiba-tiba ia merindukan Zaki. jika sudah seperti ini Nadhira hanya bisa menangis.Jika papa dan mamanya memutuskan untuk pindah dari tempat ini, bagaimana n
Selepas isya keluarga Pak Hamzah berkumpul di ruang tengah setelah makan malam. Meski sudah berkumpul selama beberapa waktu, tapi tidak ada yang memulai pembicaraan. Semuanya larut dalam pikiran masing-masing. Mama Nur yang duduk di sebelah Pak Hamzah sudah terlihat tenang. Arya duduk di sofa sebelah Pak Hamzah dan Nadhira di seberangnya.“Mama sudah tenang sekarang?” tanya Pak Hamzah memecah kesunyian.“Iya, Pa,” jawab Mama Nur pendek.“Nadhira sudah enakan badannya?” tanya Pak Hamzah sambil melihat ke arah anaknya.“Sudah pa, Nad sudah nggak apa-apa,” jawab Nadhira sambil menunduk.“Alhamdulillah. Arya masih capek habis nyetir tadi?” pandangan Pak Hamzah beralih ke putranya.“Nggak pa, Arya nggak apa-apa,” jawab Arya sambil tersenyum.“Mbah titip
Sorot mata yang penuh amarah Ana tujukan pada Nadhira."Ngapain kak Nad Nangis? Nyesel udah nikah sama ayahku dan tinggal di kampung seperti ini?" "Ana, kamu sudah pulang? Maaf aku nggak denger," ujar Nadhira sambil mengusap pipinya yang basah."Ngapain Kak Nad nangis?! Harusnya yang nangis itu aku sama Ani! Kak Nad sudah ngrebut ayah dan ibuk dari kami! Aku benci sama Kak Nad!" Teriak Ana."Maaf, Ana. Aku nggak bermaksud untuk merebut siapa pun dari kamu dan Ani. Ayah kamu cuman bantuin kak Nad," Nadhira mendekati Ana. Ana melangkah mundur menjaga jarak jari Nadhira. Matanya sudah merah menahan tangis dan amarah."Ini rumah Aku! Dan itu kamar Ibuk sama ayah!" Tunjuk Ana pada kamar yang tadi malam ditempati Nadhira."Iya, aku tahu. Maaf. Kalau kamu nggak suka kak Nad tidur di kamar itu, kak Nad akan tidur di ruangan lain," Nadhira menanggapi dengan tenang meski batinnya amat terluka."Kak Nad jahat, tahu nggak? Aku nggak suka ayah nikah lagi. Aku nggak mau ibu baru!" Mata Ana berkac
"Ya..," jawab Nadhira pelan. Pandangan Nadhira seperti berkabut. Ia tidak bisa melepas pandangannya pada Zaki. Ia tidak ingin Zaki berhenti menyentuhnya. Tangannya membelai lembut pipi dan leher Zaki.Aroma keringat bercampur parfum yang dipakai Zaki membuat Nadhira memejamkan matanya. Wangi aroma lembut shampoo yang dipakai Nadhira menyelusup ke hidungnya dan mulai menggoda Zaki. Mata Nadhira terpejam. Zaki perlahan mengecup lembut bibir merah muda Nadhira.Mendapatkan lampu hijau dari Nadhira, Zaki perlahan memulai aksinya. Diberikannya kecupan-kecupan lembut di bibir, pipi dan kening Nadhira. Jemarinya lembut membelai anak-anak rambut Nadhira. Perlahan turun menyentuh telinga dan lehernya.Kecupan manis Zaki masih berlanjut. Keduanya saling berpagut lembut. Jemari Zaki terulur ke belakang kepala Nadhira. Usapan lembut jemarinya berpadu dengan hangatnya kecupannya membuat Nadhira tanpa sadar melenguh nikmat. Nadhira begitu menikmati sentuhan Zaki.Kini tak hanya bibir Nadhira yang d
“Zaki, kamu merokok?” Nadhira menoleh ke arah Zaki dan menunjukkan sebungkus rokok yang hampir penuh.“Ah, kadang aja.. kalau lagi nulis lagu,” jawab Zaki sekenanya.“Sejak kapan?” tanya Nadhira masih sambil membolak balik rokok itu.“Hmm.. Sejak ngeband kayaknya,” tak acuh Zaki menjawab pertanyaan Nadhira.“Trus ini ?” desak Nadhira“itu bukan rokok aku. Punya anak-anak ketinggalan waktu main ke sini,” jawab Zaki sambil nyengir.“Aku nggak pernah tahu kamu suka ngerokok. Hmm.. baiknya sih dikurangin. Lebih baik lagi kalau berhenti. Kamu kan masih muda, masa depan masih panjang, jangan dirusak dengan barang kayak gini,” panjang lebar Nadhira mengomel“ahaha.. iya bu guru..” geli Zaki menimpali omelan Nadhira sambil tertawa.“Kamu ini kalau dibilangin yaa..” Nadhira berbalik kembali melihat-lihat koleksi yang ada di meja belajar Zaki.“Emang ngerokok enak?” penasaran Nadhira melemparkan pertanyaan itu. Ia tidak pernah tahu alasan kenapa orang suka banget ngerokok. Padahal Nadhira ngise
Subuh itu, Nadhira menyadari bahwa keberadaan dirinya di rumah itu ditentang keras oleh Ana dan Ani. Sejak kemarin Hanif memang tidak menceritakan apa pun padanya. Termasuk fakta bahwa Ana dan Ani menolak pernikahan Hanif dan Nadhira.Hanif mendapati Nadhira duduk di tempat tidur masih dengan menggunakan mukena. Mushaf kecil tergeletak begitu saja di sampingnya. Wajah Nadhira kentara habis menangis.“Ada apa, Nad?” tanya Hanif hati-hati.“Lik, Nad harus kemana kalau di sini pun ditolak? Nad sekarang nggak punya apa-apa,” keluh Nadhira.“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Hanif sambil duduk di hadapan istrinya.“Aku kayak nggak punya siapa-siapa lagi, Lik. Lik tahu sendiri Mama dan Kak Arya sudah tidak mau berhubungan lagi denganku. Sedangkan di sini pun begitu. Lantas aku harus pergi kemana?”Hanif menghela napas berat. Dia baru sadar bahwa Nadhira telah mendengar pembicaraannya dengan Ana barusan.“Kan kemarin sudah kita bicarakan baik-baik. Kenapa sekarang jadi ngomongin ini lagi?”H
“Kalau kamu belum nyaman satu kamar dengan aku. Ngak apa-apa biar Mas tidur di kamar lain, atau di ruang tamu,” kata Hanif yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Nadhira, mengagetkannya.“Nggak, Mas. Kalau ada yang harus tidur di luar ya aku. Kan ini rumahnya Mas. Jadi nggak apa kalauaku tidur di ruang tamu atau depan tv,” tolak Nadhira.“Hmm. Sekarang ini kamu bukan orang lain lagi di sini Nad. Ini rumah kamu juga. Kan kamu istrinya mas. Jadi kamar ini juga jadi kamar kamu. Tapi ya kalau kamu nggak keberatan alangkah baiknya kalau kita tidur bersama.Nadhira menatap ngeri ke arah Hanif“Nggak. Bukan tidur bersama itu. Maksud aku tidur bersama di kamar ini. Tidur dalam artian yang sebenarnya. Mas janji nggak akan memaksa kamu untuk melayani Mas. Kamu tenang aja,” hanif jadi salah tingkah.“Maaf Lik. Aku rasa aku belum bisa melayani lik sebagaimana layaknya istri melayani suami. Aku harap lik bersabar tentang itu.“Iya, insyaallah sabar. Tapi jangan panggil Lik lagi dong. Kan tadi u
“Iya, anak kita. Janin dalam kandunganmu itu anak kita. Kan kita sudah menikah. Meski kita belum punya buku nikah. Nanti secepatnya aku urus. Mas ingin kamu tenang, karena kita nikah sah secara agama dan negara,” kata Hanif dengan tersenyum.“Lik, apa Lik sudah yakin mau terima anak ini?” ragu Nadhira.“Kok masih ‘Lik’ manggilnya. Waktu itu kan sudah sepakat mau manggil ‘Mas’,” Hanif mengalihkan pembicaraan.“Eh, iya Lik, eh, Mas.” Nadhira tersenyum.“Nah gitu dong, kan jadi cantik istrinya Mas. Mau makan dulu sebelum pulang?” tanya Hanif sambi tersenyum.“Mas, jawab dulu pertanyaanku tadi,” cegah Nadhir saat Hanif akan beranjak dari duduknya.“Nad, Mas sudah janji sama papa kamu bahwa Mas akan jaga kamu dan anak dalam kandungan kamu. Kamu sudah Mas nikahi di depan papa, Mama dan keluarga besar kita. Jadi tentu saja, anak itu akan jadi anak kita. Yuk sekarang kita makan dulu,”Ada perasaan lega bercampur gelisah di dalam hati Nadhira. Namun untuk saat ini ia memilih untuk percaya dan
Nadhira dan Hanif meninggalkan rumah dan berjalan menuju jalan besar. Beberapa tetangga menyapa mereka, tapi Nadhira memilih menghindar. Di jalan besar Hanif menghentikan taksi yang lewan dan meminta diantar ke terminal kota.Perjalanan yang lumayan panjang hari itu Hanif jalani. Lelah perjalanan berangkat belum juga hilang. Namun dia harus melakukan perjalanan kembali bersama Nadhira. Di dalam taksi itu Nadhira hanya termenung menatap ke luar jendela.“Nad, nanti di terminal mampir mushola dulu ya, Mas belum sempat sholat dhuhur tadi,” pelan Hanif mengajak bicara Nadhira.Nadhira menengok ke arah Hanif.‘Mas? Ah, iya Lik Hanif saat ini adalah suamiku. Sudah sewajarnya aku memanggilnya Mas,’ batin Nadhira.“Iya. Maaf yaa, Lik.. eh, Mas. Tadi belum sempat istirahat malah langsung pergi lagi,” kata Nadhira.“Nggak apa-apa, nanti istirahatnya bisa di rumah. Kamu juga belum makan kan? Mau mampir dulu ke rumah makan kah?” tanya Hanif.“Makan di terminal aja nggak apa, Li.. eh, Mas,” jawab
“NADHIRA! Masih berani kamu berteriak pada Mama setelah semua yang kamu perbuat?! Apa kamu sadar keluarga kita ini hancur gara-gara kamu!” Arya dengan mata merah ikut menyalahkan Nadhira atas kehilangan yang mereka rasakan.“Kak, Nadhira tidak mau ikut Lik Hanif. Lebih baik Nadhira di sini saja. Nadhira malu, Kak,” jawab Nadhira dengan air mata yang masih mengair deras. Ditatapnya kakaknya dengan wajah memelas.“Kenapa baru sekarang malunya?! Saat kamu berbuat apa tidak terpikirkan akibatnya akan seperti ini, hah?!” dipegangnya tangan adiknya dengan kasar dan dihempaskannya.“Sakit, kak,” pekik Nadhira sambil memegang tangannya yang sakit.“Udahlah Nad, lebih baik kamu naik aja sekarang. Bereskan barang-barang kamu. Sebentar lagi Lik Hanif datang buat jemput kamu.” Arya mengakhiri pembicaraan meski masih dengan muka masam.Kesal, Nadhira segera beranjak dari duduknya dan pergi dari hadapan mama dan kakaknya yang masih tidak sudi melihat wajahnya.BRAAKKKDalam keadaan marah Nadhira me
“Kenapa kata-kata Mbak Halimah seolah menyudutkan Hanif dan Nadhira?” tuding Nur, kalap.“Sabar, Nur. Bukan begitu maksudku,” Halimah merasa kelabakan karena kedapatan mnggunjingkan Nadhira dan Hanif.“Mbak, nggak perlu membuat asumsi-asumsi yang menyudutkan seperti itu. kalau mbak penasaran, kan bisa tanya langsung sama saya. Kenapa harus bergunjing seperti ini?” keluh Nur.Halimah menggandeng lengan Nur ke arah dalam, karena merasa tidak enak dengan para pekerja Nur yang sedang menyiapkan makanan di dapur.“Maaf, Nur. Aku tidak bermaksud bergunjing. Kami juga mau mengatakan hal itu pada Ibu, tapi ibu masih belum selesai mengaji. Apa kam tahu, Hanif tadi malam ke kamar Nadhira? Apa kamu tidak curiga anak kamu diapa-apakan sama Hanif?”“Mbak, jangan menuduh yang bukan-bukan. Hanif itu laki-laki baik. Saya dan mas Hamzah punya hutang budi yang besar pada Hanif,” raut tidak suka tampak jelas di wajah Nur.“Apa maksud kamu Nur? kenapa kamu jadi punya hutang budi sama Hanif?” tanya Halima