"Ucok, sini mamak bilang dulu, Nak," tiba-tiba terdengar suara mamak dari dalam rumah. Ternyata mamak menguping pembicaraan kami, aku lalu masuk rumah, duduk di dekat mamak. "Ucok, ini hubungi si Karen pake HP mamak," kata mamak seraya menyodorkan HP -nya."Aku harus bilang apa, Mak?""Terserah Ucok," kata mamak lagi. Aku lalu menerima HP mamak tersebut, mencatat nomor fari HP -ku, lalu..."Ini siapa?" tanyanya dari seberang."Ini aku Ucok,""Aki tak mau bicara, satu saja yang mau kubilang, air susu kau balas air tuba," kata Karen dari seberang. Panggilan telepon pun terputus.Aku mulai kesal, kuketik pesan lewat HP mamak."Terserah kamu, jangan coba-coba datang ke rumahku lagi, jangan pernah telepon aku lagi," begitu pesan yang kuketik dan kirim.Ceklis biru dua, akan tetapi tak ada balasan. Biarlah, ini mungkin cara aku bisa lepas dari perempuan tersebut. Libur kuliah ini bertepatan dengan hari raya kurban. Butet memberikan satu sapinya untuk kurban kami sekeluarga. Sapi Limosin
PoV NiaSaat Ucok mau pulang kampung karena libur, aku dan suami berinisiatif memberikan sambutan meriah untuk Ucok. Ini sebagai penebus kesalahan kami yang pura-pura tak peduli saat dia sakit. Aku merasa bersalah sekali. Aku yang punya ide supaya dia menyelesaikan masalahnya sendiri. Maksudnya untuk memberikan pelajaran untuknya. Bang Parlin juga tidak main-main, dia bahkan menghubungi seluruh keluarganya untuk memberikan semangat pada Ucok. Laporan Butet membuat aku terkejut, Ucok punya teman wanita yang sudah seperti suami istri. Ini akibat kami pura-pura tidak peduli juga. Bang Nyatan justru punya ide aneh, kata Bang Nyatan Ucok diancam untuk dinikahkan. Bang Parlin justru langsung setuju. Aku tentu tidak setuju."Bagaimana kalau Ucok mau, Bang, sudah siap punya menantu kah?" tanyaku pada Bang Parlin."Dek, entah kenapa aku selalu melihat diriku pada Ucok, jika dia mau nikah ya, kita nikahkan, kalau dia tak mau, mungkin dengan begini dia akan sadar, ini seperti dua mata pisau,
Pagi harinya, berjalan seperti biasa, Ucok masih tidur, mungkin dia tidur setelah salat subuh. Jadwal kami hari ini adalah menyurvei orang yang akan menerima bantuan sapi dari pemerintah. Bantuan ini adalah murni untuk mengangkat tarap hidup petani, bukan sistem pinjaman, bukan sistem anak angkat. Murni bantuan dari pemerintah. Aku sangat bersyukur kabupaten kami terpilih jadi yang menerima program bantuan ini.Saat kami mau berangkat, Ucok minta ikut, jadilah kami sekeluarga yang pergi tujuan kami kali ini adalah salah satu desa terpencil di ujung selatan kabupaten ini. Untuk sampai ke desa ini harus melewati jalan tanah yang belum diaspal.Kami disambut seorang pria, di depan rumahnya yang sangat besar bagaikan istana ada bendera partai. "Saya tokoh masyarakat desa ini, Bu, ini daftar nama yang dapatkan bantuan," kata pria tersebut."Mana kepala desa ini, Pak?" tanyaku kemudian."Saya, Bu,""Lo, kenapa ada bendera partai di depan rumahnya," kataku lagi."Saya kepala desa, sekal
Kulihat Bang Parlin, suamiku itu mengangguk tanda setuju, akhirnya kupersilahkan Butet yang bicara."Maaf, Pak, pertama tolong lihat isi chat dari Kak Karen," kata Butet seraya meminta HP Ucok. Pria itu membaca chat tersebut, isinya ancaman bunuh diri."Lihatlah itu, Pak, saya bacakan ya, "Untuk apa lagi aku hidup, orang tua tidak peduli, orang yang kucintai pun sudah tak peduli, aku mau mati saja," baca, Pak, renungkan, orang tua tidak peduli? Jadi saya tanya dulu, Bapak, apakah bapak peduli pada Karen?" kata Butet."Tentu saja kami peduli, karena kami peduli makanya kami datang ke mari," kata Ayah Karen."Sudahlah, Pak, ini kesalahan kalian yang tidak peduli pada anak sendiri, ketika ada yang peduli dia tersanjung, akhirnya begini," kata Butet lagi."Tapi kenapa dia sampai begitu?" Pria itu tampaknya mulai melunak."Itu masalah kalian?" kata Butet lagi."Kami minta pertanggungjawaban," "Aduh, Pak, pertanggungjawaban seperti apa? Bapak mau menuntut ke pengadilan? Mau nuntut apa
Ternyata selama ini aku selalu diluluhkan dengan ilmu yang tiga baris, memang aku tak pernah mengamuk lagi, dulu saat masih gadis, aku sering lepas kendali dan marah-marah tak tentu arah."Abang egois, hanya mau manisnya saja, gak mau terima pahitnya," kataku kemudian."Hmmm, aku egois?""Ya, iyalah, Bang, pantas saja aku tak pernah marah-marah luapkan emosi," kataku lagi."Dek, kamu tahu gak, rasa marah itu apabila diluapkan akan berakhir dengan rasa malu, seharusnya adek itu bersyukur, terhindar dari rasa malu," kata Bang Parlin."Heh, Bang, marah' itu manusiawi,""Benar, orang yang hebat adalah orang yang bisa mengendalikan rasa marahnya, coba gak Abang luluhkan hatimu, bisa kau marahi Abangmu, adikmu, bahkan bisa kau damprat Rara habis-habisan, dengan ilmu itu kamu jadi adem dan tambah manis," kata Bang Parlin."Jadi ...ya, Allah, Abang salah gunakan kelebihan Abang," kataku kemudian."Nggak lah, Dek, gak pernah," "Baik, Bang, berapa kali Abang gunakan yang tiga baris padaku?"
Setiap ada program baru, selalu saja muncul penjilat dan penekan. Kali ini para anggota dewan banyak yang minta bagian sapi tersebut. Uang sapi ini memang terlalu manis. Lima sapi anakan sangatlah menggiurkan, ditambah lagi uang perawatan. Ini sama besarnya dengan program bedah rumah. Akan tetapi aku tetap teguh pada pendirian, kadis sosial pun mendukungku penuh, tak ada yang bisa diselewengkan. Aku makin disegani, akan tetapi makin banyak musuh. Hampir setengah anggota dewan jadi tak mau bicara padaku.Akhirnya rampung juga, seluruh data sudah selesai, selama sepuluh hari kami langsung bertatap muka dengan calon penerima. Tinggal menunggu sapinya datang. Pagi itu Bupati meneleponku, dia suruh aku segera datang ke kantor bupati, ada yang mau dibahas. Didampingi suami, aku segera memenuhi panggilan tersebut."Sepinya sudah mau dikirim, akan tetapi anda kesalahan data, bukan lima sapi per kepala keluarga, tapi dua," kata bupati."Lo, kok bisa begitu, Pak, kan dalam surat itu jelas lim
Setelah berpikir agak lama akhirnya aku menyetujui permintaan si Hasibuan ini, kuberikan surat dari atasan. Semua urusannya kuserahkan pada pria tersebut. Kuberikan juga nomorku padanya.Rumah Ucok dua lantai, lantai kedua tetap kosong, kata Ucok, orang malas naik-naik, akhirnya lantai atas dikhususkan untuk tamu. Aku juga jadi termasuk tamu. Tiket pesawat sudah kupesan, esok harinya aku akan pulang ke Medan. Pagi itu aku duduk-duduk di dekat jendela. Sambil Menatap ke arah jalan, ada mobil parkir di halaman rumah, seorang gadis keluar dari mobil tersebut. Itu Karen. Aku langsung berdiri hendak turun, akan tetapi kuurungkan niat, ingin kulihat sudah sampai di mana Ucok, apakah dia bisa berubah.Kulihat Ucok keluar dari rumah menemui gadis tersebut, mereka tampak bicara, aku tidak tahu mereka bicarakan apa, akan tetapi kemudian Ucok masuk rumah dan terdengar suaranya memanggilku."Maakkk!" Aku pura-pura sibuk dengan laptop Ucok naik ke atas."Mak, Karen datang itu," kata Ucok.
"Terobsesi?" kataku dengan kening berkerut."Iya, Mak, waktu aku di Jakarta, tiap hari dia datang," kata Butet lagi.Apa iya gadis itu terobsesi pada Ucok? Apa iya ada gadis cantik, kaya dan dan berpendidikan masih terobsesi? Rasanya tidak mungkin."Kan Ucok di Jakarta, Tet, sedangkan dia mau datang ke mari," kata Bang Parlin."Siapa tahu terobsesi sama ayah, gak dapat anaknya ayahnya pun jadi," kata Butet lagi."Huhss, sembarangan ngomong kau, Tet," kata Bang Parlin yang dibalas Butet dengan tawa.Butet tetap kuliah di ibukota kabupaten. Karena jarak yang jauh dari desa, dia kos, sekali seminggu baru pulang ke desa. Dua anakku tinggal terpisah dengan kami, kami jadi seperti orang baru menikah saja, punya anak yang masih kecil. Rasanya seperti kembali ke jaman dulu. Jadi ibu rumah tangga biasa.Setelah mundur dari jabatan wakil bupati, aku punya banyak waktu luang, setiap hati teleponan sama Ucok dan Butet, menanyakan tentang kuliah mereka, kegiatan mereka, bahkan makam mereka, aku
PoV Nia Sangat sedih melepas Butet untuk mengarungi rumah tangga barunya. Rasanya baru kemarin dia kugendong. Dia teman diskusi yang sangat asyik. Selama ini dia memang sudah tinggal jauh dari kami, akan tetapi tetap berat juga untuk melepasnya. Bang Parlin juga terlihat sangat sedih, pesta ini justru jadi ajang tangis bagi suamiku. Dia justru sering menangis. Tamu yang datang sangat beragam, mulai dari pekerja kami, sampai toke sawit, sampai bupati pun datang. Akan tetapi aku sedikit kecewa, menantuku tidak datang dengan alasan tak bisa meninggalkan warungnya. Karena Menantu tidak datang, otomatis cucu kamI juga tidak datang. Padahal ini hari bersejarah. Aku ingin berfoto seluruh keluarga. Akan tetapi menantu dan satu-satunya cucu tidak datang. Aku sudah coba hubungi menantu, akan tetapi jawaban dia adalah tidak bisa meninggalkan warungnya. Katanya jika ditinggalkan, terpaksa ditutup dan pelanggan akan lari. Sementara warung itu belum bisa diserahkan kepada karyawan. Resep
Aku bangun pagi seiring azan subuh berkumandang dari mesjid desa. Lalu mandi dan pergi ke mesjid untuk salat subuh berjamaah, kami sekeluarga pergi ke mesjid. Cantik juga ikut, kami mau sekalian membicarakan proses akad nikah di masjid tersebut. Penghulunya juga masih Abang angkatku, yang dulu pernah jadi guru mengaji di rumah kami. Setelah membicarakan semua, kami pulang ke rumah. Mulai ada kesibukan di rumah. Para Bapak-bapak memasak rendang, para ibu-ibu memasak nasi. Jam delapan pagi sudah bisa makan. Satu kampung makan di rumah kami. Kebanyakan bawa baskom masing-masing. Ibunya Bang Sandi datang, begitu datang dia langsung salaman. "Kok lama kali datangnya?" tanya mamak."Itu tadi, Bu, ngantar Sandy mau pulang," jawab Ibu tersebut."Kok cepat kali dia pulang?" tanya mamak lagi."Katanya mau tugas,"Ternyata Bang Sandy memang di sini, ingin aku bertanya pada ibunya, akan tetapi aku tahan, tak ingin merusak suasana hati yang beberapa jam lagi akan menikah. Bang Sandy bohong soal
Pertanyaan Bang Sandy ini sepertinya tidak masuk akal, mengajak tinggal di Brunei, pekerjaan membobol bank. "Bagaimana, Tet, kita akan bahagia bersama," kaya Bang Sandy lagi."Hei, Bang Sandy, kamu masih waras gak? masa ajak aku jadi penjahat, kerja membobol bank, emangnya kamu pikir aku penjahat ya," kataku kemudian."Itu hanya perumpamaan, Tet, intinya aku bisa lebih baik dari si Cina itu," "Hei, Bang, kamu sudah rasis, gak boleh manggil orang dengan sukunya,""Bukan maksud rasis ya, Tet, hanya kesal, ayolah, Tet, kita akan hidup makmur di Brunei, Kamu tahu gak, pemerintah Brunei pernah mengajak aku pindah ke sana, sebagai tenaga ahli bidang IT," kata Bang Sandy lagi."Wah,""Iya, Butet, aku bisa lebih baik dari si sipit itu, percayalah," Lama-lama omongan Bang Sandy makin melantur saja, padahal biasanya dia orang yang santun, jarang bicara, ini sudah rasis segala. "Kok kamu jadi rasis sih, ini bukan Bang Sandy yang kukenal,""Cinta, Tet," Oh, seperti kata ayah, cinta bisa mem
Sekitar jam 10.00 malam, Ayah akhirnya pulang ke rumah. Ini kesempatanku untuk bertanya apakah Ayah setuju. Bang Ucok, mamak dan bahkan Cantik tidak setuju aku pergi kuliah di Amerika. Tinggal Ayah yang belum kutanyakan."Papa, Kak Butet mau pergi ke Amerika," belum sempat aku bertanya Cantik sudah mengadu duluan. "Amerika," Ayah melihatku."Iya, jauhhh,""Hahaha," ayah malah tertawa, mungkin ayah mengira ini lelucon."Ayah, Cantik benar, aku mau pergi ke Amerika," kataku kemudian."Waw, mau ngapain?""Kuliah pascasarjana, Yah," "Jauh sekali ke Amerika?""Aku dapat beasiswa, Yah," Ayah' terdiam, dia melihat mamak, lalu kembali melihatku."Boleh, Yah?" tanyaku lagi."Kamu sudah dewasa, Butet sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk," kata Ayah."Ayah dukung apapun keputusanmu, tapi Ayah berikan sedikit gambaran, Amerika itu jauh, jika sekiranya ayah meninggal kamu gak akan bisa kejar, terus adikmu suka' kangen kakaknya, kamu satu bulan tidak pulang saja Cantik sudah sering be
Aku justru makin bingung, Ini kesempatan langka, beasiswa di Amerika. Akan tetapi aku dan Pak Johan sudah membuat semacam kesepakatan. Tiga tahun lagi kami akan menikah, itu 2 tahun yang lalu. Apakah kesepakatan itu sudah janji? "Bagaimana, Butet? kok malah bengong?" kata Pak Dosen."Saya berpikir dulu, Pak," jawabku akhirnya."Butet, ini kesempatan langka, Jangan disia-siakan, aku yakin kamu bisa berkarir di luar negeri," kata Pak Dosen."Cita-cita saya bukan seperti itu, Pak, cita-cita saya buka kantor pengacara publik, yang memberikan layanan hukum' gratis untuk masyarakat miskin," kataku kemudian."Jika memang itu cita-citamu, cocok juga, tapi ambil S-2 ini juga, paling dua tahun," kata Pak Dosen."Saya pikirkan dulu, Pak," kataku kemudian."Kupikir tadi kamu akan sujud sukur sambil menamgis karena dapat beasiswa penuh," kata seorang pengacara yang lain."Iya, gak nyangka kamu masih berpikir, padahal ini kesempatan emas, dari propinsi ini hanya dua orang, kamu salah' satunya," ka
Bertanya ke Bang Ucok ternyata jawabannya sangat logika, ini sesuatu yang berubah pada diri Bang Ucok. Setelah dia menikah bicaranya sekarang sudah banyak yang secara logika. Atau karena dia sekarang sudah sarjana psikologi. "Memangnya siapa yang orang Cina siapa yang orang Padang?" Tanya Bang Ucok lagi."Adalah,""Biar kutebak, kalau Cina itu yang pemilik hotel itu ya?" "Iya, Bang,""Yang orang Padang siapa?" "Coba tebak?" tanyaku kemudian.Heran juga Bang Ucok tidak ingat kepada Bang Sandy, Padahal kami dulu sering memecahkan kasus bersama. Bahkan kudengar Bang Sandi setelah jadi polisi pernah pergi ke tempat Bang Ucok. Kenapa dia tidak ingat?"Umar ya?" "Bukan?""Jadi siapa?""Ah, payah Bang Ucok."Aku memutuskan panggilan telepon karena Bang Ucok tidak ingat kepada Sandy. Aku makin bingung entah memilih siapa. Cari jawaban Bang Ucok juga mengambang, masalah umur dia pilih pada Sandy, di masalah profesi dia pilih Pak Johan. Sedangkan masalah suku dia tidak memberikan pilihan.
PoV ButetSidang meja hijau berjalan lancar, cerita orang tentang seramnya sidang itu tak berlaku padaku. Bahkan dosen memujiku. Semua berjalan mulus, aku akan jadi wisudawan termuda di perguruan tinggi tersebut. Setelah selesai sidang, kegiatanku kini lebih lapang, aku bisa pulang ke desa setiap Minggu. Tinggal menunggu jadwal wisuda, tidak lama lagi aku akan jadi seorang sarjana hukum, seperti cita-citaku selama ini.Hari itu aku terkejut dengan kedatangan Pak Johan, dia datang bersama Ibunya ke tempat kos-ku. Ini tidak biasa, biarpun kami sudah berjanji akan menikah nanti, kami tidak pacaran, tidak bertemu rutin selayaknya pasangan kekasih."Ada apa ya, Pak?" tanyaku seraya mempersilahkan duduk.Ibunya Johan sudah jauh berubah penampilannya, dulu beliau selalu memakai pakaian ketat, kini beliau memakai pakaian Muslim, jilbabnya juga panjang."Butet, kamu datang mau menanyakan sesuatu," kata Ibunya Johan."Iya, Bu,""Jadi begini, kamu sebentar lagi kan akan diwisuda, jadi kamu akan
Keesokan harinya Pak Dullah datang lagi, kali ini dia minta Bang Parlin yang jadi saksi pernikahan anaknya dan Agus. Mereka gerak cepat, katanya akad nikah akan dilaksanakan jam sepuluh pagi. Nikah duluan dan suratnya diurus belakangan. Karena kebetulan Butet masih di rumah, aku ikut Bang Parlin ke rumah Pak Dullah. Agus sudah datang, anak Pak Dullah juga sudah didandani ala kadarnya. Petugas pencatat nikah yang juga guru di pesantren kami yang menikahkan. Acara berjalan lancar, diakhiri doa bersama yang dipinpin Bang Parlin. Lalu makan bersama.Agus lalu salim ke semua orang, saat salim ke Bang Parlin dia menangis. "Terimakasih kasih, Pak, aku ada permintaan satu lagi," kata Agus."Apa lagi, Gus?""Aku ingin pekerjaan tetap, Pak, aku sudah punya istri sekarang," katanya.Selama ini dia kami pekerjakan memang tidak tetap, hanya jika panen saja. "Baiklah, ngurusi sapi bisa?" tanya Bang Parlin."Bisa, Pak, bisa," jawabnya kemudian.Padahal mertuanya juga punya kebun sawit, biarpun ti
Aku dan Bang Parlin langsung saja ke rumah Pak Dollah. Ketika kami tiba sudah ramai orang di situ. Kami segera masuk, di dalam rumah ada putrinya Pak Dollah dipegangi oleh dua orang. "Dia mau gantung diri, untung cepat' ketahuan," kata seorang ibu-ibu sambil menunjuk tali yang sudah terikat di kamar gadis tersebut."Mungkin sudah saatnya gunakan ilmu, Bang, luluhkan dia," kataku pada Bang Parlin. Yang sebenarnya adalah aku lelah, ingin istirahat selalu saja ada masalah. Mungkin jika Bang Parlin menggunakan ilmunya meluluhkan gadis itu, masalah akan selesai.Gadis itu terus meronta-ronta, dia dipegangi dua orang perempuan. Ayahnya tampak sudah gelisah. "Aku harus bagaimana lagi, Pak Kades?" kata Pak Dollah. "Bagaimana lagi mau kubilang, sudah ada penyelesaian mudah, nikahkan mereka, tapi bapak tidak mau, sekarang mau bagaimana lagi, satu di penjara, satu bunuh diri, begitu lah kisah cinta mereka," kata Bang Parlin."Aku lakukan ini demi anakku juga""Mirip Romeo dan Juliet, Agus j