Dua sinar yang melesat menuju ke tubuh Akshita berhasil dihadang oleh Jagat. Pertemuan dua jurus tingkat tinggi menghasilkan ledakan yang dahsyat hingga menciptakan cekungan pada tanah. Jagat menunggu dua sosok yang memiliki aura gelap dam pekat. Pemuda itu yakin jika mereka adalah kawanan Guptapraja. Apa yang ditunggu pun akhirnya muncul seiring hilangnya debu yang beterbangan akibat pertemuan dua jurus tadi. "Haha, akhirnya kau temukan dia juga, Gupta. Bagus!" ujar pria berambut ikal panjang. "Benar, Kakang. Tidak sia-sia aku menunggu mereka di pintu gerbang desa," balas Guptapraja. "Bagus, makin cepat jumpa makin cepat mati!" geram pria itu. Akshita seketika terhenyak kaget melihat kemunculan dua pendekar lainnya yang sudah berdiri di samping Guptapraja. Bibir wanita muda itu bergetar, perlahan dan lirih lesannya mulai bersuara, "Gritapraja dan Ganendra, kalian ...?"Haha! Tawa menggelegar membahana hingga terdengar menyakitkan di telinga Akshita membuat wanita itu menutup ke
Tanpa banyak bicara Guptapraja menyerang langsung ke arah vital Jagat. Pemuda itu masih terlihat santai bahkan terbilang ogah-ogahan dalam menghadapi ketiga pendekar. Saat seberkas sinar melesat menuju ke jantungnya, seketika itu juga telapak tangan Jagat membuka mengeluarkan kujangnya. Kujang pun segera menangkis lajunya sinar tersebut. Pertemuan dua senjata beda jenis membawa dampak ledakan dahsyat hingga menyebabkan tanah sekitarnya bergetar dan terdapat retakan. Akan tetapi, Jagat terlihat begitu santai. Pemuda itu hanya mengerakkan telapak tangannya berputar seakan sedang menggenggam gagang kujang tersebut. "Kembali!" perintah Jagat pada kujangnya yang terbang ke udara usai menangkis sinar merah dari pukulan Griptapraja. Apa yang dilakukan Jagat membuat Gritapraja kesal. Pemuda yang dianggapnya remeh dengan tenaga dalam tingkat lima justru memegang senjata kuno kujang bermata sembilan. "Apa dia yang berjuluk Pendekar Jagat Kelana? Bagaimana pria ayu dan lembek bisa mendapatka
Breet SlashDengan kecepatan tinggi kujang meluncur mengarah pada punggung Ganendra. Suara kain sobek dan benda menggores pun terdengar begitu memilukan. Belum ditambah jerit kesakitan yang lolos dari bibir pria tersebut. Akibat serangan Jagat tubuh Akshita terbebas dari kungkungan Ganendra dan merosot ke bawah. Terlihat begitu memilukan kondisi wanita cantik alami. Namun, berbeda dengan Jagat. Sesaat setelah dia melempar kujangnya, sebuah tombak menancap cukup dalam pada punggungnya. Serangan yang berimbang, Genendra terluka akibat goresan kujang hingga menghasilkan luka yang panjang dan dalam. Tubuh pria tersebut seketika mengejang dengan semburan darah segar dari mulutnya. "Kau, Bangsat!" umpat Ganendra setelah menyemburkan darah. "Tenang, Kang. Aku sudah membalaskan luka mu itu!" ujar Griyaprajan. Ganendra berusaha untuk bangkit dan berjalan mengikis jaraknya dengan Jagat. Lalu tatapannya nyalang dan mulai merapal mantra untuk bangkitkan jurus terbaiknya. Tanpa pikir panjang
Akshita tidak memedulikan ketiga pendekar lawan dari Jagat. Dia hanya peduli pada tubuh lelaki tersebut yang tergeletak diam. Jemari lentik membelai dada Jagat dengan lembut. Sesekali terdengar desah napas panjang. Akshita masih sibuk membelai dada pria yang mulai menggetarkan jantungnya, dia pun juga tidak mengerti mengapa dengan pria itu jantungnya lebih cepat jarak detaknya sedangkan dengan yang lain terasa dingin. Akshita juga tersenyum kala memindai keseluruhan tubuh pemuda ayu tersebut. Secara usia, Jagat jauh lebih muda darinya meskipun darahnya masih perawan. Akshita sendiri merasa heran, pergolakan darahnya selalu membuncah setiap menatap paras ayu milik Jagat. "Siapa sebenarnya jati dirimu hingga para lelembut merubah diri untuk dapatkan cintamu, Tuan? Begitu pula denganku, cukup lama aku bertahan hingga detik ini melindungi mahkota rohku hanya untukmu," papar Akshita. Dengan sedikit bersusah payah akhirnya tubuh Jagat bisa ditarik Akshita ke bawah pohon yang cukup besa
"Bagaimana efek dalam tubuhmu, Tuan?" Akshita tidak menjawab tanya Jagat, dia justru melontarkan pertanyaan. Jagat menghela napas panjang, dia kembali diam untuk melanjutkan makan. Lelaki itu tidak ingin bertanya lagi dan membuka suara. Sikap Jagat ini makin membuat Akshita serba salah. Menurut ilmu yang dia pelajari selama ini harusnya daun yang dihidangkan bisa membawa dampak positif. "Apakah daun tersebut sudah hilang kasiat atau aku yang salah petiknya? Kok jadi aneh wajah dan kulit Jagat," batin Akshita sambil memindai keseluruhan tubuh pemuda di depannya. Jagat terdiam, nyawanya melayang masuk ke alam bawah sadar untuk menemui Ki Cadek. Pria tua itu terlihat sedang duduk sila di lempengan batu hitam. Kedua matanya terpejam, tetapi tangannya bergerak seirama gending jawa. Samar terdengar oleh Jagat suara gamelan mendayu lambat laun mulai rancak hingga melengking dan gubrak. Seperti ada sesuatu yang terjatuh dari ketinggian tertentu. Suaranya saja mampu membuat tubuh Jagat ber
Jagat masih terdiam menatap ayu wajah Akshita. Dari jarak dekat semua pesona wanita itu menguar memanjakan hasrat. Namun, hal itu belum mampu merobohkan dinding tinggi yang sudah dibangunnya sejak lama. "Tuan!" Akshita kembali memanggil Jagat dengan suara merdunya. Pemuda itu seketika memundurkan wajahnya dan memggeser duduknya menjauh dari Akshita. Sikap Jagat menyebabkan dengus kecewa yang nyata lolos dari mulut wanuta muda. Namun, pemuda itu sudah tidak memedulikan lagi akan sikap Akshita. Jagat kembali dalam mode diam dan dingin. Mengetahui perubahan sikap yang drastis membuat Akshita segera memberesi semua sisa dan alat makan. Wanita itu terlihat sedih tetapi dia tidak kuasa untuk membangkang. Ini adalah keputusannya. Meskipun Jagat selalu menghindar darinya, dia tetap bertahan untuk sesuatu yang nikmat. Berharap secercah sinar cinta ada di sudut hati lelaki itu. Sementara di belahan desa yang lain, terlihat tiga pemuda menunggang kuda. Saat berada di pertigaan jalan pemuda
Cukup lama Abimana dan yang lainnya menikmati hidangan kedai tersebut. Tidak hanya makan dan minum yang mereka nikmati melainkan adanya gadis muda nan cantik lengkap dengan hidangan arak. Abimana terlihat masih sanggup menenggak arak hingga beberapa gelas begitu juga dengan Jantaka. Hanya Kurubumi yang terlihat kalem, pria itu hanya duduk diam di sudut ruang yang hanya bersekat anyaman bambu. Kurubumi sesekali menghela napas panjang, sepertinya pria itu sudah tidak nyaman dengan udara dalam ruangan. "Aku keluar dulu, sudah terasa pengap saja di sini!" Kurubumi bangkit dan melangkah meninggalkan kedua teman karibnya. Namun, baru saja tangannya menggenggam gagang pintu terdengar Abimana menyebut namanya. Tubuh pemuda itu langsung berbalik dan menghadap Abimana dengan pandangan penuh tanya. Bibir pemuda itu terbuka lebar kala dilihatnya permainan Jantaka yang mulai menggoda indera penglihatannya. "Apa yang ingin kau sampaikan, Pangeran?" tanya Kurubumi ketika dia sudah mampu menetral
Ketiga pemuda terlihat saling memacu kudanya di antara lebatnya hutan heterogen pegunungan wilis. Dari jauh terlihat gapura yang cukup tinggi dan megah bertuliskan huruf jawa kuno. Samar tulisan tersebut bisa dibaca oleh ketiganya "Selamat Datang"Abimana mulai memelankan lari kuda jantannya, begitu juga dengan lainnya. Hingga saat tepat di depan gapura perbatasan masuk wilayah kotaraja, Abimana menarik tali kekang kudanya agar bisa berhenti. "Kita sudah sampai. Bagaimana dengan kalian?" "Aku langsung ke barak prajurit saja, Pangeran. Badan sudah terasa penat dan letih," jawab Jantaka. Kurubumi menatap ke belakang pada hewan hasil buruan yang dia ikat di samping kuda, "Aku langsung ke keputren, menemui ibunda, Pangeran."Abimana tersenyum, lalu di pacunya kembali kuda jantan miliknya dan membawanya langsung ke arah istana ratu. Beberapa prajurit seketika membungkuk kala melihat Abimana lewat. "Pangeran sudah tiba, ini akan lebih ketat lagi," kata salah satu prajurit yang dilewati
Sinar biru keemasan melesat membungkus tubuh tua Ki Cadek. Tanpa permisi, Jagat Kelana melempar tubuh tua itu kembali ke alamnya. Mau tidak mau Ki Cadek mengikuti semua perintah pemiliknya, dia terbang menuju ke alamnya. Setelah kepergian Ki Cadek tubuh Jagat tiba-tiba terasa lemas, tulang sendinya seakan tidak mampu menopang. Bahunya naik turun hingga terdengar isak tangis lirih. 'Maafkan aku, Ki. Ini yang terbaik untukmu setelah pertempuran dengan Pasopati,' kata Jagat tak mampu bersuara. Raja muda Singgalang terlihat begitu terluka secara fisik dan rohani. Baru saja dia berpisah dengan istri tercinta kini sebuah keputusan harus diambil dengan paksa. Cukup lama Jagat tertunduk dengan kedua telapak tangannya menyentuh tanah. Perlahan ada aliran hangat menjalar memasuki lengan. Hal itu tidak dipedulikan oleh Jagat. Dia justru makin menunduk hingga dahinya menyentuh tanah. Jagat bersujud. 'Jangan tinggalkan aku, Hyang Widi Agung!'Samar terdengar langkah pelan dan lembut mendekati
Usai mengaku kalah, Panglima Pasopati berjalan tertatih dengan menarik pedangnya. Wajahnya tertekuk dalam. Dia tidak berani menatap bulan yang sedang bersinar malu. Angin malam menembus tulang, tetapi Jagat masih berdiri tegak menatap kepergian Panglima Galunggung. Ada sedih yang membayang di wajah raja muda itu, tetapi tidak semua orang bisa tahu apa yang sedang berkecamuk dalam hatinya. Akshita berjalan mendekati suaminya, dia memeluk pinggang Jagat dari belakang dengan kepala bersandar pada punggungnya. "Sebaiknya kita jalani di dunia yang berbeda, Kang!"Mendengar bisikan istrinya, Jagat segera berbalik badan. Dia menangkap wajah kekasihnya, "jika aku merindukanmu, bagaimana?""Bukanlah Kakang bisa masuk ke duniaku meskipun tanpa portal?" tanya Akshita lembut. Jagat masih menangkap wajah ayu istrinya tanpa berkedip. Hal ini membuat Akshita menjadi salah tingkah. "Kang...." Tatapan Jagat mulai berkabut, napasnya terdengar berat tetapi dia masih enggan untuk mengeluarkan suara.
Jagat segera berdiri dan menatap pada Panglima itu, dia terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Apalagi saat ini sudah ada kekasihnya yang berdiri di samping kanan sambil memeluknya. "Apa kabar, Tuan Pasopati?" Suara lembut Akshita memecah keheningan malam. Suara yang mampu membuat Pasopati berhenti bernapas untuk sesaat. Dia terkejut melihat sosok wanita itu hingga jantungnya sempat berhenti. 'Tidak mungkin.'Pasopati masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita yang dulu begitu membuatnya gila kini telah berdiri di sisi Jagat. "Rupanya apa yang aku dengar bukan kabar angin. Ini kenyataannyakah, Nyai?" tanya Pasopati dengan nada bergetar. Hatinya melesat, emosinya seketika berhenti. Sungguh dia tidak mengerti bagaimana wanitanya kini memeluk mesra lengan musuhnya. "Iya, seperti ini hidup, Pasopati. Apakah kamu menyesal?""Buat apa menyesali atas hubungan dengamu, Jalang. Sekali jalang selamanya tetap, Jalang!"Mendengar satu kata yang sudah biasa didengarnya tidak memb
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Jagat, Panglima Pasopati menyiapkan kedua telapak tangannya yang dipenuhi dengan sinar merah. Gagang pedang itu digenggam erat, lalu diangkat tinggi. "Kali ini nyawamu tidak akan selamat, Jagat!" Pasopati melompat tinggi, kedua kakinya berjalan di udara dengan ujung pedang terhunus ke depan. Jagat masih diam dengan kujangnya di tangan. Pada ujung kujang itu muncul sinar perak dan dua permatanya keluar dari lubang. Angin malam bertiup makin kencang membuat jubah Jagat beterbangan, tetapi tidak membuat fokus raja itu terputus. "Rasakan jurus terbaruku, pedang pendek penghancur raga!" teriak Pasopati. Bersamaan itu, pedang panjangnya pun terayun dengan sasaran lengan kiri Jagat. Melihat gerakan itu membuat Jagat melakukan tubuhnya ke samping menghadap datangnya pedang. Kedua jarinya menjepit ujung pedang dan menggerakkan ke belakang. Akibat gerakan itu pedang milik Pasopati pun patah di ujungnya. Seketika kedua mata Panglima itu
Kedua pemimpin sudah saling berhadapan. Jagat masih berdiri tegak dengan tatapan dingin, sementara Panglima Pasopati berdiri dengan senyum samar. Keduanya dalam mode tenaga full dengan senjata masing-masing. Pasopati menggenggam pedang panjang dengan gerigi bak gergaji yang tajam. Jagat hanya memegang kujangnya dengan sembilan permata. "Apa sebenarnya hingga seorang Panglima datang ke tanah milikku?""Aku inginkan nyawamu, Jagat Kelana!""Bukankah kamu baru menatapku hari ini, bagaimana bisa sudah inginkan tanah Singgalang?"Panglima Pasopati seketika tertawa terbahak, dia meludah di depan Jagat Kelana. "Cuih, jangan kau kira aku tidak miliki kekuasaan mutlak hingga kau rendahkan aku, Jagar!""Baik, jika ini inginmu, Pasopati. Tunjukkan digdayamu!"Begitu mendengar kalimat tantangan dari Jagat, saat itu juga Panglima mengeluarkan seluruh kekuatannya. Dia menggerakkan pedang panjang yang terlihat begitu berat. Gerakannya yang terlihat begitu piawai membuat Jagat sedikit nyeri. Dia m
Hempasan jubah Jagat seketika melenyapkan beberapa anak panah berapi. Tidak hanya senjata, pemakainya pun juga ikut terpental. Apa yang terjadi dengan prajurit pilihannya membuat Panglima Pasopati melongo tidak percaya. Sosok yang menyibakkan jubahnya saja masih berdiri tegak di ujung menara. "Bagaimana mungkin, rasanya hanya sang terpilih yang mampu melakukan hal itu." Panglima Pasopati berbicara sendiri tanpa berniat untuk berbagi. Sesungguhnya Jagat hanya memainkan trik kecil saja tanpa berniat untuk melenyapkan seluruh pasukan panah berapi. Semua hanya permainan saja. "Kang, jangan permainkan mereka seperti itu! Semua ada batasnya!" kata Akshita. "Mereka sudah mengira aku hanya raja rendahan saja hingga mereka berani merendahkan Kerajaan Singgalang. Alasan ini yang tidak aku suka, Aks.""Lalu, apa yang akan kamu lakukan? Mereka hanya bawahan yang tidak mengerti alasan apa meruntuhkan Singgalang," kata Akshita. Jagat hanya tersenyum, dia mengurai pelukan dan kini menatap pada
Suara terompet panjang tanda penyerangan dimulai. Pasukan Kerajaan Galunggung bertolak menuju ke perbatasan Karajaan Singgalang. Paling depan Panglima Pasopati terlihat berkuda dengan gagah berani. Ujung tombaknya terangkat ke udara memberi semangat pada para prajuritnya. Pasukan dibagi menjadi tiga bagian. Mereka memiliki pemimpin sendiri dengan kekuatan dan kapasitas yang memadai. Panglima Pasopati terlihat memimpin di depan dengan kuda jantan hitam dan tombak panjang di tangan kanannya. "Serang!"Semua prajurit Galunggung bergerak dengan senyap dan cepat, tetapi aura yang mereka timbulkan. Jagat sendiri masih terlena dengan sentuhan akhir Roro Wening hingga tubuhnya bermandikan keringat. "Kang, aura ini begitu membahayakan rakyat dan penghuni Kerajaan. Tidakkah ingin sudahi semua?" tanya Roro Wening dengan suara rendah dan sesekali mendesah akibat serangan beruntun dari suaminya yang begitu nikmat. Jagat tidak memedulikan apa yang dikatakan oleh istrinya, dia terus menggerakk
Jagat berdiri menatap langit yang masih malu menampakkan sinar mentari. Cuaca hari itu sedikit sendu, seakan membawa angin kesedihan. Roro Wening pun ikut berdiri tetapi dia tidak mengikuti arah pandang suaminya. Wanita nomer satu di Kerajaan Singgalang justru menatap ke arah utara sedangkan suaminya menatap ke arah timur. Dua arah yang berbeda meskipun berjalan pasti tidak akan menemui ujungnya. Keduanya masih diam menatap pada arah tersebut. Angin yang berhembus pun seakan enggan memberi kabar atas cuaca yang tidak bersahabat. "Akankah ada bencana lagi, Suamiku? Ada yang berbeda aroma angin berhembus hari ini," kata Roro Wening. "Sepertinya begitu, Nyai Wening. Semua bisa terjadi yang datang dari berbagai arah." Beberapa saat kemudian, Jagat berbalik melihat sosok istrinya yang sedang hamil lima bulan. Perut Roro Wening sudah terlihat membuncit. Lalu Jagat segera meraih tubuh istrinya dan digendong ala bridal. Dibawanya tubuh sang istri ke dalam sebuah bilik di dekat pendopo.
Jagat terus melangkah tanpa menoleh ke setiap pintu paviliun milik selir-selirnya. Dia terus melangkah hingga sampai di pendopo sunyi tempat biasa dia bermeditasi. Jagat berdiri menatap hamparan tanah hijau dalam gelita malam. Bibirnya tertutup rapat tetapi pikirannya melayang tak tentu arah. Dia mencari alasan mengapa istri gaibnya begitu ingin menjauh kembali setelah sekian lama tak berjumpa dalam dunia nyata. "Mungkin saat ini wanitamu itu sedang ada masalah lagi di Kerajaan gaib miliknya, Pangeran." Suara tua yang sudah lama tidak terdengar di telinga Jagat. "Ki, akhirnya kamu muncul juga setelah lama kita tidak berbincang." "Saya sedang meditasi, Pangeran. Bukankah selama saya pergi semua masih bisa terkendali secara fisik dan rohani?"Jagat menghela napas panjang dan berat. Apalagi sejak kepergian Ki Cadek beberapa waktu lalu setelah kembalinya Ashita, Jagat sering di uji gairah yang sulit terkendali. Dia sadar bahwa selama ini gairahnya seringkali tidak mendapat tempat yan